Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN

UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009"

KEMENTRIAN ENERGI DAN MARITIM


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
MENGUPAS
UU MINERBA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Tujuan.......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Mineral dan Batubara Indonesia..................................................................3
2.2 Latar Belakang Undang-Undang Minerba................................................................4
2.3 Peralihan Kontrak.....................................................................................................5
2.4 Dampak Positif Undang-Undang Minerba
2.4.1 Peningkatan Nilai Tambah.........................................................................5
2.4.2 Industri Berkelanjutan dan Menyediakan Lapangan Kerja Baru................6
2.4.3 Mengurangi Penurunan Drastis Cadangan Minerba Dalam Negeri............6
2.5 Dampak Negatif Undang-Undang Minerba
2.5.1 Defisit Smelter...........................................................................................7
2.5.2 Berkurangnya Pendapatan Negara.............................................................9
2.5.3 Tergerusnya Neraca Perdagangan............................................................10
2.5.4 Pengurangan Tenaga Kerja......................................................................11
2.5.6 Rawan Praktik Korupsi............................................................................11
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................15

i
HASIL KAJIAN
MENGUPAS UU MINERBA
KEMENTERIAN ENERGI DAN MARITIM
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 103 Ayat 1 dijelaskan bahwa
pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
mineral hasil pertambangan di dalam negeri. Penerapan Undang-undang Minerba tersebut
sebagai pengganti dari UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, mengharuskan perusahaan tambang melaksanakan proses hilirisasi terhadap
mineral mentah atau bijih (ore) yang diperoleh. Pasalnya, produksi bijih mentah hasil
pertambangan Indonesia selalu diekspor keluar negeri untuk diolah lebih lanjut. Kondisi
inilah yang membuat pemerintah Indonesia merancang adanya tahap lanjutan terhadap hasil
pertambangan tersebut sebelum diekspor ke luar negeri. Khususnya, terkait kewajiban
pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tambang (smelter) bagi perusahaan tambang
yang beroperasi di tanah air.
Aturan yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Februari 2015 dilakukan dalam
rangka nasionalisasi pengelolaan sumberdaya mineral dan batubara. Dengan adanya proses
pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam negeri akan memberikan nilai tambah yang
lebih untuk setiap jenis mineral. Sebelumnya, pada UU No.11/1967 produksi hasil
pertambangan berupa bijih mineral dapat diekspor secara besar-besaran ke luar negeri dan
masih belum adanya proses hilirisasi yang terumus secara kongkrit. Multiplayer Effect juga
diharapkan dapat terjadi pada industri-industri lainnya, semisal industri pupuk dan lain-lain.
Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan dampak positif di bidang
ketenagakerjaan akibat pembangunan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Namun, diberlakukannya UU Minerba ini juga menimbulkan beberapa permasalahan
terutama terhadap pengusaha pertambangan yang masih belum membangun pabrik smelter
dan berakibat pada pemutusan tenaga kerja. Selain itu penerapan UU Minerba ini juga
berdampak pada sektor ekonomi dimana ekspor rill menurun tajam.

1
Berdasarkan hal tersebut diatas, melalui kajian ini, Kementerian Energi dan Maritim
berusaha untuk mendalami dampak penerapan UU Minerba sekaligus memberi evaluasi dan
rekomendasi yang dapat ditawarkan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis dampak UU Minerba terutama terhadap industri tambang
2. Melakukan pengawalan dan pengendalian terhadap implementasi UU Minerba
3. Memberikan pengetahun terkait UU Minerba kepada KM ITS dan masyarakat umum
4. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait penerapan UU Minerba

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Mineral dan Batubara di Indonesia


Cadangan minyak bumi nasional baik berupa cadangan terbukti maupun cadangan
potensial mengalami peningkatan pada periode 2012-2013. Cadangan potensial minyak pada
tahun 2013 sebesar 3,85 miliar barel sedangkan cadangan terbukti sebesar 3,69 miliar barel.
Pangsa cadangan minyak bumi Indonesia hanya berkisar 0,5% dari total cadangan minyak
bumi dunia. Di lain sisi, laju konsumsi BBM sebagai produk hasil olahan terus mengalami
peningkatan sedangkan laju produksi dalam 18 tahun terakhir terus mengalami penurunan.
Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia rentan terhadap perubahan kondisi global yang
dapat berpengaruh pada ketahanan energi nasional sebagai akibat dari tingginya
ketergantungan pasokan dari luar.
Cadangan gas bumi nasional tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Total cadangan
gas bumi pada tahun 2012 sebesar 150,39 TSCF, dimana cadangan terbukti berkisar 101,54
TSCF sedangkan cadangan potensial berkisar 48,85 TSCF. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, cadangan gas bumi nasional mengalami penurunan berkisar 0,2% akibat dari
laju produksi pertahun tidak dapat diimbangi oleh penemuan cadangan baru. Total cadangan
gas bumi pada tahun 2012 berkisar 150,7 TSCF yang artinya terjadi penurunan sekitar 0,2%
atau sebesar 0,31 TSCF pada tahun 2013. Cadangan batubara Indonesia sampai dengan 2013
mencapai sebesar 28,97 Miliar Ton, sedangkan sumber daya batubara mencapai 119,82 miliar
Ton dengan rincian sumberdaya terukur sebesar 39,45 miliar Ton, terindikasi sebesar 29,44
miliar Ton, tereka sebesar 32,08 miliar Ton dan hipotetik sebesar 19,56 miliar Ton. Jika
melihat tingkat produksi batubara yang mencapai 431 juta Ton, dan apabila diasumsikan
bahwa tidak ada peningkatan cadangan terbukti, maka produksi batubara diperkirakan dapat
bertahan dalam jangka waktu 50 tahun mendatang. Pemerintah perlu mendorong peningkatan
eksplorasi dan teknologi untuk meningkatkan status sumber daya menjadi cadangan melalui
pemberian insentif serta menciptakan regulasi yang dapat mengatasi hambatan dalam
investasi di bidang eksplorasi batubara. Dikhawatirkan jika permasalahan ini tidak
diselesaikan maka Indonesia akan berbalik menjadi importir batubara mengingat kebutuhan
dalam negeri yang semakin meningkat. Secara global, cadangan batubara Indonesia hanya
sebesar 0,8 % (BP Statistical Review) dari total cadangan batubara dunia. Namun Indonesia
merupakan pengekspor batubara terbesar dimana hampir 79,5% produksi batubara untuk
keperluan ekspor.

3
2.2 Latar Belakang Undang-Undang Minerba
Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara
untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Adapun peran subsektor mineral
dan batubara dalam pembangunan dapat dilihat melalui grafik berikut.

Sumber : Ditjen Minerba ESDM, 2012

Mengingat cadangan sumber daya mineral dan batubara di Indonesia masih cukup
besar yakni 3,85 miliar barel cadangan potensial dan cadangan terbukti sebesar 3,69 miliar
barel. maka perlu untuk ditingkatkan nilai tambahnya dengan memproses menjadi produk
jadi di dalam negeri. Peningkatan nilai tambah ini diharapkan dapat menjadi multiplier effect
bagi perekonomian melalui peningkatan kegiatan ekonomi di sepanjang rantai nilai (value
chain) penambangan, produksi dan pengolahan mineral. Hal inilah yang menjadi latar
belakang perlunya sebuah aturan yang mengatur proses peningkatan nilai tambah sehingga
disahkannyalah UU No. 4 Tahun 2009. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara salah satunya berisi larangan ekspor bahan mentah mulai tahun 2014.
Pemerintah mewajibkan perusahaan tambang mineral dan batubara untuk membangun pabrik
pengolahan dan pemurnian dalam negeri (Agus Sugiyono, 2013).
Sebelumnya, pada UU No.11/1967 produksi hasil pertambangan berupa bijih mineral
dapat diekspor secara besar-besaran ke luar negeri dan masih belum adanya proses hilirisasi
yang terumus secara kongkrit. Nilai tambah yang dimaksud akan menaikkan nilai ekspor
4
suatu mineral, contohnya pada ekspor bijih mineral bauksit yang mencapai 47,01 juta ton
pada periode Januari-November 2013 dengan hasil ekspor sebesar $40 per ton, sedangkan
apabila bijih bauksit tersebut memasuki tahap pemurnian terlebih dahulu maka akan
menaikkan nilai ekspor sebesar 10 kali dari kondisi bijih.

2.3 Peralihan Kontrak


Lebih lanjut, aturan peralihan yang terdapat dalam pasal 169 UU Minerba sangat
membingungkan. Dalam Pasal 169 huruf a disebutkan bahwa kontrak karya (KK) dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum
berlakunya UU Minerba, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berkahirnya
kontrak/perjanjian. Sedangkan dalam huruf b, disebutkan bahwa KK dan PKP2B selambat
lambatnya 1 (satu) tahun harus disesuaikan. Di satu sisi aturan ini dapat dipandang mengakui
dan menghormati jangka waktu kontrak perjanjian. Tapi, di sisi lain, aturan ini memaksa para
pihak untuk mengubah substansi kontrak. Meski hal ini rancu, namun kami rasa perihal ini
sah dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, akan ada negosiasi kontrak antara pemerintah
dengan pengusaha tambang. Namun, negosiasi kontrak tentu tidaklah mudah. Timbul
pertanyaan, bagaimana jika pengusaha pertambangan tidak mau menyesuaikan kontraknya?
Dan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menyiapkan usaha nasionalisasi aset?

2.4 Dampak Positif Undang-Undang Minerba


2.4.1 Peningkatan Nilai Tambah
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 merupakan pengganti dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan nasional dan
internasional. Sejak awal pembahasannya yakni 4 Juli 2005, UU Minerba sudah menuai
pro dan kontra hingga disahkan pada 16 Desember 2008.
UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara mengamatkan
untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral dalam negeri dengan melarang
ekspor bahan mentah mulai 12 Januari 2014. Peraturan pelaksanaan dari UU ini tertuang
dalam Permen Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah
mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral yang kemudian direvisi
dalam Permen Menteri ESDM No 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Permen
ESDM No 7 Tahun 2012. Dalam pelaksanaannya, Permen tersebut direvisi lagi seperti
tertuang dalam Permen Menteri ESDM No. 20 Tahun 2013 tentang ketentuan batasan

5
ekspor kandungan mineral. Dinamika pelaksanaan UU terus berjalan dan tidak menutup
kemungkinan peraturan yang ada saat ini akan direvisi lagi.
Penerapan tahap hilirisasi di Indonesia, maka akan terbentuk konsep multiplayer
akan terjadi. Pasalnya, selain menaikkan nilai tambah mineral, proses pengolahan dapat
membantu pabrik pupuk. Hal ini didasari karena dalam tahap pengolahan mineral, akan
menghasilkan zat buang, seperti asam sulfat, zat ini dapat dijadikan bahan utama dalam
pembuatan pupuk. Selain itu, Indonesia akan merasakan dampak yang sangat positif di
bidang perekonomian dan ketenagakerjaan.

2.4.2 Industri Berkelanjutan dan Menyediakan Lapangan Kerja Baru


UU Minerba mendukung proses hilirisasi dalam negeri yang berarti akan
memunculkan banyak industry pemurnian baru dalam negeri. Hal ini merupakan sinyal
yang bagus bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dikarenakan industri pemurnian
merupakan asset berkelanjutan yang bisa terus berproses meski seandainya di kemudian
hari hasil kekayaan Minerba kita telah habis. Pembangunan industri pemurnian ini juga
akan membantu membantu memberikan lapangan pekerjaan yang baru bagi masyarakat
sebagai pengganti beberapa lapangan kerja yang hilang di sector penambangan bahan
mentah.

2.4.3 Mengurangi Penurunan Drastis Cadangan Minerba Dalam Negeri


Dengan adanya UU Minerba secara otomatis juga akan menurunkan produksi
tambang bahan mentah meski kelak sudah dijumpai banyak industri pemurnian dalam
negeri, karena belum sebanding antara hasil tambang bahan mentah dan kapasitas
industri hilirisasi yang ada. Meski di awal akan memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap pendapatan Negara dari nilai ekspor, namun UU Minerba akan
merubah pola industri yang awalnya hanya berfokus untuk mendapatkan keuntungan dari
menguras kandungan Minerba yang ada di bumi Indonesia tanpa ada nilai lebih. Kini
dengan nilai tambah hasil bumi kita tidak serta merta dikuras habis melainkan
keuntungan industri beralih kearah proses hilirisasi yang dilakukan sehingga akan
memberikan kesempatan lebih bagi anak cucu kita di masa depan untuk menikmati hasil
bumi yang masih tersisa.

6
2.5 Dampak Negatif Undang-Undang Minerba
2.5.1 Defisit Smelter
Di sisi lain, penerapan UU Minerba tersebut juga menimbulkan permasalahan
pada perusahaan yang masih belum membangun pabrik smelter. Kondisi ini
mengharuskan pemerintah untuk memberikan tenggang waktu selama tiga tahun melalui
Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di
Dalam Negeri masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017.
Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah
tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen,
mangan 49 persen, seng 52 persen, dan timbal 57 persen. Hal ini bertujuan untuk
mempercepat berdirinya pabrik pengolahan tersebut.
Permasalahan timbul karena pembangunan pabrik smelter tentu membutuhkan
investasi yang besar dan berpotensi gagal jika perusahaan tambang yang sedang dan akan
membangunnya tidak memperoleh pendapatan. Minimnya pembangunan smelter akan
berimplikasi pada banyaknya bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, yang pada
akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup
usahanya. Jumlah yang ditambang dan yang mampu diolah tak sebanding sehingga
menimbulkan hasil tambang yang terbengkalai menunggu untuk diolah terlebih dahulu.
Namun demikian, Kementerian ESDM telah menginventarisasi industri yang
berminat untuk mengembangkan industri smelter tembaga. Nusantara Smelting
berencana membangun smelter pada tahun 2014 dengan kapasitas pengolahan konsentrat
tembaga sebesar 800 ribu ton per tahun. Global Investindo berencana membangun
smelter pada tahun 2015 dengan kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 1,2
juta ton per tahun, dan Indosmelt pada tahun 2014 merencanakan pembangunan smelter
dengan kapasitas sebesar 400 ribu ton per tahun. PT. Freeport Indonesia juga terus
melakukan pendekatan kerja sama untuk pembangunan tiga kandidat smelter Indonesia
yang rencana lokasi pabriknya berada di Bontang, Maros, atau Cirebon. Proposal proses
dan teknologi serta informasi awal untuk analisis keekonomian proyek sudah ada dan
akan dilanjutkan untuk melakukan studi kelayakan yang lebih komprehensif. Rencana
kapasitas pabrik peleburan dan pemurnian tembaga sebesar 500 ribu ton per tahun dan
akan beroperasi pada tahun 2017. Namun pada kenyataannya rencana itu masih sangat
sulit diwujudkan mengingat pembiayaan yang tinggi dan jangka waktu pembangunan
sebuah industri pemurnian dalam negeri membutuhkan waktu yang cukup lama..

7
Menurut Majalah Minerals-Asia Edisi 39/2014, Saat ini, Indonesia sedang
membangun pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang (smelter) dengan target
sejumlah 66 pabrik siap digunakan beberapa tahun kedepan. Pabrik smelter yang sudah
sampai tahap 100 persen antara lain PT Manoken Surya di Cikarang untuk zirkon, PT
Delta Prima Steel (pasir besi), PT Meratus Jaya Iron Steel di Kalsel (besi), PT Cilegon
Indofero (nikel), PT Krakatau Posco (besi), Indotama Ferro Alloy (mangan), PT
Indonesia Chemical Alumina di Tayan (bauksit), dan PT Cahaya Modern Metal Mining
(nikel). Selanjutnya, sebanyak 10 smelter mencapai progres 31-50 persen atau memasuki
tahap pertengahan konstruksi, dan 25 unit tahap akhir konstruksi (51-100 persen). Di luar
itu, 112 pabrik sedang dalam tahap studi kelayakan.
Sedangkan menurut data Kementerian ESDM, produksi bauksit nasional pada
2011 mencapai 17,6 juta ton. Saat ini, Indonesia belum memiliki smelter bauksit.
Rencana pembangunan sejumlah smelter bauksit, hingga 2014, hanya mampu
menampung 7,1 juta ton. Gap antara produksi tambang dan kapasitas smelter 10,5 juta
ton, dengan asumsi semua pembangunan smelter lancar.
Komoditas nikel mengalami hal serupa. Pertambangan nikel Indonesia
menghasilkan 15,9 juta ton nikel tahun 2011. Smelter nikel eksisting Indonesia memiliki
kapasitas 9,03 juta ton. Hingga 2014, diperkirakan akan ada tambahan sejumlah smelter
baru, dengan kapasitas total 4,15 juta ton. Gap antara produksi tambang dan smelter pada
tahun 2014 mencapai 2,72 juta ton.
Untuk komoditas tembaga, produksi tembaga nasional tahun 2011 mencapai 20,2
juta ton, sedangkan smelter tembaga yang eksisting hanya mampu menampung 1 juta ton
(Kementerian ESDM, 2012). Adapun rencana pembangunan sejumlah smelter tembaga
hingga 2014 hanya menambah kapasitas smelter menjadi 1,2 juta ton. Setidaknya akan
ada 18 juta ton tembaga yang tidak dapat diolah.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember juga menaruh perhatian pada penelitian
smelter ini yakni dilakukan oleh beberapa dosen dan mahasiswa Teknik Material dan
Metalurgi. Tembaga olahan yg dihasilkan oleh smelter ITS ini sudah dapat mencapai
presentase 99. Design smelter yang dibangun pun murni buatan sendiri dan bahkan
sudah mampu bersaing dengan smelter buatan China yang harganya miring sekalipun.
Dengan adanya smelter buatan dalam negeri ini, bukan tidak mungkin sumber daya
mineral dapat kita olah sendiri di dalam negeri beberapa tahun ke depan.

8
2.5.2 Berkurangnya Pendapatan Negara
Beberapa pendapatan negara dari aktivitas dan industri pertambangan diantaranya
Penerimaan pajak (PPh), penerimaan bukan pajak (royalti tambang), dan deadrent (sewa
lahan). Penerimaan royalti sektor minerba mencapai Rp 13 triliun per tahun,
sedangkan pajak dari sektor tambang dan galian Rp 55 triliun (Kementerian Keuangan,
2012). Penerimaan ini berpotensi anjlok jika produksi tambang minerba menurun.
Menteri Keuangan memperkirakan, penerimaan negara dari ekspor mineral akan
hilang sebesar 9,2 miliar dolar AS. Namun demikian, Pemerintah telah sepakat untuk
tidak terlalu mengkhawatirkan hilangnya pendapatan negara sementara tersebut. Hal
yang lebih penting dari penerimaan negara yang hilang adalah adanya nilai tambah dari
pertambangan yang digali di Indonesia.
Meskipun ada potensi pendapatan negara yang hilang, Kementerian Keuangan
telah mengambil beberapa kebijakan untuk menjaga agar target penerimaan negara tetap
terkendali, antara lain dengan penerbitan aturan bea keluar melalui Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 06/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan
Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Pengenaan bea keluar ini sendiri diharapkan dapat mempercepat hilirisasi industri
pertambangan. Dalam PMK ini diatur pemberlakuan tarif progresif 20 persen sampai
dengan 60 persen secara bertahap setiap semester hingga 31 Desember 2016. Namun,
hingga akhir agustus, pendapatan negara tidak ada lantaran pengusaha enggan untuk
ekspor. Sehingga eksportir yang membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerja
sama pembangunan fasilitas pemurnian hanya akan dikutip bea keluar 7,5%, dan terus
berkurang jika realisasi investasi smelter semakin meningkat.
Rinciannya, untuk kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5% dari nilai
investasi, termasuk penempatan jaminan kesungguhan, atau tahap I, bea keluar hanya
dikutip 7,5%. Untuk kemajuan pembangunan 7,5%-30% atau tahap II, bea keluar dikenai
5%. Adapun, untuk kemajuan pembangunan di atas 30% atau tahap III, tarif dikutip 0%.
Tarif itu berlaku setelah 7 hari sejak aturan diundangkan hingga 12 Januari 2017.
Namun demikian, sampai dengan tahun 2014, realisasi Pendapatan Negara Buka
Pajak sektor mineral dan batubara tercatat sebesar Rp 34,25 triliun. Capaian tersebut
masih belum sesuai dengan target PNBP minerba 2014 yang sebesar Rp39 triliun
meskipun realisasi tersebut lebih besar dibandingkan total PNBP 2013 sebesar Rp 28,48
triliun. Sedangkan pada akhir Mei 2015 diketahui bahwa realisasi penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batubara baru menyentuh

9
angka Rp 13 triliun, lagi-lagi turun yang kali ini sebesar 7,14 persen dari raupan pada
periode yang sama di tahun 2014 di kisaran Rp 14 triliun (Kementerian ESDM, 2015).
Beberapa hal harus menjadi perhatian bersama agar target penerimaan negara
tercapai akibat hilangnya potensi penerimaan pajak setelah pemberlakuan UU Minerba,
yaitu pertama, diperlukan optimalisasi pemberlakuan paket kebjiakan ekonomi, terutama
penyesuaian tarif pemungutan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas impor barang
tertentu dan pendapatan dari ekspor biofuel. Kedua, dengan pemberlakuan PMK
06/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan
Tarif Bea Keluar, perlu ada pengawasan ketat terkait barang tambang mineral yang akan
diekspor untuk menentukan tarif bea keluar. Hal ini penting antara lain untuk
meminimalisasi pemalsuan dokumen kadar ekspor barang mineral dan mengurangi
penyelundupan mineral mentah melalui pelabuhan-pelabuhan kecil.
Ketiga, menggali potensi pajak yang masih belum optimal, antara lain
intensifikasi pemeriksaan pajak properti, ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi
nonpegawai, penggalian pajak sektor finansial, dan optimalisasi pemberlakuan pajak
final untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Program-program tersebut diharapkan tidak
hanya mengkompensasi pendapatan negara yang hilang akibat pemberlakuan UU
Minerba, tetapi juga untuk memenuhi target pembiayaan APBN yang meningkat setiap
tahunnya

2.5.3 Tergerusnya Neraca Perdagangan


Pemberlakuan UU Minerba juga berdampak pada grafik ekspor yang menurun
tajam. Meski diramalkan bahwa pelarangan ekspor akan berdampak pada membaiknya
ekonomi di masa mendatang. Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo (2014)
mengungkapkan penerapan UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang melarang ekspor
mineral mentah (ore) menjadi salah satu penyebab ekspor yang terjun bebas. Hal tersebut
menyebabkan Bank Indonesia melakukan revisi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014
menjadi 5,1 sampai 5,5 persen. pertumbuhan ekonomi kuartal I 2014 tercatat sebesar
5,21 persen lantaran terjadi kontraksi pada sisi ekspor. Revisi lebih karena ekspor riilnya
jatuh. Tapi kalau pertumbuhan ekonomi domestik, baik industri pengolahan, transportasi
dan komunikasi, konstruksi masih tumbuh cukup bagus. Tak hanya itu, dampak
penerapan UU Minerba pun ikut menjadi faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi
kuartal I.

10
Sektor pertambangan nonmigas (termasuk minerba) menyumbang 16,28 persen
ekspor nasional (BI, 2012). Apabila ekspor bahan mentah menurun akibat larangan
ekspor, neraca perdagangan akan kian defisit. Jika diteruskan hal ini akan menyebabkan
defisit neraca perdagangan karena ketergantungan ekspor kepada sektor Sumber Daya
Alam (SDA), dalam hal ini eksplorasi tambang. Selain itu, hal ini juga akan berdampak
terhadap kian lemahnya nilai tukar rupiah, yang mendongkrak biaya impor. Tingginya
biaya impor akan berpengaruh terhadap sejumlah produk yang masih mengandalkan
komponen impor.
Oleh karena itu perlu adanya usaha dan perhatian dari pemerintah untuk
mengatasi kerugian negara jangka pendek salah satunya masalah ekspor dan impor di
tengah lemahnya nilai tukar rupiah saat ini.

2.5.4 Pengurangan Tenaga Kerja


Berkurangnya produksi tambang akan berimplikasi terhadap pengurangan tenaga
kerja. Saat ini pekerja sektor pertambangan dan galian mencapai 1,6 juta pekerja (BPS,
2012). Angka tersebut meningkat dibandingkan Januari 2009 yang hanya 1,1 juta, atau
ada peningkatan 40 persen. Kenaikan ini disinyalir akibat peningkatan produksi tambang
secara drastis, yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Sementara dengan adanya
larangan ekspor bahan mentah, para pekerja harus bersiap kehilangan pekerjaan.
Pengurangan tenaga kerja juga akan terjadi pada perusahaan pendukung kegiatan
tambang, seperti perkapalan dan alat berat.

2.5.5 Rawan Praktik Korupsi


Banyak pihak yang menaruh ekspekstasi besar terhadap pengaturan di dalam UU
Minerba. Kalangan investor, misalnya, berharap UU Minerba dapat lebih membawa
kepastian hukum dalam hal perizinan penambangan maupun ekspor terhadap industri-
industri pertambangan dalam negeri yang banyak didominasi oleh pihak asing,
pembebasan tanah dan keamanan, serta koordinasi yang lebih baik antara berbagai
lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pergantian rezim dari
kontrak karya ke izin yang merupakan salah satu isu sentral dalam UU Minerba.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro seusai
Sidang Paripurna pernah mengatakan, UU Minerba akan mewujudkan kerja sama dan
kemitraaan antara pemegang Izin Usaha Pertmbangan (IUP) dan perusahaan lokal di
wilayah pertambangan, bedasarkan pada prinsip menguntungkan bagi negara.

11
Namun, menurut Indonesian Coruption Watch (ICW), UU tersebut belum
memberikan jaminan sektor pertambangan yang bebas korupsi. Hal ini dilihat dari tidak
adanya jaminan trensparansi dan akuntabilitas, serta tidak adanya evaluasi terhadap
pelaku pertambangan yang sudah ada.
Selain itu, pengesahan UU Minerba justru akan membuka peluang monopoli di
daerah dalam pemberian izin (IUP). Dalam hal ini, akan banyak praktek kolusi dalam
pemberian izin baik di level pemerintah maupun pemerintah daerah, paparnya.
Bukan itu saja ketimpangan-ketimpangan dari UU Minerba yang baru ini. Peneliti
Hukum ICW, Illian Deta Arta Sari, mengatakan, sebagai pengganti UU No. 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU Minerba masih melanggengkan rezim
perampokan kekayaan negara. Apalagi, pertambangan illegal yang terjadi saat ini
dilakukan secara sistematis. Akan tetapi, hal itu tidak diimbangi dengan sangsi yang
tertera di UU tersebut.
Dalam Pasal 165 UU Minerba dijelaskan bahwa setiap orang yang mengeluarkan
IUP, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
yang bertentangan dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenangannya, akan diberi
sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta. Bagi
perusahaan tambang kelas kakap, mungkin sangsi tersebut bisa dikatakan ringan. Tetapi
tidak bagi penambang kecil yang melakukan kegiatan pertambangan di pinggiran, jika
sewaktu-waktu melakukan kesalahan.
Illian juga mengutarakan, UU Minerba yang baru berpotensi kepada obral
perizinan. Padahal, peluang terjadinya korupsi di perizinan sangat besar. Korupsi
tersebut bisa dalam bentuk pra-perizinan dan pasca-perizinan. Korupsi pra-perizinan
biasanya dilakukan melalui sogokan atau suap. Sedangkan korupsi pasca-perizinan bisa
melalui pembayaran pajak, iuran, royalti yang seharusnya diterima pemerintah atau
daerah. Dalam hal ini sering terjadi manipulasi volume hasil tambang setoran ke kas
negara menjadi berkurang, katanya.
Dalam perhitungan yang dilakukan ICW, ternyata selama periode 2001-2007
ditemukan kekurangan penerimaan (royalti) negara dari sektor Minerba senilai Rp58,286
triliun. Kekurangan itu terdiri dari batu bara senilai Rp16,417 triliun dan mineral lainnya
senilai Rp41,417 triliun. Selain itu, berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat
diketahui sektor minerba memang belum banyak memberikan kontribusi pada
penerimaan negara. Hal ini tentu menjadi tidak sebanding antara keuntungan dengan
dampak lingkungan yang timbulkan oleh industri minerba.

12
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, tergambar jelas bahwa UU Minerba masih mengandung sejumlah
persoalan. Namun, di sisi lain, kita berharap UU Minerba juga dapat menjadi solusi yang
ampuh untuk menjawab segala persoalan tersebut. Tentunya dibutuhkan perumusan yang
cermat oleh DPR serta pengawasan yang ketat dari publik, tentunya menjadi persyarat utama
untuk menciptakan UU Minerba yang ideal. Kita mengharapakan UU Minerba ini menjadi
sebuah harapan dan solusi bagi ketahanan energi nasional dan asset kekayaan Minerba
Indonesia kini dan mendatang. Seperti yang diucapkan oleh sang proklamator, Biarlah
kekayaan alam kita tersimpan sampai nanti putra putri bangsa ini mampu mengolahnya
sendiri pesan ini mengandung makna yang sangat mendalam dan futuristik tentang
pentingnya menjaga asset bangsa untuk keberlanjutan jaminan kesejahteraan rakyat di masa
depan. Oleh karena itu kita sebagai generasi penerus yang akan menyambut tali estafet
kepemimpinan negeri ini perlu meningkatkan kepekaan kita terhadap isu-isu yang signifikan
dan menentukan hajat hidup orang banyak seperti UU Minerba ini.

13
Catatan :

Seiring waktu berjalan masalah terkait UU Minerba terus bermunculan dan mengancam
kedaulatan cadangan energi kita, seperti Kasus Kontrak Karya Freeport yang sudah pernah
kita bahas sebelumnya, Industri pertambangan batu bara dan industri-industri pertambangan
lain yang terus berkelit bahkan menuntut adanya revisi untuk mencari celah dari sisi lemah
UU Minerba.
Kita selaku Mahasiswa sebagai controlling agent utama dalam berbagai kebijakan
pemerintah serta calon penerus estafet kepemimpinan negeri ini apakah hanya akan diam saja
terhadap masalah tersebut. Apakah kita akan membiarkan kerugian Negara akibat
terkurasnya cadangan kekayaan alam kita oleh pihak asing terjadi lagi seperti masa silam.
Kita mahasiswa, meski tak bersentuhan langsung dengan prektek penentu kebijakan diatas
dan merasa itu terlalu jauh dari fungsi control yang dapat kita lakukan perlu terus bergerak.
Paling tidak kita tunjukkan kepedulian kita terhadap permasalahan pemerintah dan rakyat
untuk menemukan solusi bersama dengan melakukan tindakan sekecil apapun itu. Mulai dari
belajar terkait isu yang ada (masalah yang muncul, resiko kedepan, ancaman kedaulatan
bangsa hingga hal-hal yang perlu disiapkan baik secara general maupun sesuai disiplin ilmu),
berdiskusi, saling berbagi wawasan melalui kajian-kajian dan seminar, hingga mengambil
penyikapan untuk disampaikan di pemangku kebijakan karena kita tidak lain adalah penerus
mereka dikemudian hari. Disini kami Kementrian Energi dan Maritim BEM ITS mengajak
seluruh elemen civitas akademika KM ITS khusunya mahasiswa untuk berperan serta
menyampaikan aspirasinya, memanaskan atmosfer kajian di jurusan maupun komunitas
masing-masing terkait pengawalan kebijakan UU Minerba ini. Kemudian kita satukan
pendapat sebagai sebuah bentuk penyikapan bersama yang akan disampaikan pada pemangku
kebijakan melalui media maupun adiensi langsung.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sulistyo, Budi. 2014. Menggali Potensi Pendapatan Negara Pasca-Pemberlakuan UU


Minerba. Jakarta
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20797/uu-minerba-terlalu-dini-disahkan
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/07/26/ancaman-defisit-neraca-perdagangan-
terkait-kebijakan-minerba-mengenai-smelter
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/03/11/02234018/Bom.Waktu.UU.Miner
ba
http://industri.bisnis.com/read/20140805/44/247667/ekspor-mineral-bea-keluar-
ditetapkan-75-ini-alasan-menkeu
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150618082613-85-60752/sentuh-rp-13-
triliun-pnbp-sektor-minerba-di-bawah-target/

15
Badan Eksekutif Mahasiswa
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Sekretariat Gedung SCC Lt. 2
Kampus ITS Sukolilo Surabaya, 60111
Website : bem.its.ac.id | E-mail : bem@its.ac.id | @BEM_ITS

Anda mungkin juga menyukai