1443700091
JAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
I.3 Patogenesis
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1
5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan
pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena
pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.
c. Diagnosis serologik
1) Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella
typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan
Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi
hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
TINJAUAN KASUS
IMUNOSEROLOGI
Keterangan :
IgM : Merupakan antibodi/ immunoglobulin yang pertama kali dibentuk dan terus
dibentuk selama antigen masih ada
2.5 TERAPI PENGOBATAN
Ceftriaxone 2x1 gr Iv 6 18 6 18 6 18 6 18 6
Obat Pulang
6. Duplikasi
7. Interaksi Obat
8. Kontraindikasi
9. Alergi Obat
2.8. DRP (DRUG RELATED PROBLEM)
PEMBAHASAN
Pasien An.Zahwa umur 13 tahun 8 bulan dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta,
masuk pada tanggal 30 Mei 2015 dirawat di Melati dengan keluhan panas 4 hari yang lalu,
mual, pusing, sakit perut sejak 4 hari yang lalu. Diagnosa dokter yaitu Demam tifoid.
Pasien diberikan Paracetamol tab untuk menurunkan demam 3 kali sehari, Plantacid
untuk menurunkan asam lambung 3 kali sehari, thiamycin sebagai antibiotik 4 kali sehari
dan ceftriaxone 2 kali sehari diberikan secara IV sebagai antibiotic.
Tidak tepat frekuensi yaitu pemberian paracetamol pada tanggal 2 juni 2015 hanya
diberikan 2 kali yaitu pada jam 6 pagi dan 12 siang, seharusnya di berikan 3 kali sehari,
thiamicin hanya di berikan 3 kali sehari seharusnya diberikan 4 kali sehari. Pasien
mendapatkan diagnosa tambahan yaitu menderita ISPA, diberikan alcoplus DMP drop dan
cetirizine untuk mengobati ISPA.
Dari pemantauan terapi obat yang dilakukan ditemukan adanya DRP (Drug Related
Problem) sebagai berikut:
4.1. KESIMPULAN
- Dari hasil diagnosa dokter dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien menderita
Demam tifoid dan diagnosa tambahan yaitu ISPA (saat pasien dibolehkan pulang)
- Plantacid diminum 30mnt seblum makan, karena untuk mengurangi tingkat
keasaman lambung
- Alcoplus DMP diberikan seusai dosis lazim agar dapat memberikan efek terapi
yang baik.
DRP : Gagal mererima obat, dan dosis obat terlalu kecil
4.2. SARAN
Tim penyusun IONI Badan POM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia
(IONI), Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
http://repository.usu.ac.id/demamtifoid
http:// medscape.com/drug-interactionchecker
http://www.drugs.com/.html
http://www.mims.com/indonesia