BAB III Tinjauan Pustaka
BAB III Tinjauan Pustaka
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Sumber : Martini, Timmons dan Tallitsch. 2008. Van De Graaff: Human Anatomy sixth ed. Pearson
Education. Hal 612.
Paru terbagi menjadi paru kanan dan kiri. Paru kanan berukuran sedikit lebih
besar daripada paru kiri. Batas anterior paru kanan di mulai di belakang sendi
sternoklavikular dan mencapai linea mediana pada ketinggian angulus sterni.
Batas paru ini terus ke bawah melalui belakang sternum hingga level
sternokondralis ke enam. Paru kanan kemudian mulai melengkung ke lateral dan
sedikit inferior, memotong iga ke enam di linea midklavikularis dan memotong
iga ke delapan di linea midaksilaris. Batas ini kemudian menuju ke posterior dan
medial pada ketinggian prosesus spinosus vertebra torasik ke sepuluh. Batas
anterior paru kiri hampir sama dengan batas anterior paru kanan, tetapi pada level
kartilago iga ke empat, paru kiri berdeviasi ke lateral karena terdapat jantung pada
bagian tersebut. Batas bawah paru kiri lebih inferior bila dibandingkan dengan
paru kanan karena di sisi kanan tubuh terdapat hepar.1
Pada facies mediastinalis, terdapat struktur yang disebut sebagai hilum
pulmonis, yaitu suatu tempat masuknya bronkus, pembuluh darah, dan saraf serta
tempat keluarnya vena pulmonaris yang membentuk radix pulmonis. Di sekitar
hilum, terdapat cekungan-cekungan yang merupakan cetakan organ tubuh yang
berada di sekitar paru. Pada facies mediastinalis paru kanan terdapat gambaran
vena brachiocephalica, vena cava superior, vena cava inferior, jantung, vena
azygos, dan esofagus. Pada facies mediastinalis paru kiri terdapat gambaran arkus
aorta, aorta descenden, arteri subklavia, jantung (cardial notch), dan esofagus.1
19
Lapisan pleura di inferior hilus membentuk suatu struktur yang menyokong paru
yang dikenal sebagai ligamentum pulmonale. Lapisan pleura parietalis dan pleura
visceralis di inferior paru berhimpitan dan membentuk suatu struktur yang dikenal
sebagai sulcus costofrenikus.1
Paru kanan terbagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus medial dan
lobus inferior. Antara lobus yang satu dengan lobus yang lain dipisahkan oleh
22
fissura. Antara lobus superior dan lobus inferior, terdapat fissura obliqus yang
berjalan dari pinggir inferior ke arah posteroseuperior menyilang facies costalis
dan facies mediastinalis hingga sekitar 2,5 inci dari apeks paru. Antara lobus
medial dan lobus superior terdapat fissura horizontalis yang berjalan horizontal
setinggi kartilago costa IV dan bertemu dengan fissura obliqus di linea
midaxilaris. Paru kiri terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan lobus
inferior. Lobus superior dan lobus inferior dipisahkan oleh fissura obliqus.1
Paru dapat dibagi lebih lanjut menjadi beberapa segmen yang berbentuk
piramid dengan lobus menghadap ke arah radix pulmonis. Pembagian ini
dilakukan berdasarkan bronkus tersier (bronkus segmentalis) yang mensuplai
bagian tersebut. Bronkus tersier selalu disertai oleh satu arteri segmentalis yang
merupakan cabang dari arteri pulmonalis, pembuluh limfe dan saraf otonom.
Antara segmen yang satu dan segmen yang lain dibatasi oleh jaringan ikat dan di
dalam jaringan ikat tersebut terdapat vena segmentalis yang merupakan pembuluh
darah balik dari paru. Paru kanan dan paru kiri dapat dibagi menjadi 10 segmen.1
Gambar 5.
Segmen Paru
Kanan dan
Paru Kiri4
Sumber :
Seeley, dkk.
2004. Seeley-
Stephen-Tate:
Anatomy and
Physiology
Sixth Edition.
McGraw Hill
Companies.
Hal 824.
23
Adapun pembagian segmen paru kanan dan paru kiri adalah sebagai berikut1:
a. Paru kanan
Lobus Superior : - Segmentum apicale
- Segmentum posterior
- Segmentum anterior
b. Paru kiri
Lobus Superior : - Segmentum apicale
- Segmentum posterior
- Segmentum anterior
- Segmentum lingulare superior
- Segmentum lingulare inferior
Segmen segmen paru terdiri atas lobulus lobulus yang dipisahkan oleh
jaringan ikat. Setiap lobulus berhubungan dengan bronkiolus yang berasal dari
percabangan bronkus tersier. Di dalam lobulus tersebut terdapat unit unit yang
lebih kecil yang disebut sebagai sacus alveolus yang terdiri dari beberapa
alveolus. Sacus alveolus sendiri merupakan kelanjutan dari duktus alveolus yang
berasal dari bronkiolus terminal dan bronkiolus resporatorius. Duktus alveolus
tersusun atas selapis epitel pipih, sedangkan bronkiolus respiratorius tersusun atas
selapis epitel kuboid.1
Di dalam paru kanan dan kiri terdapat kurang lebih 300 juta alveolus dengan
diameter tiap alveoli sekitar 250 m. Dinding alveolus dibentuk oleh 2 tipe sel
pneumosit. Pneumosit tipe I merupakan sel epitel ipih yang menyusun 90% dari
24
Bronkus, jaringan ikat paru dan pleura visceralis mendapat suplai darah dari
arteri bronchiales yang merupakan cabang dari aorta descendens. Pembuluh darah
balik dari paru adalah vena segmentalis yang bermuara ke vena pulmonales.
Terdapat 2 vena pulmonales pada setiap hilus yang kemudian bermuara ke atrium
kiri jantung.1,2,3,4
Pembuluh limfe paru berasal dari plexus superficialis dan plexus profundus.
Pembuluh limfe ini tidak ditemui pada alveoli. Plexus superficialis terletak di
bawah pleura visceral sepanjang permukaan paru dan mengalirkan cairannya ke
arah hilum pulmonalis melalui nodi bronkopulmonalis. Plexus profunfus berjalan
sepanjang bronki dan arteri pulmonalis untuk kemudian bermuara di nodi
intrapulmonalis yang terletak di dalam substansi paru kemudian masuk ke dalam
nodi bronkopulmonalis sebelum akhirnya mengalir ke hilum pulmonalis. Semua
cairan limfe paru meninggalkan hilum pulmonalis mengalir ke nodi
trakeobronkiales dan kemudian masuk ke dalam trunkus limfatikus
bronkomediastinalis.1
3.2 Tuberculosis
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis (Tb) adalah infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis.
Kuman Tb merupakan kuman gram negatif berbentuk batang. Kuman
tersebut masuk tubuh melalui udara pernafasan yang masuk ke dalam
paru, kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung ke tubuh lainnya23.
26
3.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (Tb) hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah
diterapkan sejak tahun 1995 di banyak negara.5
Menurut laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2013, pada
tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus Tb. Indonesia berada pada peringkat ke
lima negara dengan beban Tb tertinggi di dunia. 6 Pada tahun 2012 tercatat
sejumlah 450.000 kasus Tb telah ditemukan dan lebih dari 170.000
Suspek Tb
Antibiotik non-OAT
Gambar 11. Rontgen Paru Normal Gambar 12. Rontgen Paru Tb positif
6. Abses Paru
3.2.7 Pengobatan
Semua pasien Tb yang belum pernah diobati harus diberi panduan obat lini
pertama:
1) Fase awal: 2 bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
2) Fase lanjutan: 4 bulan isoniazid dan rifampisin, atau
3) Pemberian isoniazid dan etambutol selama 6 bulan untuk fase lanjutan
tidak direkomendasikan untuk pasien Tb dengan HIV/AIDS karena mudah
terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh15,16.
Berat Badan Tahap intensif setiap hari selama 56 Tahap lanjutan 3x seminggu selama 16
(kg) hari RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
Pada pengobatan dengan OAT, kasus gagal (failure) adalah pasien yang
hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan. Pada kasus gagal maka pengobatan
dilanjutkan dengan menggunaka OAT Kategori-217.
Pasien Tb yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi selama minimal
dua tahun setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Evaluasi
dilakukan terhadap sputum BTA dan foto thoraks. Evaluasi foto thoraks dilakukan
pada bulan 6,12, dan 24 untuk membantu menilai kemungkinan terjadinya
kekambuhan dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya18.
3.2.8 Indikasi Rawat
Pasien Tb perlu dilihat keadaan klinisnya, bila baik dan tidak ada
indikasi rawat, pasien diperbolehkan pulang. Pasien yng dapat mencukupi
kebutuhan makanan bergizi, dan vitamin (bila perlu) biasanya cukup
dengan rawat jalan saja. Selain OAT diperlukan pula pengobatan
simptomatis / suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau gejala17.
Indikasi rawat inap pada pasien Tb antara lain apabila disertai
gejala seperti batuk berdarah massif, keadaan umum yang buruk,
pneumothoraks, emphyema, efusi pleura massif/bilateral, sesak nafas berat
(bukan karena efusi pleura), dan keadaan yang mengancam nyawa; seperti
Tb paru milier dan meningitis Tb17.
3.2.9 Komplikasi
1. Perdarahan gastrointestinal masif
2. Ensepalopati
3. Edema paru dan efusi pleura
36
4. Kematian
3.2.10 Prognosis
Pengobatan awal secara signifikan meningkatkan kemungkinan
prognosis jangka panjang positif. Pasien Tb harus mematuhi regimen obat
yang diresepkan, jadwal pengobatan, dan dosis. Banyak orang merasa
lebih baik beberapa minggu setelah memulai pengobatan, namun bakteri
Tb masih sangat aktif dalam tubuh. Penghentian pengobatan saat ini dapat
mengakibatkan resistan terhadap obat Tb. Resistensi terhadap obat Tb
akan jauh lebih sulit untuk mengobati dan membawa resiko kematian yang
lebih tinggi dibandingkan non-resisten terhadap obat Tb. Orang dengan Tb
yang tidak diobati memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada
yang diobati. Sekitar 50% orang dengan Tb yang tidak diobati meninggal
dalam waktu 5 tahun.19
37
3.3 Pneumonia
3.3.1 Definisi
Pneumonia adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA),
infeksi ini dapat mengenai parenkim paru, bagian distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratori dan alveoli, serta meimbulkn konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas.1 Secara kinis pneumonia didefinisikan
sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan
lain-lain) disebut pneumonitis.21
3.3.2 Epidemiologi
Influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001
menyebutkan bahwa penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2
sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8%
kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan
angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat
keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.21,22
3.3.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, dan jamur. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh patogen
yang berasal dari saluran napas atas. Di Indonesia, telah dilakukan beberapa
penelitian mengenai etiologi pneumonia. Berbagai teknik pengambilan sampel
dilakukan mulai dari secara noninvasif yaitu dibatukkan (dahak), atau dengan cara
invasif yaitu aspirasi transtorakal, aspirasi transtrakeal, dan sikatan bronkus. Hasil
penelitian-penelitian tersebut, seperti yang dirangkum dalam Konsesus
Pneumonia, menunjukan bahwa penyebab tersering dari pneumonia komuniti
adalah Streptococcus pneumonia, dan Streptococcus viridans. Beberapa bakteri
lain yang sering ditemukan dalam kasus pneumonia komuniti adalah Mycoplasma
38
Berdasarkan penyebab
a. Pneumonia tipikal, dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella
pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3.3.6 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Paruparu memiliki mekanisme pertahanan yang
cukup kompleks dan bertahap.Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan
terjadinya infeksi saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah
bakteri agar tidak masuk kedalam paru. Mekanisme pembersihan tersebut adalah :
1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi :
Reepitelisasi saluran napas
Aliran lendir pada permukaan epitel
Bakteri alamiah atau ephitelial cell binding site analog
Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
Komponen mikroba setempat
Sistem transpor mukosilier
Reflek bersin dan batuk
Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan
mekanisme pertahanan melalui barrier anatomi dan mekanisme terhadap
masuknya mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong
mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan. Bila terjadi
disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa
nasogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran
sekret yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen. Dalam keadaan
ini dapat terjadi infeksi nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia.24,26
pertama berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB, P.
aeruginosa). Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme
patogen pada tingkat alveolar dan bagaimana respon individu terhadap patogen
yang berproliferasi tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor yaitu kondisi
individu, utamanya imunitas (humoral dan seluler), jenis mikroorganisme patogen
yang menyerang pasien, dan lingkungan sekitar yang berinteraksi satu sama lain.
Ketiga faktor tersebut akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari
pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara
empiris, serta prognosis dari pasien.28,30
Penyebab pneumonia dapat masuk melalui inhalasi, terjadi pada infeksi
virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri
dengan ukuran 0,5-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau
alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi
pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran,
peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung
konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001-1,1 ml) dapat menyebabkan infeksi pada parenkim paru. 30
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian difagositosis.27,31
cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub, serta gejala
sistemik berupa nausea, vomiting, malaise, headache, myalgia.31
3.3.8 Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis pneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 38 C, demam tinggi mendadak, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritic, sesak serta gejala sistemik
berupa nausea, vomiting, malaise, headache, myalgia.31
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis bisa didapatkan demam, sesak (suara terpenggal),
takipnue sedangkan temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di
paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,
pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai
ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium
resolusi.32,33
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini. Beberapa factor dapat
memengaruhi manifestasi klinis dan prognosis penderita pneumonia, faktor
tersebut meliputi:
46
Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks PA atau lateral merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
47
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.21
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah
dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.21,22
3.3.9 Tatalaksana
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Umur lebih dari 65 tahun
Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
Pecandu alkohol
Penyakit gangguan kekebalan
Penyakit penyerta yang multiple22,23
c. Pseudomonas aeruginosa
Bronkiektasis
48
rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang
Rawat Intensif.
Evaluasi pengobatan
50
3.3.10 Komplikasi
a. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
b. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung,
emboli paru dan infark miokard akut.
c. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
d. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
e. Sepsis
f. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
g. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
51
h. Abses paru
i. Efusi pleura
3.3.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis pneumonia baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat.
Faktor-faktor yang memengaruhi prognosis antara lain usia, pengggunaan
antibiotik dalam waktu yang lama, Extremes of age, mengenai lebih dari 1 lobus,
jumlah WBC kurang dari 5000/l, dan penyakit komorbid yang menyertai.
Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada
penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang
dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah
sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I
0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2%
dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian
penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas.21,23