Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dari sejarah diduga KLB Chikungunya pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo;
1823 di Zanzibar; 1824 di India; 1870 di Zanzibar; 1871 di India; 1901 di Hongkong, Burma,
dan Madras; 1923 di Calcuta. Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah
dengue, ini dapat diartikan bahwa infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue.
Istilah Chikungunya berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti Orang yang jalannya
membungkuk dan menekuk lututnya, suku ini bermukim di dataran tinggi Makonde Provinsi
Newala, Tanzania (yang sebelumnya bernama Tanganyika). Istilah Chikungunya juga
digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari serum darah penderita
penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara tersebut.
Pada demam Chikungunya adanya gejala khas dan dominan yaitu nyeri sendi. Dari tahun
1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika dan menyebar ke Amerika dan
Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1954.
Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam, Manila
dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka. Di negara berkembang seperti Indonesia,
angka kematian penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena banyak
dipengaruhi faktor lingkungan dan perilaku hidup masyarakat. Terlebih lagi dalam kondisi
sosial ekonomi yang memburuk, tentunya kejadian kasus penyakit menular memerlukan
penanganan yang lebih serius, profesional, dan bermutu. Indonesia juga menghadapi
beban ganda dalam pembangunan kesehatan atau yang dikenal dengan double burden.
Dewasa ini masih dihadapkan dengan meningkatnya beberapa penyakit menular (re-
emerging diseases), sementara penyakit tidak menular atau degeneratif mulai meningkat.
Di samping itu telah timbul pula berbagai penyakit baru (new-emerging diseases). Salah
satu masalah yang menjadi perhatian dan tercantum dalam PERPRES No. 5 tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 2014 adalah
pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti upaya penyehatan
lingkungan. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian dan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia dewasa ini yaitu Demam Chikungunya yang
penyebarannya semakin luas. Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad
ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda.
Saat itu infeksi virus ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5
hari (vijfdaagse koorts) yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel
koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada
tahun 1973 di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala
Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di
Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak
dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di Aceh, tahun 2001 di Jawa
Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ), tahun 2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado,
DKI, Banten, tahun 2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah.
Secara epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial untuk
timbulnya KLB Chikungunya Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes
Aegypti dan Aedes albopictus seperti halnya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
yang cara penanggulangannya telah dikenal oleh masyarakat secara luas.
Penanggulangan secara lintas program dan lintas sektor telah dilaksanakan secara rutin
dan berkesinambungan, sehingga cara penanggulangan penyakit Chikungunya bukan
merupakan sesuatu hal yang sangat khusus, namun dapat dilakukan secara bersamaan
dengan upaya pengendalian penyakit DBD. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah dalam
hal ini Kementerian Kesehatan menyusun suatu kebijakan yaitu Pedoman Pengendalian
Demam Chikungunya sebagai landasan dan acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM
Kesehatan pada khususnya.

b.Analisis situasi
Masalah mendiagnosa penyakit chikungunya dikategorikan sebagai
masalahartificial intelegent, khususnya sistem pakar karena pemecahan masalah tersebut
dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem yang dapat berperan sebagai seorang
ahli atau dokter.
Dengan kata lain terjadi pemindahan atau proses pengolahan informasi yang
bersifatheuristic yang artinya membangun dan mengoprasikan basis pengetahuan yang
berisi fakta serta penalarannya. Prosesnya disebut knowledge engineering yaitu
penyerapan basis pengetahuan dari pakar ke komputer.
Fakta yang diperoleh dari seorang ahli akan disimpan dalam suatu basis pengetahuan.
Kemudian dengan bantuan mesin inferensi dan memori kerja maka proses penarikan
tentang penyakit chikungunya pada manusia dapat dilakukan berdasar kategori bidang
yang sesuai sistem pakar ini, Melalui sebuah sistem pakar yang akan dibuat, diharapkan
deteksi yang dilakukan terhadap penyakit yang diperkirakan chikungunya bisa lebih cepat
karena dalam dunia kesehatan, waktu sangatlah berharga. Diagnosa dilakukan oleh
program, sehingga hasilnya pun lebih akurat.
Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada
tahun 1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, Tahun 1982
di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. KLB
Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh
(2000), Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ) pada tahun 2001, yang menyerang secara
bersamaan pada penduduk di satu kesatuan wilayah (RW/Desa ).
Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan lain-
lain. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB,
Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan
Sumatera Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB
Chikungunya pada beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa kematian.
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam
Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan
peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia
potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim
hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.

C.Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi :
Epidemiologi Demam Chikungunya
Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
Tatalaksana penderita
Surveilans dan penanggulangan kasus
D.Tujuan
Tujuan Umum :

Sebagai landasan dan acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan dalam
melaksanakan kegiatan pengendalian Demam Chikungunya sesuai dengan standar atau
prosedur yang telah ditetapkan.
Tujuan khusus :

1.Untuk mengetahui gambaran umum tentang chikungunya.


2.Untuk mengetahui kebijakan pemerintah tentang wabah chikungunya.
3.Untuk mengetahui bagaimanakah penanganan dan pencegahan masalah wabah
chikungunya.
4.Untuk mengetahui bagaimanakah pengorganisasian yang dilakukan pemerintah tentang
wabah chikungunya.
5.Untuk mengetahui standar minimal yang harus dilakukan mengenai wabah chikungunya
ini.
BAB II
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Salah satu kebijakan pemerintah untuk menanggulangi wabah chikungunya ini adalah
Promosi kesehatan.Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang
bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru (perubahan
perilaku). Dalam upaya pengendalian Demam Chikungunya strategi promosi kesehatan
yang harus dilakukan adalah (1) Pemberdayaan masyarakat, (2) Pembinaan suasana
lingkungan sosialnya, dan (3) Advokasi kesehatan kepada pihak-pihak yang dapat
mendukung terlaksananya kegiatan pengendalian Demam Chikungunya. Untuk mendukung
dan menanggulangi masalah kesehatan diperlukan kemitraan dengan melibatkan berbagai
sektor yaitu lembaga pemerintah, dunia usaha, media massa dan organisasi masyarakat
lainnya dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan.
Kegiatan promosi kesehatan dalam pengendalian Chikungunya yang dapat dilakukan
meliputi:
1. Advokasi Kesehatan
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi pimpinan,
pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan pimpinan media massa
agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat dalam penanggulangan Chikungunya sesuai dengan bidang tugas dan
keahlian masing-masing. Dengan metode lobby, pendekatan Informal, dan penggunaan
media massa
Adapun hasil yang diharapkan antara lain :
adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya (SDM, dana dan sumber
daya lainnya) dalam pengendalian Demam Chikungunya
Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang ber-anggotakan lembaga
pemerintah lintas program dan lintas sektor terkait, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader,
organisasi pemuda,organisasi profesi organisasi wanita, organisasi agama, LSM,
organisasi kemasyarakatan, pihak swasta dan dunia usaha untuk membahas dan memberi
masukan dalam pengendalian Demam Chikungunya

2. Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat untuk mau melakukan penanggulangan Chikungunya.
Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di
mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/ idolanya,
kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) memiliki
opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung proses
Pemberdayaan Masyarakat, khususnya dalam upaya mengubah para individu meningkat
dari fase tahu ke fase mau dalam Penanggulangan Chikungunya, perlu dilakukan Bina
Suasana dengan metode meliputi orientasi, pelatihan, kunjungan lapangan, jumpa pers,
dialog terbuka/interaktif di berbagai media, lokakarya/seminar, penulisan artikel di media
massa, khotbah di tempat peribadatan.
Adapun Hasil yang ingin dicapai antara lain :
Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya pengendalian
Chikungunya
Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan mendukung
pengendalian Chikungunya
Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari kelompok potensial
yang ada di masyarakat
3. Pemberdayaan Masyarakat
Adalah upaya menumbuhkan kesadaran dan kemampuan individu, keluarga dan
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuannya sebagai aspek perubahan
perilaku untuk mengenali/mendeteksi dini penyakit Chikungunya dan melakukan upaya
pencegahan melalui gerakan PSN yang terkoordinir. Dengan metode meliputi : promosi
individu, promosi kelompok, promosi massa.
Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkembangkan
norma yang membuat masyarakat mampu untuk pengendalian Chikungunya secara
mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara
aktif dalam pengendalian Chikungunya. Tujuan dari strategi pemberdayaan adalah
meningkatkan peran serta Individu, keluarga dan masyarakat agar tahu, mampu dan mau,
berperan serta dalam pengendalian Demam Chikungunya.
Hasil yang diharapkan dari pemberdayaan masyarakat adalah :
Tumbuhnya kepedulian masyarakat dalam pengendalian Demam Chikungunya
Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pengendalian Demam Chikungunya
Mengingat sampai saat ini belum ada obat dan vaksin terhadap penyakit ini, maka upaya
pencegahan dititikberatkan pada pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan membasmi
jentik nyamuk penular di sekitar tempat tinggal melalui gerakan PSN 3M Plus.
4. Kemitraan melalui POKJANAL
Adalah percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya pengendalian Demam
Chikungunya melalui semua pihak, semua komponen masyarakat dan unsur pemerintah,
lembaga perwakilan rakyat, perguruan tinggi, media massa, penyandang dana, dan lain-
lain.
Hasil yang diharapkan antara lain adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai
upaya termasuk kesehatan.Pelaku Kemitraan meliputi semua pihak, semua komponen
masyarakat dan unsur pemerintah, Lembaga Perwakilan Rakyat, perguruan tinggi, media
massa, penyandang dana, dan lain-lain, khususnya swasta.

BAB III

PENANGANAN MASALAH CHIKUNGUNYA


1. Penanggulangan kasus
a. Pengertian :
adalah kegiatan Pemberantasan nyamuk penular Chikungunya yg dilaksanakan dengan
melakukan pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya, larvasidasi, penyuluhan, dan
pengabutan panas (termal fog)/ pengabutan dingin (Ultra Low Volume / ULV) menggunakan
insektisida.
b. Tujuan
Untuk membatasi penularan Demam Chikungunya dan mencegah terjadinya KLB meluas
ke lokasi lainnya. Kegiatan dilakukan di tempat tinggal penderita Demam Chikungunya dan
rumah / bangunan sekitar dan tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi tempat
penularan Chikungunya lebih lanjut.
c. Kriteria PF
Bila pada hasil PE ditemukan penderita Chikungunya lainnya disekitar kasus pertama,
dengan melakukan PSN masal dan fogging.
d. Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan
1). Petugas Puskesmas setelah menerima laporan adanya kasus segera mencatat di buku
harian dan mempersiapkan peralatan untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan
epidemiologi (PE).
2). Petugas segera melapor ke Lurah dan Ketua RT/RW setempat bahwa di wilayahnya
ada penderita/tersangka Chikungunya dan akan dilaksanakan langkah-langkah
penanggulangan KLB.
3). Dalam melaksanakan kegiatan sebaiknya didampingi oleh Ketua RT/ Kader/Bidan desa
atau tokoh masyarakat lainnya.
4). Petugas melakukan wawancara dengan keluarga penderita untuk mengetahui
ada/tidaknya penderita demam disertai nyeri sendilainnya saat itu dan dalam kurun waktu 1
minggu sebelumnya. Jika ditemukan penderita lainnya yang demam disertai nyeri sendi
tanpa sebab yang jelas, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap tanda-tanda dari
Chikungunya.
5). Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) serta benda-benda
lainnya yang dapat menampung air baik di dalam maupun di luar rumah. Hasilnya
kemudian dicatat dalam Laporan PE.
6). Hasil PE dilaporkan kepada Kepala Puskesmas dan selanjutnya Kepala Puskesmas
melaporkan hasil dan rencana penanggulangan kepada Lurah dan Camat.
7). Hasil positif : jika ditemukan 1 penderita/tersangka Chikungunya lainnya dan ditemukan
jentik (house index) lebih dari 5%.
8). Hasil negatif : jika tidak ditemukan penderita/tersangka Chikungunya lainnya dan house
index < 5%, atau dapat dikatakan kemungkinan sumber penularan dari tempat lain.
9). Secara operasional sebaiknya dilakukan pengambilan sampel darah 5-10 orang untuk
memastikan diagnosa.
10).Untuk memutuskan rantai penularan maka dilakukan:
Penyuluhan intensif
Penggerakan masyarakat untuk melakukan gerakan PSN 3M Plus.
Larvasidasi massal, yaitu penapuran bubuk larvasida secara serentak di
seluruhwilayah/daerah tertentu disemua tempat penampungan air baik terdapat jentik
maupun tidak ada jentik di seluruh bangunan/rumah, termasuk sekolah, tempat ibadah dan
kantor.
Fogging fokus 2 siklus dengan interval 1 minggu.
Kegiatan penanggulangan tersebut diatas harus dilakukan segera secara bersamaan,
sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium serologis untuk memastikan etiologinya.
2.Tindakan Pencegahan
Mengingat nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus adalah vektor penular virus
chikungunya dan virus dengue (DBD), maka upaya pencegahan chikungunya hampir sama
dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Pencegahan dititikberatkan pada pemberantasan
nyamuk penular dapat dilakukan terhadap jentiknya atau nyamuk dewasa (Widoyono, 2008
: 70).

Pemberantasan Jentik
Pemberantasan jentik nyamuk yang dikenal dengan Pemberantasan SarangNyamuk
(PSN), dilakukan dengan cara :
Kimiawi
Larvasidasi adalah pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk larvasida. Terdapat 2
jenis larvasidasi (insektisida) yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk
menampung air bersih (TPA) yakni :
(1) Temephos 1%. Formulasi yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang
digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram ( 1 sdm rata) untuk tiap 100 l air. Dosis ini telah
terbukti efektif selama 8-12 minggu (2-3 bulan).

(2) Insect Growth Regulators (Pengatur Pertumbuhan Serangga)


Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa
sebelum dewasa dengan menghambat proses chitin synthesis selama masa jentik berganti
atau mengacaukan proses perubahan pupa menjadi nyamuk dewasa. Contoh IGRs
adalah methroprene dan phyriproiphene. Secara umum IGRs akan memberikan efek
ketahanan 3-6 bulan dengan dosis yang cukup rendah bila digunakan di dalam tempat
penampungan air.
Biologi
Penerapan pengendalian biologi yang ditujukan terhadap jentik hanya terbatas pada
operasi berskala kecil. Pengendalian dengan cara ini misalnya dengan memelihara ikan
pemakan jentik atau dengan bakteri. Ikan yang biasanya dipakai adalah Larvavorus
(gambusia, affins, poecilia reticulate, dan ikan adu), sedang bakteri yang dinilai efektif untuk
mengendalikan ada dua spesies yakni bakteri endotoksin yang memproduksi Baccilus
thuringiensis serotipe H-14 dan Baccilus sphaericus (Bs).
Fisik
Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M (menguras, menutup, dan mengubur) yaitu menguras
bak mandi, bak WC, menutup Tempat Penampungan Air (TPA) serta mengubur barang
bekas seperti (ban, botol, kaleng bekas, dll). Pengurasan Tempat Penampungan Air (TPA)
perlu dilakukan secara terus menerus sekurangkurangnya seminggu satu kali agar nyamuk
tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut.

Pemberantasan Nyamuk
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan
(pengasapan = fogging) dengan insektisida. Insektisida yang dapat digunakan ialah
insektisida golongan:
Organophospate, misalnya malathion, fenitrothion
Pyretroid sintetic, misalnya lamda, sihalotrin, permetrin
Carbamat
Alat yang digunakan untuk penyemprotan ialah mesin fogg atau mesin ULV (Depkes RI,
2005).
Selain itu, juga perlu dilakukan upaya dengan cara lain, seperti :

1. Membersihkan halaman atau kebun di sekitar rumah.


2. Membersihkan saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak.
3. Membuka pintu dan jendela rumah setiap pagi hari sampai sore, agar udara segar dan
sinar matahari dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang
sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk.
4. Memakai pakaian pelindung dari gigitan nyamuk Aedes dapat merupakan alternatif
penting dalam memutus kontak antara nyamuk dewasa dengan manusia. Pakaian tersebut
cukup tebal atau longgar berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki dapat
melindungi tangan dan kaki dari tusukan nyamuk karena merupakan bagian tubuh yang
rawan.
5. Memakai repellent atau penolak serangga merupakan sarana pelindung diri terhadap
nyamuk dan serangga yang umumnya digunakan. Bahan ini secara garisbesar dibagi
menjadi 2 kategori yaitu penolak alami dan penolak kimiawi.Minyak esensial dan ekstrak
tanaman merupakan bahan pokok penolak
alami, misalnya minyak neem (pada kayu mahoni). Penolak kimiawi misalnya DEET (N,N-
Diethyl-m-Taluamide) dapat memberikan perlindungan terhadap nyamuk Aedes
aegytpi dan Aedes albopictus.
Repellent dioleskan seperlunya pada bagian tubuh yang terbuka.
6. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian. Kebiasaan meletakkan pakaian
digantungkan yang terbuka, misalnya di belakang pintu kamar. Melipat pakaian atau kain
yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap pada pakaian tersebut.
7. Tidur siang dengan menggunakan kelambu Kebiasaan orang tidur pada siang hari akan
mempermudah penyebaran penyakit chikungunya, karena nyamuk betina mencari
umpannya pada siang hari (Anies, 2006 : 76).

BAB IV

PENGORGANISASIAN

Sesuai dengan fungsinya masing masing maka setiap unit Pelayanan Kesehatan , Dinas
Kesehatan kabupaten atau kota , Dinas Kesehatan Provinsi dan Departeman Kesehatan
wajib untuk melaksanakan atau melakukan kegiatan penanggulangan semua jenis penyakit
gawat darurat.Tak terkecuali Penyakit chikungunya ini.
Kegiatan Pengendalian Vektor Chikungunya
a. Kegiatan pengendalian vektor sesuai dengan tingkat administrasi
Kegiatan Pengendalian Vektor memberikan beban yang berbeda disetiap level administratif
yaitu :
1). Pusat
Sesuai dengan Tupoksi Pusat, maka Kegiatan Pengendalian Vektor (PV) lebih diutamakan
pada kegiatan penetapan kebijakan Pengendalian Vektor, Penyusunan standarisasi, modul
juklak juknis, Monitoring dan evaluasi Pengendalian Vektor Nasional, serta Bimbingan
teknis Pengendalian Vektor Nasional.
2). Provinsi
Di Tingkat Propinsi, kegiatan Pengendalian Vektor adalah : pelaksanaan kebijakan
Nasional Pengendalian Vektor, merencanakan kebutuhan alat, bahan dan operasional PV,
Monev PV, Bintek PV ke kabupaten.
3). Kabupaten
Otonomi daerah memberikan peran yang lebih luas kepada Kabupaten untuk secara aktif
dan mandiri melakukan kegiatan PV di wilayahnya sesuai dengan kondisi spesifik lokal
daerah. Untuk itu selain melaksanakan juklak/juknis dan pedoman, merupakan tugas
kabupaten untuk merencanakan dan mengadakan alat, bahan operasional PV, Monev
kegiatan PV , Bintek kegiatan PV di Puskesmas.
4). Puskesmas
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bertugas menjaga kesinambungan
kegiatan PV oleh masyarakat di wilayahnya, menggerakkan peran serta masyarakat melalui
kader, tokoh masyarakat, serta melakukan kegiatan PV secara langsung di masyarakat.

b. Operasional Pengendalian Vektor


1). Pengabutan (fogging/ULV)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan tenaga lain yang
telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
Alat : Mesin fog atau ULV
Cara : Pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu minggu (petunjuk
fogging terlampir)
2). Pemberantasan sarang nyamuk
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu
kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk : tempat penampungan
air,barang bekas ( botol , pecahan gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang pagar/pelepah
pisang, tempat minum burung, alas pot, dispenser, tempat penampungan air di bawah
kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/bangunan dan tempat umum.
Cara : Melakukan kegiatan 3 M plus. (disesuaikan dengan lokal spesifik daerah terjangkit).
Contoh :
Untuk daerah sulit air PSNnya tidak menguras, tetapi larvasidasi, ikanisasi, dll).
Untuk daerah tandus tidak mengubur namun diamankan agar tidak menjadi tempat
penampungan air.
Untuk daerah mudah mendapatkan air menguras dengan sikat dan sabun
PLUS: membakar obat nyamuk, menggunakan repelen, kelambu, menanam pohon sereh,
zodia, lavender,geranium, pasang, obat nyamuk semprot, pasang kasa dll.
3). Larvasidasi
Pelaksana: Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas puskesmas/dinas
kesehatan kabupaten/kota
Lokasi: Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran: Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida: Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi pemakaian insektisida
instruksi Dirjen PP dan PL
Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB.
BAB V

STANDAR MINIMAL

A. SURVEILLANS
Surveilans Chikungunya adalah proses pengumpulan pengolahan analisis dan interpretasi
dan penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak / instansi terkait
secara sistematis dan terus menerus tentang situasi Chikungunya dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat
dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Surveilan Chikungunya meliputi survey kasus dan survey vektor yang dapat dilakukan
secara pasif dan aktif.
Tujuan surveillans Chikungunya, yaitu:
1. Menghasilkan informasi yang cepat dan akurat agar dapat disebarluaskan sebagai dasar
penanggulangan Chikungunya yang cepat dan tepat untuk menyususun perencanaan yang
sesuai dengan permasalahannya.
2. Mendapatkan distribusi penyakit Chikungunya menurut orang, tempat, dan waktu.
3. Mendapatkan trend kasus Chikungunya
4. Melakukan pengamatan kewaspadaan dini SKD KLB dalam rangka mencegah dan
penanggulangan KLB secara dini.
Penetapan Kejadian Luar Biasa ( KLB ) Chikungunya merujuk pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 tentang jenis Penyakit menular tertentu yang dapat
menimbulkan wabah dan upaya penanggulanganya.
1. Surveillans Kasus
Surveillan kasus Chikungunya adalah kegiatan surveillans yang dilakukan untuk
menemukan kasus Chikungunya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
secara aktif maupun pasif.
a. Surveilans pasif
Yaitu penemuan kasus berdasarkan informasi dan laporan dari sarana kesehatan (RS,
puskesmas, klinik, laboratorium, KKP) maupun dari masyarakat. Informasi data dapat
diperoleh melalui :
1.Laporan mingguan sistem ewars
EWARS (Early Warning Alert and Respon System) melalui tersangka Chikungunya dengan
trias gejala utama yaitu demam, nyeri sendi hebat dan ruam kemerahan di kulit (rash).
2. Laporan bulanan STP Puskesmas / RS
3. Laporan bulanan program
4. Laporan Masyarakat
b. Surveillans aktif
Yaitu penemuan kasus yg diperoleh melalui kunjungan lapangan untuk melakukan
penegakan diagnosis secara epidemiologis berdasarkan gambaran umum penyakit menular
tertentu yang dapat menimbulkan wabah yang selanjutnya diikuti dengan pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan laboratorium. Kegiatan surveilans aktif penyakit Demam
Chikungunya dapat dalam bentuk kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) berdasarkan
kasus terlaporkan atau berdasarkan pertimbangan faktor resiko lainnya. Kegiatan
surveillans aktif dapat dilaksanakan oleh petugas Dinas Kesehatan/ Puskesmas
setempat.Tersangka Chikungunya hasil temuan surveilans aktif ditindak lanjuti / dilaporkan
ke sarana kesehatan / Puskesmas untuk di lakukan pemeriksaan lanjutan.
2. Surveillans Vektor
Surveillans vektor Chikungunya adalah kegiatan surveillans yang dilakukan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penularan kasus setempat dalam kegiatan penyelidikan
epidemiologi (PE) dan untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor Chikungunya melalui
kegiatan survey berdasarkan faktor resiko (iklim, tingkatkepadatan vektor, mobilisasi
masyarakat). Selain itu kegiatan ini dapat digunakan sebagai evaluasi kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan
Pemantauan Jentik Berkala (PJB).
Tujuan dilaksanakan surveilan vektor Chikungunya adalah:
Untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor Chikungunya
Untuk mengetahui tempat perindukan potensial vektor Chikungunya
Untuk mengetahui jenis larva/jentik vektor Chikungunya
Untuk mengukur indek-indek larva/jentik (ABJ, CI, HI, dan BI)
Untuk mencari cara pengendalian vektor Chikungunya yang tepat
Untuk menilai hasil pengendalian vektor
Untuk mengetahui tingkat kerentanan vektor Chikungunya terhadap insektisida.
Dalam metode Surveilans Vektor Chikungunya yang ingin kita peroleh antara lain adalah
data-data kepadatan vektor. Untuk memperoleh data-data tersebut tentulah diperlukan
kegiatan survei, ada beberapa metode survei yang kita ketahui, meliputi metode survei
terhadap nyamuk, jentik dan survei perangkap telur (ovitrap). Sebelum melakukan survei
vektor Chikungunya diperlukan penentuan lokasi surveilans/ pengamatan, waktu
pengamatan, cara pengamatan/ pengukuran vektor Chikungunya, persiapan peralatan dan
bahan surveilans vektor Chikungunya, pengumpulan, pencatatan dan analisa data hasil
surveilans/pengamatan.
1. Penentuan Lokasi Pengamatan
Lokasi yang akan diamati/diukur tingkat kepadatan vektor Chikungunya adalah lokasi yang
diduga sebagai tempat perkembangbiakan/istirahat/ mencari makan nyamuk Aedes sp.
yang berdekatan dengan kehidupan/ kegiatan manusia, antara lain :
a. permukiman penduduk,
b. tempat-tempat umum (sekolah, tempat ibadah, perkantoran dsb).
Pengamatan/pengukuran kepadatan populasi vektor Chikungunya dapat dilakukan pada :
a. Wilayah endemis Chikungunya.
b. Wilayah yang pernah terjadi KLB Chikungunya.
c. Wilayah yang menjadi sasaran pengendalian vektor Chikungunya secara kimiawi dan
biologi.
2. Pelaksanaan Pengamatan
Pengamatan kepadatan populasi vektor Chikungunya dilakukan mulai dari tingkat
Puskesmas sampai Pusat, sebagai berikut :
a. Kader / PKK / Jumantik
Melakukan pemeriksaan jentik minimal 1 minggu sekali disetiap rumah pada wilayah kerja
jumantik. Sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pelaksaanaan PSN.
b. Petugas puskesmas
1) Monitoring secara berkala minimal 3 bulan sekali pada wilayah kerja Puskesmas (PJB)
dan dilakukan evaluasi pelaksaanaan PSN.
2) Pemeriksaan jentik berkala (PJB) juga dilakukan oleh masing-masing puskesmas
terutama di desa/kelurahan endemis (cross check) pada tempat-tempat perkembang-
biakan nyamuk Aedes aegypti/albopictus dari 100 sampel rumah/bangunan yang dipilih
secara acak serta diulang untuk setiap siklus pemeriksaan.
3) Contoh cara memilih sampel 100 rumah/bangunan sebagai berikut:
Dibuat daftar RW dan RT untuk tiap desa/kelurahan

Setiap RT diberi nomor urut


Dipilih sebanyak 10 RT sampel secara acak (misalnya dengan cara systematic random
sampling) dari seluruh RT yang ada di wilayah desa/kelurahan
Dibuat daftar nama kepala keluarga (KK) atau nama TTU dari masing-masing RT
sampel atau yang telah terpilih.
Tiap KK/rumah/TTU diberi nomor urut, kemudian dipilih 10 KK/ rumah/TTU yang ada di
tiap RT sampel secara acak (misalnya dengan cara systematic random sampling).
c. Pengelola Program Arbovirosis di Dinkes Kab/Kota
Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh kader jumantik dan Puskesmas
secara berkala minimal 6 bulan sekali.
d. Pengelola Program Arbovirosis di Dinkes Propinsi
Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh Dinkes Kab/ Kota secara berkala
minimal 3 bulan sekali, untuk Dinkes Provinsi dan Pusat minimal 6 bulan sekali.
BAB VI

PENUTUP

A.Kesimpulan
Masalah mendiagnosa penyakit chikungunya dikategorikan sebagai masalahartificial
intelegent, khususnya sistem pakar karena pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan
dengan mengembangkan sistem yang dapat berperan sebagai seorang ahli atau dokter.
Dengan kata lain terjadi pemindahan atau proses pengolahan informasi yang
bersifatheuristic yang artinya membangun dan mengoprasikan basis pengetahuan yang
berisi fakta serta penalarannya. Prosesnya disebut knowledge engineering yaitu
penyerapan basis pengetahuan dari pakar ke komputer.
Fakta yang diperoleh dari seorang ahli akan disimpan dalam suatu basis pengetahuan.
Dari sejarah diduga KLB Chikungunya pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo;
1823 di Zanzibar; 1824 di India; 1870 di Zanzibar; 1871 di India; 1901 di Hongkong, Burma,
dan Madras; 1923 di Calcuta. Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah
dengue, ini dapat diartikan bahwa infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue.
Istilah Chikungunya berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti Orang yang jalannya
membungkuk dan menekuk lututnya, suku ini bermukim di dataran tinggi Makonde Provinsi
Newala, Tanzania (yang sebelumnya bernama Tanganyika). Istilah Chikungunya juga
digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari serum darah penderita
penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara tersebut.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse
koorts) yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Kejadian Luar
Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda
Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan
tahun 1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah
melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak
tahun 1999 yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat ( Bogor,
Bekasi, Depok ), tahun 2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten,
tahun 2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Secara
epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial untuk timbulnya
KLB Chikungunya Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes
albopictus seperti halnya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cara
penanggulangannya telah dikenal oleh masyarakat secara luas.
B.Saran
Diharapakan masyarakat dapat lebih meningkatkan perhatian terhadap kebersihan
lingkungan demi peningkatan derajat kesehatan yang optimal.
Diharapkan masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan
chikungunya dengan cara melaksanakan 3 M plus.
Diharapkan pemerintah dapat meningkatkan kewaspadaan dini terhadap virus
chikungunya guna pencegahan penyebaran penyakit chikungunya di masyarakat
dengan melaksanakan penyuluhan-penyuluhan lewat komunikasi,informasi dan edukasi
,serta pemantauan wilayah endemis untuk terjadinya penyebaran virus chikungunya.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2003. Buku Pencegahan Dan Penanggulangan Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue (Terjemahan WHO Regional Publication SEARO No.29).
Jakarta
Depkes RI. 2005. Buku Pencegahan Dan Pemberantasan CHIKUNGUNYA; Subdit
Arbovirosis, Dit PPBB, Ditjen PP&PL. Jakarta.
Depkes RI. 2004. Buku Modul Entomologi, Subdit. Pengendalian Vektor. Jakarta.
Depkes RI. 2007 a. Buku Pedoman Jumantik, Subdit. Arbovirosis. Jakarta.
Depkes RI. 2007 b. Buku Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue,Dit
PPBB, Ditjen PP & PL. Jakarta.
Depkes, 2007 c. Pedoman Pengendalian Chikungunya. Ditjen PP dan PL, Depkes.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.
Direktorat Jenderal PP dan PL, 2010. Peraturan Menteri kesehatan R.I No.
1501/Menkes/Per/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2011.
Kemenkes. 2010. Permenkes nomor : 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor. Jakarta
PAHO/CDC, 2011. Preparedness and Response for Chikungunya Virus; Introduction in
the Americas. PAHO/CDC
SEARO, 2009. Guidelines for Prevention and Control of Chikungunya Fever.
WHO-SEARO 2009.

Anda mungkin juga menyukai