Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai konsep teori Status Epileptikus
yang meliputi definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi dan
woc, komplikasi, pemeriksaan penunjang, pencegahan, penatalaksanaan. Konsep
asuhan keperawatan pada anak dengan diagnosa medis status epileptikus yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi.

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Definisi
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000). Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik
lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan
sangat cepat (ginsberg, 2005). Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan
karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan
dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai suatu eksaserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi
otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik, sensorik, otomomik atau
psikis yang abnormal (Nurarif, 2013). Epilepsi merupakan gejala kompleks dari
banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang.
Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel
saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Rastiti,
2010).
Berdasarkan penjelasan dari definisi diatas didapatkan bahwa epilepsi
merupakan penyakit serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau
lepasnya muatan listrik lokal pada substansia grisea otak dengan karakteristik
gejala berupa kejang berulang.

2.1.2 Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
namun yang paling sering terjadi pada:

a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum


b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e) Tumor otak
f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab


utama ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak
pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi
menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak
etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik
dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu
12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang
adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan
ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam
waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni
pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya
gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi
(malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya
kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan
ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis
saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput
otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal


Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

Tabel 2.1 Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi

2.1.3 Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi
epilepsi dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
1. klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
a. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak
dengan paroksimal oksipital
b. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak
2. klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
a. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap
normal
Dengan gejala motorik:
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh
saja
b) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
d) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
e) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti
atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai


halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan
yang disertai vertigo).
a) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
b) Visual: terlihat cahaya
c) Auditoris: terdengar sesuatu
d) Olfaktoris: terhidu sesuatu
e) Gustatoris: terkecap sesuatu
f) Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


a) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat.
b) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
c) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
f) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
a) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang
kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak


permulaan kesadaran.
a) Hanya dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme

3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,


tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

b. Epilepsi kejang umum


1) Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
a) Hanya penurunan kesadaran
b) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
c) Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
d) Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
e) Dengan automatisme
f) Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence), dapat disertai:


a) Gangguan tonus yang lebih jelas.
b) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
a) Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
b) Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
c) Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan
ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
d) Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-
kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran
yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan
badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
e) Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.

c. Epilepsi kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari epilepsy menurut Tucker (2008), antara lain:
a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3) Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan
epilepsi yang dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-turut meliputi di
saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran
menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon
terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang
nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola
mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang
diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba
melepaskan muatan listrik.
2.1.5 Patofisiologi dan WOC
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-
juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang
mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak
yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer
yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-
impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi
kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx + ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah


kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya
cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus epilepsy yaitu berupa kerusakan
otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang.

2.1.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus status
epileptikus menurut Dongoes (2000), antara lain:
1. Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada + dan + dapat
berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
2. Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
3. Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan
dengan pengobatan
4. Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
5. Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang
teurapetik
6. Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan
7. Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
8. DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan
metabolic.
9. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif
serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang
tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal
atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas.
10. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan

2.1.8 Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi
otot keras dan terlalu banyak disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang
menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang
kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah.
Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan
pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi
(tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-
obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama
hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang
sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.

2.1.9 Penatalaksanaan
Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah status epileptikus
menurut Elizabeth (2001), antara lain:
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam
seseorang
a. Anti konvulson
b. Sedatif
c. Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
a. fenitoin (difenilhidantoin)
b. karbamazepin
c. fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
a. Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
b. Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
c. Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
3. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
4. Menaggulangi kejang epilepsi
Tindakan lain yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah epilepsi
menurut Elizabeth (2001), antara lain:
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau
yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun
pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.

2.1.10 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70%
penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50
% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer,
baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau
absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan
pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan
atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan
alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan
yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program
rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang
digunakan?
1. Identitas
Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian
dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien
sering mangalami kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan
pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa
sebab), kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita
oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia
kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap
penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya
penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal
diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah kelahariran dan
pertumbuhan dan perkembangannya.
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor
hereditas misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a) Selama serangan :
1) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
2) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
3) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
4) Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
5) Apakah pasien menggigit lidah.
6) Apakah mulut berbuih.
7) Apakah ada inkontinen urin.
8) Apakah bibir atau muka berubah warna.
9) Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
10) Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada
satu sisi atau keduanya.

b) Sesudah serangan
1) Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan
bicara
2) Apakah ada perubahan dalam gerakan.
3) Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
4) Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
5) Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

c) Riwayat sebelum serangan


1) Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
2) Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
3) Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
1) Sejak kapan serangan terjadi.
2) Pada usia berapa serangan pertama.
3) Frekuensi serangan.
4) Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
5) Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
6) Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
7) Apakah makan obat-obat tertentu
8) Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

7. Pemeriksaan fisik
a) Pernafasan
Nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan,
dispnea, apnea, batuk.
b) B2 (Blood)
Palpitasi, Takikardi, membrane mukosa pucat.
c) B3 (Brain)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil, penurunan
koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, penurunan
tingkat kesadaran pasien, aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
d) B5 (Bowel)
Anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia, distensi abdomen,
penurunan bunyi usus, nyeri abdomen, perdarahan pada gusi.

e) B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak, nyeri
tulang / sendi, kram otot.
f) Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus status epileptukus, antara lain:
1. Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol
(gangguan keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kardiac output, takikardia
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai penyakit.
5. Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan
stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat.
2.2.3 Intervensi
Resiko cedera 1. Risk kontrol Environmental management (manajemen
lingkungan) :
Definisi: Kriteria hasil: 1. sediakan lingkungan yang aman untuk
Beresiko mengalami cedera sebagai 1. klien terbebas dari cedera pasien
akibat kondisi lingkungan yang 2. klien mampu menjelaskan cara/metode 2. identifikasi kebutuhan keamanan sesuai
berinteraksi dengan sumber adaptif dan untuk mencegah injury atau cedera dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
sumber defensive individu. 3. klien mampu menjelaskan faktor resiko serta riwayat penyakit terdahulu
dari lingkungan atau perilaku personal 3. menghindarkan lingkungan yang
Faktor resiko: 4. mampu memodifikasi gaya hidup untuk berbahaya
Ekternal mencegah injury 4. memasang side rail tempat tidur
1. Biologis 5. menggunakan fasilitas kesehatan yang 5. menempatkan saklar lampu ditempat
2. zat kimia ada yang mudah dijangkau
3. manusia 6. mampu mengenali perubahan status 6. membatasi pengunjung
4. cara pemindahan kesehatan 7. menganjurkan keluarga untuk menemani
5. nutrisi pasien
8. mengontrol lingkungan dari kebisingan
Internal 9. memindahkan barang-barang yang dapat
1. profil darah yang abnormal membahayakan
misalkan leukositosis, 10. berikan penjelasan pada pasien dan
trombositopenia, penurunan keluarga atau pengunjung adanya
Hemoglobin perubahan status kesehatan dan
2. disfungsi biokimia penyebab penyakit.
3. usia perkembangan
4. disfungsi afektor
5. disfungsi imun-autoimun
6. malnutrisi
7. gangguan mobilitas
8. hipoksia jaringan
9. disfungsi sensorik
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 7. Respiratory status ventilation Airway management :
8. respiratory status airway pattency 1. Berikan o2 sesuai dengan kebutuhan dan
Definisi : kondisi pasien.
Ketidakmampuan untuk membersihkan 2. Keluarkan sekret dengan menggunakan
sekresi atau obstruksi dan saluran Kriteria hasil : suction bila perlu.
pernafasan untuk mempertahankan 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan 3. Ajarkan batuk efektif untuk
kebersihan jalan nafas. suara nafas bersih, tidak ada sianosis, mengeluarkan sekret.
tidak ada dispnea, sputum produktif, 4. Berikan posisi semifowler atau fowler
Batasan karakteristik : nafas mudah, tidak ada pursed lips. sesuai dengan kebutuhan pasien.
1. Tidak ada batuk 2. Menunjukkan jalan nafas yang paten, 5. Kolaborasi dan berikan bronkodilator
2. Suara nafas tambahan klien tidak merasa tercekik, irama dan dan obat obatan saluran pernafasan
3. Perubahan frekuensi nafas frekuensi nafas dalam rentang normal, yang lainnya.
4. Perubahan irama nafas tidak ada suara nafas tambahan. 6. Auskultasi suara nafas.
5. Sianosis 3. Sudah mampu mengidentifikasi dan 7. Observasi respirasi secara berkala setiap
6. Kesulitan bicara / mengeluarkan mencegah faktor yang dapat 6 jam sekali.
suara menghambat jalan nafas.
7. Penurunan bunyi nafas
8. Dispnea
9. Sputum berlebihan
10. Batuk tidak efektif
11. Orthopnea
12. Gelisah
13. Mata terbuka lebar

Faktor yang berhubungan :


1. Perokok pasif, penghisap rokok atau
perokok aktif.
Spasme jalan nafas, mukus berlebihan,
eksudat dalam alveoli, benda asing
dalam jalan nafas, asma, sisa sekresi,
jalan nafas buatan, infeksi, PPOK,
disfungsi neuromuscular.
Intoleransi aktivitas 1. Energy conservation. 1. Berikan alat bantu jika pasien
2. Activity tolerane. membutuhkan untuk aktivitas (kursi
Definisi : 3. Self care : ADLS roda).
Ketidakcukupan energy psikologis atau 2. Ajarkan mobilisasi / berpindah posisi/
fisiologis untuk melanjutkan atau Kriteria hasil : berpindah tempat.
menyelesaikan aktivitas kehidupan 1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa 3. Motivasi pasien melakukan aktivitas
sehari hari yang harus atau yang ingin disertai peningkatan tekanan darah, nadi sesuai kemampuan.
dilakukan. dan RR. 4. Bantu melakukan mobilisasi.
2. Mampu melakukan aktivitas sehari ari 5. Observasi tanda tanda vital sebelum
Batasan karakteristik : (ADLS) secara mandiri. dan sesudah aktivitas.
1. Respon tekanan darah abnormal 3. Tanda tanda vital normal. 6. Anjurkan keluarga membantu pasien
terhadap aktivitas. 4. Energy psikomotor. dalam pemenuha ADLS.
2. Respon frekuensi jantung yang 5. Level kelemahan. 7. Anjurkan keluarga membantu pasien
abnormal terhadap aktivitas. 6. Mampu berpindah dengan atau tanpa alat mobilisasi.
3. Perubahan EKG yang bantu.
mencerminkan aritmia. 7. Status kardiopulmonary adekuat.
4. Perubahan EKG yang 8. Sirkulasi status baik.
mencerminkan iskemia. 9. Status respirasi, pertukaran gas dan
5. Ketidaknyamanan setelah aktivitas. ventilasi adekuat.
6. Dispnea setelah aktivitas.
7. Menyatakan merasa letih.
8. Menyatakan merasa lemah.
Faktor yang berhubungan :
1. Tirah baring atau mobilisasi.
2. Kelemahan umum.
3. Ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
4. Imobilitas.
5. Gaya hidup monoton.
Ansietas
1. Anxiety self control. Anxiety Reduction (Penurunan kecemasan) :
Definisi : 2. Anxiety level. 1. Gunakan pendekatan yang
Perasaan tidak nyaman atau 3. Coping. menenangkan.
kekhawatiran yang samar disertai 2. Nyatakan dengan jelas harapan
respon autonom (sumber sering tidak Kriteria Hasil : terhadap pelaku pasien.
spesifik atau tidak diketahui individu, 1. Klien mampu mengidentifikasi dan 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
perasaan takut yang disebabkan oleh mengungkapkan gejala cemas. dirasakan selama prosedur.
antisipasi terhadap bahaya). 2. Mengidentifikasi, mengungkapkan, dan 4. Pahami perspektif pasien terhadap
menunjukkan teknik untuk mengontrol situasi stress.
Batasan Karakteristik : cemas. 5. Temani pasien untuk memberikan
1. Gelisah. 3. Vital Sign dalam batas normal. keamanan dan mengurangi takut.
2. Kontak mata yang buruk. 4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa 6. Dorong keluarga untuk menemani.
3. Agitasi. tubuh dan tingkat aktivitas 7. Lakukan beck/ neck rub.
4. Kesedihan yang mendalam. menunjukkan berkurangnya kecemasan. 8. Dengarkan dengan penuh perhatian.
5. Ketakutan. 9. Identifikasi tingkat kecemasan.
6. Kekhawatiran. 10. Bantu pasien mengenal situasi yang
7. Peningkatan keringat. menimbulkan kecemasan.
8. Peningkatan ketegangan. 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan
9. Peningkatan denyut nadi. perasaan, ketakutan, persepsi.
10. Latih, gangguan tidur. 12. Instruksikan pasien menggunakan
11. Lemah. teknik relaksasi.
12. Kesulitan berkonsentrasi. 13. Berikan obat untuk mengurangi
13. Lupa, gangguan perhatian. kecemasan.
14. Wajah tegang.
15. Perasaan tidak adekuat.

Faktor yang berhubungan :


1. Perubahan dalam (status ekonomi,
lingkungan, status kesehatan, pola
interaksi, fungsi peran, status
peran).
2. Terkait keluarga.
3. Herediter.
4. Stress ancaman kematian.
5. Kebutuhan yang tidak terpenuhi.
6. Penularan penyakit interpersonal.
7. Penyalahgunaan zat.
8. Ancaman pada (status kesehatan,
pola interksi, fungsi peran).
9. Konflik yang tidak disadari.
10. Krisi situasional.

Isolasi social 1. sosial interksi skill Socialization enchacement


2. stress level 1. fasilitas dukungan kepada pasien oleh
Definisi: 3. sosial support keluarga,teman atau komunitas
Kesepian yang dialami oelh individu 4. post trauma syndrome 2. dukung hubungan dengan orang lain
dan dirasakan saat didorong oleh 3. dorong melakukan aktivitas sosial dan
keberadaan orang lain dan sebagai kriteria hasil: komunitas
pernytaan negative atau mengancam 1. iklim sosial keluarga mendukung 4. berikan uji pembatasan interpersonal
2. partisipasi waktu luang untuk aktivitas 5. berikan umpan balik tentang peningkatan
Batasan karakteristik: yang menyenangkan dalam perawatan dan penampilan atau
Obyektif 3. keseimbangan alam perasaan aktivitas lain
1. tidak ada dukungan orang yang 4. tingkat persepsi positf tentang status 6. dukung pasien untuk merubah
dianggap penting kesehatan dan status hidup individu lingkungan
2. perilaku yang tidak sesuai dengan 5. penyesuaian yang tepat 7. fasiliasi pasien yang mempunyai
perkembangan 6. partisipasi dalam bermain menggunakan penurunan sensori seperti menggunakan
3. afek tumpul aktivitas kelompok alat kacamata atau alat bantu dengar
4. bukti kecacatan 7. meningkatkan hubungan yang efektif 8. membantu pasien mengembangkan
5. ada di dalam subkultural dalam perilaku pribadi ketrampilan intepersonalnya
6. sakit, tindakan tidak berarti 8. mengungkapkan penurunan atau 9. kurangi stigma isolasi dan menghormati
7. tidak ada kontak mata perasaan pengalaman diasingkan martabat pasien
8. dipenuhi dengan pikiran sendiri 10. fasilitasi pasien untuk berpartisipasi
9. tindakan berulang dalam diskusi dengan group kecil
10. afek sedih

subyektif
1. minat yang tidak sesuai dengan
perkembangan
2. mengalami perasaan berbeda
dengan orang lain
3. tidak percaya diri saat berhadapan
dengan public
4. mengungkapkan perasaan
penolakan
5. mengungakapkan perasaan yang
tidak dapat diterima oleh kelompok
cultural yang dominan
6. mengungkapkan perasaan
kesendirian yang didorong oleh
orang lain
2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari respon
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat memberikan
inervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien (Potter&perry,
2009).

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi pasien (Potter&perry, 2009). Evaluasi merupakan langkah
terakhir dalam proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh
mana tujuan dari rencana keperawatan atau tidak (Alimul, 2012).

Anda mungkin juga menyukai