Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Penyebaran virus
DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk. Vektor utama yang paling berperan
dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat
menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.1
Pada banyak daerah tropis dan subtropis, penyakit DBD adalah endemik yang
muncul sepanjang tahun, terutama saat musim hujan ketika kondisi optimal untuk
nyamuk berkembang biak.2 Di Indonesia puncak penularan DBD terjadi pada
awal tahun, yaitu bulan Januari - April, karena berkaitan dengan puncak musim
hujan dan berdampak pada munculnya tempat perindukan atau breeding places
dari nyamuk Aedes aegypti.3
Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita DBD di Indonesia pada
bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 8.487 orang penderita DBD dengan jumlah
kematian 108 orang. Golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia
pada usia 5-14 tahun mencapai 43,44% dan usia 15-44 tahun mencapai 33,25%.4
Berdasarkan Data Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis
Kementerian Kesehatan, Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi dengan
kejadian luar biasa penyakit DBD hingga akhir Januari 2016.4
Sampai saat ini, belum ada obat atau vaksin untuk DBD. Semua tempat
mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit ini sebab nyamuk penularnya (Aedes
aegypti) tersebar luas di seluruh tanah air, kecuali pada daerah yang memiliki
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.1
Cara paling efektif dalam penanggulangan DBD adalah dengan
penatalaksanaan lingkungan, termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksana
dan pemantauan aktivitas masyarakat untuk modifikasi maupun manipulasi

1
lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah atau mengurangi
perkembangbiakan vector dan kontak manusia-vektor-pathogen.1
Pada tahun 2016, Pemerintah telah meluncurkan Gerakan 1 Rumah 1
Jumantik sejak tahun lalu yang merupakan bagian dari upaya pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) melalui 3M Plus yaitu, Menguras, Menutup, dan Mendaur
ulang, ditambah Mengindari gigitan nyamuk. Gerakan ini dimaksudkan untuk
mengajak setiap keluarga dan seluruh masyarakat agar mencegah munculnya
perindukan nyamuk Aedes aegypti di rumah atau di tempat kerja masing-masing,
dengan cara membasmi setiap jentik yang ditemukan dan meniadakan genangan
air baik di luar maupun di dalam rumah atau gedung. Diharapkan, kelak tidak ada
penularan DBD dari nyamuk Aedes aegypti di Indonesia.3
Keberhasilan kegiatan PSN BDB dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik,
apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%, diharapkan penularan DBD dapat
dicegah atau dikurangi.5
Penelitian mengenai pemeriksaan jentik berkala ini bertujuan untuk
mengetahui kepadatan jentik agar dapat menurunkan kejadian penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk Aedes aegepty di wilayah kerja Puskesmas Pakjo,
Palembang. Dengan berbekal pengetahuan inilah tenaga kesehatan dapat
melakukan upaya pengendalian jentik nyamuk dan penyebaran penyakit DBD
bisa dicegah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah
berapakah kepadatan larva atau jentik nyamuk Aedes aegepty di wilayah kerja
Puskesmas Pakjo, Palembang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Angka Bebas Jentik (ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Pakjo

2
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui daerah yang beresiko terjangkit DBD
2. Mengetahui House Index (HI) di wilayah kerja Puskesmas Pakjo
3. Mengetahui Container Index (CI) di wilayah kerja Puskesmas Pakjo
4. Memberikan tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan jentik di wilayah
kerja Puskesmas Pakjo

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap penyebaran penyakit
DBD
2. Memberikan pengetahuan mengenai Pemeriksaan Jentik Berkala untuk
mencegah perkembangan penyakit DBD
3. Memutus mata rantai penularan DBD

1.4.2 Manfaat Bagi Institusi


Menjadi bahan pertimbangan bagi instansi kesehatan terkait dalam penemuan
jentik nyamuk sehingga dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian lebih
lanjut terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue

1.4.3 Manfaat Bagi Penulis


Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian,
promosi kesehatan, dan upaya penanggulangan DBD dalam masyarakat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue


2.1.1 Gambaran Umum
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia
tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah
manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2,
Den3 dan Den -46, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus5 yang
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.8
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik)
berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata
muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.6
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue
(DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari;
pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan
jumlah trombosit 100 x 109 /L dan kebocoran plasma akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh.5
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun
dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa
paling kritis, dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan
peredaran darah.8 Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I
dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket +
(positif); derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit
atau perdarahan lain, derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi
yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHf),

4
hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar
mulut,akral dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah; serta derajat IV
yang ditandai dengan syok berat (profund shock) yaitu nadi tidak dapat diraba
dan tekanan darah tidak terukur.5

2.1.2 Epidemiologi
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini,
dari kota ke lokasi pedesaan9 Penderitanya banyak ditemukan di sebagian
besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah,
Amerika dan Karibia.6
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,
terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di
Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.
Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,
setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian
setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi
dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nyamuk setempat.10
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik
dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat11 dan banyak menimbulkan
kematian pada anak8 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.12
Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang
terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang
dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.13 Pada tahun-tahun berikutnya
jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR)
0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89%.14

5
2.1.3 Patogenesis
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap
infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang
rentan pada saat menggigit dan menghisap darah.9 Setelah masuk ke dalam
tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer
hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-
paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag
mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya
genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur
dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.6 Infeksi ini menimbulkan reaksi
immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross
protective terhadap serotipe virus lainnya.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam
beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan
jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih
disebabkan oleh gangguan metabolic.6

2.1.4 Faktor Resiko


Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB.14 Faktor risiko lainnya adalah
kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan
pembuangan sampah yang benar.10 Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa
menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian.15

6
Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan
masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk;
sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor
risiko.16
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue
yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di
wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan
migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang
menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.17

2.1.5 Pencegahan
Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk
mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan
mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Pengendalian Aedes aegypti
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu18
1. Perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan Aedes
aegypti yaitu dengan memasang kawat kasa di lubanglubang angin di atas
jendela atau pintu, tempat tidur memakai kelambu, penyemprotan dinding
rumah dengan insektisida dan pemakaian repellent pada pagi dan sore hari
Cara ini lebih pada perlindungan diri dari gigitan nyamuk dewasa, tanpa
berupaya mencegah perkembangbiakannya.
2. Program 3M, yaitu:
a. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk
yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada
dinding bak mandi.
b. Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang
memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.

7
c. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan
dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.
d. Pemberian temefos (bubuk abate) ke dalam tempat penampungan air
(abatisasi)
Program 3M ini biasanya lebih terfokus pada bak mandi dan tempat
penampungan air atau tandon, sedangkan kontainer lain kemungkinan
terlewatkan yang sebenarnya banyak digunakan Aedes aegypti untuk
bertelur dan berkembangbiak, misalnya pot bunga, tempat minum
burung, penampungan air pada kulkas dan dispenser.
3. Melakukan fogging setidak tidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari
daerah yang terkena wabah DBD. Cara ini lebih tepat diterapkan setelah
ada kejadian DBD, yang mengindikasikan adanya nyamuk Aedes aegypti
betina sebagai vektor. Jika fogging dilaksanakan sebelum terjadi wabah,
akan terjadi resistensi nyamuk.18

2.2 Ukuran Kepadatan Populasi Penular


2.2.1 Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk
dengan umpan manusia di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama
20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding
dalam rumah yang sama. Penangkapan nyamuk biasanya menggunakan
alat yang bernama aspirator. Setelah nyamuk ditangkap dan terkumpul,
kemudian nyamuk dihitung dengan menggunakan indeks biting/landing
rate dan resting per rumah. Apabila ingin diketahui rata-rata umur nyamuk
di suatu wilayah, dilakukan pembedahan perut nyamuk yang ditangkap
untuk memeriksa keadaan ovariumnya dengan menggunakan mikroskop.

2.2.2 Survei Jentik


Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:

8
1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata
telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
2. Jika memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar seperti
bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya, jika
pandangan pertama tidak menemukan jentik maka harus ditunggu
selama -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
3. Jika memeriksa tempat penampungan air yang berukuran kecil seperti
vas bunga, pot tanaman dan botol yang airnya keruh, maka airnya
perlu dipindahkan ke tempat lain.
4. Ketika memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh,
maka digunakan senter.
Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk Aedes
aegypti adalah:
1. Angka Bebas Jentik (ABJ)

2. House Index (HI)

3. Container Index (CI)

4. Breteau Index (BI)


Breteau Index (BI) adalah jumlah container dengan jentik dalam
100 rumah atau bangunan.

Keunggulan dari survei jentik yang berkelanjutan dan berbasis


masyarakat ini adalah dapat dilaksanakan di semua daerah walaupun
mempunyai karakteristik endemis yang berbeda karena PSN- DBD yang

9
dirancang dapat disesuaikan dengan karakteristik yang ditemukan dalam
survei jentik.
Karena kemudahannya, survei jentik secara visual dapat
dilakukan secara mandiri oleh masyarakat setelah masyarakat
memperoleh pelatihan mengenai prosedur pelaksanaan survei jentik
yang benar dan bagaimana membedakan antara jentik nyamuk Aedes
aegypti dengan jentik nyamuk yang lain. Namun, survei jentik
hendaknya tetap dimonitoring oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan
setempat sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik
serta informasi tentang hasil survei dapat dievaluasi untuk menilai
keberhasilan PSN yang dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan visi
Renstra Depkes 2005-2009 mewujudkan masyarakat yang mandiri untuk
hidup sehat. Selain itu, sesuai dengan salah satu strategi untuk
meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan
yang salah satu caranya adalah mengembangkan early warning system18

2.2.3 Survei Penangkap Telur (Ovitrap)


Survei ini dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa
bejana misalnya potongan bambu, kaleng (seperti kaleng susu atau gelas
plastik) yang dinding bagian dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air
secukupnya. Masukkan padel berupa potongan bambu atau kain yang
tenunannya kasar dan berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur
nyamuk. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah di tempat yang
gelap dan lembab. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada tidaknya
telur nyamuk di padel.19

2.2.4 Pencegahan dan Pengendalian Vektor DBD


Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan atau
menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk
semang yang rentan.20

10
Pengendalian vektor merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga
tidak berarti lagi sebagai penular penyakit dan menghindarkan terjadinya
kontak antara vektor dan manusia.21
Upaya pencegahan tidak harus dilakukan manakala kita sudah
benar-benar sakit. Tetapi, upaya pencegahan harus dilakukan jauh
sebelumnya yaitu pada kondisi sehatpun harus ada upaya yang positif.
Tindakan pencegahan merupakan upaya untuk memotong perjalanan
riwayat alamiah penyakit pada titik-titik atau tempat-tempat yang paling
berpotensi menyebabkan penyakit atau sumber penyakit.22
Pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan dengan cara
mengendalikan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD.
Pencegahan yang efektif seharusnya dilaksanakan secara integral bersama-
sama antara masyarakat, pemerintah dan petugas kesehatan. Hingga saat ini
pemberantasan nyamuk Aedes aegypti merupakan cara utama yang
dilakukan untuk memberantas DBD karena vaksin untuk mencegah dan
obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Sasaran pemberantasan
DBD dapat dilakukan pada nyamuk dewasa dan jentik. Upaya
pemberantasan meliputi:
a. Pencegahan dengan cara menguras, menutup, dan mengubur atau
dikenal dengan gerakan 3 M, yaitu:
1. Menguras tempat penampungan air secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali atau menaburkan bubuk abate ke
dalamnya
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air
3. Mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan seperti kaleng bekas, plastik, dll.
b. Pemberantasan vektor/nyamuk, penyemprotan/fogging fokus pada
lokasi yang ditemui kasus
c. Kunjungan ke rumah-rumah untuk pemantauan jentik dan abatisasi

11
d. Penyuluhan dan kerja bakti melakukan 3 M.23

Kegiatan PSN DBD selain dilakukan dengan cara 3 M, Departemen


Kesehatan Republik Indonesia juga mencanangkan 3 M plus yaitu 3 M
ditambah dengan:
a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat
lainnya yang sejenis seminggu sekali
b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak
c. Menutup lubang-lubang atau potongan bambu/pohon dengan tanah
atau yang lain
d. Menaburkan bubuk larvasida misalnya di tempat-tempat yang sulit
dikuras
e. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak penampungan air
f. Memasang kawat kasa
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar
h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
i. Menggunakan kelambu
j. Memakai obat nyamuk yang dapat mencegah dari gigitan nyamuk.5

2.2.5 Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)


Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) adalah pemeriksaan tempat-
tempat yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader
atau petugas pemantau jentik (jumantik). Program ini bertujuan untuk
melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD dan memotivasi
keluarga atau masyarakat dalam melakukan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) DBD. PSN DBD adalah kegiatan memberantas telur,
jentik dan kepompong nyamuk penular DBD di tempat
perkembangbiakannya.19
Program PJB dilakukan oleh kader, PKK, jumantik atau tenaga
pemeriksa jentik lainnya. Kegiatan pemeriksaan jentik nyamuk termasuk

12
memotivasi masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD. Dengan
kunjungan yang berulang-ulang disertai dengan penyuluhan masyarakat
tentang penyakit DBD diharapkan masyarakat dapat melaksanakan PSN
DBD secara teratur dan terus-menerus.

Tata cara pelaksanaan PJB yaitu:


1. Dilakukan dengan cara mengunjungi rumah-rumah dan tempat-tempat
umum untuk memeriksa Tempat Penampungan Air (TPA), non-TPA
dan tempat penampungan air alamiah di dalam dan di luar rumah atau
bangunan serta memberikan penyuluhan tentang PSN DBD kepada
keluarga dan masyarakat
2. Jika ditemukan jentik, anggota keluarga atau pengelola tempat-tempat
umum diminta untuk ikut melihat atau menyaksikan kemudian
lanjutkan dengan PSN DBD (3 M atau 3 M plus)
3. Memberikan penjelasan dan anjuran PSN DBD kepada keluarga dan
petugas kebersihan tempat-tempat umum
4.
Mencatat hasil pemeriksaan jentik di Kartu Jentik Rumah/Bangunan
yang ditinggalkan di rumah yang diperiksa serta pada Formulir Juru
Pemantau Jentik (JPJ-1) untuk pelaporan ke puskesmas dan dinas yang
terkait lainnya.
5. Berdasarkan hasil pemantauan yang tertulis di formulir JPJ-1 maka
dapat dicari ABJ dan dicatat di formulir JPJ-2.5

2.2.6 Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau
meningkatkan kemandirian masyarakat. Dalam pemberdayaan masyarakat hal
yang terutama adalah adanya partisipasi masyarakat yaitu keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan
pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di
dalam masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam

13
pembangunan pedesaan merupakan aktualisasi dari kesediaan dan
kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam
implementasi program yang dilaksanakan.25,26
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan sangatlah penting untuk
mencegah penyakit, meningkatkan usia hidup dan meningkatkan kesehatan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya upaya
pengorganisasian masyarakat yang pada hakikatnya adalah menghimpun
potensi masyarakat atau sumber daya yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri melalui upaya preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif kesehatan
mereka sendiri.27
Penggerakan dan pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya
fasilitasi yang bersifat persuasif dan melalui memerintah yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku, dan kemampuan
masyarakat dalam menemukan, merencanakan, serta memecahkan
masalah dengan menggunakan sumber daya/potensi yang mereka miliki
termasuk partisipasi dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan antara lain:
1. Menumbuhkan kesadaran, pengetahuan dan pemahaman akan
kesehatan individu, kelompok dan masyarakat
2. Manimbulkan kemauan yang merupakan kecenderungan untuk
melakukan suatu tindakan atau sikap untuk meningkatkan kesehatan
mereka
3. Menimbulkan kemampuan masyarakat untuk mendukung terwujudnya
perilaku sehat.28

Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat adalah pembentukan


jumantik. Jumantik merupakan warga masyarakat setempat yang telah
dilatih oleh petugas kesehatan mengenai penyakit DBD dan upaya
pencegahannya sehingga mereka dapat mengajak masyarakat seluruhnya
untuk berpartisipasi aktif mencegah penyakit DBD. Tujuan pembentukan

14
jumantik agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan
keluarga untuk membiasakan diri dalam menjaga kebersihan lingkungan,
terutama tempat-tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk penular
DBD.Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi jumantik sebagai
berikut:
1) Bertempat tinggal di daerah yang bersangkutan
2) Usia produktif (15-64 tahun)
3) Sehat jasmani maupun rohani
4) Dapat membaca dan menulis dengan tingkat pendidikan minimal lulus
SD
5) Mampu berkomunikasi dengan baik dan jelas
6) Mampu menjadi motivator
7) Mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik

2.3 Vektor DBD dan Karakteristik Nyamuk Ae. Aegypti


Vektor adalah Arthropoda yang secara aktif menularkan mikroorganisme
penyebab penyakit dari penderita kepada orang yang sehat baik secara mekanik
maupun biologi. Penularan penyakit DBD dari satu orang ke orang lain dengan
perantara nyamuk Aedes. Penyakit ini tidak akan menular tanpa ada gigitan
nyamuk. Nyamuk pembawa virus Dengue yang paling utama adalah jenis
Aedes aegypti, sedangkan Aedes albopictus relatif jarang. Nyamuk Aedes
aegypti mulanya berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia,
melalui kapal laut atau udara. Nyamuk hidup dengan baik di belahan dunia
yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan
Amerika.
Nyamuk adalah serangga kecil berkaki panjang, bersayap dua,
mempunyai antena yang panjang, beruas-ruas, sayapnya mempunyai noda-
noda dan mempunyai vena dan jumbai, termasuk dalam Phylum Arthropoda,
Kelas Insekta,Subkelas Pterygota, Ordo Diptera, Sub Ordo Nematocera, Famili
Culicidae, Sub Famili Culicinae, Genus Aedes Species Aedes aegypti L.

15
Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor utama yang menularkan virus dengue
penyebab DBD. Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai darah manusia
daripada binatang (antropofilik) dan bersifat menggigit pada beberapa orang
sebelum merasa kenyang. Nyamuk Ae.aegypti L. ini hidup dan berkembang
dengan baik di daerah tropis yaitu pada garis isotermis 200 yang terletak diantara
450 LU dan 350 LS dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan
laut. Morfologi nyamuk Ae. aegypti terdiri dari telur, larva, kepompong, serta
nyamuk dewasa, selengkapnya sebagai berikut :29,30

Aedes Aegypti

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegepty

1. Telur
Telur berwarna hitam berukuran 0,80 1 mm. Nyamuk Ae. aegypti
L. bertelur pada air bersih di tempat penampungan air yang tidak kontak
langsung dengan tanah seperti ember, vas bunga, kaleng bekas yang dapat
menampungan air bersih dan juga pelepah daun yang dapat
menampung air. Telur nyamuk Ae. aegypti L. berwarna hitam, mempunyai
dinding bergaris garis dan membentuk seperti kasa. Telur akan diletakkan
satu per satu pada dinding bejana berisi air tempatnya bertelur. Telur ini tidak

16
berpelampung, panjang telur kira kira 1 mm dan berbentuk oval. Sekali
bertelur nyamuk Ae. aegypti L. betina dapat 150 butir. Telur kering dapat
bertahan sampai 6 bulan. Setelah kira kira 2 hari jika telur ini kontak dengan
air maka akan menetas menjadi jentik.30,31
2. Jentik (larva)
Menurut Adam (2005), telur akan menetas menjadi jentik atau yang
sering disebut sebagai jentik. Jentik ini adalah stadium yang membutuhkan
banyak makan dan akan mengalami pergantian kulit atau molting sebanyak
empat kali. Setiap masa pergantian kulit tersebut disebut dengan instar.
Instar 1, 2, 3 dan 4 akan memiliki perbedaan dalam hal ukuran tubuhnya,
jumlah bulu bulunya dan pada stadium ini belum bisa dibedakan antara
jantan dan betina.32
Larva Ae. aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen serta
terdapat segmen anal dan sifon dengan satu kumpulan rambut. Ada empat tingkat
(instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu instar I berukuran
paling kecil yaitu 1-2 mm, instar II 2,5-3,8 mm, instar III lebih besar sedikit dari
instar II dan instar IV berukuran paling besar 5 mm. Larva instar IV
mempunyai tanda khas yaitu pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang
bulu sifon dan gigi sisir yang berduri lateral pada segmen abdomen.33
Jentik akan beristirahat dengan posisi tegak lurus terhadap permukaan
air dan jika disentuh atau terdapat getaran maka jentik akan aktif berenang
menuju ke dasar. Jentik ini jika bernafas akan menuju ke permukaan air
dengan posisi siphon berada di atas permukaan air untuk mengambil
udara.. Keberlangsungan hidup jentik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan seperti suhu air, kepadatan populasi jentik, jumlah makanan yang
tersedia serta keberadaan predator di alam.30,35

3. Kepompong
Kepompong berbentuk pupa seperti terompet melengkung, kepala
lebih besar ukurannya dibandingkan dengan tubuhnya. Mempunyai terompet

17
yang berbentuk segitiga yang digunakan untuk bernapas. Pada bagian distal dari
abdomen terdapat sepasang kaki pengayuh atau paddle yang berbentuk lurus dan
runcing. Stadium pupa tidak memerlukan makan. Menurut Depkes (2010), pupa
akan bertahan selama 1 5 hari sampai menjadi nyamuk dewasa tergantung
dari suhu air habitatnya. Pada suhu 27 320 C pupa jantan memerlukan waktu 1
2 hari untuk tumbuh dan berkembang menjadi nyamuk dewasa. Pupa
betina memerlukan waktu kurang lebih 2,5 hari untuk dapat
berkembang menjadi nyamuk betina dewasa.5,21
Kepompong (pupa) berbentuk seperti koma, bentuknya lebih besar tetapi
lebih ramping dibandingkan dengan larva (jentiknya). Pupa berukuran lebih kecil
jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.5

4. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa mempunyai panjang kurang lebih 3 4 mm.Bagian
tubuhnya terdiri dari kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen) Memiliki warna
dasar hitam dengan bintik bintik putih terdapat di seluruh tubuhnya dan di
kaki akan berbentuk cincin. Memiliki gambaran atau venasi yang jelas pada
sayapnya yang membedakan dengan spesies yang lainnya. Lyre berupa
sepasang garis putih lurus di bagian tengah dan di bagian tepi tepinya
berupa garis lengkung berwarna putih.21
Menurut Hamzah (2004), nyamuk Ae. aegypti dewasa tubuhnya
terdiri dari kepala, toraks dan abdomen. Ae. aegypti dewasa mempunyai ciri-
ciri morfologi yang khas, yaitu :33
1. Mempunyai warna dasar yang hitam dengan belang-belang putih
yang terdapat pada bagian badannya, terutama tampak jelas pada kaki pada
bagian basal.
2. Pada bagian dorsal toraks tumbuh bulu-bulu halus yang membentuk
gambaran lyra, yaitu sepasang garis putih sejajar di tengah dan garis
lengkung putih yang tebal pada tiap sisinya.

18
Nyamuk dewasa Ae. aegypti berukuran panjang 3-4 mm, pada stadium
dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain
dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan
dan kaki. Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki probosis berwarna hitam,
skutelum bersisik lebar berwarna putih dan abdomen berpita putih pada bagian
basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita sedangkan menurut Pratomo dan
Rusdyanto (2003), nyamuk Ae. albopictus mempunyai ciri-ciri morfologi
sebagai berikut:36,37
Nyamuk berukuran lebih kecil, berwarna gelap tidak tampak kasar.
Tibia kaki belakang tanpa gelang putih.
Mesotonum dengan garis memanjang atau kumpulan sisik berwarna
putih mirip tanda seru.
Sisik-sisik putih pada paha atau femur dalam bentuk bercak-bercak
putih tidak teratur.
Ada kumpulan sisik-sisik putih yang lebar di atas akar sayap di antara bulu--
bulu supra alar

Gambar 2. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti38

19
BAB III
PROFIL PUSKESMAS

3.1 Gambaran Umum


Puskesmas Pakjo didirikan tahun 1971 merupakan puskesmas non inpres,
tanah wakaf Bapak Soleh dan diusahakan oleh Ibu Suprapti (anggota BPH).
Puskesmas Pakjo atau sering disebut Puskesmas Bambu Kuning merupakan
salah satu puskesmas di Kecamatan Ilir Barat I. Terletak di Jalan Inspektur
Marzuki. Wilayah Kerjanya membawahi 1 (satu) kelurahan yaitu Kelurahan
Siring Agung. Luas tanah puskesmas kira-kira 526 m2 dan luas bangunan
puskesmas 420 m2. Puskesmas Pakjo dipimpin oleh drg. Nina dan dibantu oleh
45 orang staf yang berstatus PNS maupun non PNS baik paramedis maupun non
paramedis.
Sarana dan prasarana Puskesmas Pakjo di lantai dasar terdiri dari tempat
pendafatran, poli umum, poli lansia, poli KB, poli KIA, laboratorium dan apotik.
Di lantai 1 terdapat poli MTBS, promkes/kesling/gizi, poli gigi, ruang impinan,
ruang TU. Selain itu terdapat ruang ASI, ruangUGD, customer service, ruang
pertemuan, ruang pemeriksaan TB, penggunaan simpus, pojok anak, lapangan
parker dan 2 APAR.
Dalam pelaksanaan tugas, dibantu oleh 2 (dua) puskesmas pembantu yaitu
Pustu Talang Masketip dan Pustu Siring Agung, selain itu terdapat Poskeskel.

3.2 Wilayah Kerja


Wilayah kerja Puskesmas Pakjo meliputi Kelurahan Siring Agung, yang
mempunyai luas 6,4 km2, sebagian besar terdiri dari dataran rendah, sebagian
kecil rawa-rawa, relatif mudah dijangkau, hanyaDusun Sungai Hitam (RT 5 RW
9) yangharus memutar melalui Kabupaten Banyuasin karena ada sungai dan
belum ada jembatan penguhubung. Batas batas kelurahan Siring Agung yaitu:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Ilir Timur I D IV

20
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan LorokPakjo
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Demang Lebar Daun
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bukit Baru

3.3 Keadaan Demografi


Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pakjo total sejumlah 22.779 jiwa yang
terdiri dari 11.512 laki-laki dan 11.267 perempuan yang tersebar di Kelurahan
Siring Agung. Bedasarkan keadaan sosial ekonominya, mata pencaharian
penduduk bervariasi terdiri dari pegawai negeri, pedagang, pensiunan, pengrajin,
buruh harian.

3.4 Angka Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pakjo


Berdasarkan profil Puskesmas Pakjo tahun 2015-2016 didapatkan data pasien
DBD di Puskesmas Pakjo tahun 2016-2107 sebagai berikut:
Tabel 1. Pasien DBD di Puskesmas Pakjo 2015
Bulan Jumlah Pasien
Januari 2015 8
Februari 2015 2
Maret 2015 2
November 2015 2
TOTAL 2016 16

Tabel 2. Pasien DBD di Puskesmas Pakjo 2016


Bulan Jumlah Pasien
Januari 2016 5
Februari 2016 4
Juli 2016 1
Agustus 2016 1
TOTAL 2016 11

21
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Metode yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah metode survei dengan
pendekatan Cross Sectional. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi identitas responden (nama KK),
ada tidaknya jentik nyamuk pada kontainer air (jumlah kontainer air total dan
container air yang positif jentik). Data primer juga diperoleh dengan observasi
langsung, wawancara dengan responden, keterangan warga dan tokoh masyarakat.

4.2 Lokasi dan Waktu Kegiatan


Kegiatan survei jentik dilakukan di Kelurahan Pakjo, Kecamatan Ilir Barat 1,
Kota Palembang, Sumatera Selatan pada 15 Juni 2017 - 8 Juli 2017 dengan fasilitator
Kader Jumantik Puskesmas Pakjo.

4.3 Populasi dan Sampel


4.3.1 Populasi
Polulasi pada penelitian ini adalah seluruh penampungan air di seluruh
rumah/bangunan di wilayah kerja Puskesmas Pakjo pada bulan Juni 2017.

4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah minimal 100 sampel rumah/bangunan yang
dipilih secara acak di kelurahan Pakjo, kecamatan Ilir Barat 1 Palembang.

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random
sampling dengan penjelasan sebagai berikut:

22
- Pembuatan daftar RT dan RW di Kelurahan Siring Agung
Tabel 3. Data RT dan RW Kelurahan Siring Agung
RW Jumlah RT
1 4 RT
2 3 RT
3 4 RT
4 4 RT
5 2 RT
6 7 RT
7 4 RT
8 6 RT
9 7 RT
- Dari masing-masing RW, dipilih 1 RT secara acak di wilayah Siring
Agung, sehingga didapatkan 9 RT.
- Dari masing-masing RT diambil 11-12 KK secara acak untuk
dijadikan sampel dalam penelitian ini
- Didapatkan 100 sampel penelitian

4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi


4.4.1 Kriteria Inklusi
Seluruh rumah/bangunan yang mempunyai sarana penampungan air berupa
bak dan drum di wilayah kerja Puskesmas Pakjo pada 15 Juni 2017 - 8 Juli
2017
4.4.2 Kriteria Eklusi
- Seluruh rumah/bangunan yang menggunakan sarana penampungan air
berupa tangki air dan tidak memiliki bak (menggunakan baskom,
shower) di wilayah kerja Puskesmas Pakjo pada 15 Juni 2017 - 8 Juli
2017
- Rumah/bangunan dengan keluarga yang tidak setuju dilakukan survey di
wilayah kerja Puskesmas Pakjo pada 15 Juni 2017 - 8 Juli 2017

23
4.5 Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah jumlah jentik di penampungan, jumlah
container di rumah, angka bebas jentik, House Index dan Countainer Index.

4.6 Definisi Operasional


1. Jumlah jentik di penampungan
Definisi: Ada atau tidaknya serta jumlah jentik yang terdapat di masing-
masing penampungan air yang diperiksa
2. Jumlah penampungan di rumah
Definisi: Jumlah penampungan air yang dimiliki di masing-masing rumah
3. Angka Bebas Jentik
Definisi: Persentase jumlah rumah yang tidak memiliki jentik dari seluruh
rumah yang diperiksa
4. House Index (Kepadatan jentik)
Definisi: Persentase jumlah rumah yang memiliki jentik dari seluruh rumah
yang diperiksa
5. Countainer Index
Definisi: persentase jumlah penampungan air yang memiliki jentik dari
seluruh penampungan air yang diperiksa

4.7 Cara Pengumpulan Data


Alat untuk survei jentik visual adalah lampu senter, lembar observasi dan alat
tulis untuk mencatat hasil observasi. Sasaran survei adalah tempat-tempat yang
memungkinkan air tergenang, karena merupakan tempat biasa nyamuk Aedes
aegypti berkembang biak. Nyamuk Aedes aegypti betina selalu meletakkan telur
di dinding tempat penampungan air atau barang-barang yang memungkinkan air
tergenang1. Cara pelaksanaan survei jentik, yaitu:
5. Membuka tutup kontainer air apabila ada;
6. Mengamati secara langsung ada tidaknya jentik di dalam kontainer, Lampu
senter digunakan untuk membantu pengamatan container di tempat kurang

24
cahaya, dengan cara mengarahkan cahaya senter ke dalam kontainer, tunggu
beberapa saat apakah ada jentik yang terlihat;
7. Menghitung jumlah total tempat penampungan air dan jumlah tempat
penampungan air yang positif jentik;
8. Mencatat hasil pengamatan ke dalam lembar observasi.

4.6 Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan data meliputi: a) editing, melakukan pengeditan terhadap
data yang terkumpul baik dengan memperhatikan keterbacaan tulisan dan
kelengkapan pengisian lembar observasi; b) coding, memberi kode pada data
yang diperoleh dari hasil penelitian; c) tabulating, pengelompokan data.
Analisis data dilakukan dengan penyusunan dan organisir data sehingga
mudah dijumlah, disusun, dan disajikan dalam bentuk tabel. Dalam tahap ini
juga dilakukan proses pengubahan data

25
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Survei jentik merupakan kegiatan pemeriksaan kontainer-kontainer air untuk
mengetahui jenis jentik dan tempat perindukan yang potensial, mengukur indeks
jentik dan mencari cara pemberantasan yang cocok. Terdapat dua cara pelaksanaan
survei jentik, yaitu secara single larva dan secara visual. Cara single larva dengan
mengambil satu ekor jentik dari setiap kontainer positif jentik sebagai sampel untuk
pemeriksaan spesies jentik. Sedangkan cara visual dilakukan dengan melihat dan
mencatat ada atau tidaknya jentik dalam container39.
Survei jentik yang dilakukan menurut pedoman Depkes, merupakan survei
jentik visual. Rekapitulasi hasil survei jentik digunakan untuk mengetahui Angka
Bebas Jentik. Survei jentik menunjukkan data mengenai jumlah rumah terperiksa,
tempat penampungan air terperiksa, tempat penampungan air positif jentik, dan
tempat penampungan air negative jentik. Data tersebut akan digunakan untuk
menentukan House Index (HI), Containner Index (CI) dan Angka Bebas Jentik
(ABJ)3. House Index merupakan proporsi jumlah rumah positif jentik dengan jumlah
rumah terperiksa. Containner Index merupakan proporsi jumlah container air positif
jentik dengan jumlah kontainer terperiksa1. Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan
proporsi jumlah rumah negatif jentik dengan jumlah rumah terperiksa. Semakin
rendah ABJ memperlihatkan semakin besarnya kemungkinan penularan DBD di
lokasi survei mengingat radius penularan DBD adalah 100 meter dari tempat
penderita. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM), nilai ABJ minimal untuk
membatasi penyebaran DBD adalah 95 %40.
Hasil observasi survey jentik di Kelurahan siring Agung, Kota Palembang
pada bulan Juni-Juli 2017 adalah sebagai berikut.

26
Rumah yang Rumah + Kontainer air
No RW HI CI ABJ
diperiksa Jentik Diperiksa + -
1 1 11 5 47 8 39 45.455 17.02 54.55
2 2 11 8 37 22 15 72.727 59.46 27.27
3 3 11 2 27 3 24 18.182 11.11 81.82
4 4 11 6 26 9 17 54.545 34.62 45.45
5 5 11 10 32 20 12 90.909 62.5 9.091
6 6 11 5 31 10 21 45.455 32.26 54.55
7 7 11 2 29 8 21 18.182 27.59 81.82
8 8 11 3 32 4 28 27.273 12.5 72.73
9 9 12 5 33 22 11 41.667 66.67 58.33
Total 100 46 294 106 188 46 36.05 54

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.


Situasi DBD Saat Ini. 2016;1.
2. CDC. Epidemiology Dengue Homepage. 2010.
(https://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html). Diakses pada
tanggal 29 Juni 2017.
3. Depkes RI. Pemberdayaan Jumantik untuk Mendukung Gerakan PSN 3M+.
2016. (http://www.depkes.go.id/article/view/16061600003/pemberdayaan-
jumantik-untuk-mendukung-gerakan-psn-3m-plus.html). Diakses pada
tanggal 29 Juni 2017.
4. Depkes RI. Wilayah KLB DBD Ada di 11 Provinsi. 2016.
(http://www.depkes.go.id/article/view/16020900001/wilayah-klb-dbd-ada-di-
11-kabupaten-kota.html). Diakses pada tanggal 28 Juni 2017.
5. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Departemen Kesehatan RI;
2003.
6. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious
Disease. 2007; Vol 30:329-40.
7. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29.

27
8. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Pathophysiology and Management of
Dengue Hemorrhagic Fever. Bangkok: Department of Pediatrics, Faculty of
Medicine, Ramathibodi Hospital, Mahidol University; 2006.
9. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.
10. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne
Dengue Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural
Resources Defense Council Issue Paper; 2009.
11. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-
borne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis
and Potential candidates of Future Emerging Diseases. Vet Microbiol.
2010;Vol 140:271- 80.
12. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection.
Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
13. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.
14. Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of
International Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.
15. U.S.D.T. International Travel and Transportation Trends. Washington D. C.:
Bureau of Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation;
2006.
16. Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
17. Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperana MA, Terzian ACB,
Nogueira ML. Risk Factors for Dengue Virus Infection in Rural Amazonia:
Population-based Cross-sectional Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol
79 (4): p. 48594.
18. Luthfiana, Muftika dkk. Survei Jentik Sebagai Deteksi Dini Penyebaran
Demam Berdarah Dengue (DBD) Berbasis Masyarakat Dan Berkelanjutan.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa 2012; Vol 2 No 1.
19. Depkes RI. Data Kasus DBD per Bulan di Indonesia Tahun 2010, 2009 dan
2008. 2010. Jakarta: Depkes RI.
20. Mubarak, Wahid Iqbal., Chayatin, Nurul. Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori
dan Aplikasi. 2009. Jakarta: Salemba Medika.
21. Gandahusada S, dkk. Parasitologi Kedokteran, Cetakan ke-VI, FKUI, Jakarta
22. Budioro, 2001, Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2006. FKM UNDIP,
Semarang.
23. Addin. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit. 2009. Bandung: Puri
Delco
24. Judarwanto, W, Profil Nyamuk Aedes dan Pembasmiannya, Selasa 30 Jan
2007. Diakses tanggal 27 Juni 2017.
http://medicastore.com/artikel/184/ProfilNyamukAedesdanPembasmiann
ya.html.

28
25. Adisasmita, Rahardjo. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. 2006. p.34.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
26. Sumodiningrat, G. Pemberdayaan Sosial Kajian Ringkas tentang
Pembangunan Manusia Indonesia. 2007. Kompas. Jakarta.
27. Soekidjo Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. 2002. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
28. Bencoolen, R. Makalah Menggerakkan dan Memberdayakan Peran Serta
Masyarakat dalam Kesehatan, Rabu 06 April 2011, diakses tanggal 23 Juni
2017, (http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/2011/04/makalah-
menggerakkan-dan-memberdayakan.html)
29. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Edisi Keempat.
2008. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
30. Sugito, R. 1989. Aspek Entomologi Demam Berdarah Dengue. Seminar
Prosiding dan Lokakarya Berbagai Aspek Demam Berdarah Dengue dan
Penanggulangannnya. Jakarta dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 1
No.2, Edisi Januari 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan
Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti di
Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Diakses pada tanggal
24 Juni 2017.http:// journal.unair.ac.id/download-fullpapers-KESLING-1-2-
08.pdf
31. Rozendall, A. Vector Control: Methods for Use by Individuals and
Communities. 1997. World Health Organization, Geneva.
32. Adam. Uji ToksisitasEkstrak Biji Srikaya (Annona squamosal Linn)
Terhadap Jentik Aedes aegypti. 2008. Thesis S-2 Ilmu Kesehatan
Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
33. Hamzah, M. Bionomik Aedes aegypti. Jurnal Kedokteran Kesehatan
(3694):96-901. 2004
34. Nor, Syahriani., Mardihusodo, Sugeng Juwono., Supardi, Suharyanto. Evaluasi
Aplikasi Mesosyclops aspericornis dengan Pembanding Aplikasi Temephos
untuk Pengendalian Aedes spp di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Evaluation Mesocyclops aspericornis Application Compared with Temephos
A. Jurnal Sains Kesehatan 2004. Diakses pada 24 Juni 2017. http://i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4527.
35. World Health Organization. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention, and Control. 2009. New Edition.
36. Sungkar, S.,2005, Bionomik Aedes Aegypti, Vektor Demam Berdarah
Dengue,Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 55, No.4, hal. 384- 389.
37. Pratomo, H. dan Rusdiyanto, E.2003.Studi Populasi Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Widodomertani.Yogyakarta. Diakses
pada tanggal 27 Juni 2017.
http://pk.ut.ac.id/jmst/jurnal_2003.2/hurip%20pratomo/studi_populasi_nyam
uk_DBD.HTM.
38. Depkes RI. Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue. 2002.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

29
39. Depkes RI. Rencana dan Strategi Departemen Kesehatan 2005-2009. 2006.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai