Anda di halaman 1dari 19

OBAT-OBAT

ANESTESI INTRAVENA

Oleh :
NURFITRIANA
(101001178)

Pembimbing :
dr. HENRI JONES DAMANIK, Sp. An

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM dr. DJASAMEN SARAGIH
PEMATANG SIANTAR
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat TuhanYang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan yang
berjudul Obat-Obat Anestesi Intravena dalam rangka melengkapi
persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Anestesi RSUD Dr. Djasamen
Saragih Pematangsiantar.
Dalam kesempatan ini pula penulis hendak menyampaikan rasa
terimakasih kepada dr. Henri Jones Damanik, Sp. An yang telah memotivasi,
membimbing, dan mengarahkan penulis selama menjalani program Kepaniteraan
Klinik Senior di bagian Anestesi dan dalam menyusun tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itulah, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Pematangsiantar, Januari 2015


Penulis,

Nurfitriana

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2
2.1. DEFINISI ................................................................................................. 2
2.2. FARMAKOLOGI UMUM ...................................................................... 2
2.3. OBAT-OBATAN ANESTESIA INTRAVENA ...................................... 4
1. Propofol ( 2,6 diisopropylphenol ) .................................................. 4
2. Tiopenton ........................................................................................... 7
3. Ketamin .............................................................................................. 9
4. Opioid ................................................................................................. 11
5. Benzodiazepin .................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan ke seluruh
jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing
masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek
samping, bila diberikan secara tunggal.
Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting, membutuhkan
pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan
dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional anestesi dikatakan lebih aman
daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa teknik yang
satu lebih baik dari yang lain, sehingga penentuan teknik anestesi menjadi sangat
penting.
Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat
diberikan secara langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi dasar
pemikiran sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan.
William Morton, tahun 1846 di Boston, pertama kali menggunakan obat anestesi
dietil eter untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di Jerman tahun 1909, Ludwig
Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform dan ether melalui
intravena, tujuh tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari Swiss melaporkan
penggunaan morfin dan skopolamin secara intravena.
Sejak diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi Gold
Standard dari obat obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik tersedia
dalam bentuk intavena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum bisa ditemukan.
Penemuan obat obat ini masih terus berlangsung sampai sekarang.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan ke seluruh
jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing
masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.
Beberapa jenis obat-obat anestesi dan yang digunakan di Indonesia hanya
beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam, Dehidrobenzoperidol, Fentanil,
Ketamin dan Propofol.

2.2. FARMAKOLOGI UMUM


A. Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan studi tentang hubungan antara dosis obat,
konsentrasi obat dalam jaringan. Dalam kalimat yang sederhana farmakokinetik bisa
diartikan sebagai bagaimana tubuh bereaksi terhadap obat. Farmakokinetik terdiri dari
empat parameter : absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
1. Absorbsi
Terdapat banyak tempat terjadi absorbsi obat : oral, sublingual, rectal,
inhalasi, transdermal, subkutan, intramuskuler, dan intrvena. Absorbsi diartikan
sebagai proses dimana obat meninggalkan tempat masuknya dan menuju ke aliran
darah, hal ini dipengaruhi oleh karakter fisik dari obat (kelarutan, pKa, dan
konsentrasi) dan tempat dimana terjadi absorbsi (sirkulasi, pH, dan area
permukaan).
Administrasi obat secara oral mudah dilakukan, ekonomis, dan relatif toleran
terhadap kesalahan dosis. Tetapi administrasi secara oral tergantung pada kerjasama
dari pasien, obat akan melalui metabolisme hepar, dan terpengaruhi oleh pH
lambung, enzim, motilitas, makanan dan obat lain.
Administrasi obat secara transdermal mempunyai keuntungan dalam
absorbsi obat yang lama dan kontinu dengan dosis obat yang minimal. Lapisan

2
korneum berfungsi sebagai barrier untuk semua partikel obat khususnya yang kecil
dan larut dalam lemak (misalnya : clonidine, nitorglycerin, scopolamine).
Injeksi parenteral terdiri dari subkutaneus, intramuskuler, dan intravena.
Absorbsi pada suntikan subkutan dan intrmuskuler tergantung pada difusi dari
tempat injeksi ke sirkulasi. Tingkat difusi tergantung dari aliran darah menuju area
penyuntikan dan pembawa dari obat (solusion diabsorbsi lebih cepat dari suspensi).
Preparat yang menimbulkan iritasi bisa menyebabkan terjadinya nyeri dan nekrosis
dari jaringan. Injeksi intravena mempersingkat proses dari absorbsi, karena obat
langsung ditempatkan dalam aliran darah.
2. Distribusi
Distribusi memegang peranan penting dari farmakologi klinik karena
merupakan determinan utama dari konsentrasi obat pada end-organ. Distribusi obat
tergantung dari perfusi organ, kemampuan ikat dari protein, dan kelarutan dalam
lemak.
Setelah diabsorbsi, obat didistribusikan oleh aliran darah menuju seluruh
tubuh. Organ yang memiliki perfusi yang tinggi mendapat obat dalam jumlah yang
banyak dibandingkan dengan organ yang memiliki perfusi yang rendah (otot, lemak,
dan tempat yang sedikit terdapat pembuluh darah).
Selama obat terikat pada plasma protein, maka obat tersebut tidak dapat
diambil oleh organ. Albumin biasanya mengikat obat yang bersifat asam (misal :
barbiturat). Kelainan pada ginjal, hepar, penyakit jantung kongestif, dan keganasan
menurunkan kadar albumin.
3. Biotransformasi
Biotransformasi adalah perubahan dari substansi akibat proses metabolik.
Hepar merupakan organ utama tempat terjadinya biotransformasi.. Produk akhir dari
biotransformasi biasanya tidak aktif dan larut dalam air, sehinga dapa dikeluarkan
melalui ginjal.
Biotransformasi metabolik dapat dibagi menjadi reaksi fase I dan fase II.
Reaksi fase I mengubah obat menjadi beberapa metabolit polar melalui proses
oksidasi, reduksi, atau hidrolisis. Reaksi fase II menggabungkan obat atau metabolit
dengan substrat endogen (misalnya : asam glukoronat) untuk membentuk produk
yang berpolarisasi tinggi yang dapat dieliminasi melalui urine.

3
4. Ekskresi
Ginjal merupakan organ untuk ekskresi dari obat-obatan. Obat yang tidak
terikat protein bebas melewati dari plasma kedalam glomerulus. Fraksi dari obat
yang tidak terionisasi di reabsorbsi dalam tubulus renalis, dan bagian yang
terionisasi akan dikeluarkan oleh tubuh melalui urine. Perubahan dari pH urine
dapat mempengaruhi eksresi renal. Ginjal juga dapat secara aktif mensekresi suatu
obat.

B. Farmakodinamik
Farmakodinamik merupakan studi tentang efek terapeutik dan efek toksik
terhadap sistem organ akibat obat (bagaimana obat mempengaruhi tubuh). Efek tersebut
tergantung dari efikasi, potensi, dan ratio terapeutik.
Median effective dose (ED50) adalah dosis yang dibutuhkan untuk memberikan
efek pada 50% dari populasi. Perlu dicatat bahwa ED50 bukan merupakan dosis yang
dibutuhkan untuk menghasilkan setengah dari efek maksimal. Median lethal dose
(LD50) adalah dosis yang menyebabkan kematian pada 50% populasi yang terpapar oleh
dosis obat tersebut. Indeks terapeutik adalah ratio dari ED50 dan LD50 (ED50 : LD50).
Reseptor obat merupakan makromolekul biasanya berupa protein yang tertanam
ke dalam membran sel- yang berinteraksi dengan obat sehingga terjadi perubahan
karakteristik intraseluler. Mekanisme kerja dari beberapa obat tergantung dari interaksi
dengan reseptor. Substansi endogen seperti hormon ata substansi eksogen (obat) secara
langsung merubah fungsi sel dengan cara berikatan dengan reseptor dinamakan agonis.
Antagonis juga berikatan dengan reseptor namun tidak menyebabkan efek langsung
terhadap sel.

2.3. OBAT-OBATAN ANESTESIA INTRAVENA


1. Propofol ( 2,6 diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan
lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan.Propofol digunakan untuk induksi dan
pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia
lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan
pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal
tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan

4
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10
mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.

Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan
efek primernya berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino Butired Acid).

Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein
plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif,
waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 24 jam. Dosis induksi cepat
menyebabkan sedasi ( rata rata 30 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif
singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik
murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.

Farmakodinamik
- Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik, pada pemberian dosis
induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan
perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
- Pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh
darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi.
Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%.
- Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.
Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan
adalah seperti berikut:

5
Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan
dosis induksi yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat
Pemberian 2,4 mg/kg:
1. Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit
2. Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit
Pemberian 100 g/kg/min:
1. Respons CO2 sedikit menurun
2. berkurang 40% ,frekuensi pernafasan meningkat 20%
Pemberian 200 g/kg/min:
1. Hanya sedikit mendepresi VT
2. paCO2 menurun

Dosis dan penggunaan


1. Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
2. Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infus
3. Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 g/kg/min IV (titrate to
effect).
4. Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
5. Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang
minimal 0,2%
6. Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih
dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini
bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat
dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat
diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat
suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga
sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. pada pasien
dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Terdapat

6
juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak
akibat pemberian propofol.

2. Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan
nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan
obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat
dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah
mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 10 menit konsentrasi mulai menurun di
otak dan kesadaran kembali seperti semula.Dosis yang banyak atau dengan
menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan menyebabkan
hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem
aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada
sinaps saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor
seperti asam gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan
pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).

Farmakokinetik
- Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk
induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak anak. Perkecualian pada
tiopental rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak anak.
Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada
semua kelompok umur.
- Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh
selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan
vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti

7
hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam
plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.
- Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
- Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3
ml/kg/menit dan pada anak anak terjadi 6 ml/kg/menit.

Farmakodinamik
- Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada
dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah
sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik
elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala
methohexital dapat menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.
- Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi
jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam
plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga
curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak
terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau
hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam
beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat
terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena
depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi
oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
- Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun
terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks
laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan
laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.

8
Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek
negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu
reaksi pasien.

Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan
memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat,
sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi,
barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan
menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya
serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat
pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan
blok regional simpatis.

3. Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki
struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962,
dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama
(phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Ketamin
hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non
barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang obat ini sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat
menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk.

Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan
medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap
reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.

Farmakokinetik
- Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular

9
- Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke
seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 60 detik setelah pemberian secara I.V
dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 20 menit. Jika diberikan
secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
- Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa
metabolit yang masih aktif.

Farmakodinamik
- Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak
mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan
yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan,
tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya
akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi
pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak
meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
- Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi
peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus
koroidalis.
- Sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek
inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
- Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat
menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan
obat pilihan pada pasien asma.

10
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila
akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak anak. Ketamin bersifat larut
air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB
secara I.V atau 5 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2
mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara
intermitten diulang setiap 10 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai
operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2
0,8 mg/kg IV atau 2 4 mg/kg IM atau 5 10 g/kg/min IV drip infus.

Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi
buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada
otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata
dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah
disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien
yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan
intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada
operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat
obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.

4. Opioid
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat
opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata opium
berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine,
fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering

11
digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang
besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi,
farmakokinetik dan efek samping.

Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat
dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid
menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia.
Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas
ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik
dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari
neuron nosiseptif.

Farmakokinetik
- Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler,
dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral
merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat
(10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 g/Kg) dan dewasa (200-800
g).
- Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan
morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat
dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya
cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.
- Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah
hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
- Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan
tergantung pada aliran darah hepar. 5 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam
bentuk metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot
polos esterase.

12
Farmakodinamik
- Sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung
maupun tonus otot pembuluh darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan
menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga
menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan
histamin.
- Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi
nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon
terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan,
selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas
atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis
tertentu.
- Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga
terhambat.
- Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress
anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif
stabil.

Dosis dan pemberian


Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5
mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari
petidin.

5. Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam
tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan
nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah,

13
midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan
PH 3,5.

Mekanisme kerja
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik,
amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Benzodiazepine bekerja
di reseptor ikatan GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut
lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan
pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor GABA.

Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan
muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh
dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya
akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan
secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada
pasien tua.

Farmakodinamik
- Sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai
efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju
metabolisme.
- Sistem Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put.
Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin
terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
- Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas
mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan
retardasi mental.
- Sistem saraf otot

14
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan
spinal sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot
rangka.

Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb
Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg
sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai
sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan
trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada
pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate,
Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit berikutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi kedua. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. 2005; hal : 240 - 247
2. Mangku G. Diktat Kumpulan Kuliah buku I. Laboratorium Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD, Denpasar 2002; hal : 66-73
3. Nissl, Jan. Intravenous Medication for Anesthesia. Available at :
http://health.yahoo.com/ency/healthwise/rt1586. Accesed : 17 June 2007
4. Ting, H. Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 17 June 2007
5. Morgan, GD. Et al, Clinical Anesthesiology. 4th edition. Lange Medical
Books/McGraw-Hill.2006; hal : 194-204
6. Cole, Daniel J. Adult Perioperative Ansthesia : The Requisites in Anesthesiology.
Elsevier Mosby. 2004. hal : 146 - 150
7. Latief SA dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta 2002; hal : 46-47
8. Hurford, William E, et all. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital 6th edition. Massachusetts General Hospital Dept. Of Anesthesia
and Critical Care. Lippincott williams & Wilkins Publishers. 2002; hal : Chapter 11
Intravenosu and Inhalation Anasthetic.
9. Barash, Paul G, et al. Clinical Anesthesia 4th edition. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. 2001;hal : Chapter 13 Non Opioid Intravenosu Anesthesia
10. Miller, Ronald D. Anesthesia. Fifth ed. Churchill Livingstone; 2000. hal : 228-376.

16

Anda mungkin juga menyukai