Anda di halaman 1dari 27

18

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menginvasi
tubuh yang menyerang kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan penurunan
daya tahan tubuh sehingga bila dibiarkan dalam jangka lama penderita yang
terserang HIV akan jatuh kedalam keadaan AIDS. HIV termasuk kedalam
golongan lentivirus atau retrovirus. Virus ini termasuk virus RNA. Dalam
penyebarannya virus ini membutuhkan enzim reverse transkriptase agar dapat
berplikasi dan menginfeksi tubuh manusia. HIV yang menginvasi tubuh manusia
akan terus bereplikasi dan akan terus menyerang sel kekebalan tubuh manusia.
Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia melalui reseptor CD4
yang terdapat pada sel-sel kekebalan tubuh. Virus HIV terdiri dari 2 subtipe yaitu
HIV1 dan HIV2. HIV1 merupakan jenis yang paling banyak menginfeksi manusia
(Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
2.2 Pengertian AIDS
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Bila ditinjau dari segi
bahasa Acquired berarti didapat bukan penyakit turunan. Immuno berarti sistem
kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan dan syndrome adalah kumpulan
gejala. Dari pengertian tersebut maka dapat ditarik pengertian bahwa AIDS adalah
kumpulan gejala maupun penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak
sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang penyakit lain
yang dapat berakibat fatal (Soanes, C., 2001).
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland (2006), AIDS adalah suatu
penyakit retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus), yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi
berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu yang terinfeksi
virus tersebut. Dari pengertian tersebut jelaslah dapat kita ambil suatu kesimpulan
berupa AIDS adalah suatu kumpulan gejala maupun penyakit yang dihasilkan dari

Universitas Sumatera Utara


19

manifestasi infeksi virus HIV yang menyebabkan depresi berat kekebalan tubuh
manusia.
2.3 Epidemiologi
Saat ini HIV/AIDS merupakan penyakit pandemi dimasyarakat dunia.
HIV/AIDS merupakan masalah yang sangat mendunia dan sangat kompleks.
Lebih dari jutaan orang yang terkena HIV/AIDS dan hal ini sangat berpotensi
untuk menyebarkan kepada orang lain. HIV/AIDS pertama kali dilaporkan oleh
Center For Disease Control (CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok kaum
homoseks di California dan New York City pada tahun 1981. Sampai saat ini
kasus HIV/AIDS ini masih terus berkembang dan penyebarannya juga masih terus
terjadi sehingga tingginya kasus HIV/AIDS yang dijumpai pada saat ini (CDC,
2014).
2.3.1 HIV/AIDS di Dunia
HIV/AIDS dimata dunia sudah dianggap sebagai penyakit yang sangat
pandemik. Setiap tahunnya kasus HIV/AIDS semakin bertambah. Hal ini sangat
meresahkan dunia kesehatan internasional karena penyakit yang berstatus
pandemi ini sudah menginfeksi lebih dari jutaan orang. Menurut laporan terbaru
setiap tahunnya jumlah kasus HIV/AIDS diseluruh dunia terus meningkat. Hal ini
tentunya sangat mengejutkan masyarakat dunia akan cepatnya infeksi penyakit
ini. Menurut perkiraan WHO sekitar 6300 kasus baru infeksi HIV perhari pada
tahun 2012. Tercatat 35,3 juta orang yang hidup dengan HIV, 2,3 juta orang
dengan infeksi baru, dan 1,6 juta orang mati pada tahun. Sub-Saharan Afrika
adalah negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah
penderita HIV/AIDS tertinggi. Sub-Saharan Afrika tercatat memiliki 25 juta orang
hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 2012. Tingginya prevalensi HIV/AIDS di
dunia yang telah dikemukakan oleh WHO/UNAIDS sangat mengkhawatirkan,
walaupun telah dilakukan upaya pencegahan namun penyebarannya masih tetap
terjadi dan bertambah setiap tahunnya (WHO/UNAIDS, 2012).

Universitas Sumatera Utara


20

Tabel 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS (WHO/UNAIDS, 2012)


Dari tabel diatas didapati bahwa Sub-Saharan Afrika merupakan negara

Adults And Children Adult & Child


Adults And Children Adult Prevalence
Newly Infected With Death Due To
Living With HIV (15-49) [%]
HIV AIDS
Sub-Saharan Africa 25.0 Million 1.6 Million 4.7% 1.2 Million
Middle East And
260 000 32 000 0.1% 17 000
North Afrika
South And South-
3.9 Million 270 000 0.3% 220 000
East Asia
East Asia 880 000 81 000 <0.1% 41 000
Latin America 1.5 Million 86 000 0.4% 52 000
Caribbean 250 000 12 000 1.0% 11 000
Eastern Europe
1.3 Million 130 000 0.7% 91 000
And Central Asia
Western And
860 000 29 000 0.2% 7600
Central Europe
North America 1.3 Million 48 000 0.5% 20 000
Oceania 51 000 2100 0.2% 1200
TOTAL 35.3 Million 2.3 Million 0.8% 1.6 Million
yang paling tinggi yang diprediksi oleh WHO/UNAIDS pada tahun 2012. Sub-
Saharan Afrika merupakan suatu negara bagian yang terdapat di Benua Afrika.
Hal ini tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja. Kebudayaan
masyarakat, faktor geografis, faktor sosial, faktor kurangnya pengetahuan
masyarakat akan HIV/AIDS, kurangnya kesadaran akan infeksi HIV/AIDS, serta
kemajuan teknologi merupakan faktor faktor yang diduga sebagai penyebab
masih tingginya penyebaran HIV/AIDS. Asia Tenggara dan Asia Selatan pada
tabel diatas dapat kita lihat menduduki peringkat kedua dalam jumlah infeksi
HIV/AIDS. Asia Tenggara sendiri memiliki negara-negara anggota yang terdiri
dari 11 negara. Hal ini dapat kita lebih cermati pada Indonesia yang merupakan
salah satu anggota Negara Asia Tenggara. Indonesia juga merupakan negara
dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, bahkan Indonesia merupakan
negara ketiga penduduk terbanyak di dunia. Nantinya pada bagian yang
selanjutnya akan dibahas mengenai epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia
(WHO/UNAIDS, 2012).
2.3.2 HIV/AIDS di Indonesia
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama
dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


21

Human Immunodeficiency Virus (HIV) sudah ada di Indonesia sejak kasus


pertama ditemukan tahun 1987. Sampai saat ini kasus HIV/AIDS telah dilaporkan
oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi di Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu Negara Asia dengan penyebaran HIV/AIDS yang
berkembang paling cepat (UNAIDS, 2012), dan merupakan negara dengan tingkat
epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi
HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu, dan prevalensi HIV tinggi pada
populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat (2,4%).

25000
21591 21031
20000

15000

10326 9793 9883


10000
7195
6048 6476 6178
5134 5458
4434
5000 3439 3541
2162
859 574 760 825 937 960 1185 825 514
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Jumlah Kasus HIV Jumlah Kasus AIDS Jumlah Kematian Akibat AIDS

Gambar 2.1 Jumlah Kasus HIV/AIDS Serta Kematian Karena HIV/AIDS di


Indonesia Tahun 2005-September 2012 (Direktorat PP&PL, Kemenkes,
2012)

Universitas Sumatera Utara


22

Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan.


Penghitungan kembali terhadap data-data mengenai infeksi HIV/AIDS pun terus
dilakukan. Pada tahun 2013 didapati peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS. Hal
ini jelas terlihat pada gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Jumlah HIV/AIDS Yang Dilaporkan Pertahun Sampai Dengan


Maret 2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013)
Dari gambar diatas kita dapat membandingkan dengan tahun sebelumnya
dimana terjadi perubahan jumlah pasien yang didapati menderita HIV/AIDS. Pada
grafik 2.1 pada tahun 2012 didapati jumlah pasien yang terkena HIV berjumlah
9.883 orang sedangkan menurut data kemenkes tahun 2013, jumlah pasien yang
menderita HIV pada tahun 2012 berjumlah 21.511 orang. Hal ini terjadi karena
diadakannya validasi data oleh pihak pengumpul untuk mendapatkan hasil yang
akurat.
Pada tahun 2013 sampai bulan Maret, sudah ditemukan sekitar 5.369
orang yang terkena HIV dan 460 orang yang menderita AIDS. Hal ini dapat
menjadi gambaran perkiraan kita akan potensi semakin bertambahnya kasus
HIV/AIDS sampai akhir tahun 2013 dan sampai tahun 2014.

Universitas Sumatera Utara


23

Tabel 2.2 Jumlah Infeksi HIV Sampai Maret 2013 (Ditjen PP&PL,Kemenkes
RI, 2013)

Tabel 2.3 Jumlah Penderita AIDS Sampai Maret 2013 (Dinkes Provinsi,
2013)
Tahun
No. Tahun Jumlah
No. ProvinsiProvinsi
s.d. 1987-2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 NAD 2005 42 17 32 27 12 130
1 NAD 2 26 31 26 13 98
2 Sumatera Utara 487 22 6 - - 515
Sumatera
23 49 566 511
424 626 128677 130 1.374 1.251
120 -1.337 417
802 6.781
Sumatera Barat
Utara
Sumatera
3 224 212 132 133 38 739
Barat
4 Riau 119 112 337 439 314 228 1.549
5 Jambi 40 86 105 203 56 490
Sumatera
6 52 126 32 149 119 226 265 230 55 1.254
selatan
7 Bengkulu 29 55 33 40 2 159
8 Lampung 27 93 295 335 27 777
Bangka
9 12 85 103 132 25 357
Belitung
10 Kep. Riau 456 311 743 674 792 200 3.176
11 DKI Jakarta 2.393 1.584 3.145 2.679 5.186 4.012 3.926 867 23.792
12 Jawa Barat 69 641 736 605 726 1.535 1.429 1.416 464 7.261
Jawa
13 47 382 266 343 443 993 1.057 1.11 380 5.021
Tengah
DI
14 66 126 121 306 179 310 310 272 3 1.693
Yogyakarta
15 Jawa Timur 88 983 63 1.576 1.222 2.731 2.715 2.912 737 13.599
16 Banten 48 348 572 299 182 400 433 395 84 2.761
17 Bali 11 730 717 1.628 1.557 1.737 439 6.819
18 NTB 12 39 65 48 41 93 132 110 34 574
19 NTT 2 32 57 133 144 360 352 242 9 1.331
Kalimantan
20 227 547 387 463 379 643 499 465 114 3.724
Barat
Kalimantan
21 21 68 46 1 136
Tengah
Kalimantan
22 21 83 88 22 214
Selatan
Kalimantan
23 13 133 81 112 180 392 429 392 146 1.878
Timur
Sulawesi
24 18 423 469 155 94 186 222 212 15 1.794
Utara
Sulawesi
25 38 37 86 24 185
Tengah
Sulawesi
26 65 89 132 484 375 692 611 524 144 3.116
Telatan
Sulawesi
27 6 49 71 8 134
Tenggara
28 Gorontalo 6 11 8 2 27
Sulawesi
29 21 5 7 33
Barat
30 Maluku 216 440 295 42 993
Maluku
31 14 46 92 5 157
Utara
32 Papua Barat 86 100 77 160 192 390 356 535 1.896
33 Papua 17 256 323 453 687 2.499 2.85 3.028 768 10.881

Nasional 859 7.195 6.048 10.362 9.793 21.591 21.031 21.511 5.369 103.759

Universitas Sumatera Utara


24

4 Riau 449 132 118 128 32 859


5 Jambi 204 45 47 62 26 384
6 Sumatera selatan 219 - 41 62 - 322
7 Bengkulu 91 40 18 6 5 160
8 Lampung 144 37 11 - - 192
9 Bangka Belitung 152 30 34 28 14 258
10 Kep. Riau 182 63 31 99 7 382
11 DKI Jakarta 3.008 1,310 1.332 649 - 6.299
12 Jawa Barat 2.963 471 480 18 33 4.131
13 Jawa Tengah 970 501 546 798 175 2.99
14 DI Yogyakarta 290 215 34 243 - 782
15 Jawa Timur 4.118 908 1.052 822 - 6,900
16 Banten 349 109 188 205 34 885
17 Bali 1.543 584 567 650 - 3.344
18 NTB 132 43 81 123 - 379
19 NTT 236 99 41 44 - 420
20 Kalimantan Barat 1.187 263 160 89 - 1.699
21 Kalimantan Tengah 40 19 20 14 - 93
22 Kalimantan Selatan 66 30 16 22 - 134
23 Kalimantan Timur 125 82 91 34 - 332
24 Sulawesi Utara 258 117 133 144 41 693
25 Sulawesi Tengah 38 7 21 43 18 127
26 Sulawesi Selatan 861 167 212 206 21 1.467
27 Sulawesi Tenggara 28 11 66 56 - 161
29 Sulawesi Barat - - - 3 - 3
28 Gorontalo 28 4 8 14 2 56
30 Maluku 192 - 3 117 31 343
31 Maluku Utara 19 24 42 38 - 123
32 Papua Barat 58 27 76 17 9 187
33 Papua 4.449 1.34 1.367 639 - 7.795
Nasional 23.352 6.845 7.004 5.686 460 43.347

Berdasarkan kedua tabel diatas kita dapat melihat provinsi dimana saja
yang masyarakat paling banyak mederita HIV/AIDS. Dari tabel diatas kita dapat
melihat bahwa provinsi dengan jumlah HIV/AIDS tertinggi yaitu DKI Jakarta,
Papua, dan Jawa Timur. Ketiga provinsi ini merupakan provinsi yang
membutuhkan perhatian yang lebih untuk mencegah berkembangnya penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


25

2.3.3 HIV/AIDS di Sumatera Utara


Sumatera merupakan suatu pulau di sebelah barat dari Indonesia yang
terdiri atas beberapa provinsi. Pada bagian ini akan lebih dibahas pada Provinsi
Sumatera Utara. Sumatera Utara memang belum memasuki provinsi yang
penyebarannya tinggi. Pada tahun 2010 jumlah kasus baru untuk HIV (+) yaitu
171 kasus dan AIDS sebanyak 468 kasus (Dinkes Provsu). Penambahan kasus
baru pada tahun 2011 menyebabkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS secara
keseluruhan menjadi 3.237 kasus. Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV/AIDS
meningkat tajam menjadi 6.430 kasus dengan rincian, 2.189 kasus HIV dan 4.241
kasus AIDS(Dinkes Provsu, 2012). Penderita baru HIV/AIDS 3 tertinggi tahun
2012 secara berturut-turut adalah Kota Medan yaitu 506 kasus atau sekitar
34,56%, Kabupaten Karo 347 kasus (23,70%), dan Kabupaten Deli Serdang
sebanyak 172 kasus (11,75%) dari total seluruh penderita baru (Dinkes Provsu,
2012).

Gambar 2.3 Jumlah Kasus HIV/AIDS Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun
1994-2012 (Dinkes Provsu, 2012)

Universitas Sumatera Utara


26

Gambar 2.3 menunjukkan jumlah kumulatif pasien HIV/AIDS dari tahun


1994 sampai tahun 2012. Dari gambar tersebut jelas dapat kita lihat bahwasannya
terdapat 4241 total pasien AIDS yang ditemukan sampai tahun 2013. Total pasien
HIV pada gambar juga dapat kita lihat sebanya 2189 orang dari tahun 1994
sampai 2013. Jumlah tersebut termasuk pasien dengan infeksi baru, orang dengan
HIV/AIDS (ODHA), dan kematian akibat penyakit ini.

Gambar 2.4 Jumlah Infeksi Baru HIV/AIDS Provinsi Sumatera Utara


Tahun 2012 (Dinkes Provsu, 2012)

Universitas Sumatera Utara


27

Dari gambar 2.4 dapat kita lihat bahwa Medan merupakan kota yang menduduki
peringkat pertama sebagai kota yang jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Provinsi
Sumatera Utara. Sebanyak 506 orang yang dideteksi telah terjangkit penyakit
HIV/AIDS. Medan merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentunya
sangat memprihatinkan. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menurunkan
tingkat penyebaran virus ini agar jumlah pasien yang terjangkit tidak akan terus
bertambah di kemudian hari.
2.4 Transmisi
Setiap benda asing yang merusak tubuh manusia memiliki jalan masuk
tertentu agar dapat menginvasi tubuh dan berinteraksi dengan tubuh. Seperti
halnya HIV, virus ini tentunya memiliki jalan masuk untuk menginfeksi tubuh
manusia. HIV dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung
dengan darah ataupun cairan tubuh seperti cairan semen, secret vagina, cairan
serviks, dan cairan otak. Namun virus ini juga dapat masuk melalui air mata, urin,
keringat, dan ASI, tetapi hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (Sudoyo A.W.
et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Sebelumnya telah berkembang dimasyarakat bahwasannya transmisi
penyebaran HIV/AIDS melalui gigitan nyamuk dapat terjadi. Belum ada literatur
maupun jurnal yang dapat membuktikan hal tersebut, namun hal tersebut sudah
dapat dibantah. Belum ada pasien yang tercatat menderita HIV/AIDS melalui
gigitan nyamuk baik di Indonesia maupun di dunia. Berikut ini terdapat beberapa
cara penularan HIV yaitu :
1. Melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan
pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi yaitu meliputi 80
90% total kasus didunia.
2. Kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum suntik. Hal ini
meliputi transfusi darah yang tercemar, pemakaian jarum suntik yang tidak
steril dan penyalahgunaann narkoba dengan jarum suntik yang dipakai
secara bersamaan. Kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan juga
salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan darah.

Universitas Sumatera Utara


28

3. Pembuatan tatto yang dilakukan tidak dengan alat-alat yang steril,


penggunaan pisau cukur yang tidak diganti pada saat bercukur di salon.
4. Transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada bayinya, (selama
proses kelahiran dan melalui ASI). (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009).
2.5 Etiologi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya HIV merupakan suatu virus
golongan lentivirus subklas retrovirus yang menyerang sisitem kekebalan tubuh
manusia yang dapat menyebabkan turunnya daya tahan tubuh penderita sampai
muncul gejala-gejala maupun sindrom yang dapat memungkinkan infeksi
penyakit lain (infeksi oppurtinistik) yang disebut dalam keadaan AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrom). Luc Montagnier dkk. tahun 1983 telah
menemukan LAV ( Lymphadenopathy Associated Virus). Pada tahun 1984
sejenis virus yang disebut HTVL 3 (Human T cell Lymphotropic Virus Type 3)
ditemukan dari pasien AIDS di Amerika Serikat oleh Robert Gallo dkk.
Kemudian didapati bahwa kedua virus ini sama, dan oleh committee taxonomy
international pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (Human Imuno-deficiency
Virus). Pada tahun 1994 dikenal terdapat 2 jenis virus HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2
(Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
HIV1 dan HIV2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk kedalam
retrovirus. HIV1 penebarannya lebih luas dibandingkan dengan HIV 2. HIV1
penyebarannya hampir diseluruh dunia , sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-
pasien Portugal dan Afrika Barat. HIV2 lebih mirip dengan monkey virus yang
disebut SIV (Simian Imunodeficiency Virus). Kedua jenis virus HIV ini
sebenarnya memiliki banyak kemiripan. Kedua virus ini memiliki inti yang mirip,
tetapi kedua virus ini memiliki selubung luar yang berbeda.
2.6 Patogenesis
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah golongan lentivirus yang
merupakan subgroup dari retrovirus. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
terdapat dua jenis virus HIV yang ditemukan yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV1
merupakan jenis yang paling banyak menginfeksi manusia.

Universitas Sumatera Utara


29

HIV menginfeksi tubuh manusia dengan menempel pada sel-sel yang


mempunyai molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T4. Adapun sel
lain yang memiliki reseptor CD4 yaitu sel monosit, sel makrofag dan sel sel
dendritik, sel retina, sel leher rahim serta sel langerhans. Gp120 yang merupakan
reseptor permukaan virus yang akan berikatan dengan CD4. Kemudian GP120
akan berinteraksi dengan koreseptor yang tertanam dalam membran sel dan
terpapar dengan peptide dari Gp41 dan mulailah terjadi fusi antara virus dan

membrane sel. Setelah fusi, internal virion core akan dilepaskan ke sitoplasma
sebagai suatu kompleks ribonukleoprotein (Pathologic Basic of Disease).
Gambar 2.5. Ilustrasi skematik struktur HIV-1 (Pathologic Basic of
Disease )
HIV memiliki partikel ikosahedral bertutup (envelope) yang berukuran
sangat kecil dengan ukuran 100-140 nanometer. Inti virus terdapat untaian RNA
serta enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease yang dibutuhkan untuk

Universitas Sumatera Utara


30

replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai
tonjolan - tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari
glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 berperan pada pengikatan HIV dengan
reseptor CD4 dari sel. GP41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel
host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA yaitu struktur pasang
basanya terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur struktur
virus yaitu gen gag, pol, dan env. Selain itu, terdapat gen tambahan yaitu tat, rev,
dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain
adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan
RNA virus.

Gambar 2.6. Mekanisme HIV Menginfeksi Sel (Pathologic Basic Of


Disease )
HIV pada sitoplasma selnya memiliki enzim reverse transcriptase. Enzim
inilah yang nantinya akan mengubah RNA virus menjadi DNA. DNA yang
terbentuk ini akan masuk kedalam inti sel inangnya dan dengan bantuan enzim
integrase akan berintegrasi dengan DNA sel host dan akan membentuk provirus.
Integrasi materi genetik ini biasanya akan terjadi dalam kurun waktu 2-10 jam
setelah infeksi. Setelah terjadi integrasi, DNA provirus mengadakan transkripsi
dengan memanfaatkan bantuan enzim polymerase yang dimiliki sel host yang
diinfeksinya menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan translasi dengan
protein protein struktural sampai terbentuk protein mRNA. Genomik RNA dan
protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang nantinya akan menempel

Universitas Sumatera Utara


31

pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion
akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan matang (Pathologic Basic of
Disease).
Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang
berada dalam sel sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe
regional dan akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara
lain merekrut limfosi limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan
menyebabkan sel sel CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak. Pada akhinya
monosit dan limfosit yang terinfeksi akan beredar ke seluruh tubuh dan
menyebarkan virus ke seluruh tubuh. HIV juga dapat memasuki otak melalui
monosit Yang terdapat dan beredar di otak ataupun melalui infeksi sel endotel
pada otak (Pathologic Basic of Disease).

Gambar 2.7 Mekanisme Kehilangan sel CD4 Pada Infeksi HIV/AIDS


(Pathologic Basic Of Disease )
Pada beberapa hari setelah manusia terinfeksi HIV, akan terjadi penurunan
kadar CD4 di dalam darah. Akibat berkurangnya CD4 di dalam darah dapat
dijumpai keadaan limfopenia. Selama periode awal ini, virus virus bebas dan
protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi dalam darah dan jumlah
sel sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini, virus berkembang

Universitas Sumatera Utara


32

biak dengan cepat. Cepatnya replikasi sel virus tidak dapat diimbangi dengan
respon tubuh terhadap perkembangan virus. Setelah 2-4 minggu akan terjadi
peningkatan jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah sel
CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon imun terhadap virus
(Harison, 2005).
Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang neutralising antibodi.
Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga namun kadang
kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas dan sel yang
terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T. Sel CD8 yang
teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi sejumlah sitokin
terlarut yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel sel CD4 T tanpa
menyebabkan lisis sel. Setelah itu, jumlah sel CD4 akan kembali ke kadar semula
seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut, kebanyakan kasus menunjukkan
gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia dan
sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati dan ruam
(Pathologic Basic of Disease).
Setelah terserang fase akut, selanjutnya akan memasuki fase asimtomatik
yang nantinya akan terjadi penurunan kadar CD4 secara perlahan lahan. Hal ini
dapat terjadi selama berbulan-bulan maupun bertahun-tahun tergantung dari
kondisi kekebalan tubuh orang yang terinfeksi. Menurunnya imunitas seseorang
dapat dilihat dari kadar CD4 dalam darah. Oleh karena itu pada fase asimptomatik
ini jumlah virus dalam darah dan sel sel perifer yang dapat dideteksi dalam
kondisi yang rendah. Penurunan jumlah CD4 dalam darah rata rata 65 sel/ul
setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem imun tapi tidak bersifat laten dan
masih dapat mengalami perbaikan terutama dalam limfonoduli. Penurunan jumlah
sel CD4 T selama infeksi HIV secara langsung dapat mempengaruhi beberapa
reaksi imunologik yang diperankan oleh sel CD4 T seperti hipersensitivitas tipe
lambat, transformasi sel muda limfosit dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik.
Munculnya strain HIV yang lebih pathogen dan lebih cepat bereplikasi pada host
merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun. Dikatakan
juga bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4

Universitas Sumatera Utara


33

menurun sampai < 200 sel/ul. Karena sel sel ini berperan dalam mengontrol sel
yang terinfeksi virus dan membersihkan virus pada tahap awal infeksi sehingga
dikemukakan hilangnya aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan
jumlah virus. Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus
sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009).
2.7 Manifestasi klinis
Gejala klinis terdiri dari 2 gejala menurut Sudoyo et. Al.,Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (2009) yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor
(tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.

e. Demensia/ HIV ensefalopati.


Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalisata.

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang.

d. Kandidias orofaringeal.

e. Herpes simpleks kronis progresif.

f. Limfadenopati generalisata.

g. Retinitis virus Sitomegalo.

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research


(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

Universitas Sumatera Utara


34

a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat
menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk, dan pernafasan pendek. Gejala yang dapat
ditimbulkan seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat
malam, keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan,
dan diare.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
2.8 Masa Inkubasi
Masa inkubasi merupakan suatu waktu yang dihitung mulai dari seseorang
terinfeksi HIV sampai kepada memberikan gejala. Gejala yang dapat ditimbulkan
seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam,
keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan
diare. Berdasarkan penelitian didapati bahwa masa inkubasi virus HIV ini sangat
bervariasi yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, namun dikatakan
bahwa masa inkubasi rata-rata adalah 5-10 tahun (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Selama masa inkubasi, orang yang terinfeksi HIV disebut penderita HIV.
Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang

Universitas Sumatera Utara


35

dikenal dengan masa window periode. Selama masa inkubasi penderita HIV
sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai
cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama,
dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar
kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini (Sudoyo A.W. et.al., Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam UI ( Universitas Indonesia)


membagi lagi manifestasi klinis penyakit HIV/AIDS yaitu :

1. Infeksi Akut
Pasien yang terinfeksi HIV sekitar 30-50% pasien akan
memberikan gejala infeksi akut yang mirip dengan gejala infeksi
mononucleosis. Gejala yang dapat ditimbulkan seperti demam, sakit
tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, keluhan GIT
(Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan diare.
2. Infeksi Kronik Asimptomatik
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya
dapat bertahun-tahun. Walaupun tidak ada gejala, kita tetap dapat
mengisolasi virus dari darah psien dan selama fase ini pasien juga
infeksius. Selama fase ini tetap jelas bahwa aktivitas HIV tetap terjadi dan
ini dibuktikan dengan menurunnya imunitas tubuh penderita dari waktu ke
waktu. Kemungkinan sampai jumlah virus tertentu, tubuh masih dapat
mengompensasi sistem imun.
3. PGL (Pembengkakan Kelenjar Getah Bening)
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang muncul adalah PGL.
Hal ini menunjukkan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar
limfe. Hal ini dapat persisten selama bertahun-tahun, dan pasien tetap
merasa sehat. Terjadi progresivitas yang bertahap dari adanya hyperplasia
folikel dalam kelenjar limfe saat timbulnya involusi dengan adanya invasi
sel limfosit T. Hal ini merupakan suatu reaksi tubuh untuk menghancurkan
sel dendritik folikuler yang terinfeksi HIV.

Universitas Sumatera Utara


36

4. Gejala-gejala Akibat Penyakit Lain


a) Gejala yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak langsung berhubungan
dengan HIV, seperti : diare, demam lebih dari satu bulan, keringat
malam, rasa lelah berlebihan, batuk kronik lebih dari satu bulan, dan
penurunan berat badan 10% atau lebih. Apabila yang mencolok adalah
penurunan berat badan, maka ini merupakan salah satu indikator
penyakit AIDS, dan disebut sebagai slim disease, gejala ini paling
banyak di Afrika.
b) Gejala yang langsung akibat HIV, misalnya : mielopati, neuropati
perifer dan penyakit susunan saraf otak. Hampir 30% pasien dalam
stadium akhir akan menderita AIDS dementia kompleks, yaitu
menurun sampai menghilangnya daya ingat, gangguan fuingsi motorik
dan fungsi kognitif, sehingga pasien sulit untuk berkomunikasi dan
keterbatasan pergerakan.
c) Infeksi opportunistik dan neoplasma. Pada stadium kronik simptomatik
ini sangat sedikit keluhan dan gejala yang benar-benar sebagai akibat
langsung dari HIV. Akibat menurunnya daya tahan tubuh maka infeksi
opportunistik masuk dan menambah berat penyakit yang diderita orang
yang terinfeksi HIV (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, 2009).
Karena masa inkubasi yang memiliki waktu yang relatif lama ini biasanya
para penderita tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV. Seperti yang
telah dijelaskan sebelummnya, pada masa inkubasi ini penderita sangat berpotensi
untuk meyebarkan ataupun sebagai reservoir pengakit ini. Hal inilah yang dapat
menyebabkan tingginya penyebaran virus ini baik dari sektor manapun.

2.9 Diagnosis

Universitas Sumatera Utara


37

Setiap penyakit pada umumnya menggunakan anamnesa sebagai langkah


awal untuk mengetahui dan sebagai media pendekatan kepada pasien mengenai
penyakit yang dideritanya sehingga kita dapat menggali lebih dalam masalah yang
dikemukakan pasien agar dapat menjadi bahan acuan dalam penegakan diagnosa.
Anamnesa berperan kurang lebih 80% dalam penegakan diagnosa. Begitu pula
dengan kasus HIV/AIDS. kebanyakan pasien HIV/AIDS di diagnosa sementara
oleh dokter setelah melakukan anamnesis. Adapun hal yang akan ditanyakan
dalam anamnesa seperti kapan melakukan hubungan sexual terakhir, kebiasaan
memakai alat pengaman seperti kondom, sesering apa pasien melakukan sex tanpa
menggunakan pengaman, melakukan hubungan sex dengan sesama jenis atau
heterosex, bagaimana pasien melakukan hubungan sex yaitu kelamin-kelamin,
kelamin anus, maupun secara oral. Pada anamnesa juga tidak dapat dilupakan
mengenai penyakit maupun keluhan tambahan yang dirasakan pasien. Setelah
pemeriksa selesai melakukan tanya jawab kepada pasien , maka untuk diagnosa
yang lebih pasti akan dilakukan pemeriksaan fisik (CDC, 2014).

Pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa infeksi HIV adalah tidak terlalu


signifikan. Hal ini karena tiada penemuan yang spesifik untuk infeksi HIV. Secara
umum, hal yang mungkin didapati pada infeksi HIV akan menyebabkan
limfadenopati di seluruh tubuh dan berat badan yang menurun. Infeksi minor yang
oppurtunistik seperti oral candidiasis yang luas juga merupakan petunjuk awal
untuk infeksi HIV. Pemeriksaan fisik pada pasien HIV/AIDS menjadi kurang
spesifik seperti yang telah dikemukakan diatas dikarenakan adanya fase-fase
asimptomatik pada pasien HIV/AIDS. Pemeriksaan fisik hanya dapat membantu
bilamana pasien dalam kondisi infeksi akut dan AIDS. Dalam pemeriksaan fisik,
akan dilakukan inspeksi pada seluruh tubuh mulai dari bagian tubuh paling atas
sampai bagian tubuh yang paling bawah, selanjutnya dilakukan palpasi pada
daerah yang didapati kelainan, selanjutnya akan dilakukan perkusi dan yang
terakhir auskultasi. Bila telah selesai melakukan pemeriksaan fisik maka untuk
diagnosa yang lebih pasti maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang pada
pasien-pasien HIV/AIDS (Tran,M.A, 2008).

Universitas Sumatera Utara


38

Pemeriksaan penunjang pada pasien HIV/AIDS yang sering dilakukan


adalah pemeriksaan laboratorium. Salah satu tes yang dijalankan adalah tes
antibodi HIV yaitu dengan menggunakan test enzyme-linked immunoabsorbent
assay ( ELISA ). Hasil tes yang positif berarti pernah terinfeksi, bukan adanya
kekebalan terhadap virus. Sensitivitas ELISA sebesar 98 100%. Hasil positif
ELISA harus dinkonfirmasi dengan Western Blot. Western Blot lebih spesifik
mendeteksi antibodi terhadap komponen antigen permukaan virus. Spesifisitas
Western Blot sebesar 99.6 100%. Hasilnya dinyatakan positif, negative atau
indeterminate. CDC merekomendasikan reaksi dengan dua dari band berikut
sebagai kriteria untuk hasil positif; p24, Gp41, Gp 120. Hasil indeterminate
dihasilkan dari reaksi nonspesifik sera HIV negatif dengan beberapa protein HIV.
Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan
sebelum menyatakan negatif. Untuk mendeteksi antigen virus digunakan
pemeriksaan PCR (Harison, 2005).

Gambar 2.8 Algoritma diagnosis HIV/AIDS (Kasper et al, 2005)


Staging HIV adalah berdasarkan kepada manifestasi klinisnya, tetapi
pemeriksaan lab lain bisa membantu untuk memulakan pengobatan. Antaranya
adalah menghitung CD4 T sebagai indikator terhadap risiko untuk infeksi
oppurtunistik. Biasanya selepas serokonversi, jumlah CD4 akan menurun secara

Universitas Sumatera Utara


39

perlahahan lahan dan apabila CD4 menurun sehingga kurang dari 200/ul, ini
didefiniskan sebagai AIDS. Tes alternatif yang lain adalah menghitung virus
bebas pada pembuluh darah perifer. Tes ini disebut tes alternative karena tidak
terlalu tepat. Hal ini karena replikasi virus berlaku di kelenjar limfa dan bukannya
di pembuluh darah perifer (Harison, 2005).
Selain pemeriksaan penunjang yang telah dikemukakan diatas terdapat
juga tes tes laboratorium yang lain yang jarang digunakan dalam praktek
kesehatan saat ini. Hal ini dikarenakan biaya untuk melakukan pemeriksaan yang
terlalu mahal. Biopsi kelenjar limfa juga bisa dilakukan. HIV DNA, RNA dan
proteinnya bisa dideteksi dengan teknik molekular dan dengan menggunakan
mikroskop elektron untuk melihat virions. ( e-medicine, 2008).

2.10. Pengobatan

Pengobatan terhadap HIV/AIDS mencakup preventive dan kuratif. Namun


pada bagian ini akan dibahas pengobatan terhadap HIV/AIDS secara kuratif. Pada
prinsipnya pengobatan infeksi HIV terdiri dari pengobatan terhadap virus dan
pencegahan agar tidak terjadinya infeksi oportunistik. Tujuan pengobatan adalah
untuk mengurangi viral load sebanyak mungkin dengan target <20-50 kopi/ml
sehingga dapat menghentikan atau memperlambat progresivitas selama mungkin,
memperbaiki status imun dalam segi kuantitas dan kualitas CD4, serta
memperpanjang usia hidup dan memperbaiki kualitas hidup (Sudoyo A.W. et.al.,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Pengobatan yang sekarang ini banyak dipergunakan adalah pengobatan


dengan kombinasi tiga obat, yaitu terdiri dari dua nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NRTI) dan satu protease inhibitor (PI) atau satu non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI). Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol replikasi
virus dalam jaringan dan plasma serta memperbaiki sistem imun. Saat memulai
pengobatan anti retroviral adalah pada keadaan simptomatik AIDS dan pada
keadaan CD4 <200/mm3 dengan atau tanpa gejala klinis (Harrison, 2005).

Universitas Sumatera Utara


40

Obat golongan NRTI yaitu Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC),


Didanosine (ddL), Zalcitabine (ddC) dan lain lain bekerja melalui fosforilasi
interselluler menjadi bentuk trifosfat dan bergabung ke DNA selanjutnya dapat
menghambat pemanjangan rantai RNA virus. Obat golongan NNRTI seperti
Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV), dan Efavirenz (EFV) bekerja dengan
menghambat enzim reverse transcriptase melalui ikatan dengan tempat aktivitas
enzim. Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas sitokrom p450
sehingga dapat berinteraksi dengan obat obatan yang lain. Obat golongan PI
seperti Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), dan lain lain
bekerja dengan mencegah pelepasan polipeptida pasca translasi menjadi protein
virus fungsional. PI dapat menghambat sitokrom p450, dan ini akan meningkatkan
potensi interaksi dengan banyak obat (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009).
2.11. Pencegahan
Selain upaya pengobatan terhadap penyakit (kuratif) para pihak petugas
kesehatan seharusnya tidak dapat melupakan hal yang lebih penting untuk di
lakukan yaitu pencegahan terhadap penyakit HIV/AIDS ini. Pencegahan menjadi
lebih penting dikarenakan dengan melakukan pencegahan maka kita
meminimalkan kemungkinan terinfeksi HIV. Upaya pencegahan dapat berupa :
a) Melakukan sex yang aman.
b) Menghindari kontak darah ataupun sexual dengan penderita HIV.
c) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat awam mengenai penyakit
HIV/AIDS dan bahayanya.
d) Meningkatkan pelayanan di sektor penanggulangan khusus HIV/AIDS
(Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Adapun pencegahan yang lebih rinci terhadap HIV/AIDS :
a. Transmisi melalui sexual
Upaya pencegahan melalui sexual baik secara heterosex maupun
homosexual dapat dilakukan melalui penurunan kebiasaan sex yang salah dan
juga menurunkan kemungkinan transmisi virus melalui aktivitas sexual.
Penurunan kebiasaan sex yang salah dapat berupa: tidak melakukan hubungan

Universitas Sumatera Utara


41

sexual dengan berganti-ganti pasangan, melakukan hubungan sex dengan satu


orang saja. Pencegahan yang kedua yaitu melakukan penurunan kemungkinan
transmisi virus dengan aktivitas sexual yaitu dengan menggunakan alat pengaman
sex berupa kondom baik untuk pria maupun wanita ataupun keduanya (Simon,v et
all, 2010).
b. Transmisi melalui injeksi jarum dan peralatan lainnya
Penggunaan melalui injeksi jarum dapat berupa pemakaian narkoba suntik,
tertusuk jarum suntik pada pihak yang berisiko, pembuatan tattoo. Sedangkan
maksud transmisi melalui alat lainnya adalah transmisi yang tidak disengaja
melalui pisau cukur yang tidak diganti dan sebagainya. Transmisi melalui jalur ini
tentunya perlu pencegahan melalui penjagaan higeanitas alat. Pemakaian alat
dengan metode sekali pakai juga dapat mengurangi risiko tertular HIV/AIDS
(Kesthkaran, Ali, et. all, 2014).
Adapun berdasarkan penelitian dikatakan bahwa penggunaan MMT
(Methadone Maintenance Treatment) dapat menurunkan risiko penularan melalui
narkoba suntik. Methadone dapat menurunkan risiko penyebaran dengan cara
menurunkan pemakaian narkoba suntik (Kesthkaran, Ali, et. all, 2014).
c. Transmisi melalui Ibu terhadap anak
Pencegahan melalui ibu dan anak yang pertama yaitu melalui pemberian
ART (Anti Retroviral Therapy) dengan nevirapine kepada ibu yang melahirkan
dan anak yang baru dilahirkan tersebut. Pencegahan melalui jalan lahir juga harus
dilakukan untuk mencegah transmisinya. Ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV
dianjurkan untuk dilakukan operasi secio caesarean. Hal ini dilakukan untuk
mencegah transmisi virus melalui luka bila dilahirkan secara normal (Simon,v et
all, 2010).
Jenis virus HIV-1 dapat ditularkan melalui proses menyusui. Oleh sebab
itu ibu-ibu yang terdeteksi HIV/AIDS sebaiknya tidak melakukan penyusuan
terhadap anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan gizi anak walaupun tanpa ASI
tetapi dapat digantikan dengan susu formula yang sesuai dengan bayi (Simon,v et
all, 2010).

Universitas Sumatera Utara


42

Adapun pencegahan lainnya yaitu berupa pemberian PrEP (Pre Exposure


Prophilaxis). PrEP diberikan kepada orang-orang yang tidak terinfeksi HIV/AIDs.
PrEP merupakan kombinasi dari 2 golongan obat ARV yaitu tenofovir disoproxil
fumarate (disebut juga TDF, atau tenofovir) dan emtricitabine (disebut juga FTC).
Penggunaan PrEP ini yaitu dengan cara 1 pil setiap hari.hal ini dimaksudkan
untuk mencegah dengan menguatkan tubuh dari serangan virus (CDC, 2014)
Pencegahan lainnya juga yaitu melalui sirkumsisi pada lelaki. Alasan
sirkumsisi dilakukan sebagai langkah pencegahan yaitu karena pada foreskin
terdapat kelenjar apokrin yang mensekresikan lisozim dan juga sel-sel langerhans
yang memiliki reseptor CD4. Oleh karena itulah langkah pencegahan dengan cara
sirkumsisi diambil sebagai upaya untuk menurunkan penyebaran HIV/AIDS
(Simon,v et all, 2010).
2.12. Prevalensi Faktor Risiko Penyebaran HIV/AIDS
Saat ini sudah banyak ditemukan faktor risiko penyebaran HIV/AIDS.
faktor risiko merupakan faktor yang dianggap sebagai faktor yang kuat untuk
memicu terjadinya suatu keaadaan. Faktor risiko tentunya berhubungan erat
dengan jalan masuk virus HIV ke dalam tubuh manusia. Faktor risiko HIV/AIDS
yang sering ditemukan seperti sex bebas (Heterosex), pengguna narkoba suntik
(Penasun), homosexual, melalui ibu kepada anaknya, transfusi darah dan banyak
lagi. Faktor risiko sex bebas (Heterosex) merupakan faktor yang paling tinggi
menyebabkan HIV/AIDS. Menurut laporan Kemenkes RI tahun 1987- Maret 2013
sex bebas menempati urutan pertama (59,8%), diikuti oleh pengguna narkoba
suntik (Penasun) (18%), perinatal (2,7%), dan homosexual (2,4%) (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara


43

Tingginya faktor risiko sex bebas pada saat ini merupakan gambaran
tingginya tingkat kejahatan dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
penyebab HIV/AIDS. Tingginya pengaruh faktor risiko sex bebas diduga
dikarenakan meningkatnya kejahatan masyarakat dalam hal sexualitas. Adapun
alasan lain yang mungkin menyebabkan hal tersebut yaitu mulai menurunnya
penggunaan narkoba suntik pada kalangan pengguna narkoba. Kedua alasan inilah
yang mungkin menyebabkan tingginya penyebaran HIV/AIDS melalui sex bebas
di kalangan masyarakat.
Gambar 2.9 Gambaran Prevalensi faktor risiko HIV/AIDS tahun 1987
sampai Maret 2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013)
Pada gambar 2.9 dapat kita lihat bahwasannya sex bebas (heterosex)
merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam menyebarkan HIV/AIDS.
Sex bebas bila kita lihat pada gambar berjumlah 59,8%, dari persentase tersebut
berarti dari seluruh pasien HIV/AIDS yang tercatat oleh Dinas kesehatan lebih
dari separuhnya terkena HIV/AIDS melalui jalur sex bebas.
Sebelumnya penasun (pengguna narkoba suntik) pada tahun 2006
merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam penyebaran HIV/AIDS.
Tercatat faktor risiko yang tertinggi menyebabkan HIV/AIDS adalah pengguna
narkoba suntik (Penasun) (50,3%), diikuti oleh sex bebas (40,3%), homosex
(4,2%), dan perinatal (1,5%) (Depkes, 2006). Untuk lebih memudahkan dalam
melihat masing-masing pengaruh faktor risiko HIV/AIDS dapat dilihat pada
gambar 2.10.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, transmisi

HIV/AIDS dapat melalui kontak darah. Penasun merupakan faktor risiko yang
terkena melalui kontak darah. Alasan tingginya faktor risiko penasun ini mungkin

Universitas Sumatera Utara


44

dikarenakan tingginya pemakaian narkoba suntik dikalangan masyarakat


Indonesia.
Gambar 2.10 Gambaran prevalensi faktor Risiko HIV/AIDS tahun 2006
(Depkes , 2006)
Berdasarkan kedua data pada tahun 2006 dan total kumulatif pada tahun
1987 sampai dengan tahun 2013 kita dapat menjumpai adanya pergeseran
pengaruh faktor risiko penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Pergeseran pengaruh
faktor risiko ini berupa pergeseran pengaruh faktor risiko penasun ( Pengguna
Narkoba Suntik) sebagai faktor risiko penyebaran yang pengaruhnya terbesar
sampai tahun 2006 dengan faktor risiko penyebaran melalui sex bebas (Heterosex)
secara kumulatif dari tahun ditemukannya kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu
tahun 1987 sampai dengan bulan Maret 2013.

Pergeseran pengaruh faktor risiko ini dapat terjadi dikarenakan oleh 2 hal
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Alasan pertama adalah tingginya
perilaku sex bebas di kalangan masyarakat. Alasan yang kedua adalah
berkurangnya penggunaan narkoba suntik di kalangan pengguna narkoba.
Kemungkinan kedua hal itulah yang menjadi alasan terkuat sebagai landasan

terjadinya pergeseran pengaruh faktor risiko penyebaran HIV/AIDS.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai