Anda di halaman 1dari 3

Pemberantasan korupsi akhir-akhir ini seolah menghilang dari permukaan.

Kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi tenggelam di balik sejumlah


kegaduhan isu-isu yang berkembang dalam dunia perpolitikan. Namun, setelah
mencuatnya kasus dugaan korupsi mega proyek e-KTP, menandakan perang
terhadap korupsi terus berlanjut.

Korupsi di negeri ini ibarat sebuah penyakit kronis, untuk penyembuhannya


membutuhkan sejumlah dokter spesialis. Semua dokter spesialis, mulai dari
dokter spesialis penegak hukum (KPK, Polisi, Jaksa, dan Hakim) hingga dokter
spesialis di bidang pendidikan (Dosen, Guru, Ulama, dan Keluarga) harus turun
tangan dalam melakukan proses penyembuhan penyakit kronis ini.

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Korupsi di Indonesia: Masalah dan


Pemecahannya. Pemberantasan korupsi merupakan masalah yang paling sulit dan
kompleks. Untuk menyelesaikan permasalahan korupsi, tidak hanya bertumpu
pada satu segi yaitu usaha represif, tetapi terutama dalam usaha preventif.

Di Indonesia sendiri telah dilakukan berbagai usaha represif maupun preventif


dalam penanganan masalah korupsi. Tercatat berbagai usaha mulai dari usaha
preventif dengan dibentuknya Badan Penilik Harta Benda (BPHP) pada zaman
orde lama dan yang terbaru ialah PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan) keduanya berfungsi sebagai control terhadap harta benda pejabat
negara. Di sisi lain, sebagai usaha represif dibentuk berbagai lembaga antikorupsi
dan undang-undang antikorupsi.

Era demi era telah berlalu dengan peningkatan upaya penanganan korupsi.
Namun, bukannya berkurang justru pelaku korupsi bertambah banyak. Pada tahun
1974 meletus pemberontakan mahasiswa sebagai reaksi atas parahnya praktik
korupsi. Puncaknya pada tahun 1998 terjadinya krisis multidimensional yang
mengakibatkan praktik korupsi semakin merajalela. Hal ini menandakan bahwa
masih kurang efektifnya penanganan korupsi di negeri ini. Efek dari usaha-usaha
penanganan korupsi yang dibuat selama ini ternyata belum mampu menggugah
hati para pejabat negara untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Ribuan kasus
korupsi telah mewarnai dinamika penanganan korupsi di tanah ibu pertiwi.
Ratusan pelaku korupsi telah dijerat dan dimasukkan kedalam hotel prodeo.

Lantas, apakah langkah-langkah yang efektif dan efisien dalam menbendung arus
korupsi yang begitu masif? Belajar dari negara Finlandia, berdasarkan
Transparency Internasional, Indeks Persepsi Korupsi Finlandia menempati
peringkat ketiga pada tahun 2016.

Ada tiga faktor utama yang menyebabkan Finlandia relatif bersih dari korupsi.
Pertama, obedience, yaitu sikap taat atau patuh pada hukum. Kedua, honesty,
yaitu sikap jujur pada diri sendiri dan orang lain. Ketiga, life style, yaitu gaya
hidup sederhana dan tidak konsumtif. Bumi pertiwi sudah seharusnya belajar dari
Finlandia untuk menerapkan ketiga faktor utama itu dalam usaha preventif
pemberantasan korupsi. Sejatinya ketiga faktor utama itu sudah tercantum dalam
nilai-nilai antikorupsi yang digemakan di negeri ini.

Menurut Eko Handoyo dalam bukunya Pendidikan Antikorupsi. Nilai-nilai


antikorupsi meliputi kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, kepedulian, tanggung
jawab, keberanian, keadilan, keterbukaan, dan kerja keras.

Semaikan nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak penerus bangsa melalui


pendidikan antikorupsi. Yakinilah bahwa apa yang kita semai hari ini akan
menghasilkan buah yang manis, hilangnya budaya korupsi dari negeri ini.

Sumber :

Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Handoyo, Eko. 2013. Pendidikan Antikorupsi. Yogyakarta: Ombak.

Ridlwan Mujib. 2014. Anatomi Korupsi dan Peran Pendidikan: Upaya Mengurai
Benang Kusut Korupsi Melalui Pendidikan. Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman,
Volume 4, Nomor 1.
Anonim. Corruption Perseptions Index 2016. 20 Maret 2017.
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016

Anda mungkin juga menyukai