Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan kondisi yang paling umum ditemukan dalam praktik


pelayanan primer.Pada tahun 2008 terdapat 40% orang dewasa berusia 25 tahun
ke atas yang tersebar di seluruh dunia, didiagnosis dengan hipertensi. Angka ini
telah meningkat sejak tahun 1980 sebesar 600 juta hingga tahun 2008 mencapai 1
milyar.1Di Indonesia sendiri, prevalensi penderita hipertensi tahun 2008 yang
berusia 25 tahun ke atas sebesar 41%. Angka ini menempati peringkat kedua
tertinggi di daerah Asia Tenggara setelah negara Myanmar.2
Peningkatan prevalensi hipertensi dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi,
usia, serta perilaku sebagai faktor risiko seperti diet tidak sehat, penggunaan
alkohol yang membahayakan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan yang
berlebiha dan paparan terhadap stress secara persisten.1Tingginya tekanan pada
pembuluh darah menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dalam usahanya
untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Apabila kondisi ini tidak diatasi maka
hipertensi dapat menuju pada serangan jantung, pembesaran jantung dan pada
akhirnya kegagalan jantung.Tingginya tekanan pembuluh darah dapat juga
menyebabkan darah bocor ke dalam otak, menjadi stroke. Hipertensi juga dapat
menyebabkan kegagalan ginjal, kebutaan, dan gangguan kognitif.1
Selama lebih dari 30 tahun terakhir telah dilakukan upaya dalam
meningkatkan kesadaran, pencegahan, penatalaksanaan terhadap hipertensi
mengingat kontribusi penyakit ini dalam angka kematian.Sejak publikasi pertama
tahun 1997 lalu, kini di tahun 2013, kembali dipublikasikan sebuah pedoman
penatalaksanaan hipertensi pada dewasa (2014 Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults, Report From the Panel Members
Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8))yang dibuat oleh para
ahli berdasarkan systemtic review dan uji klinis. Pedoman ini menyediakan
pendekatan berbasis bukti dalam rekomendasi, target serta terapi penatalaksanaan
hipertensi pada dewasa yang sesuai bagi petugas pelayanan primer.3

1
Oleh karena itu, dalam referat ini akan dibahas mengenai hipertensi serta
butir-butir rekomendasi pengelolaan penyakit hipertensi yang tercantum dalam
JNC 8, sebagai upaya pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan sesuai standar
kompetensi dokter pelayanan primer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan pembuluh darah yang persisten
ditandai dengan tekanan sistolik 140 mmHg dan/atau tekanan diastolik 90
mmHg.4

2.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, 80-95% penderita hipertensi digolongkan sebagai
hipertensi primer atau esensial yaitu ketika penyebab hipertensi tidak dapat
diidentifikasi (idiopatik) dan sebagian besar merupakan interaksi yang kompleks
antara genetik dan interaksi lingkungan.5
Sementara itu 5-20% lainnya digolongkan sebagai hipertensi sekunder, yang
diakibatkan adanya penyakit yang mendasari seperti gangguan ginjal, gangguan
adrenal, penyempitan aorta, obstructive sleep apneu, gangguan neurogenik,
endokrin, dan obat-obatan.4

2.3 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau
lebih pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih
kunjungan pasien rawat jalan.6Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik


Klasifikasi
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre-hipertensi 120 139 atau 80 -89
Hipertensi tingkat 1 140 159 atau 90 99
Hipertensi tingkat 2 160 atau 100
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi4

3
2.4 Faktor risiko
Terdapat beberapa gaya hidup yang berperan sebagai faktor risiko
berkembangnya hipertensi, termasuk diantaranya adalah: konsumsi makanan yang
mengandung banyak garam dan lemak, sedikit sayur dan buah, penggunaan
alkohol hingga di tingkat yang membahayakan, kurangnya aktivitas disik, serta
pengelolaan stress yang rendah. Gaya hidup tersebut juga sangat dipengaruhi oleh
kondisi pekerjaan dan kehidupan individu.1

Faktor sosial Gaya hidup Metabolik

Globalisasi Diet tidak sehat Tekanan darah


Urbanisasi Rokok tinggi
Usia Alkohol Obesitas
Pendapatan Kurangnya Diabetes
Pendidikan aktivitas Peningkatan
kadar lemak
darah

Gambar 1. Faktor risiko hipertensi1

Faktor risiko di atas, lebih lanjut lagi dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor
yang dapat dan tidak dapat dikendalikan.

I. Faktor yang tidak dapat dikendalikan


a. Usia

Risiko kejadian hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya


usia. Pada umur 25-44 tahun prevalensi hipertensi sebesar 29%, pada
umur 45-64 tahun sebesar 51% dan pada umur >65 Tahun sebesar 65%.
Penelitian Hasurungan pada lansia menemukan bahwa dibanding umur

4
55-59 tahun, pada umur 60-64 tahun terjadi peningkatan risiko hipertesi
sebesar 2,18 kali,umur 65-69 tahun 2,45 kali dan umur >70 tahun 2,97
kaliMeskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling
sering dijumpai pada orang berusia >35 tahun. Prevalensi hipertensi
dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian
sekitar 50 % diatas umur 65 tahun. Peningkatan tekanan darah dapat
terjadi seiring dengan bertambahnya usia, disebabkan oleh perubahan
struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih
sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku.7,8

b. Jenis Kelamin
Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita, dengan peningkatan risiko sebesar 2 kali lipat untuk peningkatan
tekanan darah sistolik. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan
hipertensi dari pada wanita,seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat
(merokok dan konsumsi alkohol), depresi dan rendahnya status
pekerjaan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan
pengangguran.7

c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi akan
meningkatkan risiko kejadian hipertensi terutama pada hipertensi primer.
Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan
risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua menderita hipertensi,
kemungkinan anaknya menderita hipertensi sebesar 45%, sedangkan jika
hanya salah satu dari orang tuanya yang menderita hipertensi maka
kemungkinan anaknya menderita hipertensi sebesar 30%.8

d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur).

5
Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, akan
menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50
tahun akan timbul manifestasi klinis.8

II. Faktor yang dapat dikendalikan


a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara
rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan.
Semakin lama seseorang merokok dan semakin banyak rokok yang
dihisap maka kejadian hipertensi akan semakin meningkat. Seseorang
yang menghisap lebih dari satu pak rokok sehari meningkatkan risiko
kejadian hipertensi 2 kali lipat daripada mereka yang tidak.
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang
diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
aterosklerosis dan hipertensi. Selain itu merokok juga meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot jantung.
Merokok pada penderta hipertensi akan semakin meningkatkan risiko
kerusakan pada pembuluh darah arteri.9

b. Konsumsi Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa
dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram
tiap hari akan mengurangi risiko kejadian hipertensi, sedangkan jika
asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat
menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi
melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.
Garam menyebabkan retensi cairan dalam tubuh, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang
mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-

6
rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya
rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6
gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.9
c. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Mekanisme
peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun
diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah
merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan
darah.9,10
d. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi
karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan.Orang yang tidak aktif
juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi
sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.
Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar
tekanan yang dibebankan pada arteri.10
e. Psikososial dan stress
Stress atau ketegangan jiwa dapat merangsang kelenjar adrenal
melepaskan hormon adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih cepat
dan kuat, sehingga meningkatkan tekanan darah. Jika keadaan ini
berlangsung terus menerus maka tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan
patologis.10
f. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lemak (lipid) ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan atau penurunan
kolesterol HDL darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam
terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peningkatan resistensi
perifer sehingga meningkatkan tekanan darah.10

7
Komponen Lipid Batasan (mg/dl) Klasifikasi
Kolesterol total <200 Yang diinginkan
200-239 Batas tinggi
>240 Tinggi
Kolesterol LDL <100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Batas tinggi
160-189 Tinggi
>190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL <40 Rendah
>60 Tinggi
Trigliserida <150 Normal
150-199 Batas tinggi
200-499 Tinggi
>500 Sangat tinggi
Tabel 2.Batasan kadar lipid dalam darah10
g. Obesitas
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang
dinyatakan dalam indeks massa tubuh (body mass index) Berat badan dan
indeks massa tubuh berkorelasi dengan tekanan darah. Obesitas tidak
menyebabkan hipertensi, namun prevalensi hipertensi pada obesitas jauh
lebih besar. Orang dengan obesitas memiliki risiko 5 kali lipat lebihbesar
untuk menderita hipertensi dibandingkan dengan orang dengan berat
badan yang normal. Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran
mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin
besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok
oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang
beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi
tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga

8
meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.
Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.10

2.5 Patofisiologi
\

Gambar 2.Patofisiologi hipertensi11

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi


dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi
vaskular (peripheral vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu
tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks.
Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut,
yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.11
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output
secara logis timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload)
atau peningkatan kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh

9
dapat mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara
meningkatkan resistensi perifer. 11
Selain itu konsumsi natrium berlebih dapat menyebabkan hipertensi karena
peningkatan volume cairan dalam pembuluh darah dan preload, sehingga
meningkatkan cardiac output.11

Gambar 3.Peran natrium dan kalium dalam patofisiologi hipertensi12

10
2.6 Diagnosis

Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:

1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.


2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya
penyakit, serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit
penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan.13
Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya
tanda klinis hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang
akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor
pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.10
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama
menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti
penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya.Apakah
terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan
penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga,
pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa
ulang di kontrolateralnya.10
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk
berat dan tinggi badan.Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada
kedua lengan, dan dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri
sehingga dapat mengevaluasi hipotensi postural.Pasien yang berusia kurang

11
dari 30 tahun sebaiknya juga diukur tekanan arterinya di ekstremitas bawah,
setidaknya satu kali. Laju nadi juga dicatat.6
Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian
terhadap tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya distensi
vena.Pemeriksaan pembuluh darah dapat menggambarkan penyakit pembuluh
darah dan sebaiknya mencakup funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit
pada arteri karotis dan arteri femoralis serta palpasi pada pulsasi femoralis dan
kaki.Retina merupakan jaringan yang arteri dan arteriolnya dapat diperiksa
secara langsung.Seiring dengan peningkatan derajat beratnya hipertensi dan
penyakit aterosklerosis, terjadi perubahan progresif pada pemeriksaan
funduskopi,yaitu adanya peningkatan refleks cahaya arteriol, defek pertukaran
arteriovenosus, hemoragik, eksudat, dann pada pasien dengan hipertensi
maligna dapat ditemukan papiledema.6
Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju
dan ritme jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi
jantung ketiga dan keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan
iktus kordis yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat
ditemukan rhonki basah halus dan tanda bronkospasme.Pemeriksaan abdomen
untuk menemukan adanya bruit renal atau abdominal, pembesaran ginjal atau
adanya pulsasi aorta yang abnormal. Bruit abdomen, khususnya bruityang
lateralisasi dan melebar sepanjang sistol ke diastol, meningkatkan
kemungkinan adanya hipertensi renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan
pada ekstremitas untuk mengevaluasi edema atau hilangnya pulsasi arteri
perifer.Pemeriksaan fisik sebaiknya termasuk pemeriksaan saraf.6,14

Cara pemeriksaan tekanan darah10

a) Pengukuran tekanan darah yang umum dilakukan menggunakan alat tensi


meter yang dipasang/dihubungkan pada lengan pasien dalam keadaan
duduk bersandar, berdiri atau tiduran. Penurunan lengan dari posisi hampir
mendatar (setinggi jantung) ke posisi hampir vertikal dapat menghasilkan
kenaikan pembacaan dari kedua tekanan darah sistolik dan diastolik.

12
b) Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan
darah dapat dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat
selama 5 menit. Bila perlu dapat dilakukan dua kali pengukurandengan
selang waktu 5 sampai 20 menit pada sisi kanan dan kiri. Ukuran manset
dapat mempengaruhi hasil.
c) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya
harus dapat melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di
atas daerah lipatan lengan atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.
d) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-
lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik
dicatat pada saatterdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan
tekanan diastolikdicatat pada bunyi yang kelima (Korotkoff V).
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita


hipertensi meliputi pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa,
dan lemak dapat diulang kembali setelah pemberian agen antihipertensi dan
selanjutnya sesuai dengan indikasi klinis. Pemeriksaan laboratorium ekstensif
diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang resisten terhadap obat dan
ketiga evaluasi klinis mengarah pada bentuk kedua dari hipertensi.6,14

Sistem Pemeriksaan
Ginjal Urinanalisis mikroskopik, eksresi albumin, serum BUN
dan/atau kreatinin
Endokrin Serum natrium, kalium, kalsium, dan TSH
Metabolik Glukosa puasa atau HbA1c, profil lipid (kolesterol
total, HDL dan LDL, trigliserida)
Lainnya Darah lengkap, rontgen dan elektrokardiogram

Tabel 3.Pemeriksaan Penunjang sebagai evaluasi awal6,14

2.7 Tatalaksana

13
2.7.1 Tatalaksana Farmakologis
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani
hipertensi, beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah sistolik 150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik
90 mmHg pada kelompok usia 60 tahun dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
Rekomendasi 2: Pada kelompok usia< 60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah diastolik 90 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-59
tahun).
Rekomendasi 3: Pada kelompok usia<60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik 140 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg.
Rekomendasi 4: Pada kelompok usia 18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
Rekomendasi 5: Pada kelompok usia 18 tahun dengan diabetes melitus
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita
diabetes melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide,
penghambat kanal kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor
(ACEI) atau angiotensin receptor blocker(ARB).

14
Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau
penghambat kanal kalsium.
Rekomendasi 8: Pada kelompok usia 18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk
memperbaiki outcome pada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien
gagal ginjal kronis dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun
penderita diabetes melitus atau bukan.)
Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila
target tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis
obat harus ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari
golongan yang sama (golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB).
Jika target tekanan darah masih belum dapat tercapai setelah menggunakan
2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga (tidak boleh
menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat
untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari
golongan yang lain dapat digunakan.3

15
Gambar 4.Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa3

16
Untuk terapi farmakologis, berikut adalah beberapa jenis obat serta
dosisnya yang dapat digunakan.

Tabel 4.Obat anti hipertensi beserta dosisnya3

Tabel 5.Strategi penggunaan obat anti hipertensi3

17
2.7.2 Perubahan penting JNC 8
Dibandingkan dengan guideline terapi hipertensi sebelumnya, JNC 8
menyarankan target tekanan darah yang lebih tinggi dan mengurangi penggunaan
beberapa tipe obat anti-hipertensi.
Guideline baru ini menekankan pada kontrol tekanan darah sistolik dan
diastolik dengan umur dan kormobiditas-jalan pintas terapi spesifik.
Guideline baru ini juga memperkenalkan rekomendasi baru yang didesain
untuk mempromosikan penggunaan yang aman dari angiotensin converting
enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin receptor blockers (ARB).
Bukti saat ini menyarankan bahwa target tekanan darah sistolik <140 mmHg
yang direkomendasikan JNC 7 pada kebanyakan pasien sangat rendah dengan tak
ada kegunaan.
Penulis guideline JNC 8 menyebutkan 2 trial yang menemukan bahwa tidak
ada kemajuan dari hasil kardiovaskular dengan target tekanan darah <140 mmHg
dibandingkan dengan target tekanan darah <160 mmHg atau <150 mmHg.
Meskipun begitu, guideline terbaru tidak mengizinkan terapi pada target
tekanan darah sistolik <140 mmHg, tapi merekomendasikan untuk berhati-hati
dalam memastikan bahwa tekanan darah sistolik yang rendah tidak akan
mempengaruhi kualitas hidup atau mengarah pada adverse event.
Perubahan penting dari JNC 7 termasuk hal-hal berikut ini:
1. Pada pasien 60 tahun atau lebih yang tidak memiliki diabetes atau penyakit
ginjal kronik, maka target terapi tekanan darah sekarang <150/90 mHg.
2. Pada pasien 18-59 tahun tanpa kormobiditas mayor, dan pada pasien 60
tahun atau lebih yang memiliki diabetes, penyakit ginjal kronik, atau
keduanya, maka target terapi tekanan darah yang baru adalah <140/90
mmHg.
3. Terapi lini pertama dan selanjutnya sekarang harus dibatasi menjadi empat
golongan obat: diuretik-tipe thiazide, calcium channel blocker (CCB),
ACE Inhibitor, dan ARB.

18
4. Alternatif lini kedua dan ketiga termasuk dosis yang lebih tinggi atau
kombinasi dari diuretik-tipe thiazide, calcium channel blocker, ACE
Inhibitor, dan ARB.
5. Beberapa obat sekarang didesain sebagai alternatif lini selanjutnya yaitu:
beta-blockers, alphablockers, alpha1/beta-blockers (mis. carvedilo),
vasodilating beta-blockers (mis. nebivolol), central alpha2/-adrenergic
agonists (mis. clonidine), direct vasodilators (mis. hydralazine), loop
diuretics (mis. furosemide), aldosterone antagoinsts (mis. spironolactone),
dan peripherally acting adrenergic antagonists (mis. reserpine).
6. Saat memulai terapi, pasien keturunan Afrika tanpa penyakit ginjal kronik
harus menggunakan CCB dan thiazide daripada ACE Inhibitor.
7. Penggunaan ACE Inhibitor dan ARB direkomendasikan pada seluruh
pasien dengan penyakit ginjal kronik tanpa melihat latar belakang etnis,
baik sebagai terapi lini pertama atau sebagai tambahan pada terapi lini
pertama.
8. ACE Inhibitor dan ARB tidak boleh digunakan pada pasien yang sama
secara bersamaan.
9. CCB dan diuretik tipe thiazide harus digunakan daripada ACE Inhibitor
dan ARB pada pasien lebih dari 75 tahun dengan fungsi penurunan fungsi
ginjal karena adanya risiko hiperkalemia, peningkatan kreatinin, dan
penurunan fungsi ginjal yang lebih parah.

Modifikasi Pola Hidup


Sama seperti JNC 7, JNC 8 juga merekomendasikan modifikasi pola hidup
sebagai komponen terapi yang penting. Intervensi pola hidup termasuk
penggunaan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) eating plan,
penurunan berat badan, pengurangan konsumsi garam menjadi kurang dari 2.4
grams per hari, dan paling sedikit 30 menit aktivitas aerobik pada banyak hari
dalam seminggu.
Sebagai tambahan, untuk menunda perkembangan hipertensi dan
mengurangi risiko kardiovaskular, konsumsi alkohol harus dibatasi menjadi 2

19
gelas sehari pada pria dan 1 gelas sehari pada wanita. Perlu diketahui bahwa 1
gelas terdiri dari 12 ons bir, 5 ons wine atau 1.5 ons dari 80-proof liquor. Berhenti
merokok juga menurunkan risiko kardiovaskular.
Follow Up
Penulis JNC 8 menyederhanakan rekomendasi follow up yang rumit pada
pasien dengan hipertensi. Pada JNC 7 direkomendasikan bahwa setelah
pemeriksaan tekanan darah tinggi awal, follow up dengan pemeriksaan konfirmasi
tekanan darah harus terjadi dalan 7 hari hingga 2 bulan, tergantung seberapa tinggi
pemeriksaan awal yang dilakukan dan apakah pasien tidak atau memiliki penyakit
ginjal atau kerusakan akhir organ sebagai akibat dari hipertensi.
Pada JNC 8 pada semua kasus target tekanan darah harus dicapai dalam waktu
sebulan setelah terapi awal dilakukan, baik dengan meningkatkan dosis dari obat
anti-hipertensi awal atau menggunakan kombinasi obat anti-hipertensi.

2.7.2 Tatalaksana Non Farmakologis


Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh
seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang
terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan
dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup
merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan
penanganan hipertensi.Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi
beberapa hal:
I. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang
hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke
berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu
pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis.
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi
asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai

20
pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung dengan
penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.15
II. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan
menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik
dilakukan untuk penderita hipertensi.Dianjurkan untuk olahraga teratur,
minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan
darah walaupun berat badan belum tentu turun.Melakukan aktivitas
secara teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) diketahui
sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi hingga
mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga halnya dengan kebugaran kardio
respirasi rendah pada usia paruh baya diduga meningkatkan risiko
hipertensi sebesar 50%.
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan
perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah.Olahraga dapat
menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa
olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi.16
III. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya
penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal
pengobatan hipertensi.Nasihat pengurangan asupan garam harus
memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan memperhitungkan
jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam.Pembatasan
asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan
garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari
makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang
bebas garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan

21
mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi
kebiasaan makan pasien secara drastis.16
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang
berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak
jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan
dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal
dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber
dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.16
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah
lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral
bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya
dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko
terjadinya stroke.Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium
bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayur-
sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti
seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan
(banyak mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu
mengandung banyak kalsium.16
IV. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau
bahkan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk
menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat
perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban
stres.13

2.8 Komplikasi
I. Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan
kematian pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan

22
hasil dari perubahan struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran
jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal jantung.6
II. Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan
hemoragik otak.Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena
hemoragik. Insiden dari stroke meningkat secara progresif seiring dengan
peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia> 65 tahun. Pengobatan
pada hipertensi menurunkan insiden baik stroke iskemik ataupun stroke
hemorgik.6
III. Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering
terjadi pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati,
tekanan darah harus 130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika
ada proteinuria.6
2.9 Pencegahan
Pencegahan dan kontrol dari hipertensi membutuhkan dukungan politik
sebagai peran dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Petugas kesehatan,
komunitas peneliti akademis, lembaga masyarakat, sektor privat, serta keluarga
dan penderita hipertensi sendiri semuanya ikut berperan.

23
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dikenal


sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas
normal.Faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu
faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga,
dan faktor genetik. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi tergantung dari
gaya hidup pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal.Berdasarkan JNC VIII target tekanan darah adalah
kurang dari 140/90 mmHguntuk kelompok usia>40 tahun dan kurang dari 150/90
mmHg untuk kelompok usia >60 tahun.Terapi untuk hipertensi dapat dibagi
menjadi 2 yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi non
farmakologis antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan
rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama
dengan obat farmakologi. Untuk terapi farmakologi beberapa golongan obat yang
dapat dipakai antara lainACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, beta
blocker, penghambat kanal kalsium, dan diuretik tipe thiazide. Penggunaan obat
antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan menaikkan dosis obat secara
bertahap sampai mencapai target tekanan darah.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gagal
jantung, gagal ginjal serta penyakit serebrovaskular.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). A Global Brief on Hypertension: Silent


Killer, Global Public Health Crisis [Internet]. 2013 [diakses pada Oktober 18
2016]. Tersedia dari: http://chronicconditions.thehealthwell.info/search-
results/global-brief-hypertension-silent-killer-global-public-health-
crisis?source=relatedblock
2. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East
Asia Region: an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-14.
3. James PA, Oparil S, Carter BL et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
JAMA:2013.
4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et
al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension.
2003;42:120652.
5. Cowley AW Jr. The genetic dissection of essential hypertension. Nat Rev
Genet. 2006 Nov;7(11):82940. [PMID: 17033627].
6. Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrisons principles of internal medicine
17th edition. New York: McGrawHill:2008.
7. Setiawan, Zamhir. Karakteristik sosiodemografi sebagai faktor resiko
hipertensi studi ekologi di pulau Jawa tahun 2004 [Tesis].Jakarta: Program
Studi Epidemiologi Program Pasca Sarjana FKM-UI; 2006.
8. Hasurungan, JA.Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
lansia di Kota Depok tahun 2002 [Tesis]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2002.
9. Thomas M. Habermann, , Amit K. Ghosh. Mayo Clinic Internal Medicine
Concise Textbook. 1st edition. Canada: Mayo Foundation for Medical
Education and Research:2008.

25
10. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.
Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. 2006.
11. Norman M. Kaplan. Kaplan's Clinical Hypertension 9th edition. Philadelphia,
USA: Lippincott Williams & Wilkins:2006.
12. Horacio J, Nicolaos E. Sodium and Potassium in the Pathogenesis of
Hypertension.N Engl J Med 2007;356:1966-78.
13. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia: 2009; 59 (12): 580-7.
14. Kenning I, Kerandi H, Luehr D, Margolis K, OConnor P, Pereira C,
Schlichte A, Woolley T. Institute for Clinical Systems Improvement.
Hypertension Diagnosis and Treatment. Updated November 2014.
15. Basuki B, Setianto B. Age, body posture, daily working load past
antihypertensive drugs and risk of hypertension: a rural Indonesia study. Med
J Indon. 2001;10(1):29-33.
16. Kaplan NM. Clinical hypertension. 8th ed. Lippincott: Williams & Wilkins;
2002.

26

Anda mungkin juga menyukai