PENDAHULUAN
1
hidup selain itu bahan alternatif yang ekonomis dan tepat guna merupakan suatu
tuntutan karena masalah finansial merupakan kendala utama bagi setiap industri
tekstil.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah sehingga dapat
berpotensi menjadi bahan inovatif sebagai biosorben. Tidak hanya hal yang berguna
saja yang dapat dimanfaatkan tetapi limbah juga berpotensi menjadi bahan inovatif
sebagai biosorben yaitu ampas tahu. Selama ini potensi dari ampas tahu sangat
kurang dimanfaatkan dalam meningkatkan kualitas lingkungan khususnya sebagai
biosorben. Padahal ampas tahu mengandung protein yang memiliki daya serap dari
asam amino yang membentuk ion bermuatan dua atau zwitter ion. Penyerapan
zwitter ion dari ampas tahu memiliki kemampuan mengikat (chelating) ion-ion
positif karena elektron nitrogen yang ada dalam gugus amino tersubstitusi yang
dapat memantapkan ikatan dengan ion-ion positif. Chelating agent dari zwitter ion
ampas tahu yang memiliki gugus-gugus aktif inilah yang berpotensi dapat mengikat
berbagai ion-ion logam berat terutama ion kromium dalam limbah tekstil sebagai
metalotionein. Selain itu jumlahnya yang melimpah dan mudah untuk diperoleh
merupakan faktor terpenting pemanfaatannya sebagai biosorben.
Melihat adanya masalah dan potensi yang telah diuraikan di atas, maka
penulis ingin menggali potensi chelating agent dari ampas tahu sebagai biosorben
ion kromium dalam limbah tekstil. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis
tertarik meneliti mengenai Efesiensi Chelating Agent dari Zwitter Ion Ampas Tahu
sebagai Biosorben Ion Kromium dalam Limbah Tekstil.
2
1.3 Rumusan Masalah
Dari uraian identifikasi masalah diatas, adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana hasil perhitungan efesiensi daya serap biosorben ampas tahu
terhadap ion kromium dalam limbah tekstil?
2. Bagaimana hasil pengujian kualitas limbah tekstil pada masing-masing
variasi perlakuan biosorben ampas tahu?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan buangan atau sisa pengolahan kedelai menjadi tahu
yang terbuang karena tidak terbentuk dengan sempurna sehingga tidak dapat
dikonsumsi. Ampas tahu terdiri atas dua jenis yaitu: limbah yang berwujud cair dan
limbah yang berwujud padat. Ampas tahu terjadi karena adanya sisa air tahu yang
tidak menggumpal, potongan tahu yang hancur ketika proses penggumpalan yang
tidak sempurna serta cairan keruh kekuningan yang dapat menimbulkan bau tak
sedap bila dibiarkan (Nurhasan dkk., 1991).
Limbah cair yang dihasilkan oleh tahu mengandung padatan suspensi atau
terlarut yang akan mengalami perubahan fisik dan kimia yang dapat menghasilkan
senyawa beracun. Jika limbah tersebut mengalir dan meresap ke dalam tanah dapat
mencemari sumur dan bila dibiarkan mengalir ke dalam sungai akan menimbulkan
dampak yang lebih besar seperti : penyakit gatal, diare, dan lain sebagainya
(Nurhasan dkk., 1991).
Ampas tahu yang berwujud padat masih memiliki sifat yang sama dengan
tahu yang telah jadi meskipun telah hancur. Ampas tahu ini dapat dimanfaatkan
sebagai penyerap karena mengandung protein yang memiliki daya serapan dari
asam-asam amino yang membentuk zwitter ion (bermuatan dua). Protein yang
memiliki sisi sisi aktif ini dapat mengikat ion ion logam ataupun senyawa
lainnya. Logam logam berbahaya seperti kadmium, kromium, timbal, merikuri,
dan arsen bersifat toksik dapat diikat dengan protein sebagai metalotionein
(Darmono, 1995).
Tahu maupun ampas tahu dapat menyerap logam berat karena memiliki
kandungan protein tinggi. Protein adalah suatu senyawa jenis polimer alami atau
biopolimer yang secara kimiawi merupakan polimer. Protein merupakan gabungan
dari asam asam amino yang tergabung oleh ikatan peptida yang terbentuk dari
asam amino tersebut sehingga protein disebut juga polipeptida. Di alam polimer ini
terutama terdapat sebagai penyusun sebagian besar tubuh manusia dan hewan.
Jaringan otot, darah, dan enzim merupakan protein.
4
Gambar 2.1 Struktur Protein
Sumber: (Anonim, 2013)
2.2 Biosorben
Biosorben adalah bahan penyerap yang tidak bergantung pada metabolisme
yang terjadi terutama pada permukaan dinding sel dan permukaan lainnya melalui
mekanisme fisik dan kimia. Penyerapan logam melibatkan tingkatan ion dan kovalen
dengan biopolimer seperti protein dan karbohidrat sebagai sumber gugus fungsi yang
berperan penting dalam mengikat ion logam. Ligan yang tersedia merupakan muatan
negatif seperti karboksilat, fosfat, fofodiester dan thiolat atau gugus amida yang
berkoordinasi dengan atom pusat logam melalui pasangan elektron bebas. Serapan
merupakan fenomena yang terjadi pada permukaan zat lain (Sukardjo, 1990), atau
serapan adalah suatau akibat medan gaya dalam permukaan padatan (penyerap) yang
menarik molekul molekul gas / uap atau cairan (adsorbat) (Majid, 2001).
Penyerapan secara umum dapat diartikan sebagai proses pengumpulan benda
benda terlarut yang terdapat dalam larutan dua permukaan itu bisa antar cairan dan
gas, padatan dan cairan (Baba, 1999). Gaya gaya yang bekerja dalam serapan
larutan adalah sebagai berikut:
5
a. Gaya tarik Van der Waals
b. Ikatan hidrogen (Sukardjo, 1985)
c. Pertukaran ion
d. Ikatan kovalen.
6
Limbah tekstil merupakan bahan sisa yang dihasilkan dari suatu proses
produksi pakaian. Umumnya, pembuatan tekstil meliputi 3 tahap, yaitu: pembuatan
benang, pembuatan kain, dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan bahan
tekstil dapat dilakukan pada bentuk serat, benang, maupun kain yang melibatkan
pemakaian senyawa Chromium dalam jumlah besar. Senyawa Chromium tersebut
adalah kalium dikromat (K2Cr2O7) yang digunakan untuk mengoksidasi zat warna
belerang (Sugiharto,1987).
Limbah tekstil merupakan limbah cair yang dominan dihasilkan oleh industri
tekstil karena adanya proses pewarnaan (dyeing) yang selain memerlukan bahan
kimia juga memerlukan air sebagai pelarutnya. Bahan pencemar dalam limbah cair
industri tekstil yang menjadi pusat perhatian adalah ion - ion logam berat yang
bersifat toksik meskipun berada dalam konsentrasi yang rendah dalam satuan ppm
dan juga dapat bersifat bioakumulasi dalam siklus rantai makanan (Sharma dan
Weng, 2007). Logam berat tersebut ada pada limbah tekstil karena pada proses
pencelupan hanya sebagian zat warna saja yang terserap oleh bahan tekstil dan 20
sampai 50% sisanya terakumulasi dalam limbah tekstil (Theresia, 2004).
Pemakaian kromium di dalam industri tekstil maka disarankan untuk
memperhatikan parameter-parameter dalam pemeriksaan air limbah industri tekstil
perlu memperhatikan BOD, COD, pH, padatan tersuspensi, padatan terlarut total,
minyak dan lemak, warna, suhu, kandungan fenol, sulfida, dan Logam Kromium
(Sugiharto, 1987).
7
2.4. Ion Kromium
Logam berat kromium (Cr) merupakan logam berat yang memiliki berat
atom 51,996 g/mol, berwarna abu abu, mengkilat, keras, memiliki titik cair
1.857oC, memiliki titik didih 2.672 oC dapat sedikit tertarik oleh magnet (berifat
paramagnetik), membentuk senyawa senyawa berwarna, memiliki beberapa
bilangan oksidasi, yaitu +2,+3,dan +6, serta tahan terhadap oksidasi meskipun pada
suhu tinggi. Kromium dapat membentuk berbagai macam ion kompleks yang
berfungsi sebagai katalisator. Kromium di kerak bumi umumnya berbentuk Cr (VI)
yang bersama dengan besi (Fe) dan oksigen (O) sehingga membentuk kromit
(FeCr2O4). Sebagai sumber utama kromium yang banyak ditemukan di Zimbabwe
Selatan, Turki, Iran, Rusia, Finlandia, Albania, Madagaskar, dan Filipina.
Kromium adalah logam berwarna abu abu, ditambah dalam bentuk bijih
kromit, tidak berbau dan tidak mengkilat. Kromium stabil pada tekanan dan
temperatur normal. Kromium terdapat dalam beberapa bentuk senyawa atau
memiliki valensi yang bervariasi. Bentuk yang paling umum adalah kromium (0),
kromium (III) dan kromium (VI).
Kromium merupakan elemen yang berbahaya dan dapat dijumpai dalam
bentuk oksida kromium (II) sampai kromium (VI). Kromium bervalensi tiga
merupakan bentuk umum yang dijumpai di alam dan dalam material biologis
kromium selalu berbentuk tiga valensi. Adapun kromium enam valensi merupakan
salah satu material organik pengoksida tinggi. Kromium tiga valensi memiliki sifat
racun yang lebih rendah dibandingkan dengan kromium enam valensi (Rahman,
2007). Pada bahan makanan dan tumbuhan, mobilitas komium relatif rendah dan
diperkirakan konsumsi harian ini pada manusia dibawah setarus nanogram, yang
umumnya berasal dari makanan, sedangkan konsumsi dari air dan udara dalam level
yang lebih rendah.
Bahaya akut yang ditimbulkan oleh kromium dalam jangka pendek antara
lain: bila debu atau uap kromium terhirup pada konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan iritasi pada mata maupun kulit. Absorpsi oleh tubuh dalam jumlah
yang cukup dari beberapa senyawa kromium dapat menyebabkan pusing, haus berat,
sakit perut, muntah, syok, oliguria, dan uremia yang fatal. Adapun bahaya kronis
yang ditimbulkan adalah dapat menyebabkan borok (ulcerasi) pada nasal septum,
8
iritasi pada tenggorokan dan saluran pernafasan bagian bawah, gangguan pada
saluran pencernaan, sensitisasi paru dan gangguan pada dalam.
9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Variabel bebas:
Variasi massa K(-) P1 P2 P3
(0,625) (1,25) (2,5)
biosorben yang
diberikan
Randomisasi
Limbah Tekstil
sampel
Variabel terikat:
11
3.6 Alat dan Bahan
3.6.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah : oven, loyang, alumunium foil,
timbangan analitik 2 dan 4 digit di belakang koma, seperangkat mortar, kertas saring,
saringan bubuk, kuas, baskom, bola pompa hisap, corong, tabung reaksi, magnet,
magnetic stir, tisu, gelas plastik, alat tulis, dan alat AAS (Atomic Absorption
Spectroscopy) untuk mengetahui kadar Kromium yang terserap oleh biosorben
ampas tahu.
3.6.2 Bahan
Bahan dalam penelitian ini meliputi : Bahan yang digunakan terdiri dari
ampas tahu yang sebelumnya telah dikeringkan dengan bantuan sinar matahari lalu
dikeringkan dengan memanfaatkan oven bersuhu 800C selama 24 jam hasilnya
berupa ampas tahu yang bebas air serta limbah tekstil yang diambil dari industri
wantek di daerah Sukawati, Gianyar dengan volume 1600 mL.
12
1 2 3 4
13
1 2 3
14
kadar ion kromium yang terkandung pada limbah tekstil tersebut. Adapun langkah-
langkah pengukuran kadar ion kromium dilihat pada gambar 3.7.3
1 2 3 4
( 1) 100%
:
Keterangan:
Efad : Efesiensi daya serap
C0 : Konsentrasi ion kromium mula-mula
C1 : Konsentrasi logam setelah penyerapan
15
3.7.5 Prosedur Uji Kualitas dengan Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan, yaitu indra pembau, pengelihatan, dan indra peraba. Pengukuran
terhadap nilai / tingkat kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subjektif atau
penilaian subjektif. Pengujian organoleptik kualitas limbah tekstil yang telah
diberikan perlakuan bertujuan untuk mengetahui gambaran umum pengaruh
biosorben tentang bau, kenampakan tekstur dan warna limbah. Pengujian
organoleptik ini menggunakan 30 orang responden, responden diminta untuk
membandingkan bau, kenampakan tekstur dan warna limbah.
Responden diberikan tabel (lampiran3) dan memberikan skor dengan ketentuan:
1 = Sangat Tidak (Berbau/Pekat/Kental)
2 = Tidak (Berbau/Pekat/Kental)
3 = Cukup (Berbau/Pekat/Kental)
4 = (Berbau/Pekat/Kental)
5 = Sangat (Berbau/Pekat/Kental)
Berdasarkan pengamatan tersebut, diambil kesimpulan tentang pengaruh
bisorben ampas tahu terhadap kualitas limbah tekstil.
16
3.10 Penarikan Simpulan
Setelah proses analisis data, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun
dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian serta
pembahasan. Berikutnya ditarik sebuah kesimpulan yang bersifat umum kemudian
direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari massa awal ampas tahu basah sebesar 500 gram, kemudian dikeringkan
dengan memanfaatkan sinar matahari secara intensif didapatkan hasil ampas tahu
kering sebesar 250 gram. Setelah itu dilakukan proses pengeringan lagi dengan oven
dalam suhu konstan sebesar 800 pemanasan berlangsung selama kurang lebih 24 jam.
Hasil yang didapatkan adalah ampas tahu kering bebas air dengan massa 74,92 gram.
Jadi rendemen total yang didapatkan adalah 74,92 gram dengan presentase 14,98%
dan sisanya adalah air (Perhitungan rendemen pada lampiran 1). Hasil biosorben
ampas tahu yang berbentuk bubuk didapatkan dari pengayakan menggunakan
saringan bubuk dengan rincian ukuran partikelnya adalah 40 mesh. Perlakuan pada
limbah tekstil yang dimasukkan pada tabung reaksi dengan volume 25 mL serta
jumlah 4 sampel termasuk tanpa perlakuan diisi dengan limbah tekstil 10 mL dengan
variasi massa bisorben ampas tahu sebesar 0,625gram, 1,25gram dan 2,5gram serta
larutan standar ion kromium yang telah didestruksi dapat dilihat pada Gambar 4.1
18
4.1.1 Hasil Perhitungan Efesiensi Daya Serap Biosorben Ampas Tahu
Terhadap Ion Kromium dalam Limbah Tekstil
4.1.1.1 Hasil Penyerapan Larutan Standar Ion Kromium
Sebelum dilakukan deteksi penyerapan ion kromium dalam tekstil terlebih
dahulu dilakukan proses deteksi kadar ion kromium pada larutan standar ion
kromium dengan rincian konsentrasi 0, 0,5, 0,75, 1, 1,5 dan 2. Masing-masing
konsentrasi larutan standar ion kromium yang telah didestruksi terlebih dahulu
dideteksi daya absorbansinya dengan alat AAS (Atomic Adsorption Spectroscopy).
Untuk mengetahui rumus perbandingan daya serap ion kromium dalam limbah
tekstil perlu dilakukan analisis dengan Microsoft Excel 2007. Adapun dibawah ini
disajikan tabel yang berfungsi untuk memudahkan membaca data hasil daya
adsorbansi larutan standar ion kromium pada masing-masing konsentrasi.
Dari uraian tabel hasil daya adsorbansi larutan standar ion kromium diatas
lalu dianalisis dengan aplikasi Microsoft Excel 2007 untuk mencari rumus
perbandingan dari grafik yang telah diperoleh dari tabel untuk mempermudah dalam
membaca hasil. Adapun grafik daya adsorbansi larutan standar ion kromium
disajikan dalam gambar berikut ini.
19
0.08
y = 0.034x + 0.004
0.07 R = 0.982
0.06
Absorbansi
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Konsentrasi larutan standar Cr (ppm)
4.1.1.2 Hasil Uji Daya Serap Limbah Tekstil pada Masing-Masing Perlakuan
Dari grafik diatas dapat diketahui rumus untuk dijadikan pedoman awal
dalam mencari ion kromium yang tersisa dalam limbah tekstil. Perhitungan untuk
mendapatkan logam yang terisa dalam ppm terdapat pada lampiran 2. Adapun
dibawah ini adalah tabel rangkuman kadar ion kromium yang tersisa dalam limbah
tekstil.
Tabel 4.2 Rangkuman Kadar Ion Kromium yang Tersisa dalam Limbah Tekstil
P0 0 0,0109 2,01
P1 0,625 0,011 2,00
P2 1,25 0,0102 1,74
P3 2,5 0,0098 1,69
20
Pada tabel diatas telah dipaparkan secara rinci hubungan antara pemberian
variasi konsentrasi pada sampel dengan urutan konsentrasi massa biosorben ampas
tahu sebesar 0 gram, 0,625 gram, 1,25 gram dan 2,5 gram dengan mendapatkan hasil
penurunan kadar ion kromium di setiap variasi konsentrasi perlakuan. Pada
kelompok kontrol atau tanpa diberikan biosorben ampas tahu, kandungan ion
kromium yang ada pada limbah tekstil adalah 2,01 ppm, hasil ini merupakan
perlakuan kontrol negatif yang merupakan patokan awal adanya daya serap pada
masing-masing perlakuan.
Perlakuan pertama (P1) dengan aplikasi penambahan biosorben ampas tahu
bermassa 0,625 gram hanya mampu menyerap kadar ion kromium sebesar 0,1 ppm
ion kromium saja, dengan total logam yang tersisa pada limbah tekstil sebesar 2,00
ppm. Perlakuan kedua (P2) dengan total massa sebesar 1,25 gram didapatkan hasil
kadar ion kromium yang tersisa adalah 1,74 ppm atau mampu menyerap 0,27 ppm
dan perlakuan ketiga (P3) dengan diberikan konsentrasi biosorben ampas tahu
sebesar 2,5 gram didapatkan kadar ion kromium yang tersisa pada limbah tekstil
adalah sebesar 1,69 ppm dengan berhasil menyerap ion kromium sebesar 0,32 ppm.
Dari hasil yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan daya
serap pada masing-masing perlakuan dengan kadar ion kromium pada limbah tekstil
paling sedikit adalah perlakuan ketiga (P3), dengan diberikan perlakuan sebesar 2,5
gram biosorben. Adapun grafik daya serap dengan ion kromium yang tersisa pada
limbah tekstil yang telah diberikan masing-masing perlakuan disajikan seperti di
dalam Gambar 4.3 dibawah ini
21
2.05
2
Ion Kromium yang Tersisa (ppm)
2.01 2
1.95
1.9
Kadar Ion Kromium yang Tersisa
1.85
1.8
1.75
1.7 1.74
1.65 1.69
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Variasi Konsentrasi Massa Biosorben (gram)
Gambar 4.3 Kadar Ion Kromium yang Tersisa dalam Limbah Tekstil
4.1.1.3 Perhitungan Efesiensi Daya Serap Biosorben Ampas Tahu Terhadap Ion
Kromium dalam Limbah Tekstil
Analisis data untuk mengetahui efesiensi daya serap biosorben ampas tahu
terhadap ion kromium dalam limbah tekstil, ditentukan dengan membandingkan
konsentrasi ion kromium setelah penyerapan dengan konsentrasi ion kromium mula-
mula. Berdasarkan perhitungan efesiensi daya serap secara kualitatif diperoleh data
22
efesiensi daya penyerap ion kromium pada limbah tekstil yang terdapat pada
lampiran 2 dan secara ringkas disajikan dengan grafik dibawah ini.
18
16
EFESIENSI PENYERAPAN (%)
15.92
14 13.43
12
10
8
6 Efesiensi Daya Serap Logam Cr
4
2
0 0.49
-2 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
VARIASI KONSENTRASI MASSA BIOSORBEN (gram)
23
4.1.2 Hasil Pengujian Kualitas Limbah Tekstil pada Masing-Masing Variasi
Perlakuan
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan, yaitu indra pembau, pengelihatan, dan indra peraba. Pengukuran
terhadap nilai / tingkat kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subjektif atau
penilaian subjektif. Pengujian organoleptik kualitas limbah tekstil yang telah
diberikan perlakuan bertujuan untuk mengetahui gambaran umum pengaruh
biosorben tentang bau, kenampakan tekstur dan warna limbah. Pengujian
organoleptik ini menggunakan 30 orang responden, responden diminta untuk
membandingkan bau, kenampakan tekstur dan warna limbah bentuk, bau dan warna.
Responden diberikan tabel (lampiran3) dan memberikan skor dengan ketentuan:
1 = Sangat Tidak (Berbau/Pekat/Kental)
2 = Tidak (Berbau/Pekat/Kental)
3 = Cukup (Berbau/Pekat/Kental)
4 = (Berbau/Pekat/Kental)
5 = Sangat (Berbau/Pekat/Kental)
Berdasarkan pengamatan tersebut, diambil kesimpulan tentang pengaruh
bisorben ampas tahu terhadap kualitas limbah tekstil. Adapun untuk parameter bau
disajikan pada tabel dibawah ini
Dari hasil rangkuman dari parameter bau dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tingkatan massa biosorben ampas tahu dari 0,625 gram 1,25 gram dan 2,5 gram
menyebabkan pengaruh terhadap kualitas bau limbah tekstil yang mengandung ion
24
kromium. Biasanya limbah berbau dikarenakan banyak tercampur zat-zat dan
ditambah dengan berkembangnya mikroba bakteri di dalam limbah itu sendiri. Jadi
bisa disimpulkan bahwa pengaruh penambahan massa biosorben ampas tahu yang
beragam dan semakin meningkat ternyata akan mempengaruhi bau limbah tekstil itu
sendiri. Terbukti dari simpulan terhadap pendapat 30 orang responden, pada kontrol
atau tanpa diberikan perlakuan bau limbah yang dihasilkan adalah cukup berbau,
begitu pula yang terjadi pada perlakuan pertama atau diberikan konsentrasi massa
yang diberi biosorben ampas tahu sebesar 0,625 gram limbah masih cukup berbau.
Tetapi ketika limbah diberi massa biosorben ampas tahu sebesar 1,25 gram atau
perlakuan kedua rata-rata uji organoleptik didapatkan bahwa limbah tidak berbau
begitu pula yang terjadi pada perlakuan ketiga. Hal ini dikarenakan biosorben ampas
tahu benar-benar terlarut dalam limbah dan membuatnya padat pada saat kondisi
1,25 gram dan 2,5 gram sampel limbah tekstil tidak berbau busuk seperti limbah
yang diberi biosorben ampas tahu dengan konsentrasi massa yang lebih sedikit.
Pada tabel diatas dapat diuraikan bahwa perbedaan tekstur dari limbah tekstil
yang sudah diberikan perlakuan dari biosorben ampas tahu ditemukan perbedaan
diantara sampel yang diberikan biosorben ampas tahu massa 0,625 gram 1,25 gram
dan 2,5 gram. Dapat disimpulkan dari pendapat 30 orang responden bahwa
kenampakan pada konsentrasi perlakuan limbah tekstil 10 mL dengan biosorben
ampas tahu bermassa 0,625 gram dapat disimpulkan dari pendapat 30 orang
responden bahwa kenampakan tekstur limbah adalah kental. Begitu pula pada P1 dan
P2 didapatkan hasil yang sama yaitu cukup kental. Dan P3 mendapatkan hasil sangat
tidak kental. Hal ini membuktikan bahwa pengolahan limbah dengan menambahkan
25
biosorben ampas tahu pada perlakuan ketiga (P3) adalah perlakuan terbaik dengan
kenampakan teksturnya yaitu sangat tidak kental.
Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa variasi konsentrasi massa
biosorben yang diberikan pada masing-masing perlakuan baik itu dari segi parameter
bau, kenampakan tekstru dan warna limbah tekstil.
4.2 Pembahasan
Ampas tahu dapat dimanfaatkan sebagai biosorben ion kromium dalam
limbah tekstil dengan nilai ekonomis dan mudah untuk didapatkan. Hal ini
ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa setiap 500 gram ampas tahu basah dapat
menghasilkan 74,92 gram ampas tahu kering bebas air yang dapat dijadikan
biosorben. Pengolahannya sangat sederhana dengan waktu yang relatif singkat serta
tidak menggunakan bahan kimia yang akan beresiko negatif terhadap lingkungan
maupun industri itu sendiri.
26
Pemberian variasi konsentrasi massa biosorben sangat berpengaruh terhadap
daya serap ion kromium dalam limbah tekstil. Semakin besar massa biosorben yang
diberikan maka semakin besar pula daya serap ion kromium pada limbah tekstil
begitu pula sebaliknya. Dari hasil uji daya serap dengan alat AAS (Atomic
Absorption Spectroscopy) menunjukkan hasil penyerapan yang signifikan dengan
ion kromium yang tersisa yaitu P0 sebesar 2,01 ppm, P1 sebesar 2,00 ppm, P2
sebesar 1,74 ppm dan P3 sebesar 1,69 ppm. Hal ini dikarenakan semakin besar
massa yang diberikan kapasitas gugus aktif dari zwitter ion pada senyawa protein
yang ada dalam bahan biosorben semakin banyak. Protein yang memiliki sisi-sisi
(gugus) aktif ini dapat mengikat kadar ion kromium yang bersifat toksik sebagai
metalotionein (Darmono, 1995). Penyerapan logam ini melibatkan ikatan ion dan
kovalen dengan biopolimer seperti halnya protein dan karbohidrat sebagai sumber
gugus fungsi yang berperan sangat penting dalam mengikat kadar logam. Ligan yang
tersedia merupakan muatan negatif seperti karboksilat yang berkoordinasi dengan
atom pusat logam melalui pasangan elektron bebas (PEB).
Penyerapan zwitter ion dari ampas tahu memiliki kemampuan mengikat
(chelating) ion-ion positif karena elektron nitrogen yang ada dalam gugus amino
tersubstitusi yang dapat memantapkan ikatan dengan ion-ion positif. Ion kromium
dapat bergabung dengan logam-logam melalui pertukaran ion dalam ikatan
(Muzzarelle, 1990). Ikatan ionik atau pertukaran ion dihasilkan jika satu ataupun
lebih elektron ditransfer oleh orbital atom satu ke orbital lainnya. Ikatan ion terjadi
dari tarikan gaya elektrostatistik antara dua atom yang muatannya berlawanan.
Pembentukan ikatan ion terjadi bila kation organik diganti oleh kation anorganik.
Sifat kation dari molekul juga bergantung dari pH larutan. pada pH rendah
permukaan biosorben bermuatan positif, sedangkan pada pH tinggi permukaannya
bermuatan negatif yang disebabkan karena terjadinya pelepasan proton dari gugus
hidroksil. Hal ini terjadi pula pada permukaan material organik atau pada ampas
tahu. Munculnya muatan permukaan disebabkan oleh hasil protolisis gugus
fungsional amino dan karboksilat. Faktor yang menentukan daya serap dari
biosorben ampas tahu terhadap kadar ion kromium pada limbah tekstil adalah
kemampuan gugus amina untuk bertindak sebagai penukar ion. Dalam air biosorben
dapat membentuk ikatan-ikatan hidrogen dengan beberapa zat terlarut dan dapat
27
berperan serta dalam reaksi pertukaran ion melalui gugus amina, sedangkan gugus-
gugus hidroksidanya terlindung oleh air dengan cara yang sama dialami oleh
selulosa (Suhardi, 1992).
Tahu maupun ampas tahu dapat menyerap logam berat karena memiliki
kandungan protein tinggi. Protein adalah suatu senyawa jenis kolimer alami atau
biokolimer yang secara kimiawi merupakan kolimer. Protein merupakan gabungan
dari asam asam amino yang tergabung oleh ikatan peptida yang terbentuk dari
asam amino tersebut sehingga protein disebut juga polipeptida. Di alam polimer ini
terutama terdapat sebagai penyusun sebagian besar tubuh manusia dan hewan.
Jaringan otot, darah, dan enzim merupakan protein. Asam amino pada tahu dan
ampas tahu dapat mengikat logam berat karena:
a. Asam amino mempunyai gugus COOH yang bersifat asam dan gugus NH2 yang
bersifat basa sehingga molekul ini bersifat amfoter seperti yang tertera pada
Gambar 4.5 di bawah ini:
b.
b. Karena asam amino mengandung gugus bersifat asam dan basa di dalam
larutannya, maka asam amino membentuk zwitter ion. Zwitter ion sebenarnya
terdapat ditengah tengah sistem keseimbangan antara kation dan anion.
28
Gambar 4.6 Bentuk Molekul dan Zwitter Ion
(Sumber: Anonim, 2013)
29
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Adapun simpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Perhitungan efesiensi menunjukan bahwa semakin besar variasi massa
biosorben yang diberikan memengaruhi peningkatan efesiensi daya serap
biosorben. Semakin besar variasi massa yang diberikan semakin besar
pula peningkatan efesiensi daya serap limbah tekstil begitu pula
sebaliknya. Perhitungan efesiensi terbesar adalah P3 dengan presentasi
efesiensi sebesar 15,92%, dengan ion kromium yang tersisa sebesar 1,69
ppm.
2. Dari segi uji kualitas limbah tekstil, P3 merupakan perlakuan yang
memiliki kualitas limbah yang tebaik yaitu dengan tidak berbau, sangat
tidak kental dan sangat tidak pekat.
5.2 Saran
Adapun hal-hal yang dapat penulis sarankan adalah:
1. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap sumber daya alam yang berpotensi
untuk dimanfaatkan dalam upaya mengurangi zat berbahaya penyebab
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh ion kromium.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek samping
dari biosorben ampas tahu dalam upaya aplikasinya sebagai biosorben ion
kromium.
3. Diharapkan dengan adanya inovasi memanfaatkan ampas tahu sebagai
penyerap ion kromium pada limbah tekstil yang ramah lingkungan dapat
mengurangi permasalahan dalam lingkungan dan kesehatan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.tt. Bab 2 Tinjauan Pustaka AAS. (dalam
http://www.scribd.com/doc/80487108/ALAT-ANALISIS-AAS).Akses :
15 Desember 2014
Mahida. U.N., 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri Tekstil,
Rajawali. Jakarta
Palar, H., 1994., Pencemaran dan Toksikologi Logam, Rineka Cipta. Jakarta
Rosyida. A., 2010 Teknik Pengolahan Limbah Tekstil dengan Hasil yang Optimal,
ATW. Surakarta
Yusnita, R. 2007. Model Matematik pada Pengolahan limbah cair tahu secara
Biofiltrasi menggunakan Eceng Gondok ((Eichhorniacrassipes (Mart).
Solms).Skripsi (tidak dipublikasikan).Fakultas Pertanian. Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
31