Anda di halaman 1dari 5

A Interaksi Obat

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat atau akibat obat lain yang
diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, atau bila dua atau lebih obat berinteraksi
sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah.
Mekanisme interaksi obat secara garis obat dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yakni:
1. Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas
2. Interaksi farmakokinetik
3. Interaksi farmakodinamik
Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan
mengurangi khasiatnya. Namun, interaksi beberapa obat dapat menguntungkan, sebagai contoh,
efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta bloker dapat berguna dalam pengobatan
hipertensif.

B. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya.
a. Mekanisme kerja obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
merupakan respon khas untuk obat tersebut.
b. Reseptor Obat
c. Transmisi sinyal biologis (Setiawati, 2007).
C. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu obat yang diubah oleh kehadiran obat lain di
tempat kerjanya. Kadang-kadang obat secara langsung bersaing untuk reseptor tertentu (misalnya
agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta blockers, seperti propranolol) tetapi sering reaksi yang
lebih langsung dan melibatkan gangguan fisiologis mekanisme (Stockley, 2008).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat
kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik,
tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2007). Hal ini terjadi karena kompetisi
pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak
mudah dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam
tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek farmakologi obat yang
dipengaruhi (Fradgley, 2003)
Beberapa mekanisme interaksi obat dengan farmakodinamika mungkin terjadi bersama-sama,
antara lain :
a. Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja
pada sistem, organ, sel, enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang
mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat- sebagai contoh, etanol, antihistamin,
benzodiazepin (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolam, bromazepam, alprazolam), fenotiazin
(klorpromazina, tioridazina, flufenazina, perfenazina, proklorperazina, trifluoperazina), metildopa,
klonidina- dapat meningkatkan efek sedasi.
Semua obat antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet dan dapat meningkatkan
(pada derajat peningkatan yang tidak sama) efek antikoagulan. Suplemen kalium dapat
menyebabkan hiperkalemia yang sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan
dengan diuretik hemat kalium (contoh amilorida, triamteren), dan penghambat enzim pengkonversi
angiotensin (contoh kaptopril, enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan,
valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propanolol (dan pengeblok beta yang lain),
keduanya mempunyai efek inotropik negatif, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang
rentan.
b. Antagonisme
Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh,
penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok
beta (Salbutamol untuk pengobatan asma dengan propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat
menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretika tiazid dan obat antidiabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis. Sebagai contoh,
bakterisida seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang
terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan
adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang menghambat sintesa
protein dan juga pertumbuhan bakteri.
c. Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi
sirkulasi kendali di fisiologis dan biokimia. Pengeblok beta non selektif seperti propanolol dapat
memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemi pada pasien diabet yang diobati dengan insulin dengan
menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen. Respon kompesasi ini diperantarai oleh
reseptor beta Z namun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respon
hipoglikemi apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagipula obat-obat pengeblok beta
mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya
hipoglikemi, efek simpatik ini lebih penting dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada
mekanisme kompensasi di atas.
d. Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan kadar
kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid, atau amfoterisina akan
meningkatkan resiko kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia meningkatkan resiko
aritmia ventrikuler dengan beberapa obat antiaritmia seperti sotalol, kuinidin, prokainamida, dan
amiodaron. Penghambat ACE mempunyai efek hemat kalium, sehingga pemakaiannya bersamaan
dengan suplemen kalium atau diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang
berbahaya. Loop diuretik dapat meningkatkan konsentrasi obat-obat yang bersifat nefrotoksik
seperti gentamisin dan sefaloridina dalam ginjal (Fradgley, 2003).

INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interaksi farmakodinamik adalah inetraksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tampat
kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek aditif, sinergistik, atau antagonistic.
Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik.
Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan
obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Di samping itu, kebanyakan
interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiaannnya, karena itu dapat dihindarkan bila dokter
mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan dan menggunakan logikanya.
Selanjutnya akan dibahas mengenai mekanisme interaksi yang lebih terinci, masing-masing dengan
beberapa contohnya yang penting dalam klinik menyangkut obat yang sering digunakan. Ini harus
dibedakan dari interaksi yang tidak mempengaruhi hasil terapi dan yang baru terlihat pada
percobaan hewan atau in vitro yang jumlahnya jauh lebih banyak.

INTERAKSI PADA RESEPTOR


Interaksi pada reseptor yang sama biasanya merupakan antagonism antara agonis dan
antagonis/bloker dari reseptor yang bersangkutan.

INTERAKSI FISIOLOGIK
Interaksi pada sistem fisiologik yang sama dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan respons
( potensial atau antagonism.

PERUBAHAN DALAM KESETIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT


Perubahan ini dapat mengbah efek obat, terumtama yang bekerja pada jantung, transmisi
neuromuscular dan ginjal.

PERUBAHAN MEKANISME AMBILAN AMIN DI UJUNG SARAF ADRENERGIK


Penghambat saraf adrenergic *guanetidin, bretilium, betadine, debrisokuin dan guanadrel) diambil
oleh ujung saraf adrenergic dengan mekanisme transport aktig untuk norepinefrin. Mekanisme
ambilan ini, yang diperlukan agar obat tersebut dapat bekerja ( sebagai antihipertensi), dapat
dihambat secara kompetitif oleh amin aimpatomimetik misalnya yang terdapat dalam obat flu
(fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, pseudoefedrin) atau obat yang menekan napsu makan
(amfetamin, mazindol), antidepresi, trisiklik (amitriptilin, imipramine, desipramin, maprotilin), kokain
dan fenotiazin (klorpromazin). Dengan demikian, obat ini mengantagoniskan efek hipotensif
penghambat saraf adrenergic

INTERAKSI DENGAN PENGHAMBAT MONOAMIN OKSIDASE (PENGHAMBAT MAO)


Penghambat MAO menghasilkan akumulasi norepinefrin dalam jumlah besar di ujung saraf
adrenergic. Pemberian menghambat MAO bersama amin simpatomimetik kerja tidak langsung
(fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, pseudoefedrin, amfetamin, dan tiramin), menyebabkan
pelepasan norepinefrin jumlah besar tersebut sehingga terjadi krisis hipertensi, sakit kepala
berdenyut yang hebat, dan kadang-kadang pedarahan intraserebral. Tiramin, yang banyak terdapat
dalam keju, bir, anggur, dan makanan lain yang mengalami fermentasi, biasanya dimetabolisme oleh
MAO di dinding usus dan di hati sebelum dapat mencapai sirkulasi sistemik. Tetapi pada penderita
yang mengalami penghambat MAO, tiramin terllindung dari metabolisme oleh MAO dan dapat
mencapai ujung saraf adrenergic melalui sirkulasi.

Reaksi hipersensitif yang sama juga terjadi awal pengobatan dengan guanetidin, betilium, betadin,
debrisokuin, guanadrel dan reserpine, bila diberikan bersama dengan MAO. Demikian juga
pemberian penghambat MAO bersama dopamine l-dopa atau metildopa akan menimbulakan efek
yang sama. Pemberian penghambat MAO bersama antridepresi trisiklik, anastetik, atau petidin
kadang-kadang dapat menimbulkan hiperpireksia dan eksitasi serebral (agitasi,tremor, konvulsi, dan
koma)

INTERAKSI LAIN-LAIN
INTERAKSI ANTAR ANTIMIKROBA
Pada meningitis yang disebabkan oleh pneumokokus yang sensitive terhadap ampisilin, pemberian
ampisilin bersama kloramfenikol menimbulkan antagonism. Pemberian ketoknazol bersama
amfoterisin B untuk penyakit jamur sistemik bersifat antagonism.

Anda mungkin juga menyukai