Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul Terapi Nootropik pada
Kasus Stroke

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Susatyo Pramono Hadi, Sp. S sebagai pembimbing dan semua staf Konsulen
Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus, serta teman-
teman di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf 6 Juni 2017-15 Juli 2017.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan


baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan
oleh karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam menyusun
makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang membaca. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan baik pengajar maupun
teman-teman seperjuangan

Kudus, Juli 2017

Universitas Tarumanagara 1
BAB I
PENDAHULUAN

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan
oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro
muscular junction, dan saraf otonom.1, 2
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan,
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada
tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora
selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang
kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di
dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan
sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik
yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1, 3
Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus
Neonatorum).2, 4, 5
Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena
hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884,
Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus
yang hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut
diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang
mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka

Universitas Tarumanagara 2
mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik saraf
mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal
di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani terisolasi dari
suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan
bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh
binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang
kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa
penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia,
dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin
lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara
luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka
pertempuran selama Perang Dunia II.5

Universitas Tarumanagara 3
BAB II
TETANUS

2.1 Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin.1

2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 25 m dan lebar 0, 30, 5 m memiliki
sifat:1,2,3
Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121C selama 1015 menit), kekeringan dan
desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam
keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.
Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah
di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada
tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam.
Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotoksin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga
dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan protein

Universitas Tarumanagara 4
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan minimal
dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng untuk 70
kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah
protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan
gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

2.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah
angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas
fisiknya.1
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat
tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih
sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang
diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan
kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah
kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus
neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di
seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

Universitas Tarumanagara 5
Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar.
Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran
di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik
(dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack
rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port dentre tak selalu
dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui: 1, 2
1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah
tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik (goresan-goresan upacara, sirkumsisi wanita).
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.

2.4 Patofisiologi
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang
ideal untuk pertumbuhan C. tetani ini. Walaupun demikian luka-luka ringan seperti
luka gores, lesi pada mata, telinga, atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan
serangga dapat pula merupakan port dentr (tempat masuk) dari C. tetani.
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik,
berubah menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam
jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan
dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu,
pecahan kaca dan sebagainya.1, 2

Universitas Tarumanagara 6
Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:1, 2, 4
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa
ke kornu anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf
motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan
fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan
menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat
tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang
menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang, terutama
pada otot yang besar.
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin. GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari
SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf
inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara,
emosi, raba, dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di

Universitas Tarumanagara 7
daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti
retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini
mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang
resisten terhadap toksin.4

2.4.1 Dampak Toksin


1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh
karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah
keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan
otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
cerebral gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas
pada tetanus
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia

2.5 Manifestasi Klinis


Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.
Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit
selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa
inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau
trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.
Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua
kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur. Kesukaran
menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala
dini.1, 2, 4-7

Universitas Tarumanagara 8
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini
menjadi nyata dengan: 1
Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan
sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik ke
atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi.
Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi
perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior),
misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsivus.
Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot
pernapasan dan laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena
spasme otot sfingter uretra. Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis
dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.

Universitas Tarumanagara 9
Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau
keringat banyak.

Gambar 2. Opistotonus

Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:


1. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator).
Hal ini merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya
ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan biasanya
menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin.

2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya
saraf kranial VII yang paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah
tetanus yang berkembang setelah menembus luka mata dan luka dalam

Universitas Tarumanagara 10
dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa
juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun
kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosisnya buruk.

3. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai (50 %), bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan
terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus
sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai
40o C. Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil,
dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut
modifikasi dari klasifikasi Abletts dapat dibagi menjadi 4 diantaranya,
yaitu: 8
Derajat I (tetanus ringan)
- Trismus ringan sampai sedang (3cm)
- Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
- Tidak dijumpai disfagia atau ringan
- Tidak dijumpai kejang
- Tidak dijumpai gangguan respirasi

Derajat II (tetanus sedang)


- Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
- Kekakuan jelas
- Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

Universitas Tarumanagara 11
- Takipneu
- Disfagia ringan

Derajat III (tetanus berat)


- Trismus berat (1cm)
- Otot spastis, kejang spontan
- Takipne, takikardia
- Serangan apne (apneic spell)
- Disfagia berat
- Aktivitas sistem autonom meningkat

Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :


- Gangguan autonom berat
- Hipertensi berat dan takikardi, atau
- Hipotensi dan bradikardi
- Hipertensi berat atau hipotensi berat

4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi
tali pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan
ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul
adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh
kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, opistotonus yang berat
dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada
siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari
mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru.

Universitas Tarumanagara 12
2.6 Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang
khas terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah
selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti
diagnostik dan prognostik.
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 1
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,
luka dengan nanah atau gigitan binatang
Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah menderita gigi berlubang
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan
imunisasi yang terakhir
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium: 1
- Leukosit normal atau leukositosis ringan
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

Universitas Tarumanagara 13
2.7 Diagnosis Banding 4

PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL


INFEKSI
Meningoencephalitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF
Polio Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm
Lesi oropharyngeal Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada
Peritonitis Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya carpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia
Keracunan strihnin Relaksasi komplit diantara spasme
Relaksasi phenothiazine Distonia, respons dengan diphenhydramine
PENYAKIT CNS

Stastus epilepticus Sensorium depressi

Hemorrhage atau tumor Trismus tidak ada, sensorium depressi


KELAINAN PSIKIATRIK
Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme
KELAINAN
MUSKULOSKLETAL
Trauma Hanya local

Universitas Tarumanagara 14
2.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada: 4, 5
- Sistem saluran pernafasan
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi
sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan minuman
sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal biasanya
terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
- Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan
miokardium.
- Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat
kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa,
beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
- Gangguan pada sistem saraf otonom : Badai sistem otonom, dimana
ketika terdapat peningkatan yang massif pada sistem saraf simpatik
- Komplikasi yang lain:
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat oengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa


bronkopneumonia, autonomic storm, cardiac arrest, septicemia, dan
pneumotoraks.
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri
dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi,

Universitas Tarumanagara 15
mengatasi kejang, perawatan luka atau portd entre lain. Sedangkan
penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1

2.9.1 Penatalaksanaan umum


- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat
ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah
8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus
segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB <
10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif
lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk
menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan
nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih
kejang atau mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk
dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan

Universitas Tarumanagara 16
mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi
antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang
diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis
secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2 hari)

2.9.2 Penatalaksanaan khusus


- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang
diberikan adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading
dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam
perinfus setiap 6 jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin
prokain 50.000-100.000/kgBB/hari/IM selama 7-10 hari, jika terdapat
hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari
(untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang
sesuai.
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi
aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat
diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.

2.10 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48 jam),
frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi terutama
spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini prognosisnya buruk.
Prognosis juga tergantung dari lokasi port the entry dari kuman, semakin mendekati
ganglia basal, maka progonosis semakin buruk.1,8,9

Universitas Tarumanagara 17
Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak.1

2.11 Pencegahan
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk
pencegahan, perlu dilakukan: 1, 2, 4
Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka dibersihkan atau
dilakukan debridement. Terutama perawatan luka guna mencegah
timbulnya jaringan anaerob.
Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang
dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus. Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia
18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT.
Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun,
dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan
imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak
menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus) 10


Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang
berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan,
yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3
kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan
(DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan
1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).

Universitas Tarumanagara 18
DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo. Terdapat 2 jenis vaksin
DPT, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel
kuman pertusis, sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari
kuman pertusis. Keuntungan DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil
dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP lebih mahal.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan
atau nyeri di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek
samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada
kurang dari 1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut:
Demam tinggi (lebih dari 40,5 Celsius) pada 2,2 % kasus
Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak yang
sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam
keluarganya.
Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang

Universitas Tarumanagara 19
BAB III
PENUTUP

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Secara klinis tetanus ada 3 macam: tetanus umum, tetanus lokal dan tetanus
sefalik.
Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan toksin
lebih lanjut, toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya
dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat
dieliminasi.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of
onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

Universitas Tarumanagara 20
ANALISIS KASUS

Data dikutip dari RM Nomor 110306 Tanggal 20 Januari 2017


Identitas
Nama Pasien : An. Moh. Hisyam Al. Haris
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat dan Tanggal Lahir : Pati, 17 Maret 2016 25 hari
Alamat : Kedomulyo 2/2 Sukosilo, Pati, Jawa Tengah
Pekerjaan : Belum Bekerja
Pendidikan : Belum Sekolah
Status Marital : Belum Menikah
Suku Bangsa : Jawa, Indonesia
Agama : Muslim

Keluhan Utama:
Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang:


-. Pasien bayi laki-laki berusia 25 hari datang ke Ponek IGD RSUD RAA Soewondo
Pati, dengan keluhan kejang. Kejang di alami 2 jam SMRS
-. Kejang yang dialami pasien terjadi sekitar 10 menit. Kejang yang di alami pasien
bersifat kaku.
-. Saat kejang, tangan pasien kaku, dan pasien tidak mau menetek. Saat kejang,
mulut pasien mencucu. Saat kejang badan pasien tidak kaku. Kejang hanya
berlangsung 1x, saat kejang, pasien menangis, menangis melengking. Setelah
kejang, pasien tetap menangis.
-. Kejang didahului oleh demam dan batuk pilek. Batuk pilek sudah dialami pasien
kurang lebih 3-4 hari SMRS. Riwayat muntah disangkal, riwayat mencret
disangkal. BAK pasien 6x sehari dan berwarna jernih, BAB pasien 2 kali sehari
dengan konsistensi lunak.
-. Pasien sebelumnya belum pernah kejang.

Universitas Tarumanagara 21
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien belum pernah kejang sebelumnya
- Pasien tidak memiliki riwayat demam
- Pasien sebelumnya belum pernah dirawat di perinatal
- Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kuning
- Sebelum kejang, ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tidak mau menetek
dan rewel.
- Tali pusat copot pada saat pasien berumur 10 hari
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit asthma disangkal
- Riwayat penyakit epilepsi disangkal
Riwayat Perinatal
Pasien merupakan anak tunggal, berjenis kelamin laki-laki. Persalinan
dilakukan secara spontan di rumah, oleh dukun desa. Pasien mengaku saat
persalinan, umur kehamilannya 9 bulan. Ibu tidak memeriksakan kandungannya
selama masa kehamilan. Ibu mengaku tidak pernah mendapatkan vaksin tetanus
toxoid selama masa kehamilan. Berat badan bayi saat lahir tidak ditimbang.
Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan imunisasi Hepatitis B di posyandu saat umur pasien 1
minggu.
Riwayat Pertumbuhan
Berat badan 3700 gram
Panjang badan tidak di ukur
BB/U Menurut WHO -0,34 SD Kesan: berat badan normal sesuai usia.
Riwayat Asupan Nutrisi
Ibu memberikan ASI 8-12 kali sehari dalam interval 2-3 jam sekali.
Riwayat susu formula disangkal.

Universitas Tarumanagara 22
Pemeriksaan Fisik
Data Pemeriksaan Fisik dikutip dari Rekam Medik
Usia : 25 hari
Berat Badan : 3700 gram
Panjang Badan :-
Keadaan Umum : Kurang aktif, kejang, menangis melengking, sianosis (-)
Tanda Vital
Suhu tubuh : 37,5
HR : 144x, isi cukup, reguler
SpO2 : 97%
RR : 33x
Pemeriksaan Kepala : mesosefal, ubun-ubun kepala tidak menonjol.
Pemeriksaan mata, hidung, telinga, leher, abdomen tidak dilakukan.
Pemeriksaan mulut : tampak mulut mencucu seperti ikan
Ekstremitas : Akral hangat, Tidak ditemukan edema, CRT < 2 detik,
tangan bayi mengepal, fleksi, kaki hiperekstensi
Kulit : Turgor baik
Kelenjar Getah Bening : Tidak dilakukan
Pemeriksaan neurologis : Kaku kuduk (+)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan darah rutin dan gula darah sewaktu dilakukan
di IGD RSUD RAA Soewondo Pati, tanggal 11 April 2016

GDS : 77mg/dL
Na : 139,1
K : 6,65
Cl : 108,2
Leukosit : 7.690
Eritrosit : 323.000.000
Hb : 10,7 g/dL

Universitas Tarumanagara 23
Hematokrit : 32,7%
MCV : 101,2%
MCH : 33,1
MCHC : 32,7
PLT : 425.000

Resume
- Pasien neonatus aterm laki-laki berusia 25 hari, berat badan 3300 gram,
datang dengan keluhan kejang sejak 2 jam SMRS
- Kejang tidak disertai penurunan kesadaran
- Riwayat perinatal yang buruk
- Riwayat persalinan yang buruk
- Pemeriksaan fisik ditemukan mulut yang mencucu, dan kekakuan pada jari-
jari tangan dan kaki
- Leukosit normal tinggi
- GDS dalam batas normal
- Kadar Elektrolit dalam batas normal
Diagnosis Kerja
Observasi kejang dd tetanus neonatorum
Diagnosis Banding
Kejang:
Kranial Infeksi & non infeksi
Ekstrakranial Sadar tetanus neonatorum
Tidak sadar
Rencana Diagnostic
Kultur biakan kuman
Foto thorax baby gram
Rencana Terapi Farmakologis
O2 Nasal kanul 2 lpm
Infus D5 5tpm
Diazepam 1mg IV jika kejang.
Metronidazole 3 x 30mg

Universitas Tarumanagara 24
Terapi non farmakologis
Diet cair via OGT 20 cc per 3 jam
Isolasi pasien dari pencetus kejang (Cahaya, Suara, Taktil, Suhu tinggi berlebihan)
Rencana Evaluasi
Keadaan umum, tanda-tanda vital (frekuensi nadi, suhu tubuh, laju nafas), tanda-
tanda kejang, saturasi O2
Edukasi
Menjelaskan penyakit yang diderita dan komplikasi kepada orang tua pasien.
Menjelaskan terapi penyakit yang di derita
Menganjurkan imunisasi setelah sembuh
Prognosis
Ad Vitam : dubia
Ad Sanationam : dubia
Ad Functionam : dubia
Kesimpulan
Berdasarkan hasil rekap anamnesis dan hasil rekap pemeriksaan fisik, serta
analisis laboratorium maka disimpulkan bahwa pasien didiagnosis menderita
kejang dengan diagnosis banding tetanus neonatorum.

Universitas Tarumanagara 25
ANALISIS KASUS
Teori Kasus
Kejang Kejang spastik tanpa Fleksi pada tangan, jari tangan
penurunan kesadaran mengepal, bayi menangis kuat
melengking
Riwayat Tertusuk benda tajam, riwayat Persalinan dilakukan di dukun,
lingkungan yang kotor, riwayat Tidak pernah ANC, Tidak
persalinan non steril mendapatkan imunisasi aktif pada
masa kehamilan
Pemeriksaan Mulut mencucu seperti ikan, Trismus (-) opistotonus (-)
fisik trismus, opistotonus, lordosis lordosis lumbal (-) fleksi siku
lumbal dengan tangan mendekap dada
(+) jari mengepal (+)
Sirkulasi Hipertensi/hipotensi, nadi Takikardi & Bradikardi (-)
bradikardi/takikardi
Terapi O2, diazepam, metronidazole, O2 (+), diazepam (+),
TT & ATS Metronidazole (+), TT & ATS
(-)
Eksotoksin Tetanolisin menyebabkan lisis Jumlah eritrosit dibawah
sel darah merah normal

Universitas Tarumanagara 26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal. 322-9.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2015; p. 951-3.
3. Todar K. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited
2017 January 25]. Available from:
http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.
4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2017 January 25]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
6. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2017 January 25]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.
7. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus.
CJEM 2010; 12 (1): 69-72.
8. Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors. British
Homoeopathic Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.
9. Chalya PL, Mabula JB, Dass RM, Mblenge N, Mshana SE, Glyoma JM.
Tetanus. WJES. 2007. Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
10. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-9.

Universitas Tarumanagara 27

Anda mungkin juga menyukai