Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KHUSUS

TINJAUAN KASUS DEMAM TIFOID


DI RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH

ANDI CHANDRA ADITYA

1443700091

PROGRAM PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

JAKARTA

2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Defenisi Demam Typoid

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran

1.2 Infectious Agenti


Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella
typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

I.3 Patogenesis

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia


melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.

1.3 Gejala Klinis


Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang
biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Ganguan pada saluran pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

1.4 Pencegahan Demam Tifoid


Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1.4.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang
dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.

b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1
5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan


secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi
vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar
dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan
sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,
peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara
yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan
sanitasi lingkungan.

1.4.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara
dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam
tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis
penyakit demam tifoid, yaitu :

a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan
pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena
pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.

b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman


Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana
hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap
memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam
tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk
jangka waktu yang lama.

c. Diagnosis serologik
1) Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella
typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan
Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi
hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita


a. Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat
pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit Aglutinin baru
dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit
selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima
atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik Pemberian antibiotik dengan
obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan
karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat
menghambat pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan
sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-
lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai
diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat
dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena
itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat
lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen
Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip
dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak
langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini
tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b) Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam
spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat
menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya
antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu
double antibody sandwich ELISA. Pencegahan sekunder
dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini
melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas
sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana
kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita
yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna
untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat
total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam
tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita
harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan
pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein
yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid
biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak,
tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba
(antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah
dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama,
berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah
jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup
sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol
tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama
pada trimester III karena dapat menyebabkan partus
prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh
karena itu obat yang paling aman diberikan pada
wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

1.4.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk
mengurangikeparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari
penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga
imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan
laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
BAB II

TINJAUAN KASUS

2.1 Identitas pasien


- Nama pasien : An. S
- Jenis kelamin : Perempuan
- Tanggal masuk : 30 Mei 2015
- Umur : 13 tahun 8 bulan
- Berat Badan : 35 kg
- Pav/ kamar : MLT/ 6
- No pendaftaran : 150529-1548
- Penjaminan : BPJS Kesehatan (PBI)
- Dokter : dr. A
2.2 ANAMNESA
- Keluhan: Panas 4 hari, mual, pusing, nyeri ulu hati
- Diagnosa : Typoid Fever
- Diagnosa tambahan : ISPA
- Riwayat pengobatan : -
- Alergi obat : -
2.3 HASIL PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Nilai Normal 30/5 31/5 165 2/6 3/6

Suhu 36,5-37,5 (C) 38 38 37 36,5 37


Tekanan 120/80
Darah
Nadi 60-100 x/menit 114 102 100 98 100
2.4 HASIL LABORATORIUM

Pemeriksaan Nilai normal 30/5 31/5 1/6 1/6


Hb 12,8- 16,8 11,8 (L) 12,4 (L) 12,3 (L) 13,2
Hematoktrit 35- 47 34 (L) 35 36 39

IMUNOSEROLOGI

Pemeriksan Tgl 30/5 Nilai normal


Anti salmonella IgM 6,0 (+) = 2 (negative)

Keterangan :

IgM : Merupakan antibodi/ immunoglobulin yang pertama kali dibentuk dan terus
dibentuk selama antigen masih ada
2.5 TERAPI PENGOBATAN

30- 5- 2015 31-5-15 1-6 -15 2-6-15 3-6-15

Nama Obat Regimen Rute P s s m p S s m p s s m p s S m p s s m


a i o l a i o l a i o l a i o l a i o l
Paracetamol tab 3x1 tab Po 12 18 24 6 12 18 6 12 18 6 12 18 6

Plantacid 3x1 sdo Po 12 18 6 12 18 6 12 18 - - 18 -

Thiamicin 500mg 4x1 sdo Po 12 18 24 6 12 18 6 12 18 6

Ceftriaxone 2x1 gr Iv 6 18 6 18 6 18 6 18 6

Alcoplus DMP drop 3x1 cc Po 18 6

Obat Pulang

Nama Obat Regimen Rute


Alcoplus DMP 3x1 cc Po
drop
Thiamicin 500mg 4x1 sdo Po
Cetirizine 2x1 tab Po

Keterangan : pa = pagi, si = siang, so = sore ml= malam


2.6 PEMBERIAN DOSIS

Nama obat Indikasi Dosis Lazim Dosis Pakai


Paracetamol Tab Analgesik 500mg 500mg
Plantacid Asam lambung 5-10 ml 5ml
Thiamicin 500mg Antibiotik 50mg/kg bb sehari 500mg
dalam dosis terbagi
3-4 kali sehari
Ceftriaxone Antibiotik 1g/hari,2-4g/hari 1 gr
infeksi berat
Alcoplus DMP Drop Antihistamin 5 ml 1 cc
Cetirizine Antihistamin 10mg/hari 10mg

2.7 TELAAH RESEP

No. Aspek Telaah Ya Tidak


1. Tepat Pasien
2. Tepat Obat
3. Tepat Dosis
4. Tepat Frekuensi
5. Tepat Pemberian

6. Duplikasi

7. Interaksi Obat
8. Kontraindikasi
9. Alergi Obat
2.8. DRP (DRUG RELATED PROBLEM)

KATEGORI DRP ADA / TIDAK ADA


Indikasi yang tidak ditangani TIDAK ADA
Pilihan obat kurang tepat TIDAK ADA
Penggunaan obat tanpa indikasi TIDAK ADA
Dosis lebih kecil ADA
Overdosis TIDAK ADA
Reaksi Obat yang tidak dikehendaki TIDAK ADA
Interaksi obat TIDAK ADA
Gagal menerima obat ADA
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien An.Zahwa umur 13 tahun 8 bulan dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta,
masuk pada tanggal 30 Mei 2015 dirawat di Melati dengan keluhan panas 4 hari yang lalu,
mual, pusing, sakit perut sejak 4 hari yang lalu. Diagnosa dokter yaitu Demam tifoid.

Pada tanggal 30 Mei 2015 dilakukan pemeriksaan laboratorium, dan didapatkan


bahwa nilai Hemoglobin pasien di bawah normal dan nilai hematokrit dibawah normal.
Pemeriksaan Anti salmonela IgM menunjukkan hasil 6,0 (+) didiagnosis bahwa pasien
menderita demam tifoid.

Pasien diberikan Paracetamol tab untuk menurunkan demam 3 kali sehari, Plantacid
untuk menurunkan asam lambung 3 kali sehari, thiamycin sebagai antibiotik 4 kali sehari
dan ceftriaxone 2 kali sehari diberikan secara IV sebagai antibiotic.

Thiamycin merupakan antibiotic yang bersifat bakteriostatik terutama terhadap


gram negative (-). Cara kerjanya mengikat 50S secara reversible dan menghambat kerja
dari peptidil tranferase sehingga pengikat asam amino ke peptide yang baru menjadi
terhambat, sedangkan ceftriakson bersifat bakterisid (pada fase pertumbuhan bakteri,
terutama gram negative (-), dengan menghambat sintesa petidoglikan yang merupakan
komponen penyusun dinding sel bakteri. Disarankan pemberian secara injeksi terlebih
dahulu setelah itu baru di berikan secara oral.

Tidak tepat frekuensi yaitu pemberian paracetamol pada tanggal 2 juni 2015 hanya
diberikan 2 kali yaitu pada jam 6 pagi dan 12 siang, seharusnya di berikan 3 kali sehari,
thiamicin hanya di berikan 3 kali sehari seharusnya diberikan 4 kali sehari. Pasien
mendapatkan diagnosa tambahan yaitu menderita ISPA, diberikan alcoplus DMP drop dan
cetirizine untuk mengobati ISPA.
Dari pemantauan terapi obat yang dilakukan ditemukan adanya DRP (Drug Related
Problem) sebagai berikut:

1. TIDAK TEPAT PEMBERIAAN


Pemberian obat plantacid setelah makan
Absorbsinya di pengaruhi oleh makanan dan efek obat terapi tidak maksimal
REKOMENDASI : diberikan 30mnt sebelum pasien makan.
2. DOSIS LEBIH KECIL
Pemberian Alcoplus DMP drop yaitu 1 cc, dimana dosis lazimnya yaitu 5ml
REKOMENDASI : diberikan alcoplus DMP Drop sesuai dengan dosis lazim
3. GAGAL MENERIMA OBAT
Pada tanggal 2 juni 2015 pasien tidak mendapatkan obat plantacid karena obat
pasien habis, obat diresepkan pada tanggal 3 juni 2015
REKOMENDASI : harap diperhatikan persediaan obat pasien, disarankan untuk
meresepkan obat sebelum obat tersebut habis untuk menghindari putusnya
penggunaan obat.
BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
- Dari hasil diagnosa dokter dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien menderita
Demam tifoid dan diagnosa tambahan yaitu ISPA (saat pasien dibolehkan pulang)
- Plantacid diminum 30mnt seblum makan, karena untuk mengurangi tingkat
keasaman lambung
- Alcoplus DMP diberikan seusai dosis lazim agar dapat memberikan efek terapi
yang baik.
DRP : Gagal mererima obat, dan dosis obat terlalu kecil

4.2. SARAN

Perlunya kerjasama dari seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit untuk


meminimalkan DRP
Sebaiknya ada apoteker yang berada di bangsal untuk pemantaun terapi obat pasien
DAFTAR PUSTAKA

Tjay, T.H., dan Rahardja, K, 2002, Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan


Efek-Efek Sampingnya, Edisi keenam,Penerbit PT. Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.

Tim penyusun IONI Badan POM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia
(IONI), Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

http://repository.usu.ac.id/demamtifoid

http:// medscape.com/drug-interactionchecker

http://www.drugs.com/.html

http://www.mims.com/indonesia

Anda mungkin juga menyukai