Era demi era telah berlalu dengan peningkatan upaya penanganan korupsi.
Namun, bukannya berkurang justru pelaku korupsi bertambah banyak. Pada tahun
1974 meletus pemberontakan mahasiswa sebagai reaksi atas parahnya praktik
korupsi. Puncaknya pada tahun 1998 terjadinya krisis multidimensional yang
mengakibatkan praktik korupsi semakin merajalela. Hal ini menandakan bahwa
masih kurang efektifnya penanganan korupsi di negeri ini. Efek dari usaha-usaha
penanganan korupsi yang dibuat selama ini ternyata belum mampu menggugah
hati para pejabat negara untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Ribuan kasus
korupsi telah mewarnai dinamika penanganan korupsi di tanah ibu pertiwi.
Ratusan pelaku korupsi telah dijerat dan dimasukkan kedalam hotel prodeo.
Lantas, apakah langkah-langkah yang efektif dan efisien dalam menbendung arus
korupsi yang begitu masif? Belajar dari negara Finlandia, berdasarkan
Transparency Internasional, Indeks Persepsi Korupsi Finlandia menempati
peringkat ketiga pada tahun 2016.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan Finlandia relatif bersih dari korupsi.
Pertama, obedience, yaitu sikap taat atau patuh pada hukum. Kedua, honesty,
yaitu sikap jujur pada diri sendiri dan orang lain. Ketiga, life style, yaitu gaya
hidup sederhana dan tidak konsumtif. Bumi pertiwi sudah seharusnya belajar dari
Finlandia untuk menerapkan ketiga faktor utama itu dalam usaha preventif
pemberantasan korupsi. Sejatinya ketiga faktor utama itu sudah tercantum dalam
nilai-nilai antikorupsi yang digemakan di negeri ini.
Sumber :
Ridlwan Mujib. 2014. Anatomi Korupsi dan Peran Pendidikan: Upaya Mengurai
Benang Kusut Korupsi Melalui Pendidikan. Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman,
Volume 4, Nomor 1.
Anonim. Corruption Perseptions Index 2016. 20 Maret 2017.
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016