Anda di halaman 1dari 129

SYOK PADA

ANAK
(Goal-Directed Management of Pediatric
Shock in the Emergency Department )

Professor Joseph A. Carcillo, MD

Division of Critical Care Medicine, Children's Hospital of


Pitts burgh

2009

i
SYOK PADA ANAK
(Goal-Directed Management of Pediatric Shock
In the Emergency Department)

Alih bahasa: dr Iyan Darmawan

ISBN: 978-979-95956-9-0

2009 Farmedia
All rights preserved
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip, memperbanyak sebagian
atau
Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit

Edisi 1 Cetakan 1: November 2009

Perpustakaan Nasional R.I. data Katalog Dalam


Terbitan (KDT)
Syok pada anak/penulis: Carcillo, Joseph A;
Alih bahasa: Darmawan, Iyan
Cetakan 1- Jakarta, Farmedia 2009
127 halaman
12,5 x 21,5 cm
ISBN: 978-979-95956-9-0

ii
KATA PENGANTAR

Bayi dan anak memiliki struktur anatomis dan parameter


hemodinamik yang berbeda dengan orang dewasa,
sehingga patofisiologi dan interpretasi syok pada anak
jauh berbeda dibandingkan orang dewasa. Syok
tersering pada trauma anak adalah syok hemoragik,
walaupun bisa dibarengi oleh syok tipe lain, seperti
kardiogenik (misal, tamponade jantung), obstruktif (misal,
tension pneumothorax ) dan neurogenik (misal, syok
spinal). Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular
memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara
tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke
tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan
darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan
sampai 30% volume darah sirkulasi

Buku saku ini membahas lebih rinci patofisiologi dan


manajemen syok pada anak, dan menjadi tambahan
referensi untuk para dokter yang bertugas di IGD dan
PICU.

November 2009

Penerbit

iii
DAFTAR ISI

Bagian 1 Memahami Syok 1

Bagian 2 Stadium Syok 10

Bagian 3 Manajemen Syok pada Anak 13

Bagian 4 Resusitasi Volume: Kristaloid vs Koloid 57

Bagian 5 Rangkuman Manajemen Syok pada Anak 79

Bagian 6 Ilustrasi kasus 84

Bagian 7 Dengue Shock Syndrome 99

Bagian 8 Singkatan dan terminologi 104

Bagian 9 Nilai Normal 106

Bagian 10 Rumus-rumus 108

Lampiran : Teknik Pemberian Infus Intraosea 110

iv
BAGIAN I

Memahami Syok

Pendahuluan
Syok adalah kegagalan sirkulasi untuk membawa
oksigen dan nutrien ke jaringan. Syok lazim dijumpai
pada anak. Pemahaman tentang penyebab dan
patofisiologinya bisa mengarahkan para klinisi membuat
keputusan yang rasional dalam terapi dan bisa
memperbaiki prognosis. Bagian ini memberikan
penjelasan komprehensif dari klasifikasi, penyebab dan
patofisiologi syok pada anak, dengan pedoman untuk
deteksi dan pemantauan, sehingga pendekatan terapi
menjadi rasional.
Sebagai sindrom klinis yang kompleks, syok ditandai oleh
disfungsi sirkulasi akut di mana hubungan antara
1
kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen terganggu.
Akibatnya, sistem kardiovaskular gagal menjalankan
fungsi utamanya, yakni membawa substrat dan
membuang metabolit, sehingga terjadi metabolisme
anaerob dan asidosis jaringan. Umumnya, semua
keadaan syok berakhir dengan berkurangnya hantaran
atau gangguan utilisasi substrat sel yang esensial,
sehingga fungsi sel normal berhenti.
Syok merupakan proses progresif yang ditandai oleh 3
stadium berbeda. Pada fase dini, stadium kompensasi,

1
sejumlah mekanisme neurohormonal yang bersifat
kompensatorik dan fisiologis bekerja untuk
mempertahankan tekanan darah dan memelihara
kecukupan fungsi jaringan. Pada stadium ini syok bisa
reversibel dengan intervensi yang benar. Namun, bila
mekanisme kompensasi ini gagal, syok berlanjut ke
stadium dekompensata. Pada stadium menetap

(irreversible stage ), syok berlanjut ke cidera organ dan


jaringan yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi
konvensional, dan berujung dengan gagal organ ganda
dan kematian pasien.
Syok merupakan diagnosis klinis, namun deteksi masih
merupakan masalah pada anak. Dalam pedoman yang
dipublikasi oleh the American College of Critical Care
Medicine , Carcillo dkk mendefinisikan syok septik pada
anak sebagai takikardia dengan tanda berkurangnya
perfusi perifer, termasuk berkurangnya volume nadi,
capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik, bercak dan
dingin pada ekstremitas, kesadaran berubah dan jumlah
2
urin berkurang. Hipotensi merupakan tanda lanjut dan
fase dekompensata pada syok anak, sehingga tidak bisa
diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Capillary refill
terbaik diperiksa dengan menekan ekstremitas distal,
seperti jari tangan dan kaki, selama 5 detik dan kemudian
dilepas. Waktu pengisian kembali dicatat. Pada suhu
kamar normal, capillary bed distal biasanya terisi dalam
2-3 detik. Dikatakan memanjang jika lebih dari 5 detik.
2
Titik alternatif untuk memeriksa CRT adalah di atas
sternum dan bantal kuku ( nailbed ).
Syok sebaiknya dideteksi dengan tanda klinis dan
laboratorium yang meliputi takipnea dan takikardia,
vasodilatasi perifer (syok hangat) atau ekstremitas dingin
(syok dingin), perubahan status mental, hipothermia atau
hipertermia, diikuti berkurangnya jumlah urin, asidosis
3
metabolik dan peninggian laktat darah

Klasifikasi syok

Karena fungsi sirkulasi bergantung pada volume darah,


tonus vaskular dan fungsi jantung, syok dapat
diakibatkan oleh kelainan-kelainan dari satu atau lebih
faktor-faktor ini, atau mulai dari gangguan metabolisme
seluler sampai ketidakmampuan menggunakan substrat
yang dibawa oleh sirkulasi. Lima jenis syok yang utama
dilukiskan di bawah (Table 1.1). Pembagian kategori ini
terlalu sederhana, karena lebih dari satu mekanisme
dapat terjadi pada pasien yang sama. Hasil akhirnya
adalah kegagalan menyediakan substrat energi untuk
memenuhi kebutuhan metabolik dari jaringan.

Tabel 1. 1 Klasifikasi Syok


Jenis Sindrom Klinis
Hipovolemik Hemoragik
Nonhemoragik:
Muntah
Diare
Luka bakar
3
Sekuestrasi internal (misal ileus
obstruksi)
KAD (ketoasidosis diabetik)
Sindrom nefrotik
Bentuk dehidrasi lain

Kardiogenik Infark miokard


Gagal jantung bendungan
Bedah jantung
Penyakit katup /koarktasi
Disritmia
Pintas kardiopulmoner
Syok septik
Intoksikasi obat

Obstruktif Tamponad e jantung


Penyakit katup/koarktasi
Pneumotoraks
Emboli paru
Distributif Syok septik
Syok toksik
Syok neurogenik
Gagal adrenal akut
Intoksikasi obat
Disosiatif Keracunan (misal sianida, methemo glo bi n, karbon
monoksida
Anemia berat

SYOK KUANTITATIF (HANTARAN O 2 BERKURANG)

Aliran berkurang (syok hipovolemik & kardiogenik)


Pada syok hipovolemik, kardiogenik dan obstruktif, defek
primer adalah penurunan curah jantung, yang
mengakibatkan hipoperfusi, hipotensi dan metabolisme
anaerob. Syok hipovolemik merupakan syok jenis
terbanyak pada anak dan merupakan akibat dari
penurunan volume sirkulasi (hipovolemia absolut atau
relatif). Hipovolemia dikatakan absolut bila disebabkan
dehidrasi melalui kehilangan cairan ekstrasel, darah atau

4
plasma; dan relatif bila volume intravaskular tidak
adekuat untuk mengkompensasi hilangnya tonus
vaskular, seperti pada sepsis atau anafilaksis, atau
karena obat vasodilatasi.

Syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah


jantung yang bersifat sekunder terhadap kerusakan

dan/atau disfungsi miokard. Ini bisa disebabkan oleh


jejas miokard (infeksi atau iskemia) atau lesi obstruktif
(peningkatan afterload ventrikel kanan, peningkatan
afterload ventrikel kiri, tamponade jantung) dan/atau
kurangnya pengisian ventrikel (penurunan preload
ventrikel kanan atau kiri, lesi katup, penurunan waktu
pengisian yang disebabkan takiaritmia).

Penurunan kandungan oksigen (syok hemoragik,


gagal napas akut hipoksemik, keracunan )
Syok hemoragik biasanya diakibatkan oleh hipovolemia
dan anemia. Bila terjadi perdarahan pada pasien yang
sebelumnya anemia, penurunan hantaran oksigen (DO 2
)
jauh lebih besar. Berkurangnya kapasitas angkut oksigen
oleh hemoglobin (Hb), dan DO 2
yang tidak adekuat,
dapat juga menyebabkan syok. Contohnya pada orang
keracunan karbon monoksida , penurunan DO 2
terjadi
karena pengikatan kompetitif di mana hemoglobin lebih
suka berikatan dengan karbon monoksida dibanding O 2
.
Dan ini diperhebat dengan utilisasi O 2 yang bersifat
5
abnormal, karena karbon monoksida mengganggu
fosforilasi oksidatif yang mengakibatkan berkurangnya
rasio ekstraksi oksigen (ERO 2 ). Pada kasus ini, syok
bersifat distributif dan kuantitatif. Pada setiap hipoksia
akut karena kelainan paru, penurunan saturasi oksigen
arteri (SaO 2) menyebabkan penurunan DO 2 segera

setelah peningkatan curah jantung gagal


mengkompensasi kebutuhan metabolik.
Syok distributif sering terjadi sekaligus dengan syok
hipovolemik dan/atau kardiogenik. Syok distributif ini
diakibatkan oleh kelainan distribusi aliran ke berbagai
organ, bersifat sekunder terhadap gangguan tonus
vasomotor sebagaimana terjadi pada sepsis dan
anafilaksis. Di samping sepsis, penurunan pengisian
kapiler bisa terjadi sekunder terhadap perubahan
reaktivitas vaskular, koagulasi intravaskular diseminata,
difungsi sel endotel atau gangguan rheologi
(meningkatnya adhesi sel darah), bersama dengan
disfungsi mitokondria. Perubahan-perubahan ini ikut
memperburuk utilisasi oksigen. Trauma medula spinalis
merupakan bentuk spesifik dari syok distributif yang
menjurus ke perubahan hemodinamik yang dalam.
Kehilangan mendadak dari aliran simpatis dari medula
spinalis dapat mengakibatkan penurunan mendadak dari
tahanan tepi total dan curah jantung.

6
PATOFISIOLOGI SYOK

Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan DO 2


ke
jaringan dan disusul oleh berkurangnya tekanan oksigen
parsial sel (PO 2 ). Bila sampai ke titik kritis PO 2, fosforilasi
oksidatif dibatasi oleh kurangnya oksigen, sehingga
menggeser metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Ini
menghasilkan kenaikan laktat sel dan darah, serta
asidosis laktat

DO 2 bergantung pada dua variabel: kandungan oksigen


darah arteri (CaO 2) dan curah jantung. CaO 2 adalah

produk dari kandungan Hb, arterial SaO 2 dan kapasitas


angkut oksigen dari hemoglobin. Selanjutnya, curah
jantung bergantung pada detak jantung dan curah
sekuncup, yang ditentukan oleh kontraktilitas miokard
dan preload serta afterload .

Pada anak, curah jantung lebih bergantung pada detak


jantung dibanding curah sekuncup karena miokard belum
matang. Metabolisme energi yang tidak adekuat dapat
berasal dari peningkatan konsumsi oksigen total tubuh
(VO 2 ), walaupun DO 2 normal. Kebutuhan oksigen

7
4
bervariasi menurut jenis jaringan dan waktu. Walaupun
kebutuhan oksigen tidak bisa diukur atau dihitung, VO 2

dan DO 2 keduanya bisa dihitung, dan dihubungkan


sebagai berikut:
VO2 = DO 2 ERO 2 ( oxygen extraction ratio )
Pada kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO 2
.
Normal, ERO 2 adalah kira-kira 25% yang berarti 25% dari oksigen
yang dibawa akan diambil jaringan dan 75% kembali ke paru. ERO 2
berbanding terbalik dengan SvO 2 , yang diperlihatkan dalam
persamaan berikut:

SvO 2 = 1 - ERO 2

Bila kebutuhan meningkat, DO 2 harus menyesuaikan


dan meningkat. Pada syok sirkulasi atau hipoksemia,
karena DO 2 berkurang, VO 2 dipertahankan dengan
peningkatan kompensatorik dari ERO 2. Namun, jika DO 2

turun terus, dicapai titik kritis dan ERO 2 tidak bisa lagi
bertambah untuk mengkompensasi penurunan DO 2.

Pada syok septik, oksigenasi jaringan bisa tidak adekuat


sekalipun ada aliran darah normal yang disebabkan
peningkatan banyak dari kebutuhan metabolik dan
gangguan ekstraksi oksigen.

Konsekuensi patofisiologis dari syok kardiogenik dan


hipovolemik lebih berkaitan dengan defisiensi oksigen
akut, sedangkan efek-efek patofisiologi dari syok septik
diakibatkan oleh banyaknya produksi mediator radang.

8
Pada syok septik ada interaksi kompleks antara
vasodilatasi patologis, hipovolemia relatif dan absolut,
depresi miokard langsung dan perubahan distribusi aliran
darah, yang terjadi akibat respon radang terhadap infeksi.
Respon inflamasi yang berlebihan selanjutnya berperan
terhadap gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan
yang tersebar, dengan berakhir sebagai disfungsi organ

ganda.

Referensi:
1. American Heart Association. 2005 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergencycardiovascular care of
pediatric and neonatal patients: pediatric advanced life
support. Pediatrics 2006; 117: E10051028.
2. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee
Members. Clinical practice variables for hemodynamic
support of pediatric and neonatal patients in septic
shock. Crit Care Med 2002; 30: 13651378.
3. N adel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial
management of shock. In: Nichols DG, ed. Rogers
textbook of pediatric intensive care, 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008, p.
372383.
4. Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue
oxygenation in the critically ill. Eur J Anaesthesiol
2000; 17: 221229.

9
BAGIAN II

Stadium Syok

Stadium Dini atau Syok Kompensata

Pada syok dini atau kompensata, berbagai mekanisme


kompensasi diaktifkan. Dalam menghadapi ancaman
hipoperfusi, sistem saraf simpatis meningkatkan detak
jantung (HR) dan tahanan pembuluh sistemik (SVR)
melalui pelepasan katekolamin dari kelenjar adrenal.
Sistem Renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan,
sehingga ikut menyebabkan vasokonstriksi dan
mempertahankan SVR, serta retensi cairan melalui
pemekatan urin. .
Pada anak, tonus vaskular dipertahankan walaupun
dalam keadaan aliran rendah pada syok septik dan
1
kardiogenik . Oleh karena itu, anak bisa sering
mempertahankan tekanan darah sebelum mereka berada
dalam keadaan syok berat. Vasokonstriksi kompensatorik
sering begitu mencolok hingga tekanan darah sistemik
bisa berada dalam kisaran normal, sekalipun ada
gangguan sirkulasi bermakna. Hipotensi khas merupakan
temuan lanjut pada syok anak. Dengan vasokonstriksi
darah dipintas menjauhi organ non-vital (kulit dan
splanchnic bed ) untuk diarahkan ke otak, jantung dan
paru. Hasilnya adalah ekstremitas dingin dan bercak-
bercak (mottled), capillary refill memanjang, serta

10
takikardia yang diinduksi katekolamin. Jika syok dibiarkan,
mekanisme kompensasi akan gagal dan pasien masuk
ke stadium dekompensata. Kegagalan menormalkan nadi
perifer, suhu kulit, serta capillary refill time dengan terapi
2 .
adekuat akan berakibat fatal.
Anak banyak bergantung pada detak jantung untuk
meningkatkan curah jantung. Kemampuan meningkatkan

kontraktilitas sebagai respon terhadap stimulasi


katekolamin terbatas karena massa otot yang tidak cukup
dan kekakuan miokard anak dibandingkan jantung
3
dewasa. Bila mekanisme kompensasi diaktifkan, anak
menjadi bergantung pada volume intravaskular ( preload )
4
untuk mempertahankan CO. Karena afterload sudah
meningkat agar bisa mempertahankan SVR dan TD,
kunci keberhasilan dalam resusitasi adalah menjaga
volume intravaskular yang adekuat.

Stadium dekompensata

Bila mekanisme kompensasi gagal memenuhi kebutuhan


metabolik yang meningkat di tingkat jaringan, maka akan
terjadi syok dekompensata dengan hipotensi.
Hipoksemia jaringan dan iskemia akan memicu
metabolisme anaerob yang menghasilkan penimbunan
laktat dan asidosis metabolik. Sejumlah metabolit
vasoaktif seperti adenosin, nitric oxide juga dilepaskan
dan tertimbun. Vasokonstriksi kompensatorik gagal
sebagai akibat hipoksia. Darah kapiler menjadi lamban,

11
leukosit bergerak ke pinggir dan mikrotrombus terbentuk.
Paralisis vasomotor dan disfungsi mikrosirkulasi
memuncak ke hipoperfusi organ akhir, disfungsi dan
gagal organ ganda. Hipoperfusi organ bermanifestasi
sebagai perubahan status mental, takipnea, takikardia,
letargi, urin sedikit atau tidak ada dan timbul bercak pada
anggota gerak. Sekali tekanan darah turun, pasien akan

berlanjut ke syok menetap ( irreversible shock ), jika


tekanan perfusi ke jaringan tidak dipulihkan. Syok non-
reversibel, sesuai namanya, adalah the point of no
return dengan angka kematian tinggi apapun
intervensinya.

Referensi
1. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo JA.
Hemod ynamic support in fluid-refractory pediatric septic
shock. Pediatrics 1998;102( 2):e19
2. Kirklin JK, Blackstone EH, Kirklin JW, McKay R, Pacifico AD,
Bargeron LM, Jr. Intracardiac surgery in infants under age 3
months: predictors of postoperative in-hospital cardiac de ath.
Am J Cardiol 1 981;48(3):5 07-12.
3. Feltes TF, Pignatelli R, Kleinert S, Mariscalco MM.
Quantitated left ventricular systolic mechanics in children
with septic shock utilizing noninvasive wall-stress analysis.
Crit Care Med 1994;22( 10):1647-58.
4. Lambert HJ, Baylis PH, Coulthard MG. Central-peripheral
temperature difference, blood pressure, and arginine
vasopressin in preterm neonates undergoing volume
expansion. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
1998;78(1):F43-5

12
BAGIAN III

Manajemen Syok pada Anak di IGD

Deteksi dini dan tatalaksana syok pada anak bisa


menyelamatkan jiwa, tanpa memandang kategori
diagnostiknya. Di sini ditekankan:
1) pengenalan dini dari takikardia, capillary refill
yang memanjang, dan hipotensi
2) proses 3-langkah: akses pembuluh darah dan
pemberian cairan serta infus epinefrin (pada
sebagian kasus dengan hidrokortison) untuk
pemulihan syok dalam jam pertama pasien
masuk IGD.
Walaupun garis besar proses tampak sederhana,
dibutuhkan persiapan yang matang. Pasien syok harus
dikenali pada triase dan cepat digiring ke ruang resusitasi,
di mana pendekatan tim perlu untuk mencapai semua
sasaran klinis dalam 1 jam. Sasaran klinis yang sensitif-
waktu ini meliputi pemulihan capillary refill yang
memanjang dan hipotensi serta indeks syok yang
membaik. Sasaran dan proses yang dirangkum dalam
bab ini bisa berhasil diterapkan mulai dari puskesmas
sampai rumah sakit tersier dengan perencanaan dan
pelatihan yang baik.

Syok adalah suatu keadaan gagal energi akut di mana


produksi ATP ( adenosine triphosphate ) tidak cukup untuk

13
menopang fungsi sel sistemik. Syok bisa disebabkan
kurangnya hantaran oksigen (anemia, hipoksia, atau
iskemia); kurang hantaran substrat glukosa (glikopenia);
atau disfungsi mitrokondria ( cellular dysoxia ). Hantaran
oksigen didefinisikan oleh persamaan berikut:

DO2 (mL O 2
/min) = CaO 2 (mL O 2
/L blood) X CO (L/min)

Selanjutnya:
CaO2 = Hb x 1,36 xSaO 2+ PaO 2 x 0.003

Syok anemik terjadi bila kadar hemoglobin terlalu


rendah; syok hipoksia terjadi bila saturasi oksigen
terlalu rendah; dan syok iskemik terjadi bila aliran terlalu
rendah. Hantaran glukosa bergantung pada kadar
glukosa, aliran darah dan insulin untuk sel-sel (misal, sel
jantung) yang influks glukosanya bergantung insulin.
Syok glikopenik bisa disebabkan oleh hipoglikemia
ataupun resistensi insulin.

Walaupun definisi syok ini logis dan mudah dipahami,


namun tidak praktis karena pengukuran ATP tidak
dilakukan. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis
menggunakan tanda-tanda tidak langsung untuk
mendiagnosis dan menilai syok. Tanda-tanda ini harus
mengidentifikasi stadium paling dini dari syok atau paling
tidak patologi yang terjadi sebelum syok terdeteksi.
Anemia diketahui dari pucat, takikardia kompensatorik,

14
dan kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL. Takikardia
meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan
hantaran oksigen sekalipun hemoglobin berkurang.
Hipoksia diidentifikasi dengan takipnea kompensatorik
dan penurunan Pao 2, di bawah 60 mm Hg. Hemoglobin
masih mengalami saturasi cukup sebelum ambang Pao 2

dicapai. Takipnea menyebabkan penurunan Pco 2


, yang,
sesuai dengan persamaan gas alveoli, menghasilkan
peningkatan proporsional dari Pao 2
. Iskemia dikenali
pada stadium dini sebagai takikardia. Terjadi penurunan
aliran darah jika curah sekuncup berkurang akibat
hipovolemia ataupun fungsi jantung yang buruk. Aliran
pada kondisi ini bisa dipertahankan dengan
meningkatkan detak jantung (CO = heart rate [HR]
stroke volume [SV]). Glikopenia dikenali pada stadium
dini dengan hipoglikemia atau hiperglikemia ringan.
Penggunaan terapi yang memulihkan anemia, hipoksia,
iskemia dan glikopenia sebelum terjadinya defisiensi ATP
bisa mencegah syok.

Syok bisa didiagnosis dan dinilai berdasarkan progresi


dari tanda-tanda klinis ini. Syok anemik terjadi bila kadar
hemoglobin turun menjadi di bawah 6 g/dL, dan di klinis
terlihat sebagai peningkatan detak jantung lebih dari
persentil ke 98 untuk usia; perubahan status mental ;
takipnea. Syok iskemik dikenali sebagai takikardia
persisten dengan capillary refill lebih dari 2 detik, disertai
15
vasokonstriksi sistemik untuk memelihara tekanan perfusi
dan aliran darah ke organ pusat, antara lain otak dan
ginjal. Jika aliran terus berkurang, akhirnya hipotensi
terjadi dengan berkurangnya aliran darah ke otak dan
perubahan status mental. Pada stadium akhir, syok bisa
dikenali dengan adanya asidosis senjang anion. Dewasa
ini, senjang anion lebih dari 16 mEq/L merupakan tanda

yang mewakili dari deplesi ATP dan gagal energi. Bila


hantaran oksigen tidak adekuat, metabolisme anaerob
terjadi melalui glikolisis. Piruvat diubah menjadi laktat,
dan asam laktat menyebabkan suatu senjang anion.
Syok glikopenik bisa didiagnosis sebagai senjang anion
lebih dari 16 mEq/L dengan adanya hipoglikemia
(substrat tidak cukup), hiperglikemia (resistensi insulin),
atau euglikemia (substrat tidak cukup + resistensi
insulin). Bila pemakaian glukosa tidak adekuat, senjang
anion lebih dari 16 mEq/L disebabkan oleh zat antara
asam organik yang dihasilkan oleh katabolisme protein
dan/atau lemak untuk menyediakan bahan bakar untuk
siklus Krebs.

Transfusi darah akan meningkatkan hemoglobin dan


memulihkan takikardia dan takipnea pada pasien dengan
syok anemik. Pemberian cairan dan dukungan inotropik
meningkatkan curah sekuncup dan memulihkan
takikardia serta mengurangi capillary refill menjadi < 2
detik pada pasien dengan syok iskemik. Pemberian
16
glukosa sebagai dekstrosa 10% pada kecepatan rumatan
dengan penggunaan insulin untuk mengoreksi
hiperglikemia akan menghasilkan euglikemia dan
memulihkan senjang anion pada pasien dengan syok
glikopenik.

Syok, Skor Keparahan penyakit dan Prognosis

Syok merupakan kontributor dari penyebab kematian


pada anak. Kelainan-kelainan dalam parameter fisiologi
yang mencerminkan tanda-tanda klinis syok merupakan
prediktor kuat dari kematian pada dua sistem skoring ,
PRISM ( pediatric risk illness severity and mortality score )
dan PELOD ( pediatric logistic organ dysfunction score ).
Pada PRISM, takikardia (>150 detak per menit untuk
anak, >160 untuk bayi), takipnea (>50 napas per menit
untuk anak, >60 untuk bayi), PaO 2
/FiO 2 <300 mm Hg,
glukosa (<60 atau >250 mg/dL), dan bikarbonat (<16
mEq/L) semuanya memprediksi mortalitas tinggi. Pada
PELOD, hipotensi (systolic blood pressure [SBP] <65 mm
Hg pada neonatus, <75 mm Hg pada bayi, <85 mm Hg
pada anak, <95 mm Hg pada adolesen) dan menurunnya
kesadaran (Glasgow coma scale score, 7-11)
memprediksi mortalitas. Abnormalitas kreatinin serum
(=140 mol/L pada usia < 7 hari, =55 mol/L untuk usia 7
hari- 1 tahun; =100 mol/L untuk usia 1 12 tahun; =140
mol/L untuk anak di atas 12 tahun) dan waktu
protrombin (<60%) atau international normalized ratio
(INR) (=1.4) juga memprediksi mortalitas. Syok yang
17
memanjang dan deplesi ATP lebih dari 1 jam
menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum ketika
sel-sel tubulus ginjal kehilangan orientasinya dan lepas
ke tubulus, di mana obstruksi bisa mengakibatkan
disfungsi atau gagal ginjal akut. Syok lama juga
menyebabkan koagulasi intravaskular dengan konsumsi
faktor-faktor pembekuan dan pemanjangan waktu

protrombin.

2
Curah jantung rendah (<2 L/menit/m ) juga memprediksi
mortalitas. Ini bisa dinilai di klinis dengan capillary refill
lebih dari 2 detik, suhu jempol kaki dingin, dengan selisih
oksigen arteriovena yang besar (AVDO 2
), atau dengan
1
pengukuran langsung curah jantung. Parr dkk
memeriksa curah jantung CO dengan menggunakan
teknik Fick-dilution indocyanine green dye injection pada
bayi di bawah usia 6 bulan yang membutuhkan
pembedahan jantung. Mereka memperlihatkan bahwa
risiko mortalitas meningkat pada populasi ini bila cardiac
2
index (CI) kurang dari 2 L/menit/m . Dukungan inotropik
yang diikuti dengan penurunan afterload dengan
nitroprusid dan volume loading efektif dalam
2
memperbaiki CO pada anak-anak ini. Capillary refill
kurang dari 2 detik merupakan tanda klinis bahwa CI
2
lebih dari 2 L/menit/m pada populasi ini. Anak dengan
syok septik tampaknya memerlukan CO lebih tinggi
dibandingkan anak dengan syok kardiogenik semata.
18
3
Pollack dkk menunjukkan hasil terbaik diamati pada
pasien-pasien ini bila CI berada di antara 3,3 dan 6
2
L/menit/m pada anak dengan syok septik. Ceneviva dkk
memperlihatkan bahwa anak dengan syok septik bisa
4
saja memiliki salah satu dari 3 gangguan kardiovaskular :
2
CO tinggi (>5,5 L/menit/m ) dan tahanan sistemik rendah
(SVR; <800 dynesec/cm5), CO rendah (<3,3 L/menit/m 2)

SVR rendah, atau CO rendah dan SVR tinggi (>1200


5
dynesec/cm ). Mereka mendapatkan bahwa
penggunaan vasopresor; inotrop + vasopresor; atau
inotrop + vasodilator masing-masing memulihkan curah
jantung ke kisaran yang dikehendaki. Serupa dengan
1
Parr dkk , mereka mendapatkan bahwa pasien dengan
CO rendah memiliki risiko mortalitas tertinggi.

Pemulihan tanda Syok pada waktu yang tepat


memperbaiki prognosis

Tanda-tanda dini dari syok yang dipulihkan pada waktu


yang tepat memperbaiki prognosis pasien. Suatu kajian
5
pada dewasa oleh Rivers dkk menunjukkan pentingnya
terapi yang tidak hanya memelihara tekanan darah
melainkan juga hantaran oksigen. Para peneliti
mengacak pasien syok dewasa yang datang di IGD untuk
terapi yang ditujukan mencapai tekanan darah normal
dan saturasi oksigen vena cava superior (Superior vena
cava oxygen [SVCO 2
]) lebih dari 70% (setara dengan
saturasi oksigen vena campur 62%) pada kelompok lain,
19
dengan menggunakan transfusi konsentrat eritrosit untuk
pasien dengan kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL
(untuk memulihkan syok anemik) kemudian cairan dan
inotropik (untuk memulihkan syok iskemik) jika saturasi
SVCO 2 tetap di bawah 70%. Mitokondria biasanya
menarik oksigen sesuai dengan kebutuhan metabolik.
Hantaran oksigen ke mitokondria bergantung pada

kapasitas angkut oksigen (persen hemoglobin), oksigen


yang tersedia (saturasi oksigen dari hemoglobin plus
oksigen yang larut dalam plasma), serta curah jantung.
Jika persentasi hemoglobin dan saturasi oksigen arteri
normal, hanya CO yang menjadi penentu hantaran
oksigen. Ketika curah jantung (CO) berkurang, dan
kebutuhan metabolik tetap sama, mitokondria menarik
lebih banyak oksigen untuk mempertahankan konsumsi
oksigen dan produksi energi yang sama. Bila ini terjadi,
saturasi oksigen dari darah yang kembali ke jantung
berkurang. Pada anak sehat saturasi SVCO 2
adalah 75%.
5
Rivers dkk mengamati bahwa pasien-pasien dalam
kelompok pertama mencapai tekanan darah normal
namun saturasi SVCO 2
nya hanya 65%, sedangkan pada
kelompok terapi kedua mempertahankan tekanan darah
dan saturasi SVCO 2
lebih dari 70%. Ini dicapai dengan
lebih banyak transfusi darah, resusitasi cairan dan
pemakaian inotropik. Kombinasi terapi yang ditujukan
untuk memperbaiki tekanan darah dan hantaran oksigen
ini menghasilkan penurunan mortalitas sebesar 50%
20
disamping pemulihan kelainan waktu protrombin. Upaya
resusitasi yang ditujukan untuk mempertahankan
tekanan darah dan curah jantung memperbaiki prognosis
serta memulihkan koagulopati.

Bila pasien dengan takikardia, saturasi SVCO 2< 70%,


dan normotensi dinilai menurut kelompok terapi, mereka
yang mendapat terapi dengan sasaran mencapai saturasi
SVCO 2 di atas 70% mendapat lebih banyak cairan dan
obat inotropik. Komplikasi gagal organ ganda dan
kematian lebih rendah dibanding kelompok yang saturasi
SVCO 2 tidak dipertahankan lebih dari 70%. Penulis
menyebut syok tanpa hipotensi sebagai cryptic shock .
Syok iskemik tanpa hipotensi bisa digambarkan menurut
persamaan berikut: CO yang berkurang = MAP normal
atau tinggi - CVP/SVR yang meninggi. Pemulihan syok
iskemik yang normotensi mengurangi gagal organ dan
mortalitas.

Di IGD, pemasangan line sentral untuk pengukuran


saturasi SVCO 2
pada anak tidak sesering pada orang
6 7
dewasa. Oleh karena itu Han dkkl dan Orr dkk
memeriksa EGDT ( early goal-directed therapy ) untuk
syok septik pada neonatus dan anak serta semua kasus
syok di IGD, dengan memanfaatkan capillary refill yang
memanjang >2 detik sebagai surrogate marker dari
1
penurunan CO sesuai dengan laporan Parr dkk
21
ketimbang menggunakan penurunan saturasi SVCO 2.

Mortalitas dan neuromorbiditas meningkat lurus dengan


a) takikardia sendiri, b) hipotensi dengan capillary refill
normal, c), pemanjangan capillary refill tanpa hipotensi,
d) pemanjangan capillary refill dengan hipotensi.
Pemulihan tanda-tanda klinis ini di IGD dapat
menurunkan mortalitas dan neuromorbiditas sebanyak >

50%. Setiap jam keterlambatan pemulihan dari hipotensi


dan capillary refill menjadi < 2 detik akan disusul oleh
odds ratio kematian 2 kali lipat akibat gagal organ ganda.

Glikopenia adalah defisiensi glukosa dalam jaringan.


Glikopenia penting dipulihkan sebagaimana dicatat oleh
8
van den Berghe dkk pada unit bedah kritis dewasa.
Para peneliti ini memberikan semua pasien dekstrosa
10% pada laju rumatan untuk memenuhi kebutuhan akan
glukosa. Kemudian pasien diacak untuk kontrol
euglikemia ketat dengan insulin untuk mempertahankan
kadar glukosa antara 80 dan 120 mg/dL atau sesuai
dengan praktek standar. Pada pasien yang mendapat
insulin, rasio glukosa: laju infus glukosa menurun (45 vs
75) dibandingkan pasien yang tidak mendapat insulin dan
mengalami penurunan mortalitas sebesar 50% (3% vs
7%). Semua perbaikan dalam hasil klinis disebabkan
penurunan kematian akibat syok septik dan gagal organ
ganda.

22
Pemberian glukosa mencegah hipoglikemia, dan
pemberian insulin untuk hiperglikemia menjamin
hantaran glukosa ke dalam organ yang transporter
glukosanya bergantung insulin, terutama sistem
kardiovaskular. Dengan menggunakan asidosis senjang
anion sebagai surrogate marker untuk gagal energi, Lin
dkk [9] melaporkan bahwa peninggian rasio glukosa/ laju

infus glukosa merupakan prediktor asidosis senjang


anion pada anak dengan syok. Penggunaan insulin untuk
menurunkan rasio tersebut, bisa mengatasi asidosis
senjang anion pada pasien-pasien ini.

Fisiologi dan Patofisiologi

Respon stres
Respon stres lazim dijumpai ketika sakit. Disebut juga
fight-or-flight response , ini didominasi oleh aktivasi
sistem saraf pusat dan simpatis. Sistem saraf pusat
membebaskan hormon adrenokortikotropik, yang
selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk
melepaskan kortisol. Sistem saraf simpatis melepaskan
epinefrin dan norepinefrin.

23
Kortisol memfasilitasi kerja kedua katekolamin ini.
Epinefrin dan norepinefrin meningkatkan CO dengan
meningkatkan detak jantung dan curah sekuncup. Kedua
katekolamin ini juga meningkatkan tekanan darah.
Epinefrin meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas,
sedangkan norepinefrin meningkatkan kontraktilitas dan
tonus pembuluh darah sistemik. Untuk kebutuhan energi
yang bertambah ini, glukagon juga disekresi. Glukagon
meningkatkan hantaran glukosa ke siklus Krebs melalui
aktivasi glikogenolisis dan glukoneogenesis.

Respon Syok

Respon syok terjadi ketika stres tidak lagi disebabkan


fight or flight tetapi disebabkan penurunan akut dari

24
hantaran oksigen dan/atau produksi ATP. Perdarahan,
hipovolemia karena diare yang berat dan mendadak atau
disfungsi jantung dan pembuluh darah akibat sepsis,
toksin atau obat-obatan, menyebabkan otak memimpin
respon syok untuk menyelamatkan jiwa. Ini agak mirip
dengan respon stres tetapi bersifat lebih mencolok.
Kadar katekolamin dan kortisol lebih tinggi. Sebagai

controh, kadar kortisol pada stres bisa mencapai 30


g/dL, tetapi selama syok bisa mencapai 150 sampai 300
g/dL. Sistem angiotensin/aldosteron dan antidiuretic
hormone (vasopresin) juga diaktifkan untuk menjaga
cairan intravaskular. Katekolamin menginduksi takikardia,
sedangkan angiotensin, aldosteron dan vasopresin
menyebabkan oliguria. Glukagon juga dilepaskan.
Bersama-sama dengan kortisol dan katekolamin,
glukagon menginduksi hiperglikemia melalui
glukoneogenesis, disamping melalui resistensi insulin.
Respon syok ini memungkinkan pasien untuk
kompensasi jangka pendek (short-term survival) , namun
intervensi medis sering dibutuhkan agar pasien selamat.
Pemahaman dan penerapan prinsip fisiologi dibutuhkan
untuk menyelamatkan pasien (long-term survival).

Fisiologi kardiovaskular

Sistem kardiovaskular bisa dipandang sebagai berikut:


CO = MAP - CVP/SVR. Persamaan ini menjelaskan
prinsip patofisiologi penting dari syok. Pertama,
25
persamaan ini memandu kita dalam mengelola tekanan
darah. Tekanan perfusi (= Mean arterial pressure - CVP)
lebih penting dari MAP sendiri. Menurut persamaan ini,
sebagai contoh secara teoritis bisa dikatakan seseorang
memiliki MAP normal tetapi tidak ada aliran maju (misal,
CO), jika CVP setara dengan MAP. Bila kita melakukan
resusitasi cairan untuk memperbaiki tekanan darah,

kenaikan MAP harus lebih besar daripada kenaikan CVP.


Jika kenaikan MAP lebih kecil dari kenaikan CVP,
tekanan perfusi berkurang. Obat-obat kardiovaskular lah
dan bukan tambahan cairan, yang diindikasikan untuk
memperbaiki tekanan darah pada skenario ini.

Persamaan ini juga menuntun kita dalam manajemen


curah jantung (CO) atau aliran darah. Curah jantung bisa
menurun bila MAP - CVP berkurang, tetapi bisa juga
menurun ketika MAP - CVP normal dan ketika tahanan
pembuluh darah meningkat. Tekanan perfusi bisa
dipertahankan, sekalipun pada keadaan CO rendah,
dengan meningkatkan tahanan pembuluh darah (lihat
Gambar 1). Jadi, pasien dengan tekanan darah normal
bisa saja memiliki CO yang tidak adekuat karena tonus
pembuluh darah tinggi. Curah jantung bisa diperbaiki
pada pasien ini dengan penggunaan inotrop, vasodilator
dan volume loading .

26
Gambar 1. Vasokonstriksi sistemik bisa memelihara MAP dan tekanan
perfusi sekalipun ada hipovolemia dan berkurangnya CO. Oleh karena
itu syok harus dideteksi bila ada takikardia dan capillary refill yang
memanjang, sebelum terjadi hipotensi.

Frank dan Starling terkenal karena mempopulerkan


prinsip-prinsip dasar yang mempengaruhi curah
sekuncup (CO = heart rate [HR] stroke volume [SV]).
Frank mengamati bahwa serabut otot jantung
berkontraksi lebih kuat bila diregang, sepanjang
regangan serabut tersebut tidak berlebihan
(overstretched ). Starling melukiskan prinsip Frank ini
dengan kurva yang mengaitkan hubungan curah
sekuncup (sumbu y) dengan volume akhir-diastolik
ventrikel (lihat Gambar 2). Curah sekuncup bergerak
baik sepanjang kurva saat pengisian akhir diastolik

27
meningkat ke titik di mana ventrikel kepenuhan, dan
selanjutnya curah sekuncup turun lagi. Preload yang
tidak adekuat didefinisikan sebagai volume akhir-diastolik
di bawah curah sekuncup maksimum. Gagal jantung
bendungan terjadi bila preload atau volume akhir-
diastolik berada di atas kisaran optimum ini. Disfungsi
jantung digambarkan dengan pergeseran kurva ke arah

bawah dan kanan. Kurva ini bisa digunakan untuk


menunjukkan prinsip-prinsip pemberian cairan, obat
inotropik dan vasodilator. Pasien yang curah
sekuncupnya tidak adekuat sekalipun mendapat volume
cairan cukup berarti memiliki kontraktilitas yang
berkurang. Ini digambarkan dengan kurva sterling yang
mendatar. Terapi inotropik memperbaiki kurva Sterling,
dan menggesernya ke atas dan kiri. Curah sekuncup
menjadi lebih besar untuk setiap volume akhir-diastolik
pada pasien yang diberi terapi inotropik dibanding yang
tidak diterapi. Pasien dengan syok kardiogenik
membutuhkan vasodilator untuk memperbaiki kurva
Sterling, menggesernya ke atas dan kiri. Pemberian
volume loading sering dibutuhkan pada pasien-pasien ini
karena terapi vasodilator sering menurunkan preload .

28
Mekanisme Frank-Starling. Dengan Perubahan-perubahan dalam
meningkatkan alir-balik vena ke afterload dan inotropi akan
ventrikel kiri akan meningkatkan menggeser kurva Frank-Starling ke
tekanan dan volume akhir-diastolik atas dan ke bawah
ventrikel kiri (LVEDP & LVEDV). Ini
menghasilkan penambahan curah
sekuncup (SV). Titik operasional
normal adalah LVEDP ~ 8 mmHg
dan SV ~ 70 ml/detak

Kurva Starling dan kurva ventricular compliance


memprediksi respon fisiologis terhadap terapi cairan,
inotropik, vasopresor dan vasodilator. Epinefrin 0,05
g/kg/menit merupakan inotropik garis pertama dalam

jam pertama resusitasi. Epinefrin bisa diberikan melalui

29
vena perifer sampai didapat akses vena sentral (jika
melalui vena tepi, harus diberikan dengan infus cairan
lebih cepat untuk sampai ke jantung tepat waktu).
Hubungan antara afterload dan curah sekuncup terbaik
dilihat dengan modifikasi kurva compliance . Saat
afterload atau tekanan diastolik aorta naik, curah
sekuncup berkurang. Jantung yang berfungsi normal bisa

mentoleransi peningkatan tekanan diastolik aorta dengan


cukup baik. Akan tetapi, jantung dengan kontraktilitas
yang berkurang tidak bisa mentoleransi peningkatan
afterload . Ini menjelaskan efek baik dari terapi vasodilator
terhadap kurva Starling. Penurunan afterload dengan
vasodilator menurunkan tekanan diastolik aorta dan
memperbaiki curah sekuncup, khususnya pada jantung
yang kontraktilitasnya kurang baik. Namun, patut
diperhatikan bahwa tekanan diastolik merupakan
determinan penting dari tekanan perfusi arteri koroner.
Dua pertiga dari siklus jantung digunakan dalam diastole.
Takikardia, penurunan tekanan diastolik atau
meningkatnya tegangan dinding dada ( wall stress ), bisa
mengurangi pengisian koroner. Penggunaan terapi
vasodilator harus ditujukan mengurangi wall stress
(penurunan afterload ) tanpa menyebabkan takikardia
atau hipotensi diastolik.

30
Fisiologi Pembekuan

Pada homeostasis, darah berada dalam keadaan tidak


membeku. Namun pada keadaan syok yang memanjang,
terjadi trombosis dan hipofibrinolisis. Ini disebabkan
sebagian oleh stasis, deplesi ATP sel endotel dan
aktivasi sel endotel yang dimediasi oleh peradangan
sistemik. Endotel yang teraktivasi bersifat prokoagulan
dan antifibrinolitik. Ini menyebabkan konsumsi protein
prokoagulan maupun antikoagulan di dalam trombosit
dan trombus fibrin. Inilah mekanisme di mana pasien
meninggal akibat syok biasa mengalami trombosis dan
perdarahan. Waktu protrombin yang memanjang
berbanding lurus dengan waktu mencapai resusitasi dan
tidak langsung dengan jumlah cairan resusitasi yang
diberikan. Pemulihan syok yang cepat dengan resusitasi
cairan, inotropik dan vasodilator memulihkan dan
mencegah koagulasi intravaskular diseminata dan
perdarahan. Pada resusitasi yang tertunda, penggantian
protein antikoagulan, seperti protein C mungkin berguna.
Pada trombosis yang mengancam jiwa atau anggota
gerak, terapi fibrinolitik bisa efektif memulihkan aliran
darah.

31
Goal-Directed Therapy

Sasaran klinis
Resusitasi sampai tercapai sasaran klinis merupakan
prioritas utama. Pasien harus diresusitasi sampai status
mental normal, kualitas nadi normal baik proksimal dan
distal, suhu sentral dan perifer sama, capillary refill < 2
detik, dan jumlah urin > 1 mL/kg/jam. Dua puluh persen
darah menuju otak, dan 20% menuju ginjal. Oleh karena
itu, pemeriksaan klinis terhadap kedua organ ini sangat
berguna. Ke 2 organ ini mengatur aliran darah dengan
autoregulasi dan bergantung pada tekanan perfusi (MAP
- CVP) untuk mempertahankan perfusi. Endotoksemia,

sirosis, aminoglikosida, cisplatin, takrolimus, dan


siklosporin A menginduksi vasokonstriksi glomerulus.
Pada anak, dibutuhkan tekanan perfusi yang lebih tinggi
untuk menembus ginjal dan memelihara jumlah urin.
Kualitas nadi distal, suhu dan pengisian ulang kapiler
mencerminkan tonus pembuluh darah sistemik dan curah
jantung. Capillary refill dan suhu ibu jari kaki yang normal
2
menjamin cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m .
Resusitasi cairan harus dipantau dengan menggunakan
temuan klinis seperti terabanya pinggir hati, ronkhi,

takipnea atau batuk produktif, sebagai indikasi untuk


menghentikan resusitasi cairan dan memulai terapi

inotropik.

32
Sasaran Hemodinamik dan Penggunaan Oksigen

Detak jantung normal menurut usia dan tekanan perfusi


normal menurut usia adalah sasaran hemodinamik awal
sebelum memasang akses vena sentral. Resusitasi
cairan bisa dipantau dengan mengamati detak jantung
dan selisih MAP - CVP. Detak jantung akan berkurang,
dan MAP - CVP akan bertambah bila resusitasi cairan
efektif. Detak jantung akan meningkat dan MAP - CVP
akan berkurang, jika terlalu banyak cairan. Indeks syok
(HR/SBP) bisa digunakan untuk menilai keberhasilan
terapi cairan maupun inotropik. Karena curah sekuncup
meningkat dengan terapi, detak jantung akan berkurang
dan tekanan darah sistolik (SBP) akan naik. Indeks syok
akan berkurang. Jika curah sekuncup tidak membaik
dengan resusitasi, detak jantung tidak akan berkurang,
SBP tidak akan meningkat, dan indeks syok tidak
membaik.

Pada pasien yang dipasang kateter vena sentral (vena


cava superior), saturasi oksigen > 70% harus digunakan
sebagai sasaran. Jika kurang dari 70% dan anemis, anak
harus ditransfusi untuk mencapai kadar hemoglobin di
atas 10 g/dL. Jika saturasi oksigen vena sentral kurang
dari 70% tanpa anemia, bisa digunakan inotrop dan
vasodilator untuk memperbaiki CO sampai saturasi vena
sentral di atas 70%. AVDO 2 juga bisa dikalkulasi dengan
33
sasaran hemodinamik 3% sampai 5%. Jika lebih lebar
dari 5%, CO harus ditingkatkan dengan terapi sampai
AVDO 2 kembali ke kisaran normal. AVDO 2 paling akurat
bila kateter vena sentral terletak di arteri pulmonalis.
Curah jantung bisa diukur dengan menggunakan PiCCO
(Philips Medical Systems, Bothell, Wash), thermodilusi
arteri femoralis, kateter arteri pulmonalis, atau

ekokardiografi Doppler. Sasarannya adalah cardiac


2
index (CI) lebih dari 2 L/menit/m pada syok kardiogenik
2
dan antara 3,3 dan 6 L/menit/m pada syok septik.

Sasaran Biokimia

Banyak yang menggunakan laktat sebagai ukuran


metabolisme anerob; namun laktat bisa meninggi karena
berbagai kondisi sekalipun tanpa adanya syok. Ini
meliputi, kelainan metabolisme, penyakit limfoproliferatif,
gagal hati, dan sepsis. Laktat paling berguna pada
evaluasi syok kardiogenik pra dan pasca bedah
(walaupun kadarnya bisa meningkat sekalipun tidak ada
penurunan aliran). Untuk pasien-pasien ini risiko
kematian meningkat saat kadar laktat serum naik di atas
2,0 mmol/L. Bila digunakan sebagai sasaran
hemodinamik, targetnya adalah kadar < 2.0 mmol/L. Ada
juga yang menggunakan asidosis senjang anion ( anion
gap acidosis ) sebagai sasaran biokimia. Asidosis senjang
anion bisa disebabkan oleh metabolisme anaerob pada
keadaan aliran rendah dan adanya asam organik pada
34
keadaan glikopenia. Sasaran senjang anion (anion gap)
adalah kurang dari 16 mmol/L. [Catatan: yang dimaksud
senjang anion atau anion gap di sini adalah (Na + + K +
)-
(Cl - + HCO 3- ) dan perlu dikoreksi dengan kadar albumin
(g/L), yakni Corrected AG = AG + [0.25 x (44 - albumin)]

Jika pasien telah mendapat bikarbonat, akan


menyelubungi asidosis, tetapi tidak akan menyelubungi

senjang anion. Asidosis Nonanion gap yang disebabkan


kelebihan ion klorida, banyak dijumpai pada pasien yang
diresusitasi dengan NaCl 0.9%. Asidosis menetap
walaupun senjang anion telah normal, karena asidosis di
-
sini disebabkan pemberian anion kuat (Cl ) dan bukan
karena gagal energi. Kadar Troponin I bisa digunakan
sebagai marker terapi untuk cidera atau disfungsi jantung.
Kadar Troponin I meningkat pada cidera miokard dan
menjadi normal dengan memulihnya jejas. Bersihan
kreatinin bisa digunakan sebagai marker terapi untuk
disfungsi ginjal. Bersihan kreatinin akan membaik saat
hemodinamik ginjal membaik.

Tatalaksana Syok

Cairan
Terapi cairan terbanyak digunakan pada resusitasi syok
pada bayi dan anak. Digunakan untuk memulihkan status
hipovolemia dan mengoptimalkan kurva Starling untuk

35
menghasilkan aliran dan CO optimal untuk berbagai
derajat kontraktilitas. Kira-kira 8% dari volume darah total
dikandung dalam sisi arteri, 70% dalam sisi vena, dan
12% di jaringan kapiler. Volume darah total pada
neonatus 85 mL/kg dan 65 mL/kg pada bayi. Resusitasi
cepat bisa memulihkan volume sirkulasi. Karena
kemampuan vasokonstriksi yang bermakna, hipotensi

tidak muncul sebelum 50% dari volume darah hilang.


Oleh karena itu, bolus cepat 30 sampai 40 mL/kg
dibutuhkan untuk memulihkan volume intravaskular. Jika
ada kebocoran kapiler dan digunakan kristaloid untuk
resusitasi, dibutuhkan volume yang sangat besar dalam
jam pertama (bisa sampai 200 mL/kg pada syok septik).

Kristaloid dan koloid dua-duanya bisa digunakan untuk


ekspansi volume. Dibutuhkan lebih sedikit koloid
dibanding kristaloid karena koloid lebih lambat
mengalami redistribusi ke ekstravaskular. Dalam uji acak
terkontrol dan berskala besar, albumin terlihat lebih
efektif pada pasien dewasa dengan sepsis/syok septik
10
dibandingkan kristaloid . Pada uji acak dan terkontrol
pada anak dengan DSS ( dengue shock syndrome ),
11
kinerja kristaloid dan koloid sama baik . Sebagian
peneliti menggunakan kristaloid sebagai cairan garis
12
pertama dan disusul dengan koloid jika dibutuhkan .

36
Bolus cairan cepat tidak hanya memulihkan volume
intravaskular, melainkan juga menekan ekspresi gen
peradangan dan koagulasi. Ekspansi volume yang cepat
dan agresif pada jam pertama memperbaiki survival pada
model syok hewan maupun manusia. Namun, pemberian
cairan pada neonatus dan anak-anak harus hati-hati,
karena berpotensi memperburuk gagal jantung akibat

kardiomiopati atau penyakit jantung kongenital. Anak-


anak bisa didorong keluar kurva Starling jika dikelola
terlalu agresif. Volume 10 mL/kg direkomendasikan
dengan pemantauan CVP/tekanan atrium kiri/ tekanan
oklusi arteri pulmonalis pada pasien-pasien ini.

Darah

Pada pasien dengan syok anemik dibutuhkan darah.


Mitokondria tidak bisa menarik 20% terakhir dari oksigen
yang berikatan dengan hemoglobin. Pada kondisi normal,
mitokondria menarik 25% oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin. Di klinis ini terlihat dengan saturasi oksigen
vena campur 75% pada orang sehat dengan saturasi
oksigen darah arteri 100%. Pada anak dengan
hemoglobin 10 g/dL, hanya 8 g/dL tersedia untuk
ekstraksi (20% tidak bisa ditarik), dan 2,5 g/dL digunakan
untuk ekstraksi oksigen, sehingga tinggal kelebihan 5,5
g/dL hemoglobin. Pada keadaan hemolisis, syok
hemolitik bisa terjadi bila surplus ini hilang atau kadar
hemoglobin turun di bawah 5 g/dL. Angka kematian
37
meningkat bila kadar Hb turun di bawah 6 g/dL. Ini juga
berlaku untuk syok hemoragik. Transfusi darah
menyelamatkan jiwa dalam hal ini. Whole blood tersedia
di banyak tempat dan begitupula konsentrat eritrosit
(packed red blood cells ). Konsentrasi lazim dari
hemoglobin pada konsentrat eritrosit adalah 20 g/dL.
Karena volume darah anak berkisar antara 85 mL/kg

pada neonarus sampai 65 mL/kg pada anak, 10 mL/kg


konsentrat eritrosit akan menaikkan kadar hemoglobin
sekitar 2 g/dL.

Obat Inotropik

Obat inotropik digunakan untuk meningkatkan


kontraktilitas dan CO. Dobutamin adalah agonis 1-
adrenergik dengan aksi kronotropik dan inotropik.
Dobutamin dianggap sebagai agonis parsial. Pada
dewasa dobutamin efektif; tetapi, ada ketidakpekaan obat
13
ini pada anak yang bersifat spesifik-usia. Perkin dkk
memperlihatkan bahwa anak di bawah usia 2 tahun
kurang responsif terhadap dobutamin. Pada dosis lebih
dari 10 g/kg/menit, dobutamine bisa mengurangi
afterload secara bermakna, dan kadang-kadang
hipotensi. Ini diduga terjadi karena dobutamin pada dosis
ini memiliki efek reseptor a2 yang menghambat
pelepasan norepinefrin dari terminal presinaptik. Pada
gilirannya ini menurunkan tonus pembuluh darah.

38
Epinefrin merupakan inotrop pilihan pasien yang gagal
dengan terapi dobutamin (lihat Gambar 3). Dewasa dan
anak yang resisten terhadap terapi dobutamin umumnya
14
merespon epinefrin . Epinefrin adalah neurohormon
alamiah, yang dihasilkan untuk meningkatkan
kontraktilitas selama stres dan syok. Epinefrin
merupakan agonis 1-, 2-, a1-, dan a2-adrenergik.

Pada dosis lebih rendah (0,05 g/kg/menit) efek -


adrenergik meniadakan efek a1-adrenergik, sehingga
menghasilkan kualitas inotropik yang hampir murni. Efek
a1-adrenergik menjadi lebih menonjol saat dosis
epinefrin mencapai dan melebihi 0,3 g/kg/menit. Pasien
gagal jantung dengan peningkatan tahanan tepi (SVR)
mungkin dirugikan dengan dosis epinefrin yang lebih
tinggi, kecuali jika diberikan berbarengan dengan
vasodilator atau inodilator.

39
Gambar 3. Inotrop seperti epinefrin merangsang reseptor -
adrenergik, yang meningkatkan kalsium intrasel selama sistole dan
mengurangi kalsium intrasel selama diastole. Ini diselesaikan melalui
sistem pembawa pesan kedua, cAMP. Penghambat fosfodiesterase
tipe III bisa memprotensiasi efek-efek ini dengan mencegah
pemecahan cAMP.

Vasodilator

Vasodilator digunakan untuk menurunkan tahanan tepi


pulmoner dan sistemik serta memperbaiki CO (lihat
Gambar 4). Vasodilator golongan nitrat bergantung pada
pelepasan nitrosothiol, yaitu donor nitric oxide, untuk
mengaktifkan soluble guanylate cyclase dan melepas
cGMP ( cyclic guanosine monophosphate ). Nitroprusid
merupakan vasodilator sistemik dan pulmoner. Dosis
awal adalah 1 g/kg/menit. Nitrogliserin memiliki efek
yang agak selektif dan bergantung dosis. Nitrogliserin
merupakan vasodilator koroner pada dosis di bawah 1
g/kg/menit, vasodilator pulmoner pada dosis 1
g/kg/menit, dan vasodilator sistemik pada 3 g/kg/menit.
Nitric oxide inhalasi merupakan vasodilator pulmoner
selektif, yang bisa dimulai 5 ppm. Prostaglandin
merupakan vasodilator yang meningkatkan kadar cyclic
adenosine monophosphate (cAMP). Prostasiklin bisa
dimulai 3 ng/kg/menit. Prostaglandin E1 bisa dimulai
pada 0,1 g/kg/menit dan efektif mempertahankan
duktus arteriosus yang terbuka pada neonatus dengan
penyakit jantung bawaan yang bergantung duktus .
40
Gambar 4. Vasokonstriktor dan vasodilator merangsang sistem-sistem
pembawa pesan kedua yang berlawanan. Agonis a-adrenergik,
angiotensin, dan vasopresin merangsang reseptor-reseptor yang
berbeda, yang merangsang produksi inositol 1,4,4-triphosphate (IP3)
dan diasilgliserol (DAG), sehingga menyebabkan peningkatan kadar
++
ionized calcium (Ca )dan kontraksi. Agonis 2-adrenergik dan
vasodilator prostanoid merangsang produksi cAMP dan
nitrovasodilator dan inhaled nitric oxide (iNO) merangsang produksi
cGMP(guanosine monophosphate). Pembawa pesan ini menurunkan
Ca ++ dan menginduksi vasod ilatasi. Inhibitor Fosfodiesterase Tipe III
dan V bisa mempotensiasi efek vasodilator. PKC = protein kinase C .

Inodilator

Inhibitor fosfodiesterase (PDEI) merupakan kelompok


obat penting, yang memediasi inotropi dan vasodilatasi
dengan mencegah hidrolisis cAMP (PDEI tipe III, milrinon,
amrinon, enoximon, atau pentoksifilin). Pada monoterapi,
41
peningkatan cAMP ini memperbaiki kontraktilitas dan
relaksasi diastolik dan juga menyebabkan vasodilatasi
arteri pulmoner dan sistemik. Interaksi PDEI dengan obat
inotropik, vasodilator dan bahkan vasopresor bisa
digunakan pada pasien syok (lihat Gambar 3). Sebagai
contoh, epinefrin bisa tetap sebagai inotrop poten dan
relatif murni pada dosis lebih tinggi. Untuk setiap dosis

epinefrin, PDEI tipe III mencegah pemecahan cAMP


yang dihasilkan oleh stimulasi 1- dan 2-adrenergik.
Peningkatan cAMP intrasel ini menghambat efek-efek
stimulasi a1-adrenergik. Jadi, vasokonstriksi tidak mudah
terjadi pada dosis epinefrin yang lebih tinggi. Norepinefrin
juga bisa menjadi inotrop yang lebih efektif sementara
mempertahankan efek vasopresornya bila diberikan
bersama dengan PDEI tipe III. Produksi cAMP di reseptor
1 tidak dihidrolisis. Peningkatan cAMP di otot jantung
memperbaiki kontraktilitas dan relaksasi. Efek-efek a1-
dan a2-adrenergik tetap sama karena tanpa stimulasi
2 , milrinon memiliki efek minimal terhadap vasodilatasi
dibandingkan dengan vasokonstriksi a-adrenergik yang
dimediasi norepinefrfin.

Masalah utama dengan obat fosfodiesterase yang


digunakan dewasa ini adalah waktu paruhnya relatif
panjang dibandingkan dengan katekolamin dan
nitrovasodilator. Katekolamin dan nitrovasodilator
dieliminasi dalam beberapa menit, sedangkan PDEI tidak
42
dieliminasi setelah berjam-jam. Waktu-paruh eliminasi ini
lebih penting bila ada gagal organ. Contohnya, eliminasi
milrinon lebih dominan melalui ginjal dan amrinon melalui
hati. Bila toksisitas seperti hipotensi atau takiaritmia
terlihat, obat-obat ini harus dihentikan. Yang menarik,
norepinefrin telah dilaporkan efektif sebagai antidotum
dari toksisitas ini. Seperti telah disebutkan, norepinefrin

merupakan agonis a1-adrenergik tetapi dengan aktivitas


agonis 1 dan bukan 2. Norpinefrin meningkatkan
tekanan darah (efek a1-adrenergik) dan CO (efek 1-
adrenergik) namun tidak menyebabkan eksaserbasi efek
vasodilatasi PDEI (tidak ada efek 2-adrenergik).

Isoproterenol merupakan inodilator penting dengan


aktivitas 1- dan 2-adrenergik. Obat ini penting dalam
tatalaksana blok jantung, status asmatikus refrakter, dan
krisis hipertensi pulmoner dengan gagal ventrikel kanan.
Levosimendan mewakili kelompok inodilator baru yang
mensensitisasi pengikatan kalsium pada kompleks aktin-
tropomiosin. Efek lainnya adalah memperbaiki
kontraktilitas dan juga hiperpolarisasi saluran kalium,
sehingga menyebabkan vasodilatasi.

Vasopresor

Fenilefrin adalah agonis murni reseptor a-adrenergik.


Peran utamanya pada anak adalah untuk memulihkan
sianosis ( spell ) pada tetralogi Fallot. Bayi dan anak
43
dengan tetralogi Fallot mengalami penebalan
infundibulum yang cenderung spasme dan menyebabkan
aliran darah kanan-ke-kiri melalui defek septum ventrikel.
Spasme bisa hebat sehingga mencegah aliran darah
melalui paru. Terapi meliputi oksigen dan morfin untuk
merelaksasi infundibulum dan posisi knee-to-chest untuk
meningkatkan afterload dan membantu menghasilkan

aliran kiri-ke-kanan melalui defek septum ventrikel. Bila


perasat-perasat ini gagal, obat pilihannya adalah
fenilefrin. Peningkatan vasokonstriksi arteri sistemik
mengakibatkan pintasan kiri-ke-kanan dan perfusi paru.
Karena fenilefrin tidak memiliki efek -adrenergik, obat ini
tidak meningkatkan detak jantung. Jadi pengisian jantung
lebih baik. Juga penyempitan infundibulum tidak
diperburuk oleh kontraktilitas yang meningkat.

Baru-baru ini telah muncul kembali minat untuk


memanfaatkan 2 vasopresor kuno: angiotensin dan
vasopresin (lihat Gambar 4). Angiotensin berinteraksi
dengan reseptor angiotensin dan memediasi
vasokonstriksi melalui sistem pembawa pesan kedua
fosfolipase C. Waktu-paruhnya relatif panjang
dibandingkan katekolamin . Angiotensin juga memediasi
tekanan darah melalui peningkatan sekresi aldosteron.
Patut diperiksa apakah pemakaian angiotensin
menurunkan CO pada anak dengan hipotensi karena
angiotensin tidak memiliki efek inotropik. Vasopresin juga
44
telah ditemukan kembali. Berbeda dengan angiotensin,
vasopresin diberikan hanya dalam dosis fisiologis dan
diduga memperbaiki tekanan darah. Mekanismenya
bukan saja melalui interaksi dengan reseptor angiotensin
sistem fosfolipase C, melainkan juga dengan
meningkatkan pelepasan hormon adrenokortikotropik dan
selanjutnya pelepasan kortisol. Vasopresor ini juga harus

digunakan dengan hati-hati karena bisa menurunkan CO


pada anak dengan fungsi jantung yang kurang baik.

Inovasopresor

Dopamin adalah inotropik/vasopresor yang paling banyak


digunakan. Efeknya bergantung dosis. Pada kisaran
dosis 3 sampai 10 g/kg/menit, reseptor 1-adrenergik
dirangsang. Pada dosis lebih dari 10 g/kg/menit, efek
terhadap reseptor a1-adrenergik menjadi lebih mencolok.
Seperti halnya dobutamin, ada ketidakpekaan terhadap
obat yang dipengaruhi usia. Dopamin memediasi
kebanyakan efek-efek 1- dan a1-adrenergik nya melalui
pelepasan norepinefrin dari vesikel simpatis Hewan
muda dan bayi di bawah usia 6 bulan tidak memiliki
jumlah vesikel simpatis lengkap. Ini dikemukakan
sebagai penyebab dari berkurangnya efektivitas dopamin
pada kelompok usia ini. Anak yang lebih besar dan
dewasa ada juga yang tidak peka terhadap dopamin,
khususnya mereka yang kehabisan cadangan
katekolamin endogen.
45
Norepinefrin efektif untuk syok yang resisten dengan
dopamin. Efeknya dimediasi melalui reseptor 1-, a1-,
dan a2-adrenergik. Norepinefrin selalu bersifat inotropik,
tetapi kualitas vasopresornya lebih mencolok bahkan
pada dosis rendah 0,01 g/kg/menit. Dopamin dan
norepinefrin memiliki peran terbesar dalam memelihara
perfusi yang adekuat pada anak dengan syok. Fungsi

ginjal bisa membaik dengan menggunakan


inovasopresor ini sampai ke titik di mana tekanan perfusi
ginjal adekuat.

Hidrokortison

Hidrokortison juga ditemukan kembali. Insufisiensi


adrenal di tingkat pusat dan perifer semakin banyak
dijumpai di ICU anak. Banyak anak yang mendapat terapi
untuk penyakit kronis dengan steroid mengalami supresi
aksis hipofisis-adrenal. Banyak anak memiliki anomali
sistem saraf pusat dan penyakit dapatan. Ada anak yang
mengidap purpura fulminans dan sindrom Waterhouse-
Friderichsen. Lainnya memiliki penurunan dalam
aktivitas sitokrom P450, produksi kortisol dan aldosteron.
Yang menarik, insufisiensi adrenal bisa tampil dengan
CO rendah dan SVR tinggi, atau dengan CO tinggi dan
SVR rendah. Diagnosis harus dipikirkan pada setiap
anak dengan syok yang resisten terhadap epinefrin atau
norepindefrin. Dosis hidrokortison yang dianjurkan di
kepustakaan adalah 50 mg/kg hidrokortison suksinat,
46
16
disusul oleh dosis sama selama 24 jam . Dosis yang
dianjurkan untuk stres adalah 2 mg/kg disusul oleh dosis
sama yang diberikan dalam 24 jam. Insufisiensi adrenal
sentral dan perifer mungkin didiagnosis pada bayi atau
anak yang membutuhkan epinefrin atau norepinefrin
untuk syok dan memiliki kadar kortisol kurang dari 18
mg/dL 15 .

Sebelum memberikan hidrokortison untuk pasien syok,


penting dipahami 2 konsep. Pertama, dosis hidrokortison
terlihat lebih tinggi karena ada potensi glukokortikoid
relatif. Hidrokortison harus dikalikan 6 untuk memiliki
glukokortikoid setara dengan metilprednisolon, dan
dikalikan 30 untuk memiliki glukokortikoid setara dosis
deksametason; kendati demikian, hidrokortison memiliki
efek glukokortikoid dan mineralokortikoid. Oleh karena
alasan inilah digunakan hidrokortison, bukan
metilprednisolon ataupun deksametason. Kedua, kadar
kortisol berbeda selama stres dan syok, sehingga upaya
untuk mengatasi pasien dengan insufisiensi adrenal
harus ditujukan untuk mencapai kadar-kadar ini. Selama
stres pembedahan, kadar kortisol bisa mencapai kisaran
30 g/dL. Namun, selama syok akut, kadar kortisol bisa
mencapai 150 sampai 300 g/dL. Pemberian infus
2
hidrokortison 2 mg/kg/hari (50 mg/m /hari) menghasilkan
kadar kortisol 20 sampai 30 g/dL. Infus hidrokortison

47
pada dosis 50 mg/kg/hari menghasilkan kadar kortisol
150 g/dL.

Glukosa dan Insulin

Glukosa dan insulin sama-sama berfungsi sebagai


inotropik, meningkatkan produksi cAMP serta ATP di
jantung. Jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan hantaran glukosa adalah dekstrosa
10% dengan kecepatan rumatan. Jumlah insulin yang
dibutuhkan bisa bervariasi dari 0 sampai lebih dari 1
U/kg/jam, dengan konsentrasi insulin lebih tinggi
dibutuhkan pada resistensi inulin yang lebih besar. Laju
infus insulin yang tinggi bisa diikuti oleh gangguan
elektrolit. Pemantauan fosfor, kalsium,magnesium, dan
16
kalium dianjurkan bila menggunakan terapi ini. .

Atropin dan Ketamin

Sedasi untuk prosedur IV invasif atau intubasi mungkin


dibutuhkan oleh pasien syok. Ketamin bukan saja obat
pilihan untuk indikasi ini, namun juga bersifat
inovasopresor yang memadamkan produksi interleukin-6.
Ketamin menginduksi pelepasan norepinefrin endogen.
Pada kajian eksperimental, ketamin meningkatkan
survival dari syok septik karena bersifat antagonis
terhadap reseptor asam N-metil-d-aspartat. Ini menekan
radang sistemik dan memulihkan supresi miokard. Pada

48
pasien dewasa yang menjalani bedah pintas
kardiopulmoner, infus ketamin dengan laju 0,25
mg/kg/jam mengurangi peradangan sistemik dan
17
memperbaiki fungsi jantung . Ketamin memungkinkan
pembiusan yang aman pada syok septik dewasa. Atropin
harus diberikan bersama ketamin untuk mengurangi
sekresi bronkus ( bronchorrhea ). Penambahan

benzodiazepin bisa diperlukan atau tidak untuk menjaga


pasien tidak terbangun selama pemberian sedasi.

Hipothermia

Hipothermia telah lama digunakan pada bedah jantung


anak dan neonatus. Rasionale nya adalah penurunan
suhu menghemat kebutuhan energi. Kadar ATP yang
lebih sedikit dibutuhkan untuk menyediakan tingkat suhu
yang lebih rendah untuk fungsi sel vital. Dengan setiap
kenaikan satu derajat celsius di atas 37C, metabolisme
energi bertambah sebesar kira-kira 10%. Dengan setiap
penurunan suhu, hubungannya berbeda. Pada 35C
sampai 36C, kebutuhan energi sebenarnya meningkat
karena terjadi menggigil. Suhu ini dipenuhi dengan
respon kardiovaskular, yang meliputi vasokonstriksi dan
peningkatan tekanan darah. Pada 34C, kebutuhan
energi menjadi normal, tetapi aliran darah meningkat di
dalam otak. Di bawah 33C, kebutuhan energi berkurang;
tetapi, di bawah 30C, aritmia ventrikel dan asistole
menjadi faktor risiko. Selama pintas kardiopulmoner,
49
hipothermia dalam, di bawah 18C, diperlukan untuk
mengurangi kebutuhan ATP sampai ke tingkat yang
memungkinkan pembedahan. Kadar hemoglobin dan
saturasi oksigen yang adekuat dibutuhkan untuk
memelihara kadar oksigen lebih tinggi. Di samping itu, pH
normal yang dikoreksi suhu dibutuhkan untuk aliran
darah otak yang optimal. Glukosa juga harus dihantarkan

untuk memenuhi kebutuhan produksi ATP.

Pada sebagian pasien dengan syok refrakter,


hipothermia ringan/moderat mungkin berguna sebagai
jembatan untuk dukungan mekanis ekstrakardiak. Jika
pasien berada dalam syok refrakter, dan setiap
keputusan dibuat untuk melakukan dukungan
ekstrakardiak, sebaiknya menghangatkan badan pasien
di atas 34C sebelum memulai. Segera setelah pasien
berada pada dukungan mekanis ekstrakardiak, pasien
boleh dihangatkan dengan pemahaman bahwa
vasodilatasi akan membutuhkan pengisian volume
kepada pasien.

Kesimpulan

Syok pada anak harus dikenali sejak mereka datang di


ruang gawat darurat. Deteksi dini dan tatalaksana
seksama dari syok bisa memperbaiki prognosis pada
pasien ini. Sasaran resusitasi meliputi pemulihan dari

50
capillary refill yang memanjang (yakni capillary refill <2
detik) dan hipotensi (tekanan darah normal sesuai usia)
dan perbaikan indeks syok (yaitu, rasio HR/SBP normal
sesuai usia). Antisipasi dalam bentuk pelatihan staf harus
meliputi kemampuan deteksi dini, intervensi efektif dan
mengurangi morbiditas serta mortalitas.

Manajemen dini dari dukungan hemodinamik pada syok.


Table 1.
1 Kenali syok saat triase
a. Hanya Hipotensi dengan nadi kuat pada syok hangat
b. Hanya perfusi perifer yang berkurang (nadi perifer lebih
lemah dari nadi sentral dan capillary r efill > 2 detik)
pada syok dingin kompensata
c. Kombinasi hipotensi dengan perfusi perifer yang
berkurang pada syok dingin dekompensata
2 Segera pind ahkan pasien ke ruang syok/trauma dan kumpulkan
tim resusitasi
3 Pasang oksigen dan infus jaga, gunakan 90 detik untuk coba
cari vena
4 Jika belum berhasil setelah 2 kali usaha, pikirkan akses
intraosea
5 Palpasi untuk hepatomegali; auskultasi untuk deteksi ronkhi
6 a. Jika tidak ada hepatomegali dan ronkhi, bolus 20 ml/kg
ringer laktat/NS atau albumin 5% sampai 60 ml/kg
dalam 15 menit sampai perfusi membaik atau h ati
turun atau terdengar ronkhi. Berikan 20 ml/kg pRBC
jika syok hemoragik tidak responsif[18]
b. Jika hepatomegali, awas ada syok kardiogenik, dan
berikan hanya 10 ml/kg bolus kristaloid isotonik.

51
Berikan PGE1 untuk menjaga duktus arteriosus tetap
terbuka pada semua neonatus.
7 Jika capillary refill > 2 detik dan/atau hipotensi menetap
selama resusitasi cair an, mulai berikan epinefrin IO/perifer
0,05 g/kg/menit
8 Jika ada risiko insufisiensi adrenal (misal paparan steroid
sebelumnya, Waterhouse Friderichsen atau anomali
hipofisis) berikan hidrokortison sebagai bolus (50 ml/kg)
dan kemudian drip titrasi antara 2 dan 50 mg/kg/hari
9 Jika syok b erlanjut, gunakan atropin (0,2 mg/kg) pl us
ketamin (2 mg/kg) untuk sedasi pemasangan vena sentral.
Jika butuh ventilasi mekanis, gunakan atrop in plus ketamin
plus penyekat neuromuskular untuk induksi intubasi
10 Arahkan sasaran terapi:
a. capillary refill < 3 detik (misal < 2 detik)
b. Tekanan darah normal sesuai usia
c. Indeks syok membaik.

Keterangan: pRBC, packed red blood cells; PGE1, prostaglandin E1; IO,

intraosseous.

52
Referensi
1. G.V. Parr, E.H. Blackstone and J.W. Kirklin, Cardiac
performance and mortality early after intracardiac
surgery in infants and young children, Circulation 51
(1975), pp. 867874. View Record in Scopus | Cited
By in Scopus (30)

53
2. A. Appelbaum, E.H. Blackstone and N.T. Kouchoukos
et al., Afterload reduction cardiac output in infants after
intracardiac surgery, Am J Cardiology 39 (1977), pp.
445451. Abstract | PDF (733 K) | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (8)
3. M.M. Pollack, A.I. Fields and U.E. Ruttimann,
Distributions of cardiopulmonary variables in pediatric
survivors and nonsurvivors of septic shock, Crit Care
Med 13 (1985), pp. 454459. View Record in Scopus |
Cited By in Scopus (30)
4. G. Ceneviva, J.A. Paschall and F. Maffei et al.,
Hemodynamic support in fluid refractory pediatric
septic shock, Pediatrics 102 (1998), p. e19. Full Text
via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (87)
5. E. Rivers, B. Nguyen and Havstad et al., Early goal
directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock, N Engl J Med 346 (2001), pp. 13681377.
Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited
By in Scopus (2018)
6. Y.Y. Han, J.A. Carcillo and M.A. Dragotta et al., Early
reversal of pediatric-neonatal septic shock by
community physicians is associated with improved
outcome, Pediatrics 112 (2003), pp. 793799. Full Text
via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (86)
7. R.A. Orr, B. Kuch and J. Carcillo et al., Shock is under-
reported in children transported for respiratory distress:
a multi-center study, Crit Care Med 31 (2003), p. A18.

54
8. G. van den Berghe, P. Wouters and F. Weekers et al.,
Intensive insulin therapy in the critically ill patients, N
Engl J Med 345 (2001), pp. 13591367. Full Text via
CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (3290)
9. J.C. Lin, B. Karapinar and D.N. Finegold et al.,
Increased glucose/glucose infusion rate ratio predicts
anion gap acidosis in pediatric shock, Crit Care Med 32
(2004), p. A5.
10. S. Finfer, R. Bellomo and SAFE Study Investigators, A
comparison of albumin and saline for fluid resuscitation
in the intensive care unit, N Engl J Med 350 (2004), pp.
22472256. View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (463)
11. N.T. Ngo, X.T. Cao and R. Kneen et al., Acute
management of dengue shock syndrome: a
randomized double-blind comparison of 4 intravenous
fluid regimens in the first hour, Clin Infect Dis 32 (2001),
pp. 204212.
12. J.A. Carcillo, A.I. Davis and A. Zaritsky, Role of early
fluid resuscitation in pediatric septic shock, JAMA 255
(1991), pp. 12421245. View Record in Scopus | Cited
By in Scopus (102)
13. R.M. Perkin, D.L. Levin and R. Webb et al.,
Dobutamine: a hemodynamic evaluation in children
with shock, J Pediatr 100 (1982), pp. 977983. View
Record in Scopus | Cited By in Scopus (16)
14. P.E. Bollaert, P. Bauer and G. Audibert et al., Effects of
epinephrine on hemodynamics and oxygen metabolism
in dopamine-resistant septic shock, Chest 98 (1990),
55
pp. 949953. Full Text via CrossRef | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (63)
15. J.A. Carcillo and A.I. Fields, American College of
Critical Care Medicine Task Force Committee
Members. Clinical practice parameters for
hemodynamic support of pediatric and neonatal
patients in septic shock, Crit Care Med 30 (2002), pp.
13651378. Full Text via CrossRef | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (208)
16. M. Bettendorf, K.G. Schmitt and J. Grulich Henn et al.,
Tri-iodothyronine treatment in children after cardiac
surgery a double blind, randomized placebo controlled
study, Lancet 356 (2000), pp. 529534. Article | PDF
(100 K) | View Record in Scopus | Cited By in Scopus
(85)
17. L. Roytblat, D. Talmor and M. Rachinsky et al.,
Ketamine attenuates the interleukin 6 response after
cardiopulmonary bypass, Anesth Analg 87 (1998), pp.
266271. Full Text via CrossRef | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (55)
18. N.J. Thomas and J.A. Carcillo, Hypovolemic shock in
the pediatric patient, New Horizons 6 (1998), pp. 120
129. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (11)

56
BAGIAN IV

Resusitasi Volume: Kontroversi

Kristaloid vs Koloid
Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume
telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan
praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi
memiliki data-data pendukung. Pada tahun 1998, British
Medical Journal mempublikasi suatu meta-analisis
pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji
klinik acak dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419
pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya
1
albumin meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD) .
Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran,
mempengaruhi klinisi mengurangi penggunaan albumin,
tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan
berikutnya tidak bisa menjelaskan kesimpulan para
2
penulis . Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline
versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru
3,4
tentang isu ini Dengan tersedianya berbagai koloid
dengan sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid
vs koloid menjadi isu tambahan.

Sifat-Sifat Anti-Radang dan Antioksidan dari Albumin

Tiol memiliki berbagai fungsi antioksidan yang penting,


dan pasien sepsis sering mengalami deplesi tiol. Pada
5
kajian Quinlan dkk, albumin ditunjukkan meningkatkan
57
kadar tiol plasma pada pasien sepsis. Albumin juga telah
ditunjukkan meningkatkan glutation pada sel epitel paru
dan menghambat NF-kappaB. Pada pasien hipo-
proteinemia dengan acute lung injury (ALI) yang
diberikan albumin, kenaikan tiol plasma dan kapasitas
6
antioksidan diperlihatkan baru-baru ini oleh Quinlan dkk. .
Pemberian albumin memperbaiki status antioksidan
plasma yang tergantung tiol, serta kadar kerusakan
oksidasi protein. Jadi, tampaknya albumin memiliki
beberapa efek fisiologis, termasuk memperkuat potensial
antioksidan dan modulasi imbang redoks, sehingga
mengurangi proses radang.

Albumin dan Ruang Intravaskuler

Mungkin ada kaitan antara kadar albumin dan keparahan


penyakit pada pasien sakit kritis. Namun tidak ada
korelasi jelas antara skor APACHE II dan kadar albumin
pada hari masuk ICU, sebagaimana diperhatikan oleh
7
Neil Soni,MD . Namun 72 jam setelah pasien masuk ICU,
pasien yang bertahan hidup memiliki kadar albumin lebih
tinggi dibanding yang meninggal. Di samping itu,
walaupun ada korelasi antara COP (colloid osmotic
pressure) dan protein total, tidak ada korelasi antara
albumin dan COP. Lebih dari itu, bila pasien sepsis diberi
infus albumin, diamati kenaikan COP yang tidak bertahan
lama, dan jumlah albumin di kompartemen intravaskuler
cepat menurun. Di samping itu, suplementasi albumin
58
tidak memiliki efek bermakna dalam mengurangi
permeabilitas mikrovaskuler pada pasien sepsis dengan
8
hipoalbuminemia berat.
Permeabilitas paru telah dipelajari pada pasien ALI dan
ARDS ( adult respiratory distress syndrome ). Ditunjukkan
bahwa permeabilitas berkorelasi positif dengan
keparahan penyakit dasar dan berkorelasi negatif dengan

survival (makin parah penyakit, makin tinggi


permeabilitas, dan makin tinggi permeabilitas, makin
rendah survival) pada populasi pasien ini. Ini bisa
membantu menjelaskan apakah ARDS bersifat eksudatif
9
atau noneksudatif. Dengan kemampuan menentukan
permeabilitas secara kuantitatif, marker prognostik
menjadi tersedia bagi klinisi.

Albumin berfungsi sebagai plasma expander hiperonkotik


dan bila digabung dengan furosemid, bisa memperkuat
perpindahan cairan. Pada studi yang tidak dipublikasi
terhadap 24 pasien sepsis, bolus 200 ml albumin 20%
secara bermakna meningkatkan cardiac index dalam 1
menit. Namun peningkatan ini tidak menetap, melainkan
turun secara progresif dalam 30 menit berikutnya (Dr
Soni). 7 Efek-efek yang sama terlihat dengan perubahan
tekanan arteri pulmonalis dan pO 2
. Pada suatu telaah
lain dari 37 pasien ALI, furosemid dan albumin yang
diberikan sekaligus, menghasilkan penurunan berat

59
10
badan dan meningkatkan rasio pO 2 /FIO 2 . Namun tidak
diamati perbedaan dalam mortalitas.

Mengukur efek ekspansi volume: Hematokrit


pembuluh darah besar vs Hematokrit sistemik
11
Markus Rehm, MD, membahas efek-efek 2 metode
pemberian koloid terhadap volume darah total: acute
normovolemic hemodilution (ANH) dan volume loading
(VL). ANH memerlukan pengambilan darah dan diganti
sekaligus dengan sejumlah setara volume kristaloid atau
koloid untuk mempertahankan volume sirkulasi. Acute
hypovolemic hemodilution atau VL adalah pemberian
infus kristaloid atau koloid tanpa pengambilan darah.

Dalam praktek, efek pemberian infus diukur secara tidak


langsung dengan hematokrit pembuluh darah besar.
Namun, taksiran akurat dari volume darah harus
memperhitungkan dua volume lain (volume sel dan
volume plasma). Oleh karena itu dengan menggunakan
pengukuran volume darah berlabel ganda untuk
menaksir hematokrit sistemik, suatu cara yang lebih
akurat untuk menaksir volume darah, efek-efek koloid
dan kristaloid terhadap volume darah dinilai selama VL
12
dan ANH oleh Rhem dkk. . Dua puluh pasien yang
menjalani histerektomi total diberikan koloid 20 ml/kg
sebelum pembedahan; kelompok 1 mendapat larutan
albumin 5% (n=10) dan kelompok 2 mendapat larutan
60
hetastarch 6% (n=10). Volume plasma (teknik
pengenceran indocyanine green), volume eritrosit
(eritrosit ditandai dengan fluorescein), hematokrit, protein
total, dan kadar hetastarch plasma (kelompok 2) diukur
sebelum dan 30 menit setelah akhir infusi. Secara
keseluruhan, lebih dari 1350 koloid (kira-kira 50% dari
volume plasma semula) diinfus dalam 15 menit.

Tigapuluh menit setelah infus selesai, volume darah


hanya bertambah sebesar 524 ml (38%) dari baseline
pada kelompok 1 dan 603 ml (26%) pada kelompok 2.
Hematokrit pembuluh darah besar (diukur dengan
sentrifuge) berkurang lebih dari pada hematokrit sistemik.
Hasil-hasil ini berbeda dengan kajian-kajian yang menilai
ANH, di mana sebagian besar volume koloid terlihat
bertahan di ruang intravaskuler.

Kemungkinan penyebab dari perbedaan hasil ini adalah


glikokaliks endotel ( endothelial surface layer atau ESL),
yang berisi elemen non-seluler dari darah dan tanpa sel-
sel darah merah. ESL merupakan struktur dinamis yang
menyelubungi sel endotel yang melapisi enzim-enzim
dan reseptor di permukaan endotel. ESL yang
mengandung plasma dan protein non-sirkulasi berfungsi
sebagai zona eksklusif untuk eritrosit. Selama VL, ESL
dapat berkurang, sehingga memobilisasi plasma dan me-
ningkatkan volume plasma intravaskuler. Ini
menyebabkan perbedaan antara hematokrit pembuluh
61
darah besar dan hematokrit sistemik. Di samping itu,
volume efek rendah selama VL dapat dijelaskan oleh aksi
ANP (atrial natriuretic peptide), yang menambah filtrasi
cairan dan permeabilitas pembuluh darah terhadap
makromolekul.

Sebagai kesimpulan, tampaknya ada 3 kompartemen

volume darah: volume eritrosit, volume plasma sirkulasi,


dan volume plasma non-sirkulasi di dalam lapisan
permukaan endotel. Efek volume dari koloid bervariasi
menurut metode pemberian infus (misal ANH vs VL),
namun albumin 5% dan HES 6% memiliki efek ekspansi
volume serupa. Penurunan hematokrit pembuluh darah
besar tidak mencerminkan penambahan volume darah
intravaskuler total yang disebabkan pemberian infus
koloid. Pengukuran volume darah label ganda untuk
pengukuran hematokrit sistemik merupakan standar
emas untuk menentukan efek berbagai produk untuk
ekspansi volume.

Ekspansi Volume pada Pasien ALI (Acute Lung


Injury)

ALI merupakan komplikasi lazim setelah kehilangan


darah atau sepsis, sebagaimana dicatat oleh Arthur
13
Slutsky, MD. ALI berhubungan dengan peningkatan
produksi sitokin peradangan dan pelepasan radikal-
bebas oksigen. Sepsis berat dan kehilangan darah
62
massif bisa menyebabkan hipotensi dan pasien
membutuhkan intubasi endotrakea, namun tidak jelas
cairan apa yang optimal untuk resusitasi volume pada
pasien ALI. Kristaloid bocor ke ruang ekstravaskuler. Di
samping mencegah kebocoran ke rongga ketiga, albumin
memiliki efek anti-radang dan anti-radikal bebas.

14
Pada kajian tikus oleh Zhang dkk, Larutan Ringer laktat
dibandingkan dengan albumin 5% dan albumin 25%.
Tikus diinduksi perdarahan atau endotoksemia,
kemudian diresusitasi dengan ketiga cairan. Setelah
resusitasi kadar sitokin darah ( tumor necrosis factor
[TNF]-alfa, interleukin [IL]-6 dan macrophage
inflammatory protein [MIP]-2 ) diukur. Kemudian paru
dieksisi dan diventilasi selama 2 jam. Perbedaan
mencolok diamati di antara 2 model. Resusitasi dengan
albumin setelah syok hemoragik menurunkan kadar
sitokin pro-inflamatorik (TNF-alfa,IL-6 dan MIP-2 dan
radikal-bebas oksigen) serta meningkatkan sitokin anti-
inflamatorik IL-10. Di paru, TNF-alfa dan MIP-2 juga
berkurang dan IL-10 meningkat (dianggap memiliki efek
protektif). Edema paru setelah ventilasi mekanik juga
berkurang. Kendati demikian, resusitasi dengan albumin
setelah syok endotoksik tidak memberikan efek proteksi
yang sama. Tidak ada perbedaan antara albumin 5% dan
25%. Manfaat albumin yang terlihat pada model syok
hemoragik tidak terlihat pada model syok endotoksik.
63
Tampaknya resusitasi dengan albumin memiliki peran
penting mengurangi ALI yang diinduksi oleh ventilator
setelah syok hemoragik, namun tidak setelah syok
endotoksik.

Pada suatu RCT prospektif,tersamar ganda dan


terkontrol plasebo oleh Martin dkk, 10 efek-efek albumin
dan furosemide dinilai pada 37 pasien ALI dg ventilasi
mekanik yang hipoproteinemik (kadar protein total serum
< 5 g/dl). Pasien diberikan 25 g albumin setiap 8 jam
dengan furosemid kontinyu atau plasebo. Tidak ada
perbedaan mortalitas antara kedua kelompok, tetapi ada
perbedaan bermakna dalam parameter-parameter
imbang cairan, oksigenasi dan hemodinamik pada
kelompok albumin/ furosemid.

Data kolektif memberi kesan bahwa albumin mungkin


bermanfaat pada ALI yang diinduksi ventilator setelah
model syok hemoragik dan pada pasien ALI dg
hipoproteinemia. RCT yang lebih besar dibutuhkan untuk
konfirmasi.

SAFE Study

Dalam suatu metaanalisis baru-baru ini, terlihat


peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang diberi
15
albumin. Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat
yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan
64
implementasi SAFE study, yang disajikan oleh Simon
4
Finfer,MD. Uji acak tersamar ganda ini merekrut 7000
pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru selama
kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin
4% atau normal saline sejak saat masuk ICU sampai
meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio
albumin: saline adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume

(koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada


perbedaan antara kedua kelompok dalam mortalitas 28
hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral,
denyut jantung dan insiden gagal organ baru juga serupa
pada kedua kelompok.

Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara


pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian
pada pasien dengan sepsis berat yang menerima
albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada pasien
yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05
(P=.059). Hasil ini berlawanan pada pasien trauma.
Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila
albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume
(13,5% vs 10%, P =.055) Bila pasien dengan Traumatic
brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian
adalah 24,6% pada pasien yang mendapat albumin,
dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95%
confidence interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih

65
dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan
angka kematian pada pasien-pasien trauma.

Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin


tampaknya aman selama 28 hari pada populasi pasien
sakit kritis yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada
pasien sepsis berat. Akan tetapi, keamanan pemberian

albumin belum jelas pada pasien trauma, termasuk


traumatic brain injury (TBI). Walaupun diamati perbedaan
mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub-
kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini
merupakan signal kuat khususnya pada pasien TBI.
Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk
memeriksa perbedaan-perbedaan ini.

Ekspansi Volume pada Pasien Hipoalbuminemia

Studi SOAP ( Sepsis Occurence in Acutely Ill Patients )


mencatat variasi bermakna dalam jumlah albumin yang
diberikan pada beberapa ICU di Eropa, menurut Louis
16
Vincent,MD.
Lebih dari itu, pasien-pasien yang mendapat albumin
memiliki angka kematian lebih tinggi, yang bisa
dijelaskan oleh fakta bahwa penyakit mereka lebih berat
ketika memulai pengobatan. Alasan-alasan yang
mungkin untuk keparahan penyakit lebih besar meliputi
kelebihan beban cairan, kontraktilitas miokard yang

66
berubah, perburukan edema, gangguan ekskresi natrium
dan air, serta respon imun yang berubah.

Walaupun albumin mahal, manfaatnya harus diperiksa


pada pasien hipoalbuminemia. Biasanya diajarkan bahwa
resusitasi dengan kristaloid menyebabkan pembentukan
edema pada pasien sepsis dan kemudian mengganggu

pertukaran gas, penyembuhan jaringan, fungsi usus dan


penyembuhan kulit, serta memacu pembentukan ulkus
dekubitus. Koloid bisa mencapai tujuan resusitasi yang
sama seperti kristaloid dengan volume yang dibutuhkan
lebih sedikit. Koloid sintetik tidak semahal albumin
manusia tetapi memiliki efek-efek yang lebih merugikan
seperti koagulopati dan gagal ginjal.

Pasien sakit kritis lazim mengalami hipoalbuminemia


yang sekunder terhadap peradangan, disfungsi hati,
malnutrisi, kebocoran kapiler dan produksi reaktan fase
akut. Hipoalbuminemia merupakan masalah klinis yang
penting karena terkait dengan anergi, diare, masa rawat
ICU lebih lama dan mortalitas lebih tinggi. Pada suatu
meta-analisis dari 90 kajian cohort yang melibatkan
291433 pasien, disimpulkan bahwa hipoalbuminemia
diikuti dengan prognosis jelek, sehingga albumin
17
sebaiknya digunakan bila ada indikasi klinis. Pada
meta-analisis yang sama, juga ditinjau 9 kajian prospektif
dengan kontrol terhadap 535 pasien. Pada kajian-kajian
67
ini hipoalbuminemia dikoreksi dan ada kesan bahwa
angka komplikasi bisa diturunkan bila kadar albumin
serum dipertahankan di atas 30 g/L selama pemberian
albumin.

Pada suatu kajian retrospektif terhadap 19.578 pasien


CABG, sedikit penurunan (bermakna statistik) dalam

mortalitas didapatkan pada pasien yang mendapat


albumin vs koloid sintetik (2,5% vs 3%, P =0.02) sebagai
plasma expander.[18] Menurut penulis, keunggulan
albumin ini disebabkan lebih sedikitnya koagulopati dan
perdarahan yang terkait. Pada pasien sirosis dan
peritonitis bakterial spontan, penambahan albumin ke
19
regimen terapi mengurangi mortalitas. dan albumin
diperlihatkan memperkuat efek terlipressin pada pasien
20
dengan sindrom hepatorenal.

Sebuah RCT kecil dan prospektif (albumin vs plasebo)


yang memeriksa efek albumin pada 100 pasien sakit
kritis dengan hipoalbuminemia memperlihatkan tidak ada
perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pasien
yang mendapat albumin memiliki kadar albumin serum
lebih tinggi, skor SOFA ( Sequential Organ Failure
Assessmen t) lebih rendah dan rasio pO 2
/FIO 2 lebih tinggi.
Pasien yang diberi albumin juga membutuhkan lebih
sedikit diuretik, peningkatan berat badan lebih sedikit dan
mereka lebih sanggup menyerap kalori (sehingga
68
menghindari imbang nitrogen negatif) dibandingkan
kelompok plasebo.

Kesimpulan Albumin vs kristaloid

Apakah kontroversi koloid vs kristaloid pada pasien sakit


kritis sudah berakhir? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
penting diperhatikan bagaimana permasalahan
berevolusi. Koloid menghasilkan efek hemodinamik sama
dengan volume infus lebih sedikit dan menyebabkan
lebih sedikit edema. Dan walaupun koloid lebih mahal,
profil keamanannya tidak ditanyakan dengan serius,
15
sebelum meta-analisis Cochrane menimbulkan gejolak
di kalangan praktisi rawat kritis.

Setelah memeriksa 30 RCT yang melibatkan 1419


pasien, RR kematian dengan pemberian albumin
dilaporkan setinggi 1,68 (1,26 sampai 2,23).[15].
Berdasarkan data-data ini, ada kesan bahwa untuk setiap
17 pasien sakit kritis yang mendapat albumin, terjadi
penambahan kematian 1 pasien. Ini merupakan data
yang mengkhawatirkan mengingat jumlah pasien sepsis
yang perlu diterapi untuk menyelamatkan jiwa dalam
kisaran 5-30 %. Jadi 1 dari 17 pasien yang diterapi
albumin meninggal, ini bisa membatalkan manfaat-
manfaat dari intervensi lain. Bisa dibayangkan dampak
dari pernyataan ini terhadap penggunaan albumin di ICU
seluruh dunia.
69
Wilkes dkk[2] mengikuti meta-analisis lainnya terhadap
55 uji klinis yang melibatkan 3504 pasien. Mereka
15
mengkritik analisis Cochrane sebagai desain salah dan
setelah menganalisis data mereka sendiri berkesimpulan
secara umum tidak ada efek albumin terhadap mortalitas.
Temuan ini mendukung keamanan albumin.

Berkaitan dengan keraguan yang ditimbulkan oleh hasil-


hasil yang berlawanan dari kedua meta-analisis di atas,
penyelesaian SAFE study ditunggu dengan harapan
besar. Dan sekarang kita tahu bahwa albumin memiliki
keamanan sama dengan saline pada pasien nontrauma.
Namun ini bukan pembenaran atas pemakaian albumin
secara rutin. Debat kristaloid vs koloid merupakan
peninggalan dari debat ARDS sebelumnya. Pada kedua
kasus, kajian-kajian dengan masalah metodologi
menghasilkan ketidakpastian di komunitas intensivist,
yang ketika itu evidence-base medicine belum ber-
kembang.
Walaupun ada subkelompok pasien yang mendapat
manfaat dari albumin (yaitu pasien dengan sirosis dan
peritonitis bakterial spontan) serta alasan-alasan
mempertimbangkan albumin dalam terapi pasien ALI
dengan sepsis hipoalbuminemia, belakangan ini belum
ada data yang meyakinkan untuk penggunaan albumin

70
secara rutin karena harganya lebih mahal dari kristaloid
saline.
Koloid Sintetik
Tabel . Karakteristik dari berbagai koloid diberikan di bawah

71
Efek berbagai koloid dan larutan hipertonik pada
21
mikrosirkulasi

Perubahan-perubahan permeabilitas kapiler bisa


mengubah volume plasma dan mempengaruhi derajat
edema. Kinetika kristaloid dan koloid yang dibahas
sebelumnya mengacu pada pembuluh darah yang utuh.
Pada penyakit-penyakit dengan permeabilitas kapiler
yang meningkat, terapi cairan yang adekuat sangat
penting untuk mencegah hipovolemia. Mekanisme
perbedaan-perbedaan dalam efektivitas berbagai plasma
expander untuk memulihkan volume plasma yang rendah
dan gangguan mikrosirkulasi masih belum dipahami
dengan jelas. Hollbeck Staffan dari Lund University
Hospital melakukan eksperimen pada tahun 2001 yang
menganalisis koloid dan plasma expander hipertonik,
mengenai efek-efek cairan-cairan tersebut terhadap
pertukaran cairan transvaskular dan permeabilitas otot
rangka selama dan setelah pemberian infus. Di samping
itu, efek terhadap permeabilitas dianalisis pada otot
rangka menyusul infus endotoksin. Pengukuran koefisien
filtrasi kapiler memperlihatkan bahwa permeabilitas
cairan dikurangi oleh albumin dan dextran, tidak berubah
dengan HES (hetastarch) dan bertambah dengan gelatin.
Pengukuran terhadap koefisien refleksi untuk albumin
memperlihatkan dextran, gelatin dan HES tidak
mempengaruhi permeabilitas kapiler terhadap albumin.
NaCl hipertonik meningkatkan permeabilitas cairan,
72
sedangkan manitol dan urea tidak. Volume otot
berkurang 20% albumin; tidak berubah dengan 6%
dextran 70 dan 6% HES 200/0.5, serta meningkat
dengan 3.5% gelatin. Gelatin dan HES, (tetapi tidak
dextran dan albumin) menginduksi rebound filtration . Ini
menunjukkan akumulasi molekul gelatin dan HES di
interstisial. NaCl hipertonik memiliki kapasitas osmotik

lebih kuat dibandingkan manitol dan urea. Manitol dan


urea (tetapi tidak NaCl hipertonik) memperlihatkan
rebound filtration yang menunjukkan akumulasi manitol
dan urea di dalam intraselular. Selama endotoksemia,
baik permeabilitas cairan dan albumin meningkat pada
otot rangka, dan hipovolemia terlihat mencolok. Tidak
ada perbedaan terlihat antara albumin, dextran, dan
hydroxyethyl starch dalam efektivitasnya memulihkan
perfusi usus selama endotoksemia.

73
Pengaruh Berbagai Koloid Terhadap Fungsi Ginjal

Semua koloid, termasuk albumin manusia hiperonkotik


(HA 20% atau 25%) dapat menginduksi gagal ginjal akut
(ARF) 22 dengan cara meningkatkan tekanan osmotik
koloid plasma. Kondisi ini sudah diberi
nama hyperoncotic ARF . Pasien dehidrasi yang
mendapat koloid hiperonkotik dalam jumlah bermakna
tanpa penambahan kristaloid sangat rentan untuk
mengalami hyperoncotic ARF .
Suatu kajian pada pasien non-bedah dan non-ICU, efek
renal dari albumin 20% dibandingkan dengan dextran 70
dan poligeline pada pasien sirosis yang menjalani
parasentesis. Enam hari setelah parasentesis, kadar
kreatinin serum tidak berubah pada kelompok albumin
dan sedikit meninggi pada kelompok dextran (kenaikan
rata-rata 0,06 mg/dl) dan kelompok gelatin (kenaikan
rata-rata 0,11 mg/dl), Namun perbedaan antara
kelompok tidak bermakna statistik. Beberapa kajian
histologis telah memperlihatkan pembengkakan sel
tubulus ginjal setelah pemberian beberapa sediaan HES,
yang kemungkinan disebabkan reabsorpsi makromolekul.
Pembengkakan sel tubulus menyebabkan obstruksi
tubulus dan iskemia medula. Pada pasien dengan
kreatinin serum > 2-3 mg/dl HES harus digunakan
dengan hati-hati. HES generasi ketiga (BM 130 kd; DS
0,4) memiliki profil berbeda dengan generasi-generasi
74
sebelumnya. Namun, walaupun ada publikasi bahwa
HES 130 tidak memperburuk fungsi ginjal, tidak
ditemukan kajian prospektif besar dan terkontrol pada
pasien sakit kritis
Catatan
1. RCT = randomi zed clinica l trial
2. OR (Odds Ratio)
No of patients in the treatment group who experienced event/ No who did not

No of patients in the control group who experienced event/ No who did not

3. RR (Relative Risk)
No of patients in the treatment group who experienced event/ No of all patients

No of patients in the control group who experienced event/ No of all patients

A relative risk of 1 means there is no difference in risk between the

two groups.

A RR of < 1 means the event is less likely to occur in the

experimental group than in the control group.

A RR of > 1 means the event is more likely to occur in the


experimental group than in the control group.

4. Terlipressin adalah analog vasopressin yang digunakan


sebagai obat vasoaktif dalam manajemen hipotensi. Diketahui efektif
bila norepinefrin tidak menolong Indikasi adalah syok septik yang
resisten terhadap noreepinferin dan sindrom hepatorenal. Di samping
itu digunakan juga pada perdarahan varises esofagus.

Referensi
1. Evans T. Biochemical properties of albumin. Program
and abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
2. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human
albumin administration. A meta-analysis of randomized,

75
controlled trials. Ann Intern Med. 2001;135:149-164.
Abstract
3. Finfer S. Lessons from the SAFE Study. Program and
abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
4. Finfer S. Is albumin SAFE? Program and abstracts of
the 24th International Symposium on Intensive Care
and Emergency Medicine; March 30-April 2, 2004;
Brussels, Belgium.
5. Quinlan GJ, Margarson MP, Mumby S, et al.
Administration of albumin to patients with sepsis
syndrome: a possible beneficial role in plasma thiol
repletion. Clin Sci. 1998;95:459-465. Abstract
6. Quinlan GJ, Mumby S, Martin GS, Bernard GR,
Gutteridge JM, Evans TW. Albumin influences total
plasma antioxidant capacity favorably in patients with
acute lung injury. Crit Care Med. 2004;32:755-759.
Abstract
7. Soni N. Albumin may help lung function. Program and
abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
8. Margarson MP, Soni NC. Effects of albumin
supplementation on microvascular permeability in
septic patients. J Appl Physiol. 2002;92:2139-2145.
Abstract
9. Hoegerle S, Benzing A, Nitzsche EU, et al.
Radioisotope albumin flux measurement of
microvascular lung permeability: an independent
76
10. Martin GS. Fluid balance and colloid osmotic pressure
in acute respiratory failure: emerging clinical evidence.
Crit Care. 2000;4(suppl 2):S21-25. Abstract
11. Rehm M. Colloid administration during hemodilution.
Program and abstracts of the 24th International
Symposium on Intensive Care and Emergency
Medicine; March 30-April 2, 2004; Brussels, Belgium.
12. Rehm M, Haller M, Orth V, et al. Changes in blood
volume and hematocrit during acute preoperative
volume loading with 5% albumin or 6% hetastarch
solutions in patients before radical hysterectomy.
Anesthesiology. 2001;95:849-856. Abstract
13. Slutsky A. Albumin may protect the lungs. Program
and abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
14. Zhang H, Voglis S, Kim CH, et al. Effects of albumin
and Ringer's lactate on production of lung cytokines
and hydrogen peroxide after resuscitated hemorrhage
and endotoxemia in rats. Crit Care Med.
2003;31:1515-1522. Abstract
15. The SAFE Study Investigators. A comparison of

albumin and saline for fluid resuscitation in the


intensive care unit. N Engl J Med. 2004;350:2247-
2256. Abstract
16. Vincent J-L. Still a place for albumin? Program and

abstracts of the 24th International Symposium on

77
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
17. Vincent JL, Dubois MJ, Navickis RJ, et al.
Hypoalbuminemia in acute illness: is there a rationale
for intervention? A meta-analysis of cohort studies and
controlled trials. Ann Surg. 2003;237:319-334.
Abstract
18. Sedrakyan A, Gondek K, Paltiel D, et al. Volume

expansion with albumin decreases mortality after


coronary artery bypass graft surgery. Chest.
2003;123:1853-1857. Abstract
19. Sort P, Navasa M, Arroyo V, et al. Effect of

intravenous albumin on renal impairment and mortality


in patients with cirrhosis and spontaneous bacterial
peritonitis. N Engl J Med. 1999;341:403-409. Abstract
20. Ortega R, Gines P, Uriz J, et al. Terlipressin therapy

with and without albumin for patients with hepatorenal


syndrome: results of a prospective, nonrandomized
study. Hepatology. 2002;36:941-948. Abstract
21. Holbeck S, Grnde P-O: Effects on capillary fluid

permeability and fluid exchange of albumin, dextran,


gelatin, and hydroxyethyl starch in cat skeletal muscle.
Critical Care Medicine 2000; 28: 1089-1095.
22. Boldt, J, Joachim H Priebe, Intravascular Volume

Replacement Therapy with Synthetic Colloids: Is


There an Influence on Renal Function? Anesth Analg
2003;96:376-382

78
BAGIAN V

RANGKUMAN MANAJEMEN
SYOK PADA ANAK
Tabel V.1 Jenis-jenis syok pada pasien anak. CO = cardiac output,
SVR= systemic vascular resistance, JVD = jugular venous distention.
Dari McKiernan CA, Lieberman SA. Pediatr Rev. 2005;26(12):451-60.

Jenis Syok Mekanisme Tanda dan gejala Intervensi


gagal
sirkulasi
Hipovolemik Deplesi Takikardia, nadi Bolus kristaloid 20
volume lemah, mata dan ml/kg sampai
absolut atau fontanela cekung, hemodinamik
relatif, CO , oliguria, capillary refill membaik, nilai lagi
SVR memanjang setelah setiap
bolus, produk
darah pada syok
hemoragik
Kardiogenik CO , SVR Takikardia, nadi Obat inotropik
lemah, hepatomegali, dopamin,
JVD dobutamin,
epinefrin, milrinon
Bolus kecil 5-10
ml/kg dapat
diberika n dengan
hati-hati sambil
memantau respon.
Periksa
ekokardiogram dini
Distributif
Anafilaktik CO , then Angioedema, distres Beri dukungan
Neurogenik , SVR pernapasan, stridor, adrenergik sambil
wheezing, hipotensi berikan cair an,
dini cepat pasang infus
jaga, mungkin
dibutuhkan dosis
tinggi inotropik
CO normal, Hipotensi tanpa ada Naikkan SVR
SVR takikardia dengan
vasopresor,
fenilefrin mungkin
dibutuhkan, beri

79
cairan seperlunya
Septik Syok Takikardia, nadi kuat, Bolus kristaloid 20
hangat CO ekstremitas hangat ml/kg ulang sampai
, SVR , 0% dengan hemodinamik
kasus hipotensi,hiperpnea, stabil, vasopresor
pediatrik) perubahan status pilihan pertama
mental (dopamin atau
norepinefrin)
Syok Takikardia,perfusi Bolus kristaloid 20
dingin CO perifer buruk, nadi ml/kg ulang sampai
, SVR lemah, hiperpnea, hemodinamik
(60% kasus perubahan status stabil, dukungan
pediatrik) mental inotropik dini
dengan dopamin
atau epinefrin
mungkin
dibutuhkan,
ekokardiografi
mungkin
membantu
memandu terapi
CO , SVR Takikardia,perfusi Bolus kristaloid 20
perifer buruk, nadi ml/kg ulang sampai
lemah, hiperpnea, hemodinamik
perubahan status stabil, dukungan
mental inotropik dini
dengan dopamin
atau epinefrin
mungkin
dibutuhkan,
ekokardiografi
mungkin
membantu
memandu terapi
Obstruktif Preload , Takikardia, hipotensi, Cepat fatal jika
CO , SVR JVD, deviasi trakea proses dasar tidak
normal jika pnemotoraks, terdeteksi atau
sampai penyamaan tekanan dipulihkan, bolus
dengan CVP yang cairan harus
meninggi jika dipasang diberikan
pemantauan invasif sementara
mempersiapkan
drainase darurat

80
Table V. 2 Tanda klinis syok hemoragik pa da anak denga n berbagai
derajat kehilangan darah

% Tanda klinis
darah HR TD Capillary Frekuensi Jumlah Status
hilang refill napas urin mental
< 15 Normal Normal Normal Normal Normal Cemas
normal Atau
Atau meni ngkat
sedikit
naik
15-25 Sedikit Mungkin > 2 detik Takipnea Normal Cemas,
naik berkurang ringan sampai Mungkin
sedikit gaduh
berkurang
25-40 naik Turun > 2 detik Takipnea sedikit Cemas,
sedang (<0,5 bingung
ml/kg/jam)
> 40 Naik Turun >2 detik Takipnea Absen Bingung,
berat letargi,
tidak
responsif

Table V. 3. Obat-obat kardiovaskular

Obat Reseptor Kerja Dosis


Dopamin Dopamin, ,a Kronotropi, 3-20
inotropi,vasokonstriksi mcg/kg/menit
Dobutamin Kronotropi, inotropi, 5-20
vasodilatasi mcg/kg/menit
Epinefrin ,a Kronotropi, 0,05-0,2
inotropi,vasokonstriksi mcg/kg/menit
Norepinefrin a, Vasokonstriksi, 0,01-2
kronotropi, inotropi mcg/kg/menit
Milrin on PDE inhibitor Inotropi, lusitropi, 0,25-4
vasodilatasi mcg/kg/menit
Nitroprusid Donor NO, Vasodilatasi 0,5-10
relaksasi otot mcg/kg/menit
polos
Vasopresin Reseptor V1 di vasokonstriksi 0,3-4
pembuluh mU/kg/menit
darah

81
Gambar 1. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada bayi
dan anak

82
Gambar 2. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada
neonatus

PPHN =persistent pulmonary hypertension


ECMO = extracorporeal membrane oxygenation

83
Gambar 3 . Tatalaksana syok pada anak dengan dehidrasi
berat

Usia Pertama beri Selanjutnya beri


30 ml/kg 70 ml/kg dalam :
dalam :

*
Bayi (<1 tahun) 1 jam 5 jam
*
Anak (>1 tahun) jam 2 jam
Catatan:
- Ringer laktat/ Ringer asetat diberikan pada 1 jam tahap
pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat diberikan
KAEN 3B atau Half strength Darrow (HSD) untuk mengatasi
hipokalemia.
- KAEN 3B mengandung: Na +
50,K + 20,Cl - 50 dan Laktat 20
mEq/L, glukosa 27 g/L; HSD : Na +
60,K + 17,Cl - 52 dan Laktat
25 mEq/L, glukosa 25 g/L .

- Setelah 6 jam (Bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi


dengan menggunakan tabel penilaian dehidrasi dan tentukan
rencana terapi selanjutnya sesuai status dehidrasi (A,B, C).
- *Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau
tidak teraba

84
BAGIAN VI

ILUSTRASI KASUS

Seorang anak laki-laki 3 tahun tertabrak mobil ketika


berlari ke jalan mengambil bola. Ketika paramedik
sampai di tempat kejadian, si anak tidak sadar dan
banyak luka lecet di wajah, dada, abdomen dan
ekstremitas. Paha kanan deformitas dan bengkak.
Karena napas sangat dangkal, segera dilakukan intubasi
dan imobilisasi vertebra servikal. Dua kanula besar
dipasang dan korban dibawa ke IGD .

PF: Tanda Vital: Suhu 37.0, Nadi 160, Frekuensi napas


melalui pipa trakea 20, TD 100/80, saturasi oksigen 97%.
Anak masih tidak responsif dan diventilasi melalui pipa
trakea. Reaksi pupil baik. Ekspansi dada baik.Banyak
lecet pada wajah,dada,abdomen dan ekstremitas bawah.
Abdomen distensi dengan bunyi usus berkurang.
Panggul stabil, tetapi paha kanan jelas bengkak dan
tegang. Perfusi distal ke semua anggota gerak tampak
adekuat. Pemeriksaan fisik lainnya tidak mencolok .

CT scan kepala mengungkap kontusio kecil di lobus


oksipital, tetapi tidak ada edema serebral atau
perdarahan. CT scan abdomen memperlihatkan laserasi
kecil dari limpa dan kontusio ringan dari ginjal kiri. X-foto

85
toraks dan ekstremitas mengungkap pergeseran fraktur
midfemur kanan dan kontusio kecil dari paru kiri. X-
Radiologi vertebra servikal dan panggul normal. Setelah
stabilisasi, pasien di bawa ke PICU. Trauma intrakranial,
paru dan limpa dikelola dengan perawatan suportif dan
fraktur kanan diatasi dengan reduksi terbuka dan fiksasi
internal. Akhirnya pasien dipulangkan dari Rumah Sakit
kira-kira tiga minggu kemudian, dengan neurologi normal.
Si anak bisa kembali main bola setahun berikutnya.

Walaupun anak rentan terhadap mekanisme trauma yang


sama seperti dewasa, respons fisiologik dan psikologik
terhadap trauma sangat unik. Jadi pemahaman seksama
tentang beberapa perbedaan anatomi dan patofisiologi
yang unik dari anak akan meningkatkan kualitas
perawatan selama evaluasi, stabilisasi dan manajemen
pasien trauma anak.

Satu dari perbedaan fisiologis pertama yang sangat jelas


antara anak dan dewasa adalah variasi tanda vital anak
yang normal menurut usia. Pemahaman seksama
terhadap tanda vital mutlak diperlukan untuk bisa
mendeteksi kelainan halus dalam detak jantung dan
nepas anak. Contohnya, takikardia mungkin merupakan
satu-satunya petunjuk adanya syok hemoragik dini pada
anak yang kelihatannya stabil. Takipnea yang tidak
mencolok mungkin merupakan petunjuk paling dini dari

86
kemungkinan trauma intratorakal pada anak dengan
saturasi oksigen normal. Jadi siapapun yang terlibat
dalam perawatan darurat anak harus mengetahui tanda-
tanda vital normal pada anak menurut usia. Metode
sederhana untuk mengingat dengan mudah dan cepat
tanda-tanda vital sebagai berikut:

Frekuensi
Detak
jantung napas

Neonatus sampai usia 1


140 40
tahun

1 sampai 4 tahun 120 30

4 sampai 12 tahun 100 20

>12 tahun 80 15

Kesimpulan dari berbagai perbedaan anatomi penting


pada anak sebagai berikut:
a) Ukuran tubuh lebih kecil.
b) Rasio kepala:badan lebih besar.
c) Rasio permukaan tubuh lebih besar.
d) Trakea lebih pendek dan ukuran lidah relatif lebih besar.
e) Muara glotis lebih ke anterior dan superior.
f) Lebih sedikit otot pelindung dan lemak tubuh.
g) Alat-alat perut lebih ke anterior.
h) Lempeng epifisis lebih rentan terhadap trauma.
87
Karena ukuran tubuh anak lebih kecil, daya trauma bisa
terdistribusi ke luas permukaan tubuh yang lebih besar,
sehingga membuat lebih cenderung trauma mengenai
lebih dari satu sistem. Anak sering mendapat cidera
organ dalam dengan sedikit atau tanpa bukti trauma
pada permukaan eksternal tubuh. Organ dalam anak
lebih rentan terhadap gaya trauma karena jumlah otot

pelindung dan jaringan subkutan sekitarnya lebih sedikit.


Limpa merupakan organ yang paling sering cidera
dengan trauma tumpul abdomen. Kelenturan rangka
anak dan jaringan lunak sekitar juga memungkinkan gaya
trauma ditransmisikan lebih dalam ke struktur interna.
Jadi, sebagai kaidah umum, trauma alat dalam tidak bisa
disingkirkan pada anak semata-mata berdasarkan tidak-
adanya tanda-tanda eksternal dari trauma.

Rasio kepala:badan bayi dan anak yang lebih besar


membuat mereka lebih rentan terhadap trauma kepala
ketika jatuh. Cidera vertebra servikal atas juga lebih
banyak pada bayi dan anak kecil dibanding dewasa.
(dewasa lebih sering mengalami cidera pada servikal
bawah). Ukuran kepala yang lebih besar dan luas
permukaan tubuh yang lebih besar pada anak,
membuatnya lebih rentan dari kehilangan panas dan
hipotermia bila terpapar selama resusitasi.

88
Perbedaan anatomi yang unik dari jalan napas anak
sangat penting diingat ketika menilai dan mengelola jalan
napas, pernapasan dan ventilasi. Trakea yang lebih
pendek, ukuran lidah yang relatif lebih besar dan muara
glotis yang lebih anterior/superior merupakan poin
penting diingat dalam melakukan intubasi pada anak.
Karena epiglotis anak kurang kartilago, pemakaian bilah

(blade) laringoskop lurus mungkin memudahkan intubasi


dibanding bilah lengkung.

Trauma kepala pada anak diikuti dengan angka


morbiditas dan mortalitas tinggi. Trauma ke dada dan
abdomen juga mengakibatkan cukup banyak cacat dan
kematian. Hipoksia dan syok hemoragik adalah lintasan
akhir bersama dari kematian akibat trauma pada anak.
Jadi, perhatian ketat terhadap penilaian jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi (ABC resusitasi) akan
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari trauma anak.

Penilaian dan manajemen pasien trauma dibagi menjadi


survei primer dan survei sekunder. "ABCDE" survei
primer meliputi penilaian komponen-komponen berikut:

A=Airway (imobilisasi vertebra servikal).

B=Breathing.

C=Circulation (dengan kontrol perdarahan).

89
D=Disability (pemeriksaan neurologis singkat untuk
menilai tingkat kesadaran dan ukuran/reaktivitas pupil).

E=Exposure (paparan total pasien untuk bisa menilai


seluruh tubuh akan kemungkinan terkena trauma).

Jadi, komponen utama dari survei primer meliputi


penilaian, stabilisasi dan manajemen semua kondisi akut
yang mengancam jiwa, seperti gangguan jalan napas,
distres pernapasan dan syok hemoragik. Porsi ABC dari
resusitasi trauma pada dasarnya sama dengan resusitasi
lain dengan dua peringatan (caveat). Kedua caveat ini
melibatkan kemungkinan cidera vertebra servikal dan
syok hemoragik. Jembatan keledai untuk mengingat
resusitasi adalah "A-I-R" :

A= Assessment (Penilaian)

I= Interventions (Intervensi)

R= Reassessment (Penilaian kembali) setelah setiap


intervensi)

Selama penilaian dan manajemen jalan napas pasien


trauma, perlu dipikirkan kemungkinan cidera leher dan
mempertahankan imobilisasi vertebra servikal. Ini sangat
penting jika dipertimbangkan intubasi endotrakea, di saat
mana jalan napas tidak boleh kali dibuka dengan

90
menggunakan perasat angkat kepala (head-tilt
maneuver). Buka rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
untuk membuka jalan napas dengan imobilisasi vertebra
servikal merupakan cara paling aman untuk intubasi anak
dengan kemungkinan cidera vertebra servikal.

Dalam menilai pernapasan dan ventilasi, pikirkan selalu


etiologi trauma yang berpotensi mengganggu ventilasi
dan pernapasan, seperti luka dada terbuka,
pnemotoraks, hemotoraks, patah iga, flail chest dan
kontusio paru. Sebagian dari etiologi traumatik ini
mungkin membutuhkan intervensi segera, seperti
torakosentesis jarum dan/atau pemasangan pipa toraks
selama survei primer. Distensi lambung yang juga sangat
sering pada pasien trauma, bisa menghambat upaya
ventilasi sampai kepergeseran diafragma ke atas. Jadi,
pipa orograstrik bisa membantu untuk dekompresi
lambung dan memudahkan ventilasi.

Etiologi Syok tersering pada trauma anak adalah syok


hemoragik, walaupun bisa diikuti oleh syok kardiogenik
(misal, tamponade jantung), obstruktif (misal, tension
pneumothora x) atau neurogenik (misal, syok spinal).
Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular
memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara
tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke
tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan

91
darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan
sampai 30% volume darah sirkulasi. Volume darah
sirkulasi seorang anak adalah 70-80 ml/kg (sedangkan
volume darah sirkulasi dewasa 60 ml/kg). Tekanan
sistolik normal pada anak bisa dihitung dengan rumus:
(Usia X 2) + 90 mmHg. Tekanan diastolik yang
diharapkan adalah 2/3 X (TD sistolik). Mekanisme

kompensasi awal yang harus dicari selama stadium dini


syok hemoragik adalah takikardia. Mekanisme
kompensasi lain yang terjadi untuk mempertahankan
perfusi dan tekanan darah normal adalah meningkatkan
tahanan tepi, yang bermanifestasi sebagai ekstremitas
dingin dan bercak, nadi lemah dan putus-putus, capilary
refill time (CRT) memanjang dan tekanan nadi
menyempit. Jika tanda klinis dini dari syok hemoragik
tidak terindentifikasi dan terkoreksi, anak bisa memburuk
ke stadium preterminal dari syok dekompensata, yang
didefinisikan sebagai hipotensi menurut usia. Hipotensi
(sistolik) pada anak didefinisikan melalui rumus: (Usia X
2) + 70 mmHg. Jadi, anak usia 5 tahun yang diperiksa
dengan TD sistolik awal kurang atau sama dengan 80
mmHg berada dalam fase dekompensata dan sudah
kehilangan paling sedikit 30% dari volume sirkulasi.

92
TD sistolik minimum menurut usia adalah:

a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg

b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg

c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg

Kunci tatalaksana syok hemoragik pada trauma anak


meliputi deteksi tanda dini syok, mengendalikan
tempat/sumber eksternal dari perdarahan, resusitasi
cairan, pertimbangkan terapi pengganti darah dan
keterlibatan tim bedah. Bolus cairan diberikan kristaloid
yang telah dihangatkan 20 ml/kg (misal, normal saline
atau ringer laktat). Harus dinilai kembali parameter
perfusi anak setelah setiap bolus untuk menentukan
apakah diperlukan bolus tambahan. Jika dibutuhkan lebih
dari 40-60 ml/kg larutan kristaloid untuk memulihkan
perfusi yang adekuat, maka harus dipikirkan penggantian
darah. Transfusi bisa berupa 10 ml/kg pRBC yang telah
dihangatkan (bisa tipe spesifik setelah reaksi silang atau
O-negatif pRBC, tergantung pada waktu yang tersedia)
atau sebagai 20 ml/kg whole blood (sekarang tidak rutin
tersedia). Anak yang membutuhkan terapi penggantian
darah mungkin membutuhkan intervensi bedah untuk
mengendalikan perdarahan yang terus berlangsung.
Trauma yang berpotensi perdarahan hebat mencakup
trauma intra-abdomen dan intratorakal, fraktur panggul
93
dan fraktur femur. Sebagai kaidah umum, dianggap
bahwa perdarahan intrakranial tidak menyebabkan syok
hipovolemik/hemoragik. Pengecualian dari kaidah ini
adalah trauma kepala pada bayi. Karena sutura
tengkorak bayi belum menyatu, tengkorak memiliki
kapasitas untuk mengembang dan mengakomodasi
sejumlah besar darah selama perdarahan intrakranial

akut.

Jika ada kesulitan mendapat akses vena untuk resusitasi


cairan dan produk darah, line intraosea (IO) harus
dipakai. Pemasangan line IO bisa dimasukkan langsung
dengan cepat atau bahkan lebih cepat dari pemasangan
akses vena sentral. Walaupun pedoman Pediatric
Advanced Life Support sebelumnya hanya mengizinkan
pemasangan IO luntuk anak berusia di bawah 6 tahun,
pedoman dewasa ini tidak memiliki batasan usia untuk
pemakaian IO pada anak. Walaupun tempat ideal untuk
penempatan IO adalah aspek proksimal dan media dari
tibia (2-3 cm di bawah tuberositas tibia), titik alternatif
adalah aspek anterior distal dari femur (2-3 cm proksimal
terhadap pinggir superior patela). Titik alternatif lain pada
anak yang lebih besar dan dewasa adalah distal tibia (2-3
cm proksimal dari meleolus medialis). Satu-satunya
kontraindikasi klinis untuk pemasangan IO pada tungkai
anak selama resusitasi trauma adalah: a) kecurigaan
fraktur tulang dibawah kulit di mana IO dipasang,

94
dan/atau b) kecurigaan terputusnya alir balik vena di
proksimal dari titik masuk IO.

Survei sekunder mulai dengan evaluasi ulang masalah


yang diatasi selama survei primer dan disusul
pemeriksaan fisik lengkap dari kepala sampai jari kaki
untuk menilai cidera-cidera yang tidak mengancam jiwa
yang tidak teridentifikasi selama survei primer. Penilaian
dan manajemen trauma spesifik dari kepala,leher,toraks,
abdomen,panggul dan ekstremitas berada di luar lingkup
bab ini. Namun indeks kecurigaan yang tinggi harus
selalu memandu penilaian dan manajemen.
Kemungkinan trauma yang bukan kecelakaan(
penganiayaan anak) harus dipikirkan pada keadaan-
keadaan khusus: a) Ketidaksesuaian antara anamnesis
yang diberikan pengasuh dengan temuan pemeriksaan
fisik aktual. b) Trauma yang tidak kompatibel dengan
kemampuan perkembangan neurologis bayi. c)
Kelambatan dalam mencari bantuan medis untuk cidera
serius d) Temuan cidera ganda pada waktu yang tidak
bersamaan. e) Gigitan, tanda, luka rokok atau sabetan
tali. f) luka bakar dengan batas tegas. g) Trauma
kemaluan dan perianal (termasuk luka bakar di kawasan
ini). h) Hematoma subdural ganda. i) Perdarahan retina.
j) Fraktur iga yang melibatkan banyak iga dan/atau pada
waktu yang tidak sama.

95
Resusitasi trauma anak yang berhasil memerlukan lebih
dari sekedar pendekatan sistematik terhadap survei
primer dan survei sekunder. Juga bergantung pada
pemahaman tentang perbedaan anatomi dan
patofisiologi pada anak.

Pertanyaan

1. Prioritas utama dalam fase resusitasi trauma pada


anak adalah:
. . . . . a. Pasang infus jaga.
. . . . . b. Menetapkan dan memelihara terbukanya jalan
napas sambil melakukan imobilisasi vertebra servikal.
. . . . . c. Ambil X-foto dan lab cito untuk memastikan
status pasien secara keseluruhan.
. . . . . d. Meredakan nyeri dengan analgesik intravena
agar lebih mudah melakukan pemeriksaan fisik.

2. Sebab kematian terbanyak pada anak usia >1 tahun:


. . . . . a. Sudden infant death syndrome .
. . . . . b. Aritmia jantung.
. . . . . c. Meningitis.
. . . . . d. Trauma.
. . . . . e. Leukemia.

3. Etiologi syok tersering pada anak dengan trauma:


. . . . . a. Syok neurogenik.
. . . . . b. Syok kardiogenik.
96
. . . . . c. Syok anafilaktik.
. . . . . d. Syok hipovolemik.
. . . . . e. Tension pneumothorax .

4. Tujuan utama survei primer pada resusitasi trauma


meliputi:
. . . . . a. Memperoleh portable radiograph cito dari leher,
dada dan abdomen.
. . . . . b. Penilaian dan stabilisasi jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi.
. . . . . c. Mendapatkan akses vena sentral segera.
. . . . . d. Pemasangan segera intubasi endotrakea untuk
mencegah aspirasi.
. . . . . e. Ahli bedah trauma harus ada untuk
melaksanakan survei primer.

5. Semua pernyataan berikut benar kecuali:


. . . . . a. Mayoritas kematian yang terkait dengan trauma
anak adalah disebabkan kecelakaan lalu lintas.
. . . . . b. Mayoritas trauma yang terjadi pada anak adalah
trauma tumpul bukan trauma tembus..
. . . . . c. Trauma vertebra servikal lebih lazim dari trauma
abdomen.
. . . . . d. Trauma multisistem lazim pada anak yang
mengalami kecelakaan lalu lintas.

97
6. Organ abdomen yang paling sering cidera pada anak
adalah::
. . . . . a. Duodenum.
. . . . . b. Pankreas.
. . . . . c. Hati.
. . . . . d. Ginjal.
. . . . . e. Limpa.

7. Kawasan tubuh yang mana tersering mengalami


trauma serius?
. . . . . a. Kepala.
. . . . . b. Leher.
. . . . . c. Dada.
. . . . . d. Abdomen.

8. Mana dari skenario berikut paling mencurigakan


adanya penganiayaan anak?
. . . . . a. Anak usia 2 th dengan fraktur tibia setelah
dilaporkan jatuh ketika turun beberapa langkah anak
tangga.
. . . . . b. Anak usia 1 th dengan hematoma pada kening
setelah dilaporkan jatuh dari kereta bayi.
. . . . . c. Bayi usia 3 bulan dengan fraktur femur tanpa
dislokasi setelah dilaporkan jatuh dari meja.
. . . . . d. Anak usia 3 th dengan fraktur spiral dari tibia
setelah dilaporkan tungkainya terkilir ketika jatuh dari
sepeda roda tiga.

98
Dikutip dari: Yamamoto LG. Multiple Trauma in a 2-Ye ar Old. In:
Yamamoto LG, Inaba AS, DiMauro R (e ds). Radiology Cases In
Pediatric Emergency Medicine, 2002, volume 7, case 8.

Referensi

1. Inaba AS, Seward PN. An approach to pediatric


trauma: Unique anatomic and pathophysiologic
aspects of the pediatric patient. Emerg Med Clin North
Am 1991;9(3):523-548.

2. Pediatric Trauma. In: American College of


Emergency Physicians and American Academy of
Pediatrics. Advanced Pediatric Life Support Instructor
Manual. 1998, Dallas: ACEP, pp. 75-87.

3. Inaba AS. A simple way to remember pediatric vital


signs. Contemp Pediatr 2002;19(1):16.

4. American College of Surgeons. Chapter 10-Pediatric


Trauma. In: Advanced Trauma Life Support Instructor
Course Manual, Sixth Edition. 1997, Chicago: First
Impression, pp. 353-375.

Jawsaban pertanyaan

1.b, 2.d, 3.d, 4.b, 5.c, 6.e, 7.a, 8.c

99
BAGIAN VII

DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)

Tanda peringatan adanya ancaman syok:

(1) nyeri abdomen hebat dan terus menerus

(2) perubahan dari demam ke hipothermia, dengan


keringatan dan lelah

(3) muntah-muntah persisten

(4) gelisah atau letargi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mempublikasi


pedoman untuk diagnosis DSS. Diagnosis DSS
ditegakkan jika ada: demam 2-7 hari, tes turniket positif
dan atau perdarahan spontan, trombositopenia
3
(<100.000 m ), bukti kebocoran kapiler (hematokrit >20%
di atas rata-rata yang diharapkan, penurunan hematokrit
sebesar < 20% dari nilai semula setelah resusitasi cairan,
bukti klinis efusi pleura atau asites), dan gagal sirkulasi
dengan tekanan nadi < 20 mmHg atau hipotensi (DHF III
DSS). Syok dalam bisa terjadi (DHF IV DSS) dan
didefinisikan sebagai nadi dan tekanan darah tak
terdeteksi.

Perubahan-perubahan penting dalam tekanan darah


terjadi saat DSS memburuk, termasuk tahanan tepi yang
100
meningkat dan curah jantung yang berkurang dengan
tekanan vena sentral normal atau rendah. Syok tidak
disebabkan oleh gagal jantung bendungan, melainkan
karena pengumpulan darah di vena. Dengan
meningkatnya gangguan kardiovaskular, tekanan
diastolik naik ke arah sistolik dan tekanan nadi
menyempit. Akhirnya, dekompensasi terjadi dan kedua

tekanan (sistolik dan diastolik) tiba-tiba hilang.


Pasien DSS terbaik dipantau di ICU, diberikan oksigen
dan dipasang CVP jika memungkinkan, serta kateter urin
untuk memandu penggantian cairan. Status asupan dan
pengeluaran diamati ketat.
Gas darah, EKG, X-foto toraks, elektrolit serum, albumin
serum dan hitung darah harus dipantau.

Keberhasilan penanganan dengue berat bergantung


pada pengaturan yang seksama terhadap pemberian
cairan parenteral dan koloid selama fase kebocoran
kapiler yang meningkat, bersama dengan manajemen
proaktif dari perdarahan mayor jika terjadi. Dokter harus
ingat bahwa semua cairan yang diberikan akan diserap
kembali dan bisa mengakibatkan kelebihan beban.

Kristaloid vs koloid
Temuan uji banding tersamar ganda dan acak untuk
resusitasi awal 383 anak Vietnam dengan DSS
memperlihatkan bahwa Ringer laktat cukup untuk
101
meresusitasi bayi dengan penyakit cukup berat. Tetapi,
jika penyakit berlanjut menjadi syok berat, pemberian
dextran 40 atau HES 6% akan menstabilkan volume
pembuluh darah dan tekanan darah pada sebagian besar
kasus.
Koagulopati yang menyertai infeksi dengue banyak
dijelaskan, tetapi sayangnya mekanisme yang mendasari

masih belum jelas. Perdarahan hebat jarang terjadi pada


anak (hampir selalu diikuti syok mencolok) dan
komplikasi trombosis tidak dijumpai. Peningkatan APTT
(activated partial thromboplastin time ) dan penurunan
kadar fibrinogen merupakan temuan yang agak konstan.
Kelainan-kelainan ini bersama dengan trombositopenia
berkorelasi dengan keparahan penyakit secara umum.
Namun, bukti adanya KID (koagulasi intravaskular
diseminata) klasik pada kebanyakan pasien tidak
meyakinkan. Kadar prokoagulan meningkat sampai ke
tingkat tertentu (biasanya ringan), dengan penurunan
bermakna dalam jumlah protein antikoagulan. Tetapi
temuan-temuan dalam hal lintasan fibrinolitik saling
bertentangan. Umumnya, data menunjukkan peningkatan
aktivitas fibrinolitik, dan kejadian ini bisa mengesankan
interaksi langsung antara virus dan plasminogen, satu
dari protein-protein kunci dalam lintasan ini.
Beberapa kelompok ahli telah mengamati adanya
antibodi reaksi silang plasminogen selama dan setelah
infeksi dengue.
102
Pada kebanyakan pasien dengan demam dengue,
koagulopati relatif ringan dan membaik sendiri dalam
beberapa hari setelah virus menghilang. Namun pada
sebagian anak, biasanya dengan syok berat, gangguan
minor ini dipersulit oleh efek-efek: a) hipotensi yang
memanjang dan hipoksia jaringan, b) perdarahan mayor.
Biasa perdarahan terjadi di saluran cerna. Pada pasien-

pasien ini, KID sejati mungkin terjadi. Sama seperti pada


dewasa sedikit informasi tersedia mengenai koagulopati,
namun perdarahan tampaknya lebih banyak pada anak.

Referensi :
1. Katharine Smart , Ida Safitri. What treatments are
effective for the management of shock in severe
dengue? International Child Health Review
Collaboration
2. Scott B Halstead. Dengue. Lancet 2007; 370: 164452
3. Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever. WHO regional publication. Searo
No 29.
4. Wills B. Volume Replacement in Dengue Shock
Syndrome Dengue Bulletin Vol 25 Ch 9.2001
5. Rigau-Perez JG, Lauger MK. Dengue-related deaths in
Puerto Rico, 1992-1996: Diagnosis and clinical alarm
signals. Clin Infect Dis (CID). 2006; 42: 1241-1246.

103
ALGORITME DSS

Ket: Jml tetesan harus dibulatkan

104
BAGIAN VIII

SINGKATAN DAN TERMINOLOGI

Singkatan Kepanjangan
AG Anion gap ([Na + + K+ ]- [Cl- + HCO3- ]
ALI Acute Lung Injury
ANH Acute normovolemic hemodilution
ANP Atrial natriuretic peptide
APACHE Acute Physiology and Chronic Health evaluation
ARDS Acute respiratory distress syndrome
ARF Acute renal failure
ATP Adenosine triphosphate
AVDO2 arteriovenous oxygen difference
CABG Coronary artery bypass graft
cAMP cyclic adenosine monophosphate
CaO2 arterial oxygen concentration
cGMP cyclic guanosine monophosphate
CI Cardiac index
CO cardiac output
COP Colloid osmotic pressure
CRT Capillary refill time
CVP Central venous pressure
DAG Diacyl glycerol
DBP Diastolic blood pressure
DIC Disseminated intravascular coagulation
DO2 oxygen delivery
DSS Dengue Shock Syndrome
ECMO Extracorporeal membrane oxygenation
ESL Endothelial surface layer
FiO2 Fractional concentration of Inspired oxygen
HES Hydroxyethyl starch
HR Heart rate
IGD Instalasi Gawat Darurat

105
IL Interleukin
INR Internation normalized ratio
IO Intraosea
IP3 inositol 1,4,4-triphosphate
JVD Jugular venous distension
KAD Ketoasidosis diabetik
KID Koagulasi intravaskular diseminata
LVEDP Left ventricular end-diastolic pressure
LVEDV Left ventricular end-diastolic volume
MAP Mean arterial pressure
O2ER oxygen extraction ratio
OR odds ratio
PDEI Phosphodiesterase inhibitor
PELOD Pediatric logistic organ dysfunction score
PO2 Partial oxygen pressure
PPHN Persistent pulmonary hypertension
pRBC packed red blood cells
pediatric risk illness severity and mortality
PRISM score
RCT Randomized controlled trial
RR relative risk; respiratory rate
SAFE Saline versus albumin evaluation
SaO2 arterial oxygen saturation
SBP Systolic blood pressure
SOAP Sepsis occurrence in acutely ill patients
SOFA Sequential Organ Failure Assessment
SVCO2 Superior vena cava oxygen saturation
SVR Systemic venous resistance
TBI Traumatic Brain Injury
TD Tekanan darah
TNF Tumor necrosis factor
VL Volume loading
VO2 Total body oxygen consumption

106
BAGIAN IX NILAI NORMAL

HEMATOLOGI - Eritrosit
Pria 4.2 jt- 5.6 jt/ L
Wanita 3.8 - 5.1 jt / L
Anak 3.5 - 5.0 jt / L
HEMATOLOGY - Leukosit
Pria 3.8 - 11 rb / mm 3

Wanita 3.8 - 11.0 rb / mm 3

Anak 5.0 - 10.0 rb / mm 3

HEMOGLOBIN
Hb (Pria) 14 - 18 g/dL
Hb (Wanita) 11 - 16 g/dL
Hb (Anak) 10 - 14 g/dL
Hb (Neonatus) 15 - 25 g/dL
HEMATOKRIT
Hct (Pria) 39 - 54%
Hct (Wanita) 34 - 47%
Hct (Anak) 30 - 42%
MCV 78 - 98 fL
MCH 27 - 35 pg
MCHC 31 - 37%
Neutrofil 50 - 81%
Batang 1 - 5%
Limfosit 14 - 44%
Monosit 2 - 6%
Eosinofil 1 - 5%
basofil 0 - 1%

107
Tanda vital normal pada anak:

Usia (th) HR RR SBP/DBP


< 1 120 - 160 30 - 60 60 - 95 / 35 - 69
1-3 90 - 140 24 - 40 95 - 105 / 50 - 65
3-5 75 - 110 18 - 30 95 - 110 / 50 - 65
6 - 12 75 - 100 18 - 30 90 - 110 / 57 - 71
12 - 16 60 - 90 12 - 16 112 - 130 / 60 - 80

TD sistolik minimum menurut usia adalah:

a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg

b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg

c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg

Nilai Gas Darah normal :

pH: 7.35 - 7.45

PaCO 2
: 35 - 45

PaO 2: 80 - 100 ( pada bayi PaO 2 normal: 60 - 80 )

HCO 3
: 20 - 24

Base excess: -/+ 2

Anion Gap (corrected) < 16

108
BAGIAN X

RUMUS-RUMUS

1. TD sistolik normal pada anak =(Usia X 2)+ 90 mmHg.


2. DO2 (mL O 2 /min) = CaO 2 (mL O 2
/L blood) X CO (L/min)

CaO 2 = (1,36 x Hb x SaO 2


) + (0 ,003 x PaO 2
)
CaCO 2
= Kandungan oksigen darah arteri (ml/100 ml darah)
1,36 = Mililiter oksigen yang berikatan dengan 1 g Hb pada saturasi
100%
Hb = Konsentrasi hemoglobin (g/dl)
SaO 2 = Persen hemoglobin yang berikatan dengan oksigen (%)
0,003= Faktor kelarutan oksigen dalam plasma (ml/mm Hg)
PaO 2 = Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (mm Hg)

3. MAP = 1 SBP + 2 DBP


3
4. VO 2 = DO 2 ERO 2
5. Tekanan Perfusi = MAP CVP
6. CO = MAP - CVP/SVR
ket. CO = cardiac output; MAP:mean arterial pressure; CVP =central venous
pressure; SVR = systemic venous resistance.

7. Shock Index = HR/SBP

normal SI: 0.5 sampai 0.7

+
8. Anion gap (AG) = (Na + K + ) - (Cl - + HCO 3- ) dan perlu
dikoreksi dengan kadar albumin (g/L), yakni Corrected
AG = AG + [0,25 x (44 - albumin)]

-
9. HCO 3
(mEq) = Base deficit X BB (kg) X 0 ,30

109
LAMPIRAN

TEKNIK PEMBERIAN INFUS INTRAOSEA

Infus intraosea merupakan langkah darurat


sementara
Diindikasikan dalam situasi yang mengancam jiwa

bila akses intravena gagal (3 kali coba atau> 90


detik)
Gunakan aspek anteromedial tibia

Suntik dengan arah caudal untuk menghindari


diskus pertumbuhan epifisis
Gunakan teknik aseptik

Kristaloid, koloid, produk darah dan obat-obatan

dapat diberikan
Lepas segera setelah anak telah diresusitasi dan
akses intravena berhasil dipasang

Pendahuluan

Teknik infus intraosea pertama kali diuraikan pada


manusia pada tahun 1934 dan menjadi semakin populer
di tahun 1940-an. Dalam beberapa tahun terakhir ini
telah kembali popular terutama pada resusitasi anak.
Sayangnya banyak dokter tidak tahu teknik ini atau tidak
menggunakannya. Infus IO adalah salah satu cara
tercepat untuk membuka akses untuk infus cairan, obat-
obatan dan produk darah dalam situasi darurat dan juga

110
untuk resusitasi. Di banyak negara anak-anak menjadi
korban trauma perang, kecelakaan lalu lintas atau
dehidrasi berat. Mereka membutuhkan akses intravena
yang baik, agar dapat menyelamatkan nyawa. Dalam
situasi ini akses vena perifer bisa sulit untuk didapatkan
dan alternatif seperti akses vena sentral dapat menjadi
sulit dan / atau berbahaya.

Pengenalan teknik

Rongga sumsum berkesinambungan dengan sirkulasi


vena dan oleh karena itu dapat digunakan untuk
memasukkan cairan dan obat-obatan, dan untuk
mengambil sampel darah untuk crossmatch . Prosedur
harus dilakukan dalam kondisi steril agar tidak terjadi
osteomielitis. Dianjurkan juga untuk membatasi durasi
penggunaan infus intraosea sampai beberapa jam
sampai akses intravena tercapai. Dengan demikian ini
merupakan langkah darurat sementara. Di tangan yang
berpengalaman akses IO dapat dikerjakan dalam waktu 1
menit.

Telah terbukti bahwa mula kerja (onset) dan kadar obat


selama resusitasi kardiopulmoner secara IO serupa
dengan IV

111
Indikasi

Penempatan dari jarum intraosea diindikasikan bila akses


vaskular dibutuhkan dalam situasi yang membahayakan
jiwa pada bayi dan anak-anak di bawah usia enam tahun.
IO diindikasikan bila akses vena gagal diusahakan (tiga
usaha atau 90 detik) atau dalam kasus di mana
kemungkinan besar gagal dan kecepatan sangat penting.
Meskipun dianjurkan untuk digunakan terutama pada
anak kecil, ia telah berhasil digunakan pada anak yang
lebih tua di mana krista iliaka juga dapat digunakan.

Kontraindikasi

Fraktur femur pada sisi ipsilateral


Jangan gunakan tulang yang patah
Jangan menggunakan tulang dengan
osteomielitis

Perlengkapan

1. Disinfektan kulit
2. Anestetik lokal
3. Spuit 5 ml
4. Spuit 50ml
5. Jarum Intraosea atau jarum sumsum tulang
Jamshidi. Ada berbagai ukuran jarum; 14, 16.
Ukuran 14 dan 16G biasanya digunakan untuk

112
anak-anak yang lebih tua dari 18 bulan. Namun
ukuran apapun dapat digunakan untuk segala
usia.

Dimungkinkan tetapi tidak ideal untuk


menggunakan 16 - 20G jarum kupu-kupu, jarum
spinal atau bahkan jarum suntik hipodermik biasa.
Namun ada kemungkinan lebih besar bahwa
jarum akan tersumbat dengan sumsum tulang
bila tidak menggunakan jarum dengan trokar.

Lokasi

Titik terbaik untuk digunakan adalah aspek anteromedial


aspek dari tibia. Aspek anterior femur dan krista iliaka
superior juga dapat digunakan. Tibia lebih disukai karena
aspek anteromedial tulang terletak tepat di bawah kulit
dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Hindari tulang
dengan osteomielitis atau patah tulang dan tidak
menggunakan tibia jika tulang paha retak pada sisi yang
sama.

Teknik

Pilihan alat IO

Dewasa ini ada beberapa alat berbeda untuk IO line. Alat


ini bervariasi mulai dari jarum spinal yang dimasukkan

113
secara manual sampai alat dengan alat dorong atau bor.
Sebelum diciptakan produk-produk khusus untuk akses
IO, dulu digunakan jarum spinal dan jarum kupu-kupu
Dalam menggunakan jarum spinal, mutlak perlu
digunakan suatu stylet atau trokar yang bisa dilepas dan
mencegah jarum tersumbat oleh jaringan selama
penempatan awal.

Dulu jarum IO yang paling terkenal untuk pasien anak


(dan pada kasus jarang untuk pasien dewasa) adalah
tipe-tipe Jamshidi /Illinois (Gambar 1 & 2, Cardinal Health,
McGaw Park, IL) atau Sur-Fast (Gambar 3, Cook
Critical Care, Bloomington, IN).

Gambar 1 (kiri) & Gambar 2 (kanan): Jarum IO Jamshidi

Gambar 3: Jarum IO Sur-Fast

114
Alat-alat ini dimasukkan dengan menggunakan gerak
memutar atau sekrup dengan tekanan cukup untuk
memungkinkan jarum menembus tulang. Baru-baru ini,
telah dikenalkan akses IO generasi baru, di mana tempat
IO bukan hanya di tibia (misal, bisa juga di sternum)

Apa yang baru?

Populasi pasien: Walaupun biasa diaanggap bahwa


akses IO hanya untuk anak di bawah usia 6 tahun,
sekrang sudah direkomendasikan untuk semua kelompok
usia, dan buku ajar Pediatric Advanced Life Support
(PALS) yang dikeluarkan AHA(The American Heart
Association) menyatakan bahwa indikasi teknik IO
harus diperluas untuk korban di atas usia 6 tahun Buku
ajar ACLS melukiskan infus IO sebagai "a promising
technique to establish emergency access in adult
patients." Di samping itu, alat IO terus digunakan pada
pelatihan situasi pasien yang luar biasa seperti luka
bakar, trauma dan bencana.

Bone Injection Gun: Ini adalah alat IO yang bermuatan


per dan memiliki daya dorong (Gambar 4 dan 5) dari
WaisMed, Yokneam, Israel. Tersedia untuk ukuran anak
dan dewasa. Cukup dengan menarik pelatuk dan jarum
menancap sesuai dengan kedalaman yang telah diatur.
Walaupun tersering digunakan pada tibia anak dan

115
dewasa, para peneliti melukiskan penggunaannya juga
pada radius, ulna dan humerus.

Gambar 4 (kiri) & Gambar 5 (kanan)): Injection Gun anak dan dewasa

EZ-IO : Desain untuk alat IO ini (Gambar 6 dan 7,


VidaCare, San Antonio, TX) berangkat dari pengalaman
dokter bedah tulang yang menggunakan bor untuk
memasuki tulang dengan aman. EZ-IO merupakan bor
dengan pegangan dan digerakkan baterai dengan jarum
IO menempel. Alat ini memungkinkan operator mengatur
tekanan dan kekuatan yang digunakan selama insersi,
sehingga bisa menentukan kedalaman yang tepat dari
jarum

116
Gambar 6 (kiri) dan Gambar 7 (kanan): Penempatan sistem EZ-IO
pada tibia

Prosedur

1. Palpasi tuberositas tibia. Titik suntikan


(kanulasi) terletak 1 - 3cm di bawah tuberositas
ini pada permukaan anteromedial tibia.
2. Gunakan sarung tangan steril dan teknik aseptik
dan jarum yang steril.
3. Bersihkan kulit. Tempatkan jarum sumsum
tulang tanpa teknik steril jelas meningkatkan
kemungkinan osteomielitis dan selulitis.
4. Suntikkan sejumlah kecil anestesi lokal pada
kulit dan terus infilitrasi ke periostium. Bila anak
tidak sadar tidak perlu menggunakan infiltrasi
lokal.

117
5. Tekuk lutut dan letakkan karung pasir sebagai
bantalan di belakang lutut.
6. Pegang ekstremitas dengan kuat di atas tempat
insersi, biasanya di tingkat lutut. Jangan
letakkan tangan Anda di belakang tempat
suntikan agar tidak melukai tangan Anda
sendiri.
7. Masukkan jarum IO pada 90 derajat ke kulit
(tegak lurus) dan sedikit caudal (ke arah kaki)
untuk menghindari plat epifisis.
8. Majukan jarum menggunakan gerakan
pengeboran sampai terasa 'kendur ' adalah
merasa - ini terjadi ketika jarum menembus
korteks tulang. Berhenti memasukkan lebih
lanjut.
9. Lepaskan trokar. Konfirmasi posisi yang tepat
dengan mengaspirasi darah menggunakan spuit
5 ml. Jika tidak ada darah dapat disedot jarum
mungkin terhalang dengan sumsum. Untuk
melepas sumbatan jarum, bilas perlahan-lahan
dengan 10 ml normal saline. Periksa bahwa
ekstremitas tidak membengkak dan tidak ada
peningkatan tahanan.
10. Jika tidak berhasil cabut jarum dan coba kaki
yang lain.

118
11. Fiksasi jarum dengan kasa steril dan bebat.

Penempatan yang benar dikonfirmasi lebih lanjut dengan:

Tiba-tiba kehilangan resistensi memasuki rongga


sumsum (kurang jelas pada bayi yang memiliki
tulang lunak).
Jarum tetap tegak tanpa dukungan (karena bayi
memiliki tulang lebih lembut, jarum tidak akan
tegak berdiri sekuat pada anak yang lebih tua).
Cairan mengalir secara bebas melalui jarum

tanpa pembengkakan pada jaringan subkutan.

Komplikasi

Komplikasi penting mencakup: fraktur tibia terutama pada


neonatus, sindrom kompartemen, osteomielitis dan
nekrosis kulit. Bila teknik aseptik digunakan, insiden
osteomielitis kurang dari 1%. Emboli paru mikroskopik
dari lemak dan sumsum tampaknya tidak menjadi
masalah klinis. Asalkan teknik yang benar digunakan
sepertinya tidak akan ada efek jangka panjang pada
pertumbuhan tulang.

119
Infus

Cairan dapat diinfus di bawah tekanan lembut, secara


manual dengan menggunakan spuit 50ml atau dengan
memompa manset tensimeter mengitari kantong infus.
Kristaloid, produk darah dan obat-obatan dapat
ditanamkan dengan menggunakan teknik ini.

Rute IO yang harus diganti segera setelah vena yang


normal dapat diakses dan tentu saja dalam beberapa
jam. Semakin lama penggunaan makin tinggi risiko
komplikasi.

Kesimpulan

Dalam keadaan darurat, akses intravena akses cepat


pada anak-anak mungkin akan sulit untuk dicapai.
Sebagai alternatif, akses IO mudah, aman dan
menyelamatkan pasien.

Referensi

1. Chameides L, Hazinski MF, Eds. Chameides L,


Hazinski MF, Eds. Textbook of Pediatric Advanced Life
Support. Textbook of Pediatric Advanced Life Support.
1994; 5-5 to 5-7 1994; 5-5 ke 5-7
2. Brickman KR, Krupp K, Rega P, Alexander J,
Guinness M. Typing and screening of blood from
intraosseous access. Brickman KR, Krupp K, Rega P,

120
Alexander J, Guinness M. Mengetik dan penyaringan
darah dari intraosseous akses. Annals of Emergency
Medicine 1992;21:414-7 Annals of Emergency
Medicine 1992; 21:414-7
3. Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM.
Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM. The
current status of intraosseous infusion. Status
intraosseous infus. Journal of American College of
Surgeons 1994;179:353-60 Journal of American
College of Surgeons 1994; 179:353-60
4. Claudet I, Fries F, Bloom MC, Lelong-Tissier MC.
Claudet Aku, Fries M, Bloom MC, Lelong-Tissier MC.
Etude retrospective de 32 cas de perfusion intraosseus.
Etude retrospektif de 32 cas de perfusi intraosseus.
Archives of Paediatrics 1999;6:566-9 Archives of
Pediatri 1999; 6:566-9
5. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA, Osinusi K.
Intraosseous infusion in an emergency situation: a
case report. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA,
Osinusi K. Intraosseous infus dalam situasi darurat:
laporan kasus. Annals of Tropical Paediatrics
1997;17:175-7 Annals of Tropical Pediatri 1997;
17:175-7

121
INDEKS

AG Anion gap 16,17,23 35

Albumin 35,36,51,55,57,58,59,60,62-68,72-78

ALI Acute Lung Injury 62,63,64

ANH Acute normovolemic hemodilution 60,61,62,10

ANP Atrial natriuretic peptide 62

APACHE Acute Physiology and Chronic Health evaluation 58

ARDS Acute respiratory distress syndrome 59,70

ARF Acute renal failure 74

ATP Adenosine triphosphate 14,15,16,18,25,31,48,49,50

AVDO 2
arteriovenous ox ygen difference 18,33,,34

CABG Coronary artery bypass graft 68

cAMP cyclic adnosine monophosphate 40,41,42,48

CaO 2
arterial oxygen concentration 7,14

cGMP cyclic guanosine monophosphate 40,41

CI Cardiac index 18,19,32,34

CO cardiac output 11,14,15,18,19,20,22,24,25,26,27,36,38,40

COP Colloid osmotic pressure 58


Capillary refill time
CRT 2,3,10,11,13,16,17,18,22,27,32,51,52,79,81,92

CVP Central venous pressure 21,25,26,32,33,37,80,101

DAG Diacyl glyc erol 41

Dextran 72,73,74,78,102

DO 2 oxygen delivery5,6,7,8,14,109

Dobutamin 38,39,45,55,79,81

Dopamin 45,46,55,79,80,81

DSS Dengue Shock Syndrome 36,100,101,104

ECMO Extracorporeal membrane ox ygenation 83

Epinefrin 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81

ESL Endotherlial surface layer 61

FiO 2 Fractional concentration of Inspired oxygen 17,60,68

HES Hydroxyethyl starch 62,72,73,74,75

HR Heart rate 10,15,27,33,51,81,108,109

122
IGD Instalasi Gawat Darurat 13,19,21,22,85

IL Interleukin 48,56,63

INR Internation normalized ratio 18

IO Intraosea 113,114,115,116,117

IP3 inositol 1,4,4-triphosphate 41

JVD Jugular venous distension 79,80

KAD Ketoasidosis diabetik 4

KID Koagulasi intravaskular diseminata 102,103,106

LVEDP Left ventricular end-diastolic pressure 29

LVEDV Left ventricular end-diastolic volume 29

MAP Mean arterial pressure 21,25,26,27,32,33,65,109,

Milrinon 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81

ERO2 oxygen extraction ratio 6,8,

OR odds ratio 22,75

PDEI Phosphodiesterase inhibitor 41,42,43

PELOD Pediatric logistic organ dysfunction score 17

PO2 Partial oxygen pressure 7,59,60,68

PPHN Persistent pulmonary hypertension 83

pRBC packed red blood cells 51,52,93,

PRISM pediatric risk illness severity and mortality score 17

RCT Randomized controlled trial 57,64,68,69,75,

RR relative risk 65,69,75,

SAFE Saline versus albumin evaluation 55,57,64,,65,66,70,76,77,

SaO 2
arterial oxygen saturation 6,7,14

SBP Systolic blood pressure 17,33,51,109

SOAP Sepsis occurrence in acutely ill patients 66

SOFA Sequential Organ Failure Assessment 68,75

SVCO 2
Superior vena cava oxygen saturation 20,21,22

SVR Systemic venous resistance 10,11,19,21,25,39,46,79,109

TBI Traumatic Brain Injury 65,66

TD Tekanan darah 11,81,85,92,93

TNF Tumor necrosis factor 63,

VL Volume loading 60,61,62,

VO 2 Total body oxygen consumption 8,


123
124

Anda mungkin juga menyukai