BAB TA Dinkes
BAB TA Dinkes
PENDAHULUAN
1
lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah atau mengurangi
perkembangbiakan vector dan kontak manusia-vektor-pathogen.1
Pada tahun 2016, Pemerintah telah meluncurkan Gerakan 1 Rumah 1
Jumantik sejak tahun lalu yang merupakan bagian dari upaya pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) melalui 3M Plus yaitu, Menguras, Menutup, dan Mendaur
ulang, ditambah Mengindari gigitan nyamuk. Gerakan ini dimaksudkan untuk
mengajak setiap keluarga dan seluruh masyarakat agar mencegah munculnya
perindukan nyamuk Aedes aegypti di rumah atau di tempat kerja masing-masing,
dengan cara membasmi setiap jentik yang ditemukan dan meniadakan genangan
air baik di luar maupun di dalam rumah atau gedung. Diharapkan, kelak tidak ada
penularan DBD dari nyamuk Aedes aegypti di Indonesia.3
Keberhasilan kegiatan PSN BDB dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik,
apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%, diharapkan penularan DBD dapat
dicegah atau dikurangi.5
Penelitian mengenai pemeriksaan jentik berkala ini bertujuan untuk
mengetahui kepadatan jentik agar dapat menurunkan kejadian penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk Aedes aegepty di wilayah kerja Puskesmas Pakjo,
Palembang. Dengan berbekal pengetahuan inilah tenaga kesehatan dapat
melakukan upaya pengendalian jentik nyamuk dan penyebaran penyakit DBD
bisa dicegah.
2
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui daerah yang beresiko terjangkit DBD
2. Mengetahui House Index (HI) di wilayah kerja Puskesmas Pakjo
3. Mengetahui Container Index (CI) di wilayah kerja Puskesmas Pakjo
4. Memberikan tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan jentik di wilayah
kerja Puskesmas Pakjo
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar
mulut,akral dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah; serta derajat IV
yang ditandai dengan syok berat (profund shock) yaitu nadi tidak dapat diraba
dan tekanan darah tidak terukur.5
2.1.2 Epidemiologi
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini,
dari kota ke lokasi pedesaan9 Penderitanya banyak ditemukan di sebagian
besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah,
Amerika dan Karibia.6
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,
terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di
Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.
Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,
setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian
setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi
dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nyamuk setempat.10
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik
dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat11 dan banyak menimbulkan
kematian pada anak8 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.12
Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang
terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang
dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.13 Pada tahun-tahun berikutnya
jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR)
0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89%.14
5
2.1.3 Patogenesis
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap
infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang
rentan pada saat menggigit dan menghisap darah.9 Setelah masuk ke dalam
tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer
hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-
paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag
mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya
genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur
dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.6 Infeksi ini menimbulkan reaksi
immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross
protective terhadap serotipe virus lainnya.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam
beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan
jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih
disebabkan oleh gangguan metabolic.6
6
Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan
masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk;
sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor
risiko.16
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue
yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di
wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan
migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang
menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.17
2.1.5 Pencegahan
Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk
mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan
mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Pengendalian Aedes aegypti
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu18
1. Perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan Aedes
aegypti yaitu dengan memasang kawat kasa di lubanglubang angin di atas
jendela atau pintu, tempat tidur memakai kelambu, penyemprotan dinding
rumah dengan insektisida dan pemakaian repellent pada pagi dan sore hari
Cara ini lebih pada perlindungan diri dari gigitan nyamuk dewasa, tanpa
berupaya mencegah perkembangbiakannya.
2. Program 3M, yaitu:
a. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk
yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada
dinding bak mandi.
b. Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang
memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.
7
c. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan
dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.
d. Pemberian temefos (bubuk abate) ke dalam tempat penampungan air
(abatisasi)
Program 3M ini biasanya lebih terfokus pada bak mandi dan tempat
penampungan air atau tandon, sedangkan kontainer lain kemungkinan
terlewatkan yang sebenarnya banyak digunakan Aedes aegypti untuk
bertelur dan berkembangbiak, misalnya pot bunga, tempat minum
burung, penampungan air pada kulkas dan dispenser.
3. Melakukan fogging setidak tidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari
daerah yang terkena wabah DBD. Cara ini lebih tepat diterapkan setelah
ada kejadian DBD, yang mengindikasikan adanya nyamuk Aedes aegypti
betina sebagai vektor. Jika fogging dilaksanakan sebelum terjadi wabah,
akan terjadi resistensi nyamuk.18
8
1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata
telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
2. Jika memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar seperti
bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya, jika
pandangan pertama tidak menemukan jentik maka harus ditunggu
selama -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
3. Jika memeriksa tempat penampungan air yang berukuran kecil seperti
vas bunga, pot tanaman dan botol yang airnya keruh, maka airnya
perlu dipindahkan ke tempat lain.
4. Ketika memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh,
maka digunakan senter.
Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk Aedes
aegypti adalah:
1. Angka Bebas Jentik (ABJ)
9
dirancang dapat disesuaikan dengan karakteristik yang ditemukan dalam
survei jentik.
Karena kemudahannya, survei jentik secara visual dapat
dilakukan secara mandiri oleh masyarakat setelah masyarakat
memperoleh pelatihan mengenai prosedur pelaksanaan survei jentik
yang benar dan bagaimana membedakan antara jentik nyamuk Aedes
aegypti dengan jentik nyamuk yang lain. Namun, survei jentik
hendaknya tetap dimonitoring oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan
setempat sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik
serta informasi tentang hasil survei dapat dievaluasi untuk menilai
keberhasilan PSN yang dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan visi
Renstra Depkes 2005-2009 mewujudkan masyarakat yang mandiri untuk
hidup sehat. Selain itu, sesuai dengan salah satu strategi untuk
meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan
yang salah satu caranya adalah mengembangkan early warning system18
10
Pengendalian vektor merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga
tidak berarti lagi sebagai penular penyakit dan menghindarkan terjadinya
kontak antara vektor dan manusia.21
Upaya pencegahan tidak harus dilakukan manakala kita sudah
benar-benar sakit. Tetapi, upaya pencegahan harus dilakukan jauh
sebelumnya yaitu pada kondisi sehatpun harus ada upaya yang positif.
Tindakan pencegahan merupakan upaya untuk memotong perjalanan
riwayat alamiah penyakit pada titik-titik atau tempat-tempat yang paling
berpotensi menyebabkan penyakit atau sumber penyakit.22
Pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan dengan cara
mengendalikan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD.
Pencegahan yang efektif seharusnya dilaksanakan secara integral bersama-
sama antara masyarakat, pemerintah dan petugas kesehatan. Hingga saat ini
pemberantasan nyamuk Aedes aegypti merupakan cara utama yang
dilakukan untuk memberantas DBD karena vaksin untuk mencegah dan
obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Sasaran pemberantasan
DBD dapat dilakukan pada nyamuk dewasa dan jentik. Upaya
pemberantasan meliputi:
a. Pencegahan dengan cara menguras, menutup, dan mengubur atau
dikenal dengan gerakan 3 M, yaitu:
1. Menguras tempat penampungan air secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali atau menaburkan bubuk abate ke
dalamnya
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air
3. Mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan seperti kaleng bekas, plastik, dll.
b. Pemberantasan vektor/nyamuk, penyemprotan/fogging fokus pada
lokasi yang ditemui kasus
c. Kunjungan ke rumah-rumah untuk pemantauan jentik dan abatisasi
11
d. Penyuluhan dan kerja bakti melakukan 3 M.23
12
memotivasi masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD. Dengan
kunjungan yang berulang-ulang disertai dengan penyuluhan masyarakat
tentang penyakit DBD diharapkan masyarakat dapat melaksanakan PSN
DBD secara teratur dan terus-menerus.
13
pembangunan pedesaan merupakan aktualisasi dari kesediaan dan
kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam
implementasi program yang dilaksanakan.25,26
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan sangatlah penting untuk
mencegah penyakit, meningkatkan usia hidup dan meningkatkan kesehatan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya upaya
pengorganisasian masyarakat yang pada hakikatnya adalah menghimpun
potensi masyarakat atau sumber daya yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri melalui upaya preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif kesehatan
mereka sendiri.27
Penggerakan dan pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya
fasilitasi yang bersifat persuasif dan melalui memerintah yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku, dan kemampuan
masyarakat dalam menemukan, merencanakan, serta memecahkan
masalah dengan menggunakan sumber daya/potensi yang mereka miliki
termasuk partisipasi dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan antara lain:
1. Menumbuhkan kesadaran, pengetahuan dan pemahaman akan
kesehatan individu, kelompok dan masyarakat
2. Manimbulkan kemauan yang merupakan kecenderungan untuk
melakukan suatu tindakan atau sikap untuk meningkatkan kesehatan
mereka
3. Menimbulkan kemampuan masyarakat untuk mendukung terwujudnya
perilaku sehat.28
14
jumantik agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan
keluarga untuk membiasakan diri dalam menjaga kebersihan lingkungan,
terutama tempat-tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk penular
DBD.Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi jumantik sebagai
berikut:
1) Bertempat tinggal di daerah yang bersangkutan
2) Usia produktif (15-64 tahun)
3) Sehat jasmani maupun rohani
4) Dapat membaca dan menulis dengan tingkat pendidikan minimal lulus
SD
5) Mampu berkomunikasi dengan baik dan jelas
6) Mampu menjadi motivator
7) Mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik
15
Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor utama yang menularkan virus dengue
penyebab DBD. Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai darah manusia
daripada binatang (antropofilik) dan bersifat menggigit pada beberapa orang
sebelum merasa kenyang. Nyamuk Ae.aegypti L. ini hidup dan berkembang
dengan baik di daerah tropis yaitu pada garis isotermis 200 yang terletak diantara
450 LU dan 350 LS dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan
laut. Morfologi nyamuk Ae. aegypti terdiri dari telur, larva, kepompong, serta
nyamuk dewasa, selengkapnya sebagai berikut :29,30
Aedes Aegypti
1. Telur
Telur berwarna hitam berukuran 0,80 1 mm. Nyamuk Ae. aegypti
L. bertelur pada air bersih di tempat penampungan air yang tidak kontak
langsung dengan tanah seperti ember, vas bunga, kaleng bekas yang dapat
menampungan air bersih dan juga pelepah daun yang dapat
menampung air. Telur nyamuk Ae. aegypti L. berwarna hitam, mempunyai
dinding bergaris garis dan membentuk seperti kasa. Telur akan diletakkan
satu per satu pada dinding bejana berisi air tempatnya bertelur. Telur ini tidak
16
berpelampung, panjang telur kira kira 1 mm dan berbentuk oval. Sekali
bertelur nyamuk Ae. aegypti L. betina dapat 150 butir. Telur kering dapat
bertahan sampai 6 bulan. Setelah kira kira 2 hari jika telur ini kontak dengan
air maka akan menetas menjadi jentik.30,31
2. Jentik (larva)
Menurut Adam (2005), telur akan menetas menjadi jentik atau yang
sering disebut sebagai jentik. Jentik ini adalah stadium yang membutuhkan
banyak makan dan akan mengalami pergantian kulit atau molting sebanyak
empat kali. Setiap masa pergantian kulit tersebut disebut dengan instar.
Instar 1, 2, 3 dan 4 akan memiliki perbedaan dalam hal ukuran tubuhnya,
jumlah bulu bulunya dan pada stadium ini belum bisa dibedakan antara
jantan dan betina.32
Larva Ae. aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen serta
terdapat segmen anal dan sifon dengan satu kumpulan rambut. Ada empat tingkat
(instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu instar I berukuran
paling kecil yaitu 1-2 mm, instar II 2,5-3,8 mm, instar III lebih besar sedikit dari
instar II dan instar IV berukuran paling besar 5 mm. Larva instar IV
mempunyai tanda khas yaitu pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang
bulu sifon dan gigi sisir yang berduri lateral pada segmen abdomen.33
Jentik akan beristirahat dengan posisi tegak lurus terhadap permukaan
air dan jika disentuh atau terdapat getaran maka jentik akan aktif berenang
menuju ke dasar. Jentik ini jika bernafas akan menuju ke permukaan air
dengan posisi siphon berada di atas permukaan air untuk mengambil
udara.. Keberlangsungan hidup jentik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan seperti suhu air, kepadatan populasi jentik, jumlah makanan yang
tersedia serta keberadaan predator di alam.30,35
3. Kepompong
Kepompong berbentuk pupa seperti terompet melengkung, kepala
lebih besar ukurannya dibandingkan dengan tubuhnya. Mempunyai terompet
17
yang berbentuk segitiga yang digunakan untuk bernapas. Pada bagian distal dari
abdomen terdapat sepasang kaki pengayuh atau paddle yang berbentuk lurus dan
runcing. Stadium pupa tidak memerlukan makan. Menurut Depkes (2010), pupa
akan bertahan selama 1 5 hari sampai menjadi nyamuk dewasa tergantung
dari suhu air habitatnya. Pada suhu 27 320 C pupa jantan memerlukan waktu 1
2 hari untuk tumbuh dan berkembang menjadi nyamuk dewasa. Pupa
betina memerlukan waktu kurang lebih 2,5 hari untuk dapat
berkembang menjadi nyamuk betina dewasa.5,21
Kepompong (pupa) berbentuk seperti koma, bentuknya lebih besar tetapi
lebih ramping dibandingkan dengan larva (jentiknya). Pupa berukuran lebih kecil
jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.5
4. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa mempunyai panjang kurang lebih 3 4 mm.Bagian
tubuhnya terdiri dari kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen) Memiliki warna
dasar hitam dengan bintik bintik putih terdapat di seluruh tubuhnya dan di
kaki akan berbentuk cincin. Memiliki gambaran atau venasi yang jelas pada
sayapnya yang membedakan dengan spesies yang lainnya. Lyre berupa
sepasang garis putih lurus di bagian tengah dan di bagian tepi tepinya
berupa garis lengkung berwarna putih.21
Menurut Hamzah (2004), nyamuk Ae. aegypti dewasa tubuhnya
terdiri dari kepala, toraks dan abdomen. Ae. aegypti dewasa mempunyai ciri-
ciri morfologi yang khas, yaitu :33
1. Mempunyai warna dasar yang hitam dengan belang-belang putih
yang terdapat pada bagian badannya, terutama tampak jelas pada kaki pada
bagian basal.
2. Pada bagian dorsal toraks tumbuh bulu-bulu halus yang membentuk
gambaran lyra, yaitu sepasang garis putih sejajar di tengah dan garis
lengkung putih yang tebal pada tiap sisinya.
18
Nyamuk dewasa Ae. aegypti berukuran panjang 3-4 mm, pada stadium
dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain
dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan
dan kaki. Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki probosis berwarna hitam,
skutelum bersisik lebar berwarna putih dan abdomen berpita putih pada bagian
basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita sedangkan menurut Pratomo dan
Rusdyanto (2003), nyamuk Ae. albopictus mempunyai ciri-ciri morfologi
sebagai berikut:36,37
Nyamuk berukuran lebih kecil, berwarna gelap tidak tampak kasar.
Tibia kaki belakang tanpa gelang putih.
Mesotonum dengan garis memanjang atau kumpulan sisik berwarna
putih mirip tanda seru.
Sisik-sisik putih pada paha atau femur dalam bentuk bercak-bercak
putih tidak teratur.
Ada kumpulan sisik-sisik putih yang lebar di atas akar sayap di antara bulu--
bulu supra alar
19
BAB III
PROFIL PUSKESMAS
20
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan LorokPakjo
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Demang Lebar Daun
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bukit Baru
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah minimal 100 sampel rumah/bangunan yang
dipilih secara acak di kelurahan Pakjo, kecamatan Ilir Barat 1 Palembang.
22
- Pembuatan daftar RT dan RW di Kelurahan Siring Agung
Tabel 3. Data RT dan RW Kelurahan Siring Agung
RW Jumlah RT
1 4 RT
2 3 RT
3 4 RT
4 4 RT
5 2 RT
6 7 RT
7 4 RT
8 6 RT
9 7 RT
- Dari masing-masing RW, dipilih 1 RT secara acak di wilayah Siring
Agung, sehingga didapatkan 9 RT.
- Dari masing-masing RT diambil 11-12 KK secara acak untuk
dijadikan sampel dalam penelitian ini
- Didapatkan 100 sampel penelitian
23
4.5 Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah jumlah jentik di penampungan, jumlah
container di rumah, angka bebas jentik, House Index dan Countainer Index.
24
cahaya, dengan cara mengarahkan cahaya senter ke dalam kontainer, tunggu
beberapa saat apakah ada jentik yang terlihat;
7. Menghitung jumlah total tempat penampungan air dan jumlah tempat
penampungan air yang positif jentik;
8. Mencatat hasil pengamatan ke dalam lembar observasi.
25
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Survei jentik merupakan kegiatan pemeriksaan kontainer-kontainer air untuk
mengetahui jenis jentik dan tempat perindukan yang potensial, mengukur indeks
jentik dan mencari cara pemberantasan yang cocok. Terdapat dua cara pelaksanaan
survei jentik, yaitu secara single larva dan secara visual. Cara single larva dengan
mengambil satu ekor jentik dari setiap kontainer positif jentik sebagai sampel untuk
pemeriksaan spesies jentik. Sedangkan cara visual dilakukan dengan melihat dan
mencatat ada atau tidaknya jentik dalam container39.
Survei jentik yang dilakukan menurut pedoman Depkes, merupakan survei
jentik visual. Rekapitulasi hasil survei jentik digunakan untuk mengetahui Angka
Bebas Jentik. Survei jentik menunjukkan data mengenai jumlah rumah terperiksa,
tempat penampungan air terperiksa, tempat penampungan air positif jentik, dan
tempat penampungan air negative jentik. Data tersebut akan digunakan untuk
menentukan House Index (HI), Containner Index (CI) dan Angka Bebas Jentik
(ABJ)3. House Index merupakan proporsi jumlah rumah positif jentik dengan jumlah
rumah terperiksa. Containner Index merupakan proporsi jumlah container air positif
jentik dengan jumlah kontainer terperiksa1. Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan
proporsi jumlah rumah negatif jentik dengan jumlah rumah terperiksa. Semakin
rendah ABJ memperlihatkan semakin besarnya kemungkinan penularan DBD di
lokasi survei mengingat radius penularan DBD adalah 100 meter dari tempat
penderita. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM), nilai ABJ minimal untuk
membatasi penyebaran DBD adalah 95 %40.
Hasil observasi survey jentik di Kelurahan siring Agung, Kota Palembang
pada bulan Juni-Juli 2017 adalah sebagai berikut.
26
Rumah yang Rumah + Kontainer air
No RW HI CI ABJ
diperiksa Jentik Diperiksa + -
1 1 11 5 47 8 39 45.455 17.02 54.55
2 2 11 8 37 22 15 72.727 59.46 27.27
3 3 11 2 27 3 24 18.182 11.11 81.82
4 4 11 6 26 9 17 54.545 34.62 45.45
5 5 11 10 32 20 12 90.909 62.5 9.091
6 6 11 5 31 10 21 45.455 32.26 54.55
7 7 11 2 29 8 21 18.182 27.59 81.82
8 8 11 3 32 4 28 27.273 12.5 72.73
9 9 12 5 33 22 11 41.667 66.67 58.33
Total 100 46 294 106 188 46 36.05 54
DAFTAR PUSTAKA
27
8. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Pathophysiology and Management of
Dengue Hemorrhagic Fever. Bangkok: Department of Pediatrics, Faculty of
Medicine, Ramathibodi Hospital, Mahidol University; 2006.
9. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.
10. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne
Dengue Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural
Resources Defense Council Issue Paper; 2009.
11. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-
borne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis
and Potential candidates of Future Emerging Diseases. Vet Microbiol.
2010;Vol 140:271- 80.
12. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection.
Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
13. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.
14. Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of
International Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.
15. U.S.D.T. International Travel and Transportation Trends. Washington D. C.:
Bureau of Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation;
2006.
16. Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
17. Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperana MA, Terzian ACB,
Nogueira ML. Risk Factors for Dengue Virus Infection in Rural Amazonia:
Population-based Cross-sectional Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol
79 (4): p. 48594.
18. Luthfiana, Muftika dkk. Survei Jentik Sebagai Deteksi Dini Penyebaran
Demam Berdarah Dengue (DBD) Berbasis Masyarakat Dan Berkelanjutan.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa 2012; Vol 2 No 1.
19. Depkes RI. Data Kasus DBD per Bulan di Indonesia Tahun 2010, 2009 dan
2008. 2010. Jakarta: Depkes RI.
20. Mubarak, Wahid Iqbal., Chayatin, Nurul. Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori
dan Aplikasi. 2009. Jakarta: Salemba Medika.
21. Gandahusada S, dkk. Parasitologi Kedokteran, Cetakan ke-VI, FKUI, Jakarta
22. Budioro, 2001, Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2006. FKM UNDIP,
Semarang.
23. Addin. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit. 2009. Bandung: Puri
Delco
24. Judarwanto, W, Profil Nyamuk Aedes dan Pembasmiannya, Selasa 30 Jan
2007. Diakses tanggal 27 Juni 2017.
http://medicastore.com/artikel/184/ProfilNyamukAedesdanPembasmiann
ya.html.
28
25. Adisasmita, Rahardjo. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. 2006. p.34.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
26. Sumodiningrat, G. Pemberdayaan Sosial Kajian Ringkas tentang
Pembangunan Manusia Indonesia. 2007. Kompas. Jakarta.
27. Soekidjo Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. 2002. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
28. Bencoolen, R. Makalah Menggerakkan dan Memberdayakan Peran Serta
Masyarakat dalam Kesehatan, Rabu 06 April 2011, diakses tanggal 23 Juni
2017, (http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/2011/04/makalah-
menggerakkan-dan-memberdayakan.html)
29. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Edisi Keempat.
2008. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
30. Sugito, R. 1989. Aspek Entomologi Demam Berdarah Dengue. Seminar
Prosiding dan Lokakarya Berbagai Aspek Demam Berdarah Dengue dan
Penanggulangannnya. Jakarta dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 1
No.2, Edisi Januari 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan
Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti di
Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Diakses pada tanggal
24 Juni 2017.http:// journal.unair.ac.id/download-fullpapers-KESLING-1-2-
08.pdf
31. Rozendall, A. Vector Control: Methods for Use by Individuals and
Communities. 1997. World Health Organization, Geneva.
32. Adam. Uji ToksisitasEkstrak Biji Srikaya (Annona squamosal Linn)
Terhadap Jentik Aedes aegypti. 2008. Thesis S-2 Ilmu Kesehatan
Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
33. Hamzah, M. Bionomik Aedes aegypti. Jurnal Kedokteran Kesehatan
(3694):96-901. 2004
34. Nor, Syahriani., Mardihusodo, Sugeng Juwono., Supardi, Suharyanto. Evaluasi
Aplikasi Mesosyclops aspericornis dengan Pembanding Aplikasi Temephos
untuk Pengendalian Aedes spp di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Evaluation Mesocyclops aspericornis Application Compared with Temephos
A. Jurnal Sains Kesehatan 2004. Diakses pada 24 Juni 2017. http://i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4527.
35. World Health Organization. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention, and Control. 2009. New Edition.
36. Sungkar, S.,2005, Bionomik Aedes Aegypti, Vektor Demam Berdarah
Dengue,Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 55, No.4, hal. 384- 389.
37. Pratomo, H. dan Rusdiyanto, E.2003.Studi Populasi Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Widodomertani.Yogyakarta. Diakses
pada tanggal 27 Juni 2017.
http://pk.ut.ac.id/jmst/jurnal_2003.2/hurip%20pratomo/studi_populasi_nyam
uk_DBD.HTM.
38. Depkes RI. Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue. 2002.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
29
39. Depkes RI. Rencana dan Strategi Departemen Kesehatan 2005-2009. 2006.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
30