PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Demam Berdarah Dengue (DBD) mempunyai gejala demam tinggi mendadak 2-7 hari,
disertai tanda-tanda perdarahan berupa bintik-bintik merah, mimisan, perdarahan pada gusi,
muntah darah, berak darah. Pemeriksaan laboratorium dari sediaan darah hematokrit naik
20% dan trombosit <100.000/mm3 dan serologis positif. [1]
Tersangka Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah Demam 2-7 hari ditandai dengan
manifestasi perdarahan seperti uji tourniquet positif, ptekie, perdarahan pada gusi, dan
epistaksis atau mimisan.
Ambil Spesimen:
- Periksa Darah Lengkap (Trombosit & Hematokrit),
- Tes Serologi
Rujuk ke Rumah Sakit bila panas tidak turun dalam 2 hari atau keadaan tambah memburuk.
Respons Pelaporan:
W1
Hasil pemeriksaan penunjang/lab
Penyelidikan Epidemiologi
Surveilans intensif
Ambil specimen dari sebagian kasus untuk konfirmasi Lab serologi
Membentuk posko pengobatan di lapangan
Melakukan pemberantasan vektor (PSN, Foging, Larvasidasi)
KIE
I. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Pencegah terhadap menyebaran penyakit DBD
2. Tujuan Khusus
a. Menurunkan Frekuensi Penyebaran Penyakit DBD
b. Menurunkan jumlah kasus dan kematian dalam suatu penyebaran
penyakit
c. Membatasi penyebaran luasnya penyakit DBD
VIII. PENUTUP
Demikian kerangka acuan ini kami buat, untuk menjadikan pedoman dalam
pelaksanaan penyelidikan epidemologi DBD
KERANGKA ACUAN
SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (SKD-KLB)
CAMPAK
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan
berbahaya lainnya masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan
jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran yang besar dalam
upaya penanggulangannya, berdampak padasektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi
menyebar luas lintaskabupaten/kota, provinsi, regional bahkan internasional yang
membutuhkan koordinasi dan penanggulangan.
Deteksi dini kondisi rentan KLB. Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan
terhadap timbulnya kerentanan masyarakat, kerentanan lingkungan, perilaku dan kerentanan
pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau
PWS kondisi rentan. Dalam penerapan cara surveilans epidemiologi terhadap KLB, dapat
dilakukan dengan : (1) Identifikasi kondisi rentan KLB, (2) Mengidentifikasi secara terus-
menerus perubahan kondisi lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi
status kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah, (3) Pemantauan
wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap sarana pelayanan kesehatan merekam data
perubahan kondisi rentan KLBmenurut desa/kelurahan atau lokasi tertentu lainnya, menyusun
tabel dan grafik PWS kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus-menerus
dan secara sistematis untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB, (4) Penyelidikan
dugaan kondisi rentan KLB. Penyelidikan tersebut dapat dilakukan : Di Sarkes secara aktif
mengumpulkan informasi kondisi rentan KLB dari berbagai sumber termasuk laporan perubahan
kondisi rentan oleh masyarakat,perorangan atau kelompok; Di Sarkes petugas meneliti dan
mengkaji data kondisi rentan KLB, data kondisi kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat,
status kesehatan masyarakat,status pelayanan kesehatan; Petugas kesehatan mewawancarai
pihak-pihak terkait yang patut diduga mengetahui adanya perubahan kondisi rentan KLB;
Mengunjungi daerah yangdicurigai terdapat perubahan kondisi rentan.
Deteksi dini KLB. Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB dengan
mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat terhadap penyakit-
penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB : (1) Identifikasi kasus berpotensi KLB.
Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke UPK diwawancarai kemungkinan adanya penderita
lain disekitar tempat tinggal kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kasus; (2) PWS penyakit
berpotensi KLB. Setiap UPK melakukan analisis adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor
risiko yang berpotensi KLB diikuti penyelidikan kasus; (3) Penyelidikan dugaan KLB.
Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara : Di UPK setiap petugas menanyakan kepada
setiap pengunjung UPK tentang kemungkinan adanya peningkatansejumlah penderita yang
diduga KLB pada lokasi tertentu; Di UPK setiap petugas meneliti register rawat jalan dan rawat
inap khususnya yang berkaitan dengan alamat penderita, umur dan jensis kelamin atau
karakteristiklain; Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa atau pihak yang terkait yang
mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan kasus yang diduga KLB; Membuka
pos pelayanan di lokasi yangdiduga terjadi KLB; Mengunjungi rumah-rumah penderita yang
dicurigai memunculkan KLB.
Deteksi dini KLB dapat dilakukan melalui : pelaporan kewaspadaan KLB oleh masyarakat,
Perorangan dan organisasi yang wajib membuat laporan kewaspadaan KLB antara lain : Orang
yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB; Petugas
kesehatan yang memeriksa penderita yangberpotensi KLB; Kepala instansi yangterkait seperti
kepala pelabuhan, kepala stasiun kereta api, kepala bandara udara dll serta UPK lainnya;
Nahkoda kapal, pilot dan sopir.
Tindakan Penanggulangan KLB yang Cepat dan Tepat. Setiap daerah menetapkan
mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat terdeteksi dini dan dilakukan tindakan
penanggulangan dengan cepat dan tepat. Tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat
dilakukan dengan : Advokasi dan Asistensi Penyelenggaran SKD KLB Advokasi dan asistensi
tujuannya agar SKD KLB berjalan secara terus menerus dengan dukungan daripihak yang
terkait; Pengembangan SKD KLB Darurat. Untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB
penyakit tertentu yang sangat serius dapat dikembanghkan dan atau ditingkatkan SKD KLB
penyakittertentu dalam periode waktu terbatas dan wilayah terbatas.
Peran Unit SKD KLB dan Mekanisme Kerja. Masing masing unit yang ada dijajaran
kesehatan dapat berperan sebagai berikut : (1)Peran Dinas Kesehatan Provinsi : Kajian
Epidemiologi Ancaman KLB; Peringatan Kewaspadaan Dini KLB; Peningkatan Kewaspadaan
dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB; Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB,(2)
Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan
Kewaspadaan Dini KLB, Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB,
Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB, Pengembangan SKD KLB Darurat; (3)
Peran Puskesmas : Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini KLB,
Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB, (4) Peran Masyarakat
(perorangan, kelompok dan masyarakat): Peningkatan kegiatan pemantauan perubahan kondisi
rentan; Peningkatan kegiatan pemantauan perkembangan penyakit dengan melapor kepada
puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota sebagai laporan kewaspadan dini; Melaksanakan
penyuluhan serta mendorong kewaspadaan KLB di tengah masyarakat; Melakukan identifikasi
penderita, pengenalan tatalaksana kasus dan rujukan serta upaya pencegehan dan pemberantasan
tingkat awal
Indikator Kinerja : Indikator kinerja SKD KLB adalah : (1) Kajian dan peringatan
kewaspadaan dini KLB secara teratur setidak-tidanya setiap bulan dilaksanakan oleh Dikes
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Depkes RI; (2) Terselenggaranya deteksi dini KLB penyakit
berpotensi KLB prioritas di puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium, (3) Kegiatan
penyelidikan dan penanggulangan KLB yangcepat dan tepat terlaksana kurang dari 24 jam sejak
teridentifikasi adanya KLB atau dugaan KLB, (4) Tidak terjadi KLB yang besar dan
berkepanjangan.
KERANGKA ACUAN
PELACAKAN KASUS AFP
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Acute Flaccyd Paralysis (AFP) merupakan gejala awal dari penyakit Polio. Surveilans
kasus lumpuh layuh akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi polio, yaitu
melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP.
Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu
wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus
transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
II. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memastikan apakah kasus yang dilaporkan benar-benar kasus AFP
2 .Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi daerah berisiko transmisi virus-polio liar.
b. Memantau perkembangan program eradikasi polio.
c. Membuktikan Indonesia bebas polio.
III. KEGIATAN POKOK DAN RINCIAN KEGIATAN
a. Penemuan kasus
b. Pelacakan Kasus
c. Pengumpulan Spesimen
d. Hot Case
e. Survey Status Imunisasi Polio
f. Nomor Epid
g. Nomor Laboratorium Kasus AFP dan Kontak
h. Kunjungan Ulang (KU) 60 Hari
i. Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi
1. Surveilans aktif dilakukan setiap hari, berkoordinasi dengan contact person diruangan
2. Diskusikan dengan DSA/ DSS hasil temuan
3. Segera lapor < 24 jam ke dinkes kabupaten/ kota apabila menemukan kasus AFP
Peran Dinkes Kab./ Kota : Jelaskan Strategi CBS dan peran PKM dalam SAFP,
Koordinasi pelaksanaan SAFP di PKM, Menyiapkan bahan-bahan Densiminasi
informasi, Melatih petugas PKM dalam pelaksanaan SAFP
Peran Puskesmas : Menemukan kasus (PKM, Pustu, Poliklinik desa dan klinik swasta),
Menemukan kasus dan menyebarluaskan informasi (kader, pengobatan tradisional, PKK
pesantren, TOMA dll
Sebar luas info ke masy. (poster, leaflet, pengenalan kasus kelumpuhan dan melaporkan
lke PKM/ RS dan petugas kesehatn)
Pelacakan kasus (< 24 jam)
Lapor ke Dinkes setipa kasus AFP < 24 jam
Melakukan pelacakan bersama Dinkes
Mengamankan spesimen sebelum dikirim (kontrol suhu)
Mengirimkan laporan mingguan W2 ke Dinkes
IX. PENUTUP
Demikian kerangka acuan ini kami buat, untuk menjadikan pedoman dalam
pelaksanaan pelacakan kasus AFP.
KERANGKA ACUAN
I. PENDAHULUAN
Bahwa perlu dilakukannya pemeriksaan spesimen pada kasus Acute Flaccyd Paralysis
(AFP) yang diduga benar-benar sudah dilakukan surveilans Epidemilogi. Surveilans kasus
lumpuh layuh akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi polio, yaitu
melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP.
Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah,
sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus
polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.sehingga secepat mungkin untuk
dilakukan pengambilan spesimen dan diteliti dilaboratorium.
II. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Pengambilan sampel spesimen tinja kasus AFP
2 .Tujuan Khusus
Prosedur pelacakan
Bila Kelumpuhan terjadi <= 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Kumpulkan 2
Spesimen Tinja
Bila Kelumpuhan terjadi > 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Tidak perlu ambil
spesimen, Membuat resume medik
Sebelum dikirim ke tujuan isi formulir pematauan rantai dingin Spesimen (FPS-0)
Pengiriman oleh tim pelacak Kab/ kota atau provinsi
Kab./ kota dapat mengirim langsung ke lab. Nasional
Pengiriman dengan menggunakan jasa pengirman
Spesimen Adekuat
Hot Case
3 Kategori :
A (Spe. Tdk adekuat, usai < 5 tahun, demam, kelumpuhan tidak simetris)
B (spe. Tdk adekuat & dokter mendiagnosis poliomyelettis
C (spe. Tdk adekuat & Cluster)
Cluster : 2 kasus atau lebih, satu wilayah, beda waktu kelumpuhan tidak lebih dari 1
bulan)
Kontak : usia < 5 thn, berinteraksi dengan kasus sejak kelumpuhan sampai 3 bulan
kedapan)
III. PENUTUP
Demikian kerangka acuan ini kami buat, untuk menjadikan pedoman dalam
pelaksanaan pengambilan spesimen kasus AFP.
KERANGKA ACUAN
FOGGING FOCUS
I. PENDAHULUAN
Pengasapan atau fogging untuk memberantas nyamuk aedes aegypti penyebab demam
berdarah bisa berbahaya jika dilakukan tanpa prosedur. Selain bisa menyebabkan orang
yang menghirup gas semprotan keracunan, fogging juga berdampak buruk bagi
keseimbangan ekosistem.dengan sasaran untuk membunuh nyamuk dewasa
II. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk memberantas nyamuk aedes aegipty dewasa
2 .Tujuan Khusus
a. Agar tidak ada penyebaran lebih luas
b. Membunuh nyamuk dewasa
c. Dengan fonging maka akan meminimalkan perkembangan biakan nyamuk lebih
banyak
III. KEGIATAN POKOK DAN RINCIAN KEGIATAN
1. Index kasus
2. PE
3.Analisa hasil PE masuk kriteria fogging, maka persiapan fogging focus
4.Membuat surat pemberitahuan pada kepala desa
5.Siapkan alat dan bahan
6. Berangkat ke lokasi
7.Lapor pada kepala desa
8.Pelaksanaan fogging focus dirumah penderita dan disekitarnya
9.Lapor hasil kegiatan pada kepala Puskesmas / DKK
IV. CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN
Sebagai langkah awal pengasapan/fogging dalam suatu area tertentu, dengan membuat
gambaran atau memetakan area yang disemprot. Area yang tercakup sedikitnya berjarak
200 meter di dalam radius rumah yang terindikasi sebagai lokasi dengue. Kemudian
dilakukan peringatan kepada warga terlebih dahulu untuk keluar ruamh dengan terlebih
dahulu menutup makanan atau mengeluarkan piaraan.
Berbagai bahan insektisida yang dipergunakan dalam pelaksanaan operasional fogging
fokus adalah golongan sintentik piretroit dengan dosis penggunaan 100 ml/Ha.
Semaentara perbandingan campuran 100 ml : 10 liter solar.
Sasaran fogging adalah semua ruangan baik dalam bangunan rumah maupun di luar
bangunan (halaman/pekarangan), karena obyek sasaran adalah nyamuk yang terbang.
Sifat kerja dari fogging adalah knock down effect yang artinya setelah nyamuk kontak
dengan partikel (droplet) isektisida diharapkan mati setelah 24 jam.
Terdapat dua macam peralatan yang digunakan untuk pengasapan atau fogging antara
lain mesin fog dan ULV (Ultra Low Volume). Mesin fog dipergunakan untuk keperluan
operasional fogging dari rumah ke rumah (door to door operation). Untuk keperluan ini
dipergunakan swing fog machine SN 11, KeRF fog machine, pulls fog dan dina fog.
Beberapa jenis peralatan ini mempunyai prinsip kerja yang sama yakni menghasilkan fog
(kabut) racun serangga sebagai hasil kerja semburan gas pembakaran yang memecah
larutan racun serangga (bahan kimia yang digunakan), menjadi droplet yang sangat halus
dan berwujud sebagai fog. Rata-rata alokasi waktu yang diperlukan dengan penggunaan
peralatan ini adalah 2-3 menit untuk setiap rumah dan halamannya. Sementara Ultra Low
Volume (ULV) menghasilkan cold fog. hasil ini didaptkan dengan mekanisme terjadinya
tekanan mekanik biasa terhadap racun serangga melewati system nozzle. Dengan alat ini
droplet racun serangga yang dihasilkan jauh lebih halus daripada fog biasa. ULV sangat
cocok dipergunakan pada area out door atau luar ruangan.
Menurut Depkes RI (2005), untuk membatasi penularan virus dengue dilakukan dua
siklus pengasapan atau penyemprotan, dengan interval satu minggu. Penentuan siklus ini
dengan asumsi, bahwa pada penyemprotan siklus pertama semua nyamuk yang
mengandung virus dengue atau nyamuk infektif, dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati.
Kemudian akan segera diikuti dengan munculnya nyamuk baru yang akan mengisap
darah penderita viremia yang masih ada yang berpotensi menimbulkan terjadinya
penularan kembali, sehingga perlu dilakukan penyemprotan siklus kedua. Penyemprotan
yang kedua dilakukan satu minggu sesudah penyemprotan yang pertama, agar nyamuk
baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan fogging dilakukan minimal oleh dua orang petugas,
dengan perhitungan setiap hari dapat menyelesaikan 30-40 rumah (1-1,5 Ha).
Setelah dilakukan fogging maka diamati dan dipantau dan tetap melakukan PSN dan
IX. PENUTUP
Demikian kerangka acuan ini kami buat, untuk menjadikan pedoman dalam pelaksanaan
Fogging focus.