Anda di halaman 1dari 35

17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Paru


Paru merupakan organ pernapasan yang terletak di dalam rongga dada,
tepatnya di dalam rongga pleura, di samping kanan dan kiri mediastinum. Paru
berbentuk konus dengan apeks yang tumpul pada bagian superior dan basal paru
di bagian inferior. Apeks paru terletak sekitar 1 inci (2,5 cm) di atas os. clavicula
pada bagian anterior dan sejajar dengan vertebra torasika pertama pada sisi
posterior. Bagian basalnya terletak tepat di atas diafragma, yaitu sekitar level
vertebra torasika VIII atau IX pada inspirasi maksimal. Bagian anterior, lateral
dan posterior paru berbatasan dengan dinding toraks. Bagian paru yang
menghadap ke dinding thoraks ini berbentuk konveks dan disebut sebagai facies
costalis. Bagian medial paru yang berbatasan dengan mediastinum berbentuk
konkaf dan disebut sebagai facies mediastinalis.1
Gambar 1. Topografi Paru2
18

Sumber : Martini, Timmons dan Tallitsch. 2008. Van De Graaff: Human Anatomy sixth ed. Pearson
Education. Hal 612.

Paru terbagi menjadi paru kanan dan kiri. Paru kanan berukuran sedikit lebih
besar daripada paru kiri. Batas anterior paru kanan di mulai di belakang sendi
sternoklavikular dan mencapai linea mediana pada ketinggian angulus sterni.
Batas paru ini terus ke bawah melalui belakang sternum hingga level
sternokondralis ke enam. Paru kanan kemudian mulai melengkung ke lateral dan
sedikit inferior, memotong iga ke enam di linea midklavikularis dan memotong
iga ke delapan di linea midaksilaris. Batas ini kemudian menuju ke posterior dan
medial pada ketinggian prosesus spinosus vertebra torasik ke sepuluh. Batas
anterior paru kiri hampir sama dengan batas anterior paru kanan, tetapi pada level
kartilago iga ke empat, paru kiri berdeviasi ke lateral karena terdapat jantung pada
bagian tersebut. Batas bawah paru kiri lebih inferior bila dibandingkan dengan
paru kanan karena di sisi kanan tubuh terdapat hepar.1
Pada facies mediastinalis, terdapat struktur yang disebut sebagai hilum
pulmonis, yaitu suatu tempat masuknya bronkus, pembuluh darah, dan saraf serta
tempat keluarnya vena pulmonaris yang membentuk radix pulmonis. Di sekitar
hilum, terdapat cekungan-cekungan yang merupakan cetakan organ tubuh yang
berada di sekitar paru. Pada facies mediastinalis paru kanan terdapat gambaran
vena brachiocephalica, vena cava superior, vena cava inferior, jantung, vena
azygos, dan esofagus. Pada facies mediastinalis paru kiri terdapat gambaran arkus
aorta, aorta descenden, arteri subklavia, jantung (cardial notch), dan esofagus.1
19

Gambar 2. Facies Mediastinalis dan Hilus pada Paru Kanan3


Sumber : Moore, L. K., Agur, A. M. R., dan Dalley, A. F. 2014. Moore Clinicaly Oriented
Anatomy 7th Ed. Elsevier.
20

Gambar 3. Facies Mediastinalis dan Hilus pada Paru Kiri3


Sumber : Moore, L. K., Agur, A. M. R., dan Dalley, A. F. 2014. Moore Clinicaly Oriented
Anatomy 7th Ed. Elsevier.
Paru dilapisi oleh lapisan membran serosa yang disebut pleura. Pleura terdiri
atas lapisan visceral dan parietal. Pleura parietalis adalah lapisan pleura yang
menempel pada dinding dada, meliputi permukaan torakal diafragma, permukaan
lateral mediastinum serta meluas sampai ke pangkal leher untuk membatasi
permukaan bawah membrana suprapleura pada apertura torakis. Pleura visceralis
adalah lapisan pleura yang meliputi seluruh permukaan luar paru dan meluas ke
dalam fissura interlobaris. Antara pleura parietalis dan pleura visceralis terdapat
celah yang dikenal sebagai rongga pleura yang berisi sedikit cairan pleura yang
memungkinkan pleura bergerak satu dengan yang lainnya dengan gesekan
minimal. Rongga yang dibentuk oleh pleura kanan dan pleura kiri merupakan
sebuah kompartemen yang terpisah. Hal ini bertujuan untuk membatasi agar
kelainan atau penyakit pada salah sisi rongga pleura tidak meluas ke sisi lainnya.
21

Lapisan pleura di inferior hilus membentuk suatu struktur yang menyokong paru
yang dikenal sebagai ligamentum pulmonale. Lapisan pleura parietalis dan pleura
visceralis di inferior paru berhimpitan dan membentuk suatu struktur yang dikenal
sebagai sulcus costofrenikus.1

Gambar 4. Lapisan Pleura4


Sumber : Seeley, dkk. 2004. Seeley-Stephen-Tate: Anatomy and Physiology Sixth Edition. McGraw
Hill Companies. Hal 820.

Paru kanan terbagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus medial dan
lobus inferior. Antara lobus yang satu dengan lobus yang lain dipisahkan oleh
22

fissura. Antara lobus superior dan lobus inferior, terdapat fissura obliqus yang
berjalan dari pinggir inferior ke arah posteroseuperior menyilang facies costalis
dan facies mediastinalis hingga sekitar 2,5 inci dari apeks paru. Antara lobus
medial dan lobus superior terdapat fissura horizontalis yang berjalan horizontal
setinggi kartilago costa IV dan bertemu dengan fissura obliqus di linea
midaxilaris. Paru kiri terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan lobus
inferior. Lobus superior dan lobus inferior dipisahkan oleh fissura obliqus.1
Paru dapat dibagi lebih lanjut menjadi beberapa segmen yang berbentuk
piramid dengan lobus menghadap ke arah radix pulmonis. Pembagian ini
dilakukan berdasarkan bronkus tersier (bronkus segmentalis) yang mensuplai
bagian tersebut. Bronkus tersier selalu disertai oleh satu arteri segmentalis yang
merupakan cabang dari arteri pulmonalis, pembuluh limfe dan saraf otonom.
Antara segmen yang satu dan segmen yang lain dibatasi oleh jaringan ikat dan di
dalam jaringan ikat tersebut terdapat vena segmentalis yang merupakan pembuluh
darah balik dari paru. Paru kanan dan paru kiri dapat dibagi menjadi 10 segmen.1

Gambar 5.
Segmen Paru
Kanan dan
Paru Kiri4
Sumber :
Seeley, dkk.
2004. Seeley-
Stephen-Tate:
Anatomy and
Physiology
Sixth Edition.
McGraw Hill
Companies.
Hal 824.
23

Adapun pembagian segmen paru kanan dan paru kiri adalah sebagai berikut1:
a. Paru kanan
Lobus Superior : - Segmentum apicale
- Segmentum posterior
- Segmentum anterior

Lobus Medial : - Segmentum laterale


- Segmentum mediale

Lobus Inferior : - Segmentum superior


- Segmentum basal medial
- Segmentum basal anterior
- Segmentum basal lateral
- Segmentum basal posterior

b. Paru kiri
Lobus Superior : - Segmentum apicale
- Segmentum posterior
- Segmentum anterior
- Segmentum lingulare superior
- Segmentum lingulare inferior

Lobus Inferior : - Segmentum superior


- Segmentum basal medial
- Segmentum basal anterior
- Segmentum basal lateral
- Segmentum basal posterior

Segmen segmen paru terdiri atas lobulus lobulus yang dipisahkan oleh
jaringan ikat. Setiap lobulus berhubungan dengan bronkiolus yang berasal dari
percabangan bronkus tersier. Di dalam lobulus tersebut terdapat unit unit yang
lebih kecil yang disebut sebagai sacus alveolus yang terdiri dari beberapa
alveolus. Sacus alveolus sendiri merupakan kelanjutan dari duktus alveolus yang
berasal dari bronkiolus terminal dan bronkiolus resporatorius. Duktus alveolus
tersusun atas selapis epitel pipih, sedangkan bronkiolus respiratorius tersusun atas
selapis epitel kuboid.1
Di dalam paru kanan dan kiri terdapat kurang lebih 300 juta alveolus dengan
diameter tiap alveoli sekitar 250 m. Dinding alveolus dibentuk oleh 2 tipe sel
pneumosit. Pneumosit tipe I merupakan sel epitel ipih yang menyusun 90% dari
24

permukaan alveoli dan menjadi tempat difusi oksigen. Pneumosit tipe II


merupakan sel epitel kuboid yang memproduksi surfaktan yang berfungsi
menjaga agar alveolus tidak kolaps. Di sekitar alveoli terdapat pembuluh kapiler.
Alveoli bersama dengan pembuluh kapiler membentuk suatu struktur yang disebut
sebagai membran respiratorius. Sistem pertahanan tubuh yang utama pada
alveolus adalah makrofag yang berada di permukaan sel epitel. Makrofag sendiri
bersirkulasi ke limfonodus terdekat atau bercampur bersama mukus ke bronkiolus
terminal untuk kemudian dikeluarkan melalui faring.1

Gambar 6. Bronkiolus dan Alveolus2


Sumber : Martini, Timmons dan Tallitsch. 2008. Van De Graaff: Human Anatomy sixth ed. Pearson
Education. Hal 613.
25

Bronkus, jaringan ikat paru dan pleura visceralis mendapat suplai darah dari
arteri bronchiales yang merupakan cabang dari aorta descendens. Pembuluh darah
balik dari paru adalah vena segmentalis yang bermuara ke vena pulmonales.
Terdapat 2 vena pulmonales pada setiap hilus yang kemudian bermuara ke atrium
kiri jantung.1,2,3,4
Pembuluh limfe paru berasal dari plexus superficialis dan plexus profundus.
Pembuluh limfe ini tidak ditemui pada alveoli. Plexus superficialis terletak di
bawah pleura visceral sepanjang permukaan paru dan mengalirkan cairannya ke
arah hilum pulmonalis melalui nodi bronkopulmonalis. Plexus profunfus berjalan
sepanjang bronki dan arteri pulmonalis untuk kemudian bermuara di nodi
intrapulmonalis yang terletak di dalam substansi paru kemudian masuk ke dalam
nodi bronkopulmonalis sebelum akhirnya mengalir ke hilum pulmonalis. Semua
cairan limfe paru meninggalkan hilum pulmonalis mengalir ke nodi
trakeobronkiales dan kemudian masuk ke dalam trunkus limfatikus
bronkomediastinalis.1

3.2 Tuberculosis
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis (Tb) adalah infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis.
Kuman Tb merupakan kuman gram negatif berbentuk batang. Kuman
tersebut masuk tubuh melalui udara pernafasan yang masuk ke dalam
paru, kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung ke tubuh lainnya23.
26

Gambar 7. Mycobacterium tuberculosis

Kuman Tb sangat mudah menular dan dapat bertahan di udara


selama beberapa jam. Namun, kuman Tb cepat mati apabila terkena sinar
matahari. Tb tidak menular melalui makanan, air, berhubungan seksual,
transfusi darah ataupun gigitan nyamuk/serangga. Orang yang terinfeksi
Tb belum tentu sakit Tb. Kuman Tb sangat sering menyebabkan infeksi
pada paru-paru, namun pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
lemah, terutama bila jumlah CD4+ dibawah 200, Tb dapat menyebabkan
penyakit pada beberapa bagian tubuh lain, misalnya kelenjar getah bening,
tulang, dan sistem saraf.
27

3.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (Tb) hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah
diterapkan sejak tahun 1995 di banyak negara.5
Menurut laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2013, pada
tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus Tb. Indonesia berada pada peringkat ke
lima negara dengan beban Tb tertinggi di dunia. 6 Pada tahun 2012 tercatat
sejumlah 450.000 kasus Tb telah ditemukan dan lebih dari 170.000

diantaranya terdeteksi BTA positif. Dengan demikian, Case Detection Rate


untuk Tb BTA+ adalah 70 per 100.0007.

Gambar 8. Rerata penderita Tb di Seluruh Dunia


28

Sekitar 75% pasien Tb adalah kelompok usia paling produktif


secara ekonomi (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien Tb dewasa akan
kehilangan waktu kerjanya sekitar 3-4 bulan, hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30 %. Jika ia
meninggal maka akan kehilngan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, Tb juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Perubahan
demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan menjadi pengaruh besar terhadap penyebaran kasus Tb,
selain itu juga dipengaruhi oleh masalah kesehatan lain seperti gizi buruk,
merokok, diabetes, dan pandemi HIV/AIDS. Koinfeksi dengan HIV akan
meningkatkan resiko kejadian Tb secara signifikan. Pada saat yang sama,
kekebalan ganda kuman Tb terhadap obat anti Tb (Multi Drug Resistance)
semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan.
Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemiologi
Tb yang sulit ditangani.5

3.2.3 Etiologi dan Cara Penularan


Mycobacterium tuberculosis adalah patogen interaseluler yang
dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Pada
dinding sel Mycobacterium tuberculosis terdapat suatu molekul yang
disebut arabinomannan, yaitu molekul yang terlibat dalam interaksi
patogen-penjamu dan membantu ketahanan bakteri ini di dalam makrofag.
8-12

Makrofag bertindak sebagai fagosit profitsional. M. tuberculosis


yang sudah diikat oleh makrofag selanjutnya diendositosis dan digerakkan
ke dalam sitoplasma sehingga terbentuk vesikel intraseluler yang disebut
fagosom. Selanjutnya fagosom (yang berisi M. tuberculosis) berfusi
dengan lisosom, yaitu kantong yang berisikan enzim lipase, proteinase dan
karbonik anhidrase, sehingga terbentuk fagolisosom yang bertujuan
membunuh M. tuberculosis. Makrofag juga bertindak sebagai antigen
29

presenting cells (APC). Di dalam makrofag APC, enzim proteolitik yang


berasal dari lisosom memecah protein M. tuberculosis menjadi peptida,
lalu diikat oleh major histocompatibility complex-II (MHC-II), selanjutnya
peptida antigen dieksositosis ke permukaan sel makrofag. APC bermigrasi
ke kelenjar limfoid regional untuk mempresentaikan peptida antigen
kepada sel T helper (Th). Sel Th yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi
subset sel Th1 cluster of differentiation 4+ (sel Th1 CD4+) yang
memfasilitasi respon imun delayed-type hypersensitivity (DTH) dan
mengaktifkan sel limfosit T sitolitik (Tc, Cytolitic T lymphocytes = CTLs
CD8+) untuk memfasilitasi sitolisis seluler. Sel Th1 CD4+ dan sel TCLs
CD8+ berproliferasi menjadi sel Th1 CD4+ dan TCLs CD 8+ spesifik, yang
mempunyai memori imunologi8-12.
Sitokin yang dikeluarkan sel Th1 CD4+ memacu perubahan edotel
sehingga memudahkan ekstravasasi sel monosit dan neutrofil. Neutrofil
dan monosit yang mengalir dalam sirkulasi menempel pada molekul
adhesi sel endotel dan bergerak keluar dari vaskuler menuju jaringan paru
terinfeksi. Monosit yang masuk jaringan paru berubah menjadi makrofag,
bersama dengan neutrofil memfagosit Mtb di tempat DTH8-12.
IFN- yang diproduksi sel Th1 CD4+ mengaktifkan makrofag yang
sudah mengandung M. tuberculosis agar lebih aktif berperan sebagai sel
efektor dengan mengeluarkan produk toksik (oksigen reaktif intermediet
dan oksida nitrat) utnuk memusnahkan mikroorganisme disertai sedikit
4
kerusakan jaringan yang tidak berarti.11,12
30

Gambar 9. Mekanisme pertahanan ilmiah tubuh terhadap M. tuberculosis

Pada infeksi M. tuberculosis, dimana kuman sulit dieliminasi


karena terlindung oleh dinding sel tahan asam, respon DTH dapat
memanjang, sehingga banyak merusak jaringan sehat di sekitarnya dan
menimbulkan granuloma. Granuloma terbentuk bila makrofag terus
menerus diaktifkan, berkumpul di tempat peradangan, menempel satu
dengan yang lainnya, kadang berdifusi membentuk sel Datia. Sel Datia
tersebut mendorong jaringan normal dari tempatnya, dan melepas
sejumlah besar enzim litik yang merusak jaringan sekitar yang berakhir
dengan pengkijuan dan nekrosis. M. tuberculosis di dalam lesi granuloma
yang disebut tuberkel.11,13

3.2.4 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis infeksi M.tuberculosis dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopis sputum pasien dan kultur, pemeriksaan
radiologi, histopatologis, kultur sumsum tulang, dan pembesaran
31

limfonodi atau hati. Pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 kali dan


paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan adalah tes tuberkulin14. Gambaran klinis terdiri dari
gejala seperti batuk berdarah yang berlanjut selama tiga minggu atau lebih,
demam terutama pada sore hari, penurunan berat badan, dan keringat
basah kuyup di malam hari.
Tabel 1. Alur diagnosis Tb Paru Dewasa

Suspek Tb

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Sewaktu, Pagi, Sewaktu

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+ + + + - - + - -
+ + -

Antibiotik non-OAT

Tidak ada Ada


perbaikan perbaikan
Foto thoraks dan pertimbangan
dokter Pemeriksaan dahak
mikroskopis
Hasil BTA
+++ Hasil BTA
++- -- -
TUBERCULOSIS +--

Foto thoraks &


pertimbangan dokter
BUKAN TB
Sewaktu : Dahak dikumpulkan saat pasien suspek Tb datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, pasien membawa pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua
Pagi : Dahak dikumpulkan pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur, pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK
Sewaktu : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi
32

Tabel 2. Pemeriksaan Sputum BTA

Apa yang dilihat Apa yang dilaporkan

Tidak ditemukan BTA minimal dalam


BTA negatif
100 lapangan pandang

Tuliskan jumlah BTA yang


1-9 BTA dalam 100 lapang pandang
ditemukan / 100 lapang pandang

10-99 BTA dalam 100 lapang pandang 1+

1-10 BTA dalam 1 lapang pandang,


2+
periksa minimal 50 lapang pandang
Lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang
pandang, periksa minimal 20 lapang 3+
pandang

3.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Indikasi pemeriksaan Foto Thoraks5:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS BTA hasilnya positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto thoraks untuk mendukung diagnosa Tb paru BTA positif
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non-OAT
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penangan khusus (seperti: pneumothoraks, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis atau efusi pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berta (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau asperglioma).
Gambaran radiologi TB paru aktif.
1) Bayangan berawan / nodular di segmen
apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
2) Kaviti, terutama lebih dari satu dikelilingi
oleh bayangan opak berawan atau noduler
3) Bayangan bercak milier
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau
bilateral
Gambar 10. Rontgen thorax Tb
33

Gambar 11. Rontgen Paru Normal Gambar 12. Rontgen Paru Tb positif

3.2.6 Diagnosis Banding


1. Asma Bronkiale
2. Efusi Pleura
3. Hemothorax
4. Pneumothorax
5. Bronkiektasis
34

6. Abses Paru

3.2.7 Pengobatan
Semua pasien Tb yang belum pernah diobati harus diberi panduan obat lini
pertama:
1) Fase awal: 2 bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
2) Fase lanjutan: 4 bulan isoniazid dan rifampisin, atau
3) Pemberian isoniazid dan etambutol selama 6 bulan untuk fase lanjutan
tidak direkomendasikan untuk pasien Tb dengan HIV/AIDS karena mudah
terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh15,16.

Di Indonesia, untuk orang dewasa, digunakan dua macam panduan OAT,


yaitu OAT kategori-1 dan OAT kategori-2. Kategori-1 diberikan kepada semua
pasien baru, dan kategori-2 diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya, yaitu pada pasien kambuh, pasien gagal, atau pasien dengan
pengobatan setelah terputus (default). Dosis OAT yang diberikan anjuran untuk
mengikuti anjuran internasional dan dalam kombinasi dosis tetap (KDT)17.

Tabel 3. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 1


Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan Tahap intensif setiap hari selama 56 Tahap lanjutan 3x seminggu selama 16
(kg) hari RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)

30-37 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

71 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 4. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2


Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Kategori 2

Berat Tahap intensif setiap hari RHZE Tahap lanjutan 3x seminggu


Badan (kg) (150/75/400/275) selama 16 minggu RH (150/150)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu


35

2 tablet 4 KDT + 500


30-37 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT + 2 tab etambutol
mg inj. Streptomisin

3 tablet 4 KDT + 750


38-54 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT + 3 tab etambutol
mg inj. Streptomisin

4 tablet 4 KDT + 1000


55-70 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT + 4 tab etambutol
mg inj. Streptomisin

5 tablet 4 KDT + 1000


71 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT + 5 tab etambutol
mg inj. Streptomisin

Pada pengobatan dengan OAT, kasus gagal (failure) adalah pasien yang
hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan. Pada kasus gagal maka pengobatan
dilanjutkan dengan menggunaka OAT Kategori-217.
Pasien Tb yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi selama minimal
dua tahun setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Evaluasi
dilakukan terhadap sputum BTA dan foto thoraks. Evaluasi foto thoraks dilakukan
pada bulan 6,12, dan 24 untuk membantu menilai kemungkinan terjadinya
kekambuhan dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya18.
3.2.8 Indikasi Rawat
Pasien Tb perlu dilihat keadaan klinisnya, bila baik dan tidak ada
indikasi rawat, pasien diperbolehkan pulang. Pasien yng dapat mencukupi
kebutuhan makanan bergizi, dan vitamin (bila perlu) biasanya cukup
dengan rawat jalan saja. Selain OAT diperlukan pula pengobatan
simptomatis / suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau gejala17.
Indikasi rawat inap pada pasien Tb antara lain apabila disertai
gejala seperti batuk berdarah massif, keadaan umum yang buruk,
pneumothoraks, emphyema, efusi pleura massif/bilateral, sesak nafas berat
(bukan karena efusi pleura), dan keadaan yang mengancam nyawa; seperti
Tb paru milier dan meningitis Tb17.

3.2.9 Komplikasi
1. Perdarahan gastrointestinal masif
2. Ensepalopati
3. Edema paru dan efusi pleura
36

4. Kematian

3.2.10 Prognosis
Pengobatan awal secara signifikan meningkatkan kemungkinan
prognosis jangka panjang positif. Pasien Tb harus mematuhi regimen obat
yang diresepkan, jadwal pengobatan, dan dosis. Banyak orang merasa
lebih baik beberapa minggu setelah memulai pengobatan, namun bakteri
Tb masih sangat aktif dalam tubuh. Penghentian pengobatan saat ini dapat
mengakibatkan resistan terhadap obat Tb. Resistensi terhadap obat Tb
akan jauh lebih sulit untuk mengobati dan membawa resiko kematian yang
lebih tinggi dibandingkan non-resisten terhadap obat Tb. Orang dengan Tb
yang tidak diobati memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada
yang diobati. Sekitar 50% orang dengan Tb yang tidak diobati meninggal
dalam waktu 5 tahun.19
37

3.3 Pneumonia
3.3.1 Definisi
Pneumonia adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA),
infeksi ini dapat mengenai parenkim paru, bagian distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratori dan alveoli, serta meimbulkn konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas.1 Secara kinis pneumonia didefinisikan
sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan
lain-lain) disebut pneumonitis.21
3.3.2 Epidemiologi
Influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001
menyebutkan bahwa penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2
sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8%
kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan
angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat
keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.21,22

3.3.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, dan jamur. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh patogen
yang berasal dari saluran napas atas. Di Indonesia, telah dilakukan beberapa
penelitian mengenai etiologi pneumonia. Berbagai teknik pengambilan sampel
dilakukan mulai dari secara noninvasif yaitu dibatukkan (dahak), atau dengan cara
invasif yaitu aspirasi transtorakal, aspirasi transtrakeal, dan sikatan bronkus. Hasil
penelitian-penelitian tersebut, seperti yang dirangkum dalam Konsesus
Pneumonia, menunjukan bahwa penyebab tersering dari pneumonia komuniti
adalah Streptococcus pneumonia, dan Streptococcus viridans. Beberapa bakteri
lain yang sering ditemukan dalam kasus pneumonia komuniti adalah Mycoplasma
38

pneumoniae, Haemophilus influenzae, Chlamydia pneumoniae, Legionella sp.,


serta Respiratory Syncytial Virus (RSV).23,24
Patogen penyebab pneumonia nosokomial (HAP maupun VAP) berbeda
dengan pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh
kuman yang bukan MDR seperti Streptococcus pneumonia, Streptococcus sp.,
Haemophilus influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA),
dan Enterobactericeae (Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus sp.,
Enterobacter sp.), serta kuman MDR seperti Pseudomonas aeruginosa,
Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA), Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter sp., dan Legionella pneumophilia. Pneumonia aspirasi sering
disebabkan oleh bakteri-bakteri anaerob. Pneumonia fungal, seperti Aspergillus
sp. lebih sering ditemui pada pasien dengan defisiensi imun dan sering kali
merupakan infeksi sekunder.23,25

Tabel 5. Mikroorganise yang dapat menyebabkan pneumonia

Tabel 6. Mikroorganisme Penyebab Pneumonia berdasarkan epidemiologi


39

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas di Indonesia,


setelah dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pengambilan bahan dan metode yang
berbeda beda di beberapa pusat pelayanan kesehatan paru, seperti di Medan, Jakarta,
Surabaya, Malang, dan Makassar, ditemukan bahwa bakteri golongan gram positif terbanyak yang
menjadi penyebab pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumonia (14,04%) dan dari
golongan gram negatif yaitu Klebsiella pneumonia (45,18%).23

3.3.4 Faktor Resiko


Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko
pneumonia antara lain, yaitu:
a. Usia lanjut lebih dari 65 tahun
b. Merokok
c. Riwayat penyakit saluran pernapasan
d. Memiliki penyakit komorbiditas, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung,
penyakit ginjal, dan lain sebagainya
e. Gangguan neurologis, dapat menyebabkan kesulitan menelan atau kesadaran
yang menurun
f. Imunitas yang memburuk
g. Alkoholisme
h. Penggunaan antibiotik dan obat suntik intravena
i. Riwayat pembedahan atau trauma21

3.3.5 Klasifikasi Pneumonia


40

Berdasarkan klinis dan epidemiologis :


a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia,
CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di
luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah
dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah
sakit selama lebih dari 14 hari.21
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang
terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini
didapat selama penderita dirawat di rumah sakit. Hampir 1% dari penderita
yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam
perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU,
lebih dari 60% akan menderita pneumonia.29
c. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya
steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan
mikobakteri, selain organisme bakteria lain.

Berdasarkan penyebab
a. Pneumonia tipikal, dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella
pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

Berdasarkan predileksi infeksi


a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan.
41

b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan


paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial, disebabkan oleh virus atau infeksi mycoplasma banyak
menyebabkan inflamasi pada jaringan interstisial paru tanpa eksudat alveolar.
Ditandai dengan edema septum alveoli dan infiltrasi mononuclear.

3.3.6 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Paruparu memiliki mekanisme pertahanan yang
cukup kompleks dan bertahap.Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan
terjadinya infeksi saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah
bakteri agar tidak masuk kedalam paru. Mekanisme pembersihan tersebut adalah :
1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi :
Reepitelisasi saluran napas
Aliran lendir pada permukaan epitel
Bakteri alamiah atau ephitelial cell binding site analog
Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
Komponen mikroba setempat
Sistem transpor mukosilier
Reflek bersin dan batuk
Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan
mekanisme pertahanan melalui barrier anatomi dan mekanisme terhadap
masuknya mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong
mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan. Bila terjadi
disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa
nasogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran
sekret yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen. Dalam keadaan
ini dapat terjadi infeksi nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia.24,26

2. Mekanisme pembersihan di Respiratory exchange airway, meliputi :


Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)
42

Makrofag alveolar dan mediator inflamasi


Penarikan netrofil
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme
pertahanan paru (saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian
dari sekret hidung (10 % dari total protein sekret hidung). Penderita
defisiensi IgA memiliki resiko untuk terjadi infeksi saluran napas atas yan
berulang. Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas
atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri
gram negatif (P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan
K.penumoniae) mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi
dan kerusakan setiap komponen pertahan saluran napas atas menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya infeksi saluran napas
bawah.27

3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik


Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik,
mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk
dari glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila
terjadi gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian
bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa Nasogastrik,
alat trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen secara langsung ke
saluran napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat memudahkan masuknya
bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan infeksi akut oleh M.pneumoniae,
H.Influenzae dan virus dapat merusak gerakan silia.28

4.Mekanisme pembersihan di"respiratory gas exchange airway"


Bronkiolus dan alveoli mempunyai mekanisme pertahanan, berupa
surfaktan yaitu suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa
komponen SP-A, SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis dan
killing terhadap bakteri oleh makrofag. Aktifiti anti bakteri (non spesifik) : FFA,
lisozim, iron binding protein. IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai
opsonin). Makrofag Alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
43

pertama berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB, P.
aeruginosa). Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme
patogen pada tingkat alveolar dan bagaimana respon individu terhadap patogen
yang berproliferasi tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor yaitu kondisi
individu, utamanya imunitas (humoral dan seluler), jenis mikroorganisme patogen
yang menyerang pasien, dan lingkungan sekitar yang berinteraksi satu sama lain.
Ketiga faktor tersebut akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari
pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara
empiris, serta prognosis dari pasien.28,30
Penyebab pneumonia dapat masuk melalui inhalasi, terjadi pada infeksi
virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri
dengan ukuran 0,5-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau
alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi
pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran,
peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung
konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001-1,1 ml) dapat menyebabkan infeksi pada parenkim paru. 30
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian difagositosis.27,31

Tabel 7. Alur pembagian pneumonia


44

3.3.7 Gambaran Klinis


Gejala khas adalah demam tinggi mendadak, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.10 Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk
karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding
dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil
fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat
45

cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub, serta gejala
sistemik berupa nausea, vomiting, malaise, headache, myalgia.31
3.3.8 Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis pneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 38 C, demam tinggi mendadak, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritic, sesak serta gejala sistemik
berupa nausea, vomiting, malaise, headache, myalgia.31

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis bisa didapatkan demam, sesak (suara terpenggal),
takipnue sedangkan temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di
paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,
pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai
ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium
resolusi.32,33
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini. Beberapa factor dapat
memengaruhi manifestasi klinis dan prognosis penderita pneumonia, faktor
tersebut meliputi:
46

Tabel 8. Skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)

Tabel 9. Rekomendasi Perawatan sesuai Skor PORT

Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks PA atau lateral merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
47

konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.21

b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah
dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.21,22
3.3.9 Tatalaksana
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Umur lebih dari 65 tahun
Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
Pecandu alkohol
Penyakit gangguan kekebalan
Penyakit penyerta yang multiple22,23

b. Bakteri enterik Gram negatif


Penghuni rumah jompo
Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
Riwayat pengobatan antibiotik23,25

c. Pseudomonas aeruginosa
Bronkiektasis
48

Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari


Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
Gizi kurang23

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:


a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran Pemberian antiblotik
harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa


Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif


Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat
simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat


kegawatannya, bila dapatdistabilkan maka penderita dirawat map di ruang
49

rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang
Rawat Intensif.

Tabel 10. Tatalaksana Pneumonia

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan/memburuk


maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.20,21

Evaluasi pengobatan
50

Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak


ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita,
obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut.

Tabel 11. Evaluasi pengobatan pneumonia

3.3.10 Komplikasi
a. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
b. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung,
emboli paru dan infark miokard akut.
c. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
d. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
e. Sepsis
f. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
g. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
51

h. Abses paru
i. Efusi pleura

3.3.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis pneumonia baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat.
Faktor-faktor yang memengaruhi prognosis antara lain usia, pengggunaan
antibiotik dalam waktu yang lama, Extremes of age, mengenai lebih dari 1 lobus,
jumlah WBC kurang dari 5000/l, dan penyakit komorbid yang menyertai.
Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada
penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang
dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah
sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I
0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2%
dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian
penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas.21,23

Anda mungkin juga menyukai