Anda di halaman 1dari 31

GANGGUAN METABOLIK PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL RHEMATOID ARTHRITIS DAN

OSTEOPOROSIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Medikal Bedah II

Oleh :

Fitria Umi Kasanah : P17420613058

Hariska Joko Sriyanto : P17420613059

Kholifatun Nur Azizah :P17420613060

Luluk Dwi Royani : P17420613061

Luthfi Rezky Pitalokha P. : P17420613062

Mawarni Citra Pratiwi : P17420613063

PRODI D IV KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perubahan perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin
meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut
pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua
sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan
timbulnya beberapa golongan reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang
sering menyertai usia lanjut yang menimbulkan gangguan muskuloskeletal terutama
adalah reumatoid artritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan
dengan meningkatnya usia manusia.
Menguntip pendapat Sjamsuhidajat (1997), artritis reumatoid merupakan penyakit
autoimun dari jaringan ikat terutama sinovial dan kausanya multifaktor. Penyakit ini
ditemukan pada semua sendi dan sarung sendi tendon, tetapi paling sering di tangan.
Selain menyerang sendi tangan, dapat pula menyerang sendi siku, kaki, pergelangan
kaki dan lutut. Artritis kronik yang terjadi pada anak yang menyerang satu sendi atau
lebih, dikenal dengan artitis reumatoid juvenil.
Biasanya reumatoid artritis timbul secara sistemik. Gejala yang timbul berupa
nodul subkutan yang terlihat pada 30% penderita. Nodul sering terdapat di
ekstremitas atas dan tampak sebagai vaskulitis reumatoid, yang merupakan
manisfestasi ekstraartikuler. Bila penyakit ini terjadi bukan pada sendi, seperti bursa,
sarung tendon, dan lokasi lainnya dinamakan reumatoid ektraarikuler.
Reumatik bukan merupakan suatu penyakit, tapi merupakan suatu sindrom dan
golongan penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak,
namun semuanya menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para
ahli di bidang rematologi, reumatik dapat terungkap sebagai keluhan atau tanda. Dari
kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal yaitu:
nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama yaitu:
pembengkakan sendi., kelemahan otot, dan gangguan gerak. (Soenarto, 1982).
Reumatik dapat terjadi pada semua umur dari kanak kanak sampai usia lanjut,
atau sebagai kelanjutan sebelum usia lanjut. Pucak dari reumatoid artritis terjadi pada
umur dekade keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari
pada laki- laki. Terdapat insiden familial ( HLA DR-4 ditemukan pada 70% pasien ).
Untuk itu akan dibahas lebih lanjut pada makalah tentang asuhan keperawatan pada
klien dengan reumatoid artritis.
Sedangkan dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, jumlah
manusia lanjut usia di Indonesia akan bertambah banyak pula. Dengan demikian,
masalah penyakit akibat penuaan akan semamkin banyak kita hadapi. Salah satu
penyakit yang harus diantisipasi adalah penyakit osteoporosi dan patah tulang. Pada
situasi mendatang, akan terjadi perubahan demografis yang akan meningkatkan
populasi lanjut usia dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena osteoporosis.
Kelainan ini 2-4 klien lebih serng terjadi pada wanita dibandingkan pria. Dari
seluruh klien, satu antara tiga wanita yang berusia di atas 60 tahun Dan satu diantara
enam pria yang berusia di atas 75 tahun akan mengalami patah tulang akibat kelainan
ini.
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga
tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti
kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk mempertahankan
kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan kalsium dan mineral lainnya yang
memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi (hormon
paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen pada wanita dan testosteron
pada pria). Juga persediaan vitamin D yang adekuat, yang diperlukan untuk menyerap
kalsium dari makanan dan memasukkan ke dalam tulang.
Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai tercapai kepadatan
maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara
perlahan. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka
tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis.
Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita
muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya
hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi, etiologi, manifestasi klinik, dan pathofisiologi dari
Rhematoid Artritis dan Osteoporosis ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan
Rheumatoid Arthritis dan Osteoporosis ?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui definisi, etiologi, manifestasi klinik, dan pathofisiologi dari
Rhematoid Artritis dan Osteoporosis
b. Mengetahui asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan
Rheumatoid Arthritis dan Osteoporosis

D. MANFAAT
1. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Rhematoid Arthtritis dan
Osteoporosis
2. Meningkatkan keahlian dalam memberikan asuhan keperawatan terutama pada
klien dengan Rheumatoid Arthritis dan Osteoporosis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

RHEMATOID ARTHRITIS

A. DEFINISI

Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang tidak
diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membran
sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas.
(Doenges, E Marilynn, 2000 : hal 859)

Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan


manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.(Kapita
Selekta Kedokteran, 2001 : hal 536

Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non- bakterial yang bersifat sistemik,
progesif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara
simetris. ( Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165 )

Artritis Reumatoid adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses


inflamasi pada sendi (Lemone & Burke, 2001 : 1248)

B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen antibodi), faktor metabolik
dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu:
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2. Endokrin
3. Autoimmun
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi.
Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan
oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan
antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita

C. PATHOFISOLOGI
Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema,
proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).

Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti


vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan,
sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.
Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan
osteoporosis setempat.
Lamanya Reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya
masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil
individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus
menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996)

D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Adanya beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada
saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis
yang sangat bervariasi.
2. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
3. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
ditangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs
distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
4. Kekakuan dipagi hari selama lebih dari 1 jam : dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteo artritis, yang biasanya hanya berlangsung
selama beebrapa menit dan selalu kurang dari satu jam.
5. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi ditepi tulang dan ini
dapat dilihat pada radiogram.
6. Deformitas : kerusakan dari struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpotalangel, deformitas boutannlere dan leher angsa adalah
beberapa detormitas tangan yang sering dijumpai pada penderita.
7. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar 1/3 orang dewasa. Lokasi yang paling sering dari detormitas itu
adalah bursa olekranon (Sendi siku) atau disepanjang permukaan
ekstensor dari lengan.
8. Manifestasi ekstraartikular, artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain diluar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru
(pleuritis), mata dan pembulu darah dapat rusak.

F. KOMPLIKASI

1. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya prosesgranulasi


di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
2. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot.
3. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli.
4. Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan
oleh adanya darah yang membeku.
5. Terjadi splenomegali

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% penderita artritis reumatoid
mempunyai autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor
reumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin (IgM)
yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari
1:160, biasanya dikaitkan dengan nodula reumatoid, penyakit yang berat,
vaskulitis, dan prognosis yang buruk.
Faktor reumatoid adalah suatu indikator diagnosis yang membantu, tetapi
uji untuk menemukan faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan
diagnosis reumatoid artritis. Hasil yang positif dapat juga menyatakan adanya
penyakit jaringan penyambung seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis
sistemik progresif, dan dermatomiositis. Selain itu, sekitar 5% orang normal
memiliki faktor reumatoid yang positif dalam serumnya. Insidens ini
meningkat dengan bertambahnya usia. Sebanyak 20% orang normal yang
berusia diatas 60 tahun dapat memiliki faktor reumatoid dalam titer yang
rendah.
Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat
tidak spesifik. Pada artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau
lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa laju endap darah dapat dipakai untuk
memantau aktifitas penyakit. Artritis reumatoid dapat menyebabkan anemia
normositik normokromik melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia
ini tidak berespons terhadap pengobatan anemia yang biasa dan dapat
membuat penderita cepat lelah. Seringkali juga terdapat anemia kekurangan
besi sebagai akibat pemberian obat untuk mengobati penyakit ini. Anemia
semacam ini dapat berespons terhadap pemberian besi.
Pada Sendi Cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning muda
hitung sel darah putih kurang dari 200/mm3. Pada artritis reumatoid cairan
sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel darah putih meningkat
mencapai 15.000 20.000/ mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak
jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat
dan mudah pecah. Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu
menegakkan diagnosis lainya, misalnya : gambaran immunoelectrophoresis
HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler test.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami
kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya
rawan sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas
tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati
adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang
terkena.

H. ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATOID ARTHTRITIS

KONSEP DASAR
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, agama, alamat, dll.
b. Keluhan Utama
Pada pasien dengan artritis reumatoid, mengeluh nyeri sendi dan nyeri
tekan disertai dengan kemerahan dan bengkak pada jaringan lunak sekitar
sendi.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
P : Provokatif (Sebab Masalah)
Apakah yang menyebabkan klien merasa nyeri pada sendi yang
disertai dengan kemerahan dan bengkak pada jaringan lunak.
Q : Quality (Kualitas, kuantitas masalah)
Kaji tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien, apakah nyeri yang
dirasakan :
Ringan : 0 3
Sedang : 3 7
Berat : 7 10
Dan apakah selama aktivitas daat melakuakn kesehariannya.
R : Reagent (Tempat, area yang dirasakan )
Tanyakan pada pasien, apakah dapat menunjukkan letak lokasi
nyeri yang dirasakan ?
S : Sifikti & Skill (Usaha yang dilakukan)
Tanyakan usaha apakah yang telah dilakukan oleh pasien untuk
mengatasi nyeri ?
T : Time (Waktu)
Berapa lama rasa nyeri yang dialami pasien biasanya ?
(Obat dapat menuntaskan penyakitnya / rasa nyeri hanya dalam
jangka waktu sementara)
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan kepada pasien, apakah mempunyai riwayat penyakit infeksi
lain ? atau gangguan sistem normonal yang berhubungan dengan faktor
genetika / keturunan ?
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan pada pasien, apakah ada keluarga yang menderita penyakit
AR ? atau penyakit turunan lainnya misalnya DM, HT, atau Riwayat
penyakit keluarga lain yang berhubungan dengan penggunaan makanan,
vitamin, riwayat perikarditis lesi katup, dll ?
f. Pengkajian Psikososial Spiritual
Psikologi : Apakah pasien merasa cemas terhadap penyakitnya ?
Sosial : Kaji, Bagaimana hubungan interaksi pasien dengan dokter,
perawat, keluarga, dan sesama pasien lain.
Spiritual : Kaji, apakah pasien menjalankan ibadahnya menurut
keyakinan dan agama yang pasien anut ?

2. PEMENUHAN KEBUTUHAN
a. Pola Makan
Kaji kebiasaan makan klien selama dirumah sakit atau dirumah
Biasanya nafsu makan menurun
Kesulitan untuk mengunyah
Terjadi penurunan berat badan.
b. Pola Minum
Kaji kebebasan pola minum klien selama dirumah sakit, maupun
dirumah.
Nampak penurunan / masukan cairan yang tidak adekuat.
Terjadi kekeringan pada membran mukosa
c. Eliminasi Alvi (BAB)
Kaji pola kebiasaan BAB pasien ; warna, dan konsistensinya.
d. Eliminasi Urine (BAK)
Kaji pola kebiasaan BAK pasien : warna, bau, dll.
e. Istirahat Tidur
Berhubungan dengan nyeri sendi, nyeri tekan, menyebabkan pasien sulit
untuk istirahat tidur yang disertai karena adanya pengaruh gaya hidup atau
pekerjaan.
f. Aktifitas
Klien membatasi kegiatan yang berlebihan, biasanya pada klien dengan
artritis reumatoid berhubungan dengan keterbatasn rentang gerak, atrofi
otot, kulit kontraktur / kelainan pada sendi dan otot, yang dapat
berpengaruh besar bagi kegiatan kesehariannya.
g. Kebutuhan Kebersihan Diri
Biasanya klien dengan penyakit semacam ini akan mengalami kesulitan
melaksanakan aktivitas perawatan pribadi. Ketergantungan pada orang
lain.

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Kaji obervaasi tanda-tanda vital (TTV)
Pernafasan : Pada umumnya klien dengan penyakit seperti ini tingkat
kesadaran dalam keadaan sadar /compus mentis dengan GCS : 4-5
Pada umumnya suhu tubuh mengalami demam ringan (Selama periode
eksaserbasi), dan biasanya tacikardi.
b. Pengkajian Persistem
Sistem Integumen
Kulit nampak mengkilat,
Turgor, tekstur (penebalan pada kulit)
Integritas (lecet, kemerahan, luka, gengguan siikulasi ke
ekstremitas).
Sistem Muskuloskeletal
Inspeksi :
Perhatian keadaan sendi-sendi pada leher, spina
servikal, spina torakal, lumbai, bahu siku,
pergelangan, tangan dan jari tangan, pinggul, lutut,
ekstermitas bawah dan panggul
Amati kemerahan dan bengkak pada jaringan lunak
sekitar sendi.
Palpasi :
Adanya nyeri sendi padadaerah yang disertai kemerahan /
bengkak. Dengan skala nyeri :
Ringan : 0 3
Sedang : 3 7
Berat : 7 10
Temperatur hangat pada sendi yang nyeri.
Sistem penglihatan
Inspeksi : Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR
adalah kerato konjungtivitis sicca yang merupakan
manifestasi sindrom sjogren. Pada keadaan itu gejala ini
sering kali tidak dirasakan oleh pasien pada episode
episkleritis yang ringan.
Dapat pula dijumpai gejala skleritis yangsecara histologis
menyerupai nodul reumatoid dan dapat terjadi erosi sklera
sampai pada palpasi koroid serta menimbulkan gejala sklero
malaia pektorans sebagai akibat terjadi kebutaan.
Sistem Pernafasan
Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri
tenggorokan, nyeri menelan / disfunia yang sering dirasakan pada
pagi hari dengan gejala efusi pleura dan fibrosa paru luas.
Sistem Kardiovaskuler
Pada AR jarang dijumai gejala perikarditis berupa nyeri dada
gangguan faal jantung akan tetapi pada beberapa pasien dapat pula
dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang berat. Lesi inflamatis
yang merupakan nodul reumatoid dapatdijumpai pada miokardium
dan katup jatung/. Lesi dapat menyebabkan disfungsi katup,
tenoken embolisasi, g3 konduksi aortitis dan kardiomopati.
Sistem Persyarafan
Pada sistem ini gejala tidak begitu jelas AR berhubungan dengan
miesopati akibat insabilitas vertebra, servikal, neuropati zepitan,
neuropati iskemik akibat nasulilitis.
Sistem Pencernaan
Pada kasus ini kx tidak mengalami traktus gastrointeskinalis yang
spesifik, namun dalam hal ini AR dapat mengakibat kanulkus
peptikum. Pada G I (Gastritis) merupakan komplikasi utama obat
anti inflamasi dari gejala AR.
Sistem Reproduksi
Tidak adanya penyakit kelamin.
Sistem Perkemian
Dapat ditentukan adanya neuro karotis pati dan papilar ginjal.
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri berhubungan dengan peruabhan patologis oleh artritis rheumatoid.
b. Mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, intoleransi
terhadap aktivitas, penruunan kekuatan otot.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan mobilitas,
perubahan penampilan tubuh.

5. INTERVENSI DAN RASIONAL


Diagnosa 1 :
Nyeri berhubungan dengan perubahan patologis oleh Artritis Rheumatoid.
Tujuan : Nyeri yang dirasakan klien dapat berangsur berkurang
Kriteria Hasil :
a. Menunjukkan nyeri hilang / terkontrol
b. Dapat tidur / istirahat dan dapat berpartisipasi dalam aktivitas sesuai
kemampuan.
Intervensi :
a. Selidiki keluahan nyeri, catat lokasi dan intensitas. (skala 0 -10). Catat
faktor-faktor yang mempercapat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
R : Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program.
b. Berikan matras / Kasur keras / bantal kecil. Tinggikan linen tempat tidur
sesuai kebutuhan.
R : Matras yang lembut / empuk. Bantal yang besar akan mencegah
pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada sendi
yang sakit. Pennggian linen tempat diur menurunkan tekanan pada sendi yang
terinflamasi / nyeri.
c. Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau
duduk dikursi. Tingkatkan istirahat ditempat tidur sesuai indikasi.
R : Pada penyakit berat / eksaserbasi, tirah baring mungkin diperlukan
(sampai perbaikan obyektif dan subjektif didapat) untuk membatasi nyeri /
cedera sendi.
d. Dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak
titempat tidur, sokong sendi yang sakit diatas dan dibawah, hindari gerakan
yang menyentak.
R : mencegah terjadinya kelelahan umur dan kekakuan sendi. Menstabilkan
sendi, mengurangi gerakan ataurasa sakit pada sendi.
e. Anjurkan pasien utnuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu
tidur, sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit
beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi dan sebagainya.
R : Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas menunrunkan rasa sakit
dan melepaskan kekakuan dipagi hari. Sensitivitas pada panas dapat
dihilangkan dan loka dermal dapat disembuhkan.

Diagnosa 2 :
Mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, intoleransi terhadap
aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Tujuan : Dapat bergerak / mampu dengan sengaja bergerak dalam ligkungan
fisik.
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya atau pembatasan
kontraktur.
b. Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan /
atau kompensasi bagian tubuh.
c. Mendemonstrasikan teknik / perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas.
Intervensi :
a. Evaluasi / lanjutkan pemantauan tingkat iflamasi / rasa sakit pada sendi.
R : Tingkat aktivitas / latihan tergantung dari perkembangan / resolusi dari
proses inflamasi.
b. Pertahankan istirahat tirah baring / duduk jika diperlukan. Jadwal aktivitas
untuk memberikan periode istirahat yang terus menerusdan tidur malam hari
yang tidak terganggu.
R : Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase
penyakit yang penting untuk mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan.
c. Dorong badan mempertahankan postur tegak dan duduk ; tinggi, berdiri,
jalan.
R : Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
d. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi / kloset,
menggunakan pegangan-pegangan tangga pada bak / pancuran dan toilet,
penggunaan alat bantu mobilitas atau kursi roda penyelamat.
R : Menghindari cedera akibat kecelakaan / jatuh.
e. Berikan matras busa / Pengubah tekanan
R : Menurunkan tekanan pada jaringan yang mudah pecah ntuk mengurangi
risiko imobilitas / terjadi dekubitus.

Diagnosa 3 :
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidak seimbangan mobilitas,
perubahan penampilan tubuh.
Tujuan : Perubahan pada gaya hidup / kemampuan fisik untuk melanjutkan
peran.
Kriteria hasil :
a. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk
menghadapi penyakit.
b. Adanya perubahan gaya hidup.
c. Menyusun tujuan / rencana realistis untuk masa depan.
Intervensi :
a. Dorong pengungkapan mengenai maslaah tentang proses penyakit,
harapan masa depan.
R : Berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/ kesalahan konsep
dan menghadapinya secara langsung.
b. Diskusikan arti dari kehilangan / peruabhaan pada pasien / orang terdekat.
Memastikan bagaimana pandangan pribadi pasien dalam mefungsikan gaya
hidup sehari-hari termasuk aspek-aspek seksual.
R : Mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi persepsi diri dan
interaksi dengan orang lain akan menentukan kebutuhan terhadap intervensi /
konseling lebih lanjut.
c. Susunan batasan pada perilaku maladaptif. Bantu pasien untk
mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping.
R : Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat
meningkatkan perasaan harga diri.
d. Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal
aktivitas.
R : Meningkatkan perasaan kompetensi / harga diri, mendorong kemandirian
dan mendorong partisipasi dalam terapi.

5. IMPLEMENTASI
Merupakan tindakan pelaksanaan dari intervensi yang telah dibuat untuk dapat
mengatasi diagnosa keperawatan yang telah ada.

6. EVALUASI
a. Apakah rasa nyeri yang dirasakan pasien berangsur berkurang / hilang ?
b. Apakah mobilitas fisik pasien telah teratasi ?
c. Apakah gangguasn citra tubuh pasien terhadap mobilitas fisik telah terjadi
perubahan ?

OSTEOPOROSIS
A. DEFINISI
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang,
dan porousberarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma,
Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas
jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan
tulang dengan resiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan
kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh
meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan
gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
Osteoporosis adalah penyakit tulamg sisitemik yang ditandai oleh penurunan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun
2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis
sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised
bone strength sehingga tulang mudah patah (Sudoyo, 2009).
B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab osteoporosis dalam (Junaidi, 2007), yaitu:
1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurngnya hormon estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan
kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang
berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih
lambat. Hormon estrogen produksinya menurun 2-3 tahun sebelum
menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah meopause. Hal ini
berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7
tahun pertama setelah menopause.
2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidak seimbangan antara
kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang
baru(osteoblast). Senilis berati bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia
lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas 70
tahun dan 2 kali lebih sering wanita. Wanita sering kali menderita
osteoporosis senilis dan pasca menopause.
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis
sekunder yang disebakan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan.
Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan
(mislnya kortikosteroid, barbiturat, anti kejang, dan hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dapat memperburuk
keadaan ini.
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin
yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang

C. PATHOFISIOLOGI
Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara faktor genetic
dan faktor lingkungan. Faktor genetic meliputi, usia, jenis kelamin, ras keluarga,
bentuk tubuh, tidak pernah melahirkan. Faktor mekanis meliputi, merokok, alkohol,
kopi, defisiensi vitamin dan gizi, gaya hidup, mobilitas, anoreksia nervosa dan
pemakaian obat-obatan. Kedua faktor diatas akan menyebabkan melemahnya daya
serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium
bersama urin, tidak tercapainya masa tulang yang maksimal dengan resobsi tulang
menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak
dari pada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total
yang disebut osteoporosis.
Dalam keadaan normal, pada tulang kerangka tulang kerangka akan terjadi suatu
proses yang berjalan secara terus menerus dan terjadi secara seimbang, yaitu proses
resorbsi dan proses pembentukan tulang (remodeling). Setiap perubahan dalam
keseimbangan ini, misalnya apabila proses resorbsi lebih besar dari pada proses
pembentukan tulang, maka akan terjadi pengurangan massa tulang dan keadaan
inilah yang kita jumpai pada osteoporosis.
Dalam massa pertumbuhan tulang, sesudah terjadi penutupan epifisis,
pertumbuhan tulang akan sampai pada periode yang disebut dengan peride
konsolidasi. Pada periode ini terjadi proses penambahan kepadatan tulang atau
penurunan porositas tulang pada bagian korteks. Proses konsolidasi secara maksimal
akan dicapai pada usia kuarang lebih antara 30-45 tahun untuk tulang bagian korteks
dan mungkin keadaan serupa akan terjadi lebih dini pada tulang bagian trabekula.
Sesudah manusia mencapai umur antara 45-50 tahun, baik wanita maupun pria
akan mengalami proses penipisan tulang bagian korteks sebesar 0,3-0,5% setiap
tahun, sedangkan tulang bagian trabekula akan mengalami proses serupa pada usia
lebih muda. Pada wanita, proses berkurangnya massa tulang tersebut pada awalnya
sama dengan pria, akan tetapi pada wanita sesudah menopause, proses ini akan
berlangsung lebiuh cepat. Pada pria seusia wanita menopause massa tulang akan
menurun berkisar antara 20-30%, sedang pada wanita penurunan massa tulang
berkisar antara 40-50%. Pengurangan massa tulang ini berbagai bagian tubuh
ternyata tidak sama.
Dengan teknik pemeriksaan tertentu dapat dibuktikan bahwa penurunan massa
tulang tersebut lebih cepat terjadi pada bagian-bagian tubuh seperti berikut:
metacarpal, kolum femoris serta korpus vertebra, sedang pada bagian tubuh yang
lain, misalnya : tulang paha bagian tengah, tibia dan panggul, mengalami proses
tersebut secara lambat.
Pada osteoporosis, terjadi proses pengurangan massa tulang dengan mengikuti
pola yang sama dan berakhir dengan terjadinya penipisan bagian korteks serta
pelebaran lumen, sehingga secara anatomis tulang tersebut tampak normal. Titik
kritis proses ini akan tercapai apabila massa tulang yang hilang tersebut sudah
sedemikian berat sehingga tulang yang bersangkutan sangat peka terhadap trauma
mekanis dan akan mengakibatkan terjadinya fraktur. Bagian-bagian tubuh yang
sering mengalami fraktur pada kasus osteoporosis adalah vertebra, paha bagian
prosimal dan radius bagian distal. Osteoporosis dapat terjadi oleh karena berbagai
sebab, akan tetapi yang paling sering dan paling banyak dijumpai adalah osteoporosis
oleh karena bertambahnya usia.

D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIK
Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
1. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.
2. Nyeri timbul mendadak.
3. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
4. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
5. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan
aktivitas.
6. Deformitas vertebra thorakalis (Penurunan tinggi badan)

F. KOMPLIKASI
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan
mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur
kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah
trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu ;
1. BMD (Bone Mineralo Densitometry)
Bone Mineralomentry atau Bone Mineralo Densitometry (BMD) merupakan
suatu pemeriksaan kuantitatif untuk mengukur kandungan mineral tulang.
Alat ini sangat membantu seseorang yang hendak mengetahui, secara
sederhana, apakah seseorang mengalami osteoporosis atau tidak.
2. Pemeriksaan radioisotop
a. Single Photon Absorbtimetry (SPA)
Sumber sinyal berasal dari foton dari sinar 1-125 dengan dosis 200
mci, yang diperiksa pada tulang perifer radius dan calcaneus.
b. Dual Photon Absorpmetry (DPA)
Sumber sinar berasal dari radionuklida GA-135 sebanyak 1,5 CI yang
mempunyai energi (44 kev dan 100 kev) digunakan untuk mengukur
vertebra dan kolum femoris.

3. Quantitative Computerized Tomography


Merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai mineral
tulang secara volumetrik dan trabekulasi tulang radius, tibia dan vertebra.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Dapat mengukur struktur trabekulasi dan kepadatannya. Tidak memakai


radiasi, hanya dengan lapangan magnet yang sangat kuat, tetapi pemeriksaan
ini mahal dan memerlukan sarana yang banyak.

5. Dual-energy X Ray Absorbtiometry

Pemeriksaan ini prinsip kerjanya hampir sama dengan SPA dan DPA.
Bedanya pemeriksaan ini menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah.
Pemeriksaan ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu SXA Single X-ray
Absorbtiometry dan SXA-DEXA-Dual Energy X-Ray Absorbtiometry.
Metode ini sangat sering digunakan untuk pemeriksaan osteoporosis baik
pada pria maupun wanita, mempunyai presisi dan akurasi yang tinggi. Hasil
yang diberikan pada pemeriksaan DEXA berupa:

a. Densitas massa tulang. Mineral tulang yang pada area yang dinilai
satuan bentuk gram per cm.

b. Kandungan mineral tulang, dalam satuan gram.

c. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-


rata densitas pada orang seusia dan sewasa muda yang dinyatakan
dalam skor standar deviasi (Z score atau T-score).
6. Ultra Sono Densitometer (USG) metode Quantitative Ultrasound (QUS)
Salah satu metode yang lebih murah dengan menilai densitas massa tulang
perifer menggunakan gelombang ultrasound yang menembus tulang. Dalam
pemeriksaan ini, yang dinilai adalah kekuatan dan daya tembus gelombang
yang melewati tulang dengan ultra broad band tanpa risiko radiasi. Adanya
elastisitas tulang membuktikan adanya kecepatan tembus gelombang dan
kekuatan tulang dengan ultrasound.
7. Pemeriksaan Biopsi
Bersifat invasif dan berguna untuk memberikan informasi
mengenai keadaan osteoklas, osteoblas, ketebalan trabekula dan kualitas
meneralisasi tulang. Biopsi dilakukan pada tulang sternum atau krista iliaka.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
KONSEP DASAR

1. PENGKAJIAN
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit
Kebiasaan minum alkohol, kafein
Riwayat keluarga dengan osteoporosis
Riwayat anoreksia nervosa, bulimia
Penggunaan steroid
b. Pola nutrisi metabolic
Inadekuat intake kalsium
c. Pola aktivitas dan latihan
Fraktur
Badan bungkuk
Jarang berolah raga
Pola tidur dan istirahat
Tidur terganggu karena nyeri
Pola persepsi kognitif
Nyeri punggung
d. Pola reproduksi seksualitas
Menopause
e. Pola mekanisme koping terhadap stress
Stres, cemas karena penyakitnya

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Fraktur b.d kecelakaan ringan / jatuh
b. Nyeri b.d adanya fraktur
c. Konstipasi b.d imobilitas
d. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program
terapi

3. INTERVENSI
Diagnosa 1 : Fraktur b.d kecelakaan ringan / jatuh
Tujuan : Agar klien tidak mengalami jatuh atau fraktur akibat jatuh
Intervensi :
a. Ciptakan lingkungan yang aman dan bebas bahaya bagi klien.
R : lingkungan yang bebas bahaya mengurangi risiko untuk jatuh dan
mengakibatkan fraktur
b. Beri support untuk kebutuhan ambulansi; mengunakan alat bantu jalan
atau tongkat.
R : Memberi support ketika berjalan mencegah tidak jatuh pada lansia
c. Bantu klien penuhi ADL (activities daily living) dan cegah klien dari
pukulan yang tidak sengaja atau kebetulan.
R : Benturan yang keras menyebabkan fraktur tulang, karena tulang
sudah rapuh, porus dan kehilangan kalsium.
d. Anjurkan klien untuk belok dan menunduk/bongkok secara perlahan
dan tidak mengangkat beban yang berat.
R : Gerakan tubuh yang cepat dapat mempermudah fraktur
compression vertebral pada klien dengan osteoporosis
e. Ajarkan klien tentang pentingnya diet (tinggi kalsium, vitamin D)
dalam mencegah osteoporosis lebih lanjut.
R : Diet kalsium memelihara tingkat kalsium dalam serum, mencegah
kehilangan kalsium ekstra dalam tulang.

f. Anjurkan klien untuk menguragi kafein dan alkohol.


R : Apabila kafein berlebihan akan meningkatkan pengeluaran
kalsium berlebihan dalam urine; alkohol berlebihan meningkatkan
asidosis, meningkatkan reabsorpsi tulang.
g. Ajarkan klien akan efek dari rokok dalam remodeling tulang.
R : Rokok meningkatkan asidosis

Diagnosa 2 : Nyeri b.d adanya fraktur


Tujuan : Klien mampu melakukan tindakan mandiri untuk mengurangi nyeri,
dan nyeri berkurang sampai hilang.
Intervensi:
a. Kaji lokasi nyeri, tingkat nyeri, durasi, frekuensi dan intensitas nyeri.
R : Menentukan intervensi keperawatan yang tepat untuk klien
b. Anjurkan klien istirahat ditempat tidur dan anjurkan klien untuk
mengambil psosisi terlentang atau miring yang nyaman bagi kalien
R : Peredaaan nyeri punggung dapat dilakukan dengan istirahat di
tempat tidur dengan posisi telentang atau miring ke samping selama
beberapa hari.
c. Beri kasur padat dan tidak lentur.
R : Memberikan rasa nyaman bagi klien
d. Ajarkan klien tehknik relaksasi dengan melakukan fleksi lutut.
R : Fleksi lutut dapat meningkatkan rasa nyaman dengan merelaksasi
otot.
e. Berikan kompres hangat intermiten dan pijatan punggung.
R : Kompres hangan dan pijat pada punggung memperbaiki relaksasi
otot.
f. Ajarkan dan anjurkan klien untuk menggerakkan batang tubuh sebagai
satu unit dan hindari gerakan memuntir.
R : Gerakan tubuh memuntir dapat meningkatkan risiko cedera.
g. Bantu klien untuk turun dari tempat tidur.
h. Pasang korset lumbosakral untuk menyokong dan imobilisasi
sementara, meskipun alat serupa kadang terasa tidak nyaman dan
kurang bisa ditoleransi oleh kebanyakan lansia.
i. Bila pasien sudah dapat menghabiskan lebih banyak waktunya di luar
tempat tidur perlu dianjurkan untuk sering istirahat baring untuk
mengurangi rasa tak nyaman dan mengurangi stres akibat postur
abnormal pada otot yang melemah.
j. Opioid oral mungkin diperlukan untuk hari-hari pertama setelah
awitan nyeri punggung. Setelah beberapa hari, analgetika non opoid
dapat mengurangi nyeri.

Diagnosa 3 :Konstipasi b.d imobilitas atau ileus obstruksi


Tujuan : Klien tidak mengalami konstipasi, klien dapat bab 2-3 kali dalam
seminggu, konsistensi feces lunak, dan tidak ada kolaps pada T10-L2
Intervensi:
a. Kaji pola elimeinasi bab klien
R : Menentukan intervensi bila ada gangguan pada eliminasi bab
b. Berikan diet tinggi serat.
R : Tinggi serat membantu proses pengosongan usus dan
meminimalkan kostipasi
c. Anjurkan klien minum 1,5-2 liter/hari bila tidak ada kontraindikasi.
R : Pemenuhan cairan yang adekuat dapat membantu atau
meminimalkan konstipasi.
d. Pantau asupan pasien, bising usus dan aktivitas usus karena bila
terjadi kolaps vertebra pada T10-L2, maka pasien dapat mengalami
ileus.
e. Kolaborasi untuk pemberian pelunak tinja dan berikan pelunak tinja
sesuai ketentuan
R : Membantu meminimalkan konstipasi

Diagnosa 4 : Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan


program terapi
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan klien tentang osteoporosis, cara
pencegahan dan program tindakan
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang osteoporosis.
b. Ajarkan pada klien tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya oeteoporosis.
c. Anjurkan diet atau suplemen kalsium yang memadai.
d. Timbang Berat badan secara teratur dan modifikasi gaya hidup
seperti Pengurangan kafein, rokok dan alkohol.
R : Hal ini dapat membantu mempertahankan massa tulang.
e. Anjurkan dan ajarka cara latihan aktivitas fisik sesuai kemampuan
klien.
R : Latihan aktivitas merupakan kunci utama untuk menumbuhkan
tulang dengan kepadatan tinggi yang tahan terhadap terjadinya
oestoeporosis.
f. Anjurkan pada lansia untuk tetap membutuhkan kalsium, vitamin D,
sinar matahari.
R : Kebutuhan kalsium, vitamin D, terpapar sinar matahari pagi yang
memadai dapat meminimalkan efek oesteoporosis.
g. Berikan Pendidikan pasien mengenai efek samping penggunaan obat.
R : Karena nyeri lambung dan distensi abdomen merupakan efek
samping yang sering terjadi pada suplemen kalsium, maka pasien
sebaiknya meminum suplemen kalsium bersama makanan untuk
mengurangi terjadinya efek samping tersebut. Selain itu, asupan
cairan yang memadai dapat menurunkan risiko pembentukan batu
ginjal.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Andika Putra. Laporan Pendahuluan Rheumatoid Arthritis.(online),


(http://nursebasic.blogspot.com/2014/08/laporan-pendahuluan-rheumatoid-
arthritis.html diakses pada tanggal 7 Februari 2015),2014.
Wiwing Setiono, LAPORAN PENDAHULUAN ARTRITIS REUMATOID.(online),
(http://lpkeperawatan.blogspot.com/2014/02/laporan-pendahuluan-artritis-
reumatoid.html#.VNWwSMWdbIU diakses pada tanggal 7 Februari 2015),2014.
Anira.Makalah Rheumatoid Arthritis.(online),
(http://aanborneo.blogspot.com/2013/03/makalah-rheumatoid-arthritis.html diakses
pada tanggal 7 Februari 2014),(2013).

Anda mungkin juga menyukai