BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
manifestasi infeksi virus HIV yang menyebabkan depresi berat kekebalan tubuh
manusia.
2.3 Epidemiologi
Saat ini HIV/AIDS merupakan penyakit pandemi dimasyarakat dunia.
HIV/AIDS merupakan masalah yang sangat mendunia dan sangat kompleks.
Lebih dari jutaan orang yang terkena HIV/AIDS dan hal ini sangat berpotensi
untuk menyebarkan kepada orang lain. HIV/AIDS pertama kali dilaporkan oleh
Center For Disease Control (CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok kaum
homoseks di California dan New York City pada tahun 1981. Sampai saat ini
kasus HIV/AIDS ini masih terus berkembang dan penyebarannya juga masih terus
terjadi sehingga tingginya kasus HIV/AIDS yang dijumpai pada saat ini (CDC,
2014).
2.3.1 HIV/AIDS di Dunia
HIV/AIDS dimata dunia sudah dianggap sebagai penyakit yang sangat
pandemik. Setiap tahunnya kasus HIV/AIDS semakin bertambah. Hal ini sangat
meresahkan dunia kesehatan internasional karena penyakit yang berstatus
pandemi ini sudah menginfeksi lebih dari jutaan orang. Menurut laporan terbaru
setiap tahunnya jumlah kasus HIV/AIDS diseluruh dunia terus meningkat. Hal ini
tentunya sangat mengejutkan masyarakat dunia akan cepatnya infeksi penyakit
ini. Menurut perkiraan WHO sekitar 6300 kasus baru infeksi HIV perhari pada
tahun 2012. Tercatat 35,3 juta orang yang hidup dengan HIV, 2,3 juta orang
dengan infeksi baru, dan 1,6 juta orang mati pada tahun. Sub-Saharan Afrika
adalah negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah
penderita HIV/AIDS tertinggi. Sub-Saharan Afrika tercatat memiliki 25 juta orang
hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 2012. Tingginya prevalensi HIV/AIDS di
dunia yang telah dikemukakan oleh WHO/UNAIDS sangat mengkhawatirkan,
walaupun telah dilakukan upaya pencegahan namun penyebarannya masih tetap
terjadi dan bertambah setiap tahunnya (WHO/UNAIDS, 2012).
25000
21591 21031
20000
15000
Jumlah Kasus HIV Jumlah Kasus AIDS Jumlah Kematian Akibat AIDS
Tabel 2.2 Jumlah Infeksi HIV Sampai Maret 2013 (Ditjen PP&PL,Kemenkes
RI, 2013)
Tabel 2.3 Jumlah Penderita AIDS Sampai Maret 2013 (Dinkes Provinsi,
2013)
Tahun
No. Tahun Jumlah
No. ProvinsiProvinsi
s.d. 1987-2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 NAD 2005 42 17 32 27 12 130
1 NAD 2 26 31 26 13 98
2 Sumatera Utara 487 22 6 - - 515
Sumatera
23 49 566 511
424 626 128677 130 1.374 1.251
120 -1.337 417
802 6.781
Sumatera Barat
Utara
Sumatera
3 224 212 132 133 38 739
Barat
4 Riau 119 112 337 439 314 228 1.549
5 Jambi 40 86 105 203 56 490
Sumatera
6 52 126 32 149 119 226 265 230 55 1.254
selatan
7 Bengkulu 29 55 33 40 2 159
8 Lampung 27 93 295 335 27 777
Bangka
9 12 85 103 132 25 357
Belitung
10 Kep. Riau 456 311 743 674 792 200 3.176
11 DKI Jakarta 2.393 1.584 3.145 2.679 5.186 4.012 3.926 867 23.792
12 Jawa Barat 69 641 736 605 726 1.535 1.429 1.416 464 7.261
Jawa
13 47 382 266 343 443 993 1.057 1.11 380 5.021
Tengah
DI
14 66 126 121 306 179 310 310 272 3 1.693
Yogyakarta
15 Jawa Timur 88 983 63 1.576 1.222 2.731 2.715 2.912 737 13.599
16 Banten 48 348 572 299 182 400 433 395 84 2.761
17 Bali 11 730 717 1.628 1.557 1.737 439 6.819
18 NTB 12 39 65 48 41 93 132 110 34 574
19 NTT 2 32 57 133 144 360 352 242 9 1.331
Kalimantan
20 227 547 387 463 379 643 499 465 114 3.724
Barat
Kalimantan
21 21 68 46 1 136
Tengah
Kalimantan
22 21 83 88 22 214
Selatan
Kalimantan
23 13 133 81 112 180 392 429 392 146 1.878
Timur
Sulawesi
24 18 423 469 155 94 186 222 212 15 1.794
Utara
Sulawesi
25 38 37 86 24 185
Tengah
Sulawesi
26 65 89 132 484 375 692 611 524 144 3.116
Telatan
Sulawesi
27 6 49 71 8 134
Tenggara
28 Gorontalo 6 11 8 2 27
Sulawesi
29 21 5 7 33
Barat
30 Maluku 216 440 295 42 993
Maluku
31 14 46 92 5 157
Utara
32 Papua Barat 86 100 77 160 192 390 356 535 1.896
33 Papua 17 256 323 453 687 2.499 2.85 3.028 768 10.881
Nasional 859 7.195 6.048 10.362 9.793 21.591 21.031 21.511 5.369 103.759
Berdasarkan kedua tabel diatas kita dapat melihat provinsi dimana saja
yang masyarakat paling banyak mederita HIV/AIDS. Dari tabel diatas kita dapat
melihat bahwa provinsi dengan jumlah HIV/AIDS tertinggi yaitu DKI Jakarta,
Papua, dan Jawa Timur. Ketiga provinsi ini merupakan provinsi yang
membutuhkan perhatian yang lebih untuk mencegah berkembangnya penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia.
Gambar 2.3 Jumlah Kasus HIV/AIDS Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun
1994-2012 (Dinkes Provsu, 2012)
Dari gambar 2.4 dapat kita lihat bahwa Medan merupakan kota yang menduduki
peringkat pertama sebagai kota yang jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Provinsi
Sumatera Utara. Sebanyak 506 orang yang dideteksi telah terjangkit penyakit
HIV/AIDS. Medan merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentunya
sangat memprihatinkan. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menurunkan
tingkat penyebaran virus ini agar jumlah pasien yang terjangkit tidak akan terus
bertambah di kemudian hari.
2.4 Transmisi
Setiap benda asing yang merusak tubuh manusia memiliki jalan masuk
tertentu agar dapat menginvasi tubuh dan berinteraksi dengan tubuh. Seperti
halnya HIV, virus ini tentunya memiliki jalan masuk untuk menginfeksi tubuh
manusia. HIV dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung
dengan darah ataupun cairan tubuh seperti cairan semen, secret vagina, cairan
serviks, dan cairan otak. Namun virus ini juga dapat masuk melalui air mata, urin,
keringat, dan ASI, tetapi hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (Sudoyo A.W.
et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Sebelumnya telah berkembang dimasyarakat bahwasannya transmisi
penyebaran HIV/AIDS melalui gigitan nyamuk dapat terjadi. Belum ada literatur
maupun jurnal yang dapat membuktikan hal tersebut, namun hal tersebut sudah
dapat dibantah. Belum ada pasien yang tercatat menderita HIV/AIDS melalui
gigitan nyamuk baik di Indonesia maupun di dunia. Berikut ini terdapat beberapa
cara penularan HIV yaitu :
1. Melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan
pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi yaitu meliputi 80
90% total kasus didunia.
2. Kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum suntik. Hal ini
meliputi transfusi darah yang tercemar, pemakaian jarum suntik yang tidak
steril dan penyalahgunaann narkoba dengan jarum suntik yang dipakai
secara bersamaan. Kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan juga
salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan darah.
membrane sel. Setelah fusi, internal virion core akan dilepaskan ke sitoplasma
sebagai suatu kompleks ribonukleoprotein (Pathologic Basic of Disease).
Gambar 2.5. Ilustrasi skematik struktur HIV-1 (Pathologic Basic of
Disease )
HIV memiliki partikel ikosahedral bertutup (envelope) yang berukuran
sangat kecil dengan ukuran 100-140 nanometer. Inti virus terdapat untaian RNA
serta enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease yang dibutuhkan untuk
replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai
tonjolan - tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari
glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 berperan pada pengikatan HIV dengan
reseptor CD4 dari sel. GP41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel
host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA yaitu struktur pasang
basanya terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur struktur
virus yaitu gen gag, pol, dan env. Selain itu, terdapat gen tambahan yaitu tat, rev,
dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain
adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan
RNA virus.
pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion
akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan matang (Pathologic Basic of
Disease).
Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang
berada dalam sel sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe
regional dan akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara
lain merekrut limfosi limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan
menyebabkan sel sel CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak. Pada akhinya
monosit dan limfosit yang terinfeksi akan beredar ke seluruh tubuh dan
menyebarkan virus ke seluruh tubuh. HIV juga dapat memasuki otak melalui
monosit Yang terdapat dan beredar di otak ataupun melalui infeksi sel endotel
pada otak (Pathologic Basic of Disease).
biak dengan cepat. Cepatnya replikasi sel virus tidak dapat diimbangi dengan
respon tubuh terhadap perkembangan virus. Setelah 2-4 minggu akan terjadi
peningkatan jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah sel
CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon imun terhadap virus
(Harison, 2005).
Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang neutralising antibodi.
Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga namun kadang
kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas dan sel yang
terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T. Sel CD8 yang
teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi sejumlah sitokin
terlarut yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel sel CD4 T tanpa
menyebabkan lisis sel. Setelah itu, jumlah sel CD4 akan kembali ke kadar semula
seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut, kebanyakan kasus menunjukkan
gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia dan
sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati dan ruam
(Pathologic Basic of Disease).
Setelah terserang fase akut, selanjutnya akan memasuki fase asimtomatik
yang nantinya akan terjadi penurunan kadar CD4 secara perlahan lahan. Hal ini
dapat terjadi selama berbulan-bulan maupun bertahun-tahun tergantung dari
kondisi kekebalan tubuh orang yang terinfeksi. Menurunnya imunitas seseorang
dapat dilihat dari kadar CD4 dalam darah. Oleh karena itu pada fase asimptomatik
ini jumlah virus dalam darah dan sel sel perifer yang dapat dideteksi dalam
kondisi yang rendah. Penurunan jumlah CD4 dalam darah rata rata 65 sel/ul
setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem imun tapi tidak bersifat laten dan
masih dapat mengalami perbaikan terutama dalam limfonoduli. Penurunan jumlah
sel CD4 T selama infeksi HIV secara langsung dapat mempengaruhi beberapa
reaksi imunologik yang diperankan oleh sel CD4 T seperti hipersensitivitas tipe
lambat, transformasi sel muda limfosit dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik.
Munculnya strain HIV yang lebih pathogen dan lebih cepat bereplikasi pada host
merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun. Dikatakan
juga bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4
menurun sampai < 200 sel/ul. Karena sel sel ini berperan dalam mengontrol sel
yang terinfeksi virus dan membersihkan virus pada tahap awal infeksi sehingga
dikemukakan hilangnya aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan
jumlah virus. Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus
sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009).
2.7 Manifestasi klinis
Gejala klinis terdiri dari 2 gejala menurut Sudoyo et. Al.,Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (2009) yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor
(tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
d. Kandidias orofaringeal.
f. Limfadenopati generalisata.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat
menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk, dan pernafasan pendek. Gejala yang dapat
ditimbulkan seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat
malam, keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan,
dan diare.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
2.8 Masa Inkubasi
Masa inkubasi merupakan suatu waktu yang dihitung mulai dari seseorang
terinfeksi HIV sampai kepada memberikan gejala. Gejala yang dapat ditimbulkan
seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam,
keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan
diare. Berdasarkan penelitian didapati bahwa masa inkubasi virus HIV ini sangat
bervariasi yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, namun dikatakan
bahwa masa inkubasi rata-rata adalah 5-10 tahun (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Selama masa inkubasi, orang yang terinfeksi HIV disebut penderita HIV.
Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenal dengan masa window periode. Selama masa inkubasi penderita HIV
sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai
cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama,
dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar
kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini (Sudoyo A.W. et.al., Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
1. Infeksi Akut
Pasien yang terinfeksi HIV sekitar 30-50% pasien akan
memberikan gejala infeksi akut yang mirip dengan gejala infeksi
mononucleosis. Gejala yang dapat ditimbulkan seperti demam, sakit
tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, keluhan GIT
(Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan diare.
2. Infeksi Kronik Asimptomatik
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya
dapat bertahun-tahun. Walaupun tidak ada gejala, kita tetap dapat
mengisolasi virus dari darah psien dan selama fase ini pasien juga
infeksius. Selama fase ini tetap jelas bahwa aktivitas HIV tetap terjadi dan
ini dibuktikan dengan menurunnya imunitas tubuh penderita dari waktu ke
waktu. Kemungkinan sampai jumlah virus tertentu, tubuh masih dapat
mengompensasi sistem imun.
3. PGL (Pembengkakan Kelenjar Getah Bening)
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang muncul adalah PGL.
Hal ini menunjukkan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar
limfe. Hal ini dapat persisten selama bertahun-tahun, dan pasien tetap
merasa sehat. Terjadi progresivitas yang bertahap dari adanya hyperplasia
folikel dalam kelenjar limfe saat timbulnya involusi dengan adanya invasi
sel limfosit T. Hal ini merupakan suatu reaksi tubuh untuk menghancurkan
sel dendritik folikuler yang terinfeksi HIV.
2.9 Diagnosis
perlahahan lahan dan apabila CD4 menurun sehingga kurang dari 200/ul, ini
didefiniskan sebagai AIDS. Tes alternatif yang lain adalah menghitung virus
bebas pada pembuluh darah perifer. Tes ini disebut tes alternative karena tidak
terlalu tepat. Hal ini karena replikasi virus berlaku di kelenjar limfa dan bukannya
di pembuluh darah perifer (Harison, 2005).
Selain pemeriksaan penunjang yang telah dikemukakan diatas terdapat
juga tes tes laboratorium yang lain yang jarang digunakan dalam praktek
kesehatan saat ini. Hal ini dikarenakan biaya untuk melakukan pemeriksaan yang
terlalu mahal. Biopsi kelenjar limfa juga bisa dilakukan. HIV DNA, RNA dan
proteinnya bisa dideteksi dengan teknik molekular dan dengan menggunakan
mikroskop elektron untuk melihat virions. ( e-medicine, 2008).
2.10. Pengobatan
Tingginya faktor risiko sex bebas pada saat ini merupakan gambaran
tingginya tingkat kejahatan dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
penyebab HIV/AIDS. Tingginya pengaruh faktor risiko sex bebas diduga
dikarenakan meningkatnya kejahatan masyarakat dalam hal sexualitas. Adapun
alasan lain yang mungkin menyebabkan hal tersebut yaitu mulai menurunnya
penggunaan narkoba suntik pada kalangan pengguna narkoba. Kedua alasan inilah
yang mungkin menyebabkan tingginya penyebaran HIV/AIDS melalui sex bebas
di kalangan masyarakat.
Gambar 2.9 Gambaran Prevalensi faktor risiko HIV/AIDS tahun 1987
sampai Maret 2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013)
Pada gambar 2.9 dapat kita lihat bahwasannya sex bebas (heterosex)
merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam menyebarkan HIV/AIDS.
Sex bebas bila kita lihat pada gambar berjumlah 59,8%, dari persentase tersebut
berarti dari seluruh pasien HIV/AIDS yang tercatat oleh Dinas kesehatan lebih
dari separuhnya terkena HIV/AIDS melalui jalur sex bebas.
Sebelumnya penasun (pengguna narkoba suntik) pada tahun 2006
merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam penyebaran HIV/AIDS.
Tercatat faktor risiko yang tertinggi menyebabkan HIV/AIDS adalah pengguna
narkoba suntik (Penasun) (50,3%), diikuti oleh sex bebas (40,3%), homosex
(4,2%), dan perinatal (1,5%) (Depkes, 2006). Untuk lebih memudahkan dalam
melihat masing-masing pengaruh faktor risiko HIV/AIDS dapat dilihat pada
gambar 2.10.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, transmisi
HIV/AIDS dapat melalui kontak darah. Penasun merupakan faktor risiko yang
terkena melalui kontak darah. Alasan tingginya faktor risiko penasun ini mungkin
Pergeseran pengaruh faktor risiko ini dapat terjadi dikarenakan oleh 2 hal
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Alasan pertama adalah tingginya
perilaku sex bebas di kalangan masyarakat. Alasan yang kedua adalah
berkurangnya penggunaan narkoba suntik di kalangan pengguna narkoba.
Kemungkinan kedua hal itulah yang menjadi alasan terkuat sebagai landasan