Anda di halaman 1dari 26

INFORMASI I

Anak Abon Jadi Rewel....


Anak Abon usia 5 tahun datang ke poliklinik dengan diantar oleh ibunya dengan
keluhan telinga sebelah kanan terasa nyeri. Nyeri ini dirasakan sejak 2 hari yang
lalu dan semakin lama semakin bertambah berat. Anak Abon menjadi rewel dan
sukar tidur karena merasa telinganya nyeri. Anak Abon juga mengeluh pada
ibunya jika pendengaran telinga sebelah kanan berkurang. Keluhan ini diikuti
dengan demam yang tinggi bersamaan dengan timbulnya keluhan nyeri pada
telinga kanan hingga sekarang Anak Abon juga menderita sakit tenggorokan,
batuk dan pilek sejak 4 hari yang lalu. Ibunya hanya memberi obat warung dan
tidak dibawa ke dokter.

INFORMASI II
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak Sakit
Vital Sign : Nadi 120x/menit Respirasi 24x/menit
TD = 100/70 mmHg Temperatur 39,5oC
Status Generalis : dalam batas normal

Pemeriksaan Otoskopi
Telingan Kanan Telinga Kiri
Aurikula Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
massa (-) massa (-)
Pre-aurikula Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
massa (-), fistula (-), abses (-) massa (-), fistula (-), abses (-)
Retroaurikula Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
massa (-), fistula (-), abses (-) massa (-), fistula (-), abses (-)
Palpasi Nyeri pergerakan aurikula Nyeri pergerakan aurikula(-),
(+), nyeri tekan tragus (+) nyeri tekan tragus (-)
MAE Edema (-), hiperemia (-), Edema (-), hiperemia (-),
serumen (-), furunkel (-) serumen (-), furunkel (-)
Membran Edema (+), hiperemia (+), Intak, conus of light (+)
timpani bulging (+), conus of light (-)

INFORMASI III
Pemeriksaan garpu tala :
Jenis AD (Aurikula AS (Aurikula Kesan
Pemeriksaan Dextra) Sinistra)
Rinne Negatif Positif CHL AD
Weber Lateralisasi ke AD CHL AD
Schwabach Memanjang Sama dengan CHL AD
pemeriksa

INFORMASI IV
Diagnosis : Otitis Media Supuratif Akut Aurikuler Dextra
Penatalaksanaan :
- Antibiotika
- Dekongestan
- Analgetik / Antipiterik
BAB II
ISI

A. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Informasi I
Nyeri telinga atau otalgia : gejala nyeri telinga karena peradangan, biasanya
terdapat pada bagian luar dan tengah, gejala lain juga dapat timbul akibat
keterlibatan sendi temporomandibular, gigi, atau faring (Behrman, et al.,
2000).
2. Informasi II
a. Bulging : sering terjadi oleh karena inflamasi telinga dan merupakan
tanda dari otitis media. Bulging terjadi apabila ada sekumpulan cairan di
belakang membran timpani dan akan terdesak atau menonjol ke depan
oleh karena tekanan cairan tersebut. Sering terjadi pada pars flaccida
membran timpani. Apabila progresi inflamasi semakin parah dan cairan
semakin banyak, dapat mengakibatkan perforasi membran timpani
(Probst, et al., 2004).
b. Cone of light : merupakan refleks cahaya yang merupakan petunjuk
penting pada membran timpani. Apex dari cone of light terletak pada
umbo. Sedangkan basis cone of light terletak pada arah jam 5 pada
telinga kanan dan arah jam 7 pada telinga kiri. Difusi atau hilangnya cone
of light merupakan kriteria dari otitis media, akan tetapi dapat pula terjadi
oleh karena hiperemis kapiler membran timpani, ketidakseimbangan
tekanan atmosfer dengan tekanan dalam telinga, dan efusi telinga tengah
(Alper dan Bluestone, 2004).
B. ANALISIS MASALAH DAN PENJELASAN PERMASALAHAN
1. Anatomi Telinga
Telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mentransmisikan suara menuju
membran timpani. Telinga tengah berfungsi mengkonduksi suara dari
membran timpani menuju koklea. Sedangkan telinga dalam berfungsi
mentransmisikan sinyal tersebut ke otak (Alberti, 2006).

Gambar 1. Anatomi Telinga (Davis dan Silverman, 1970)

Telinga luar terdiri dari pinna atau aurikula, meatus auditorius


eksterna (MAE), dan membran timpani. Pinna berfungsi mengumpulkan
suara dan meneruskannya ke MAE. MAE berfungsi meneruskan suara
menuju membran timpani. Selain itu, MAE juga memiliki fungsi proteksi
dan desinfektan dikarenakan adanya serumen. Sedangkan membran
timpani berfungsi mentransmisikan suara menuju ossikula pada telinga
tengah (Alberti, 2006).
Aurikula terdiri dari tragus, antitragus, helix, antihelix, lobulus,
concha, dan scapha. Sedangkan membran timpani terdiri dari 2 pars, yaitu
pars tensa dan pars flaccida. Selain itu, dapat terlihat pula cone of light
pada membran timpani (Bhatt, 2011).

Gambar 2. Aurikula beserta bagiannya (Davis dan Silverman, 1970)


Gambar 3. Membran timpani (Bhatt, 2011)

Telinga tengah terdiri dari cavitas timpani, ossikula auditiva, dan


tuba eustachius. Ossikula telinga ada 3, yaitu malleus, incus dan stapes,
yang mana ketiga ossikula tersebut berfungsi mengkonduksikan suara dari
membrane timpani menuju telinga dalam (Alberti, 2006).
Telinga dalam terdiri dari 2 labirin, yaitu labirin osseus dan labirin
membranasea. Bagian dari labirin osseus berupa kanalis semisirkularis
(anterior, posterior, dan lateral), vestibular, dan koklea. Di dalam labirin
osseus terdapat labirin membranasea, yaitu ductus semisirkularis (anterior,
posterior dan lateral), apparatus vestibularis (utriculus dan sacculus), dan
koklea membranosa (skala vestibuli, skala media dan skala timpani)
(Alberti, 2006).

2. Fisiologi Pendengaran
a. Suara ditangkap oleh telinga luar melalui aurikula.
1) Gelombang suara disalurkan ke membran timpani melalui MAE.
2) Membran timpani bergerak menggetarkan ossicula auditiva ke
oval window.
3) Terbentuk gelombang tekanan pada perilimfe skala vestibular
round window tertekan ketika stapes bergerak masuk.
4) Gelombang tekanan menekan membran basillaris.
5) Menggerakkan sel rambut menekan membrana tectorial buka
kanal ion membran plasma sel rambut jalarkan impuls.
b. Informasi diteruskan lewat neuron bipolar ganglia spiralis cabang
cochlear N. VIII nuclei cochlear di medulla oblongata.
c. Informasi diteruskan ke colliculus inferior mesencephalon nucleus
geniculatum medial thalamus capsula interna crus posterior
radiation acustica cortex cerebri lobus temporalis area 41.
d. Informasi diolah menjadi penginterpretasian suara (Kerschner, 2007).

3. Etiologi Nyeri Telinga


a. Nyeri primer : nyeri terjadi karena lokalisasi dari telinga.
1) Telinga luar, misalnya furunkulosis, corpus alienum, abses aurikula,
sumbatan serumen, dan lainnya.
2) Telinga tengah atau mastoid, misalnya otitis media akut, mastoiditis
akut, barotrauma, dan lainnya.
3) Sebab idiopatik (Adams, et al., 1997).
b. Nyeri sekunder : nyeri yang terjadi karena nyeri alih dari area lain yang
sakit dengan persarafan yang sama dengan telinga, misalnya: laringitis,
faringitis, neuralgia gigi, dan lain-lain (Adams, et al., 1997).

4. Mekanisme Nyeri Telinga


Konsep otalgia didasarkan pada inervasi dari telinga tersebut. Ada 4
nervus kranial dan 2 nervus servikal yang berperan dalam inervasi telinga,
yaitu : nervus kranial V, VII, IX, X dan nervus servikal C2 dan C3
(Scarbrough, et al., 2003).
a. Nervus V cabang 3 : inervasi tragus, crus helix, dinding anterosuperior
dari MAE, batas membran timpani, dan sendi temporomandibular.
b. Nervus VII : inervasi bagian posterior-inferior MAE dan batas
membran timpani.
c. Nervus IX : inervasi telinga bagian dalam dan membran timpani dalam.
d. Nervus X : menginervasi daerah yang dipersarafi N. IX, akan tetapi
nervus vagus juga menginervasi concha.
e. Nervus servikal C2 dan C3 : inervasi kulit bagian depan dan belakang
telinga, serta bagian medial dan lateral dari aurikula dan lobulus (Chen,
et al., 2009).
Sehingga apabila terjadi inflamasi pada daerah tersebut maupun
daerah lain yang sama-sama dipersarafi oleh nervus di atas, maka dapat
pula mengakibatkan otalgia. Contoh : seorang anak yang menderita
tonsilitis dan radang tenggorokan kadang mengeluh nyeri telinga, karena
N. IX (Glossofaringeal) juga membawa impuls sensoris ke telinga dalam
(Majumdar, et al., 2009).
5. Pemeriksaan Fisik Telinga (Otoskopi)
Otoskopi diperuntukkan untuk pasien dengan nyeri telinga, infeksi
telinga, penurunan pendengaran, serta berbagai tanda dan gejala gangguan
telinga lainnya. Pemeriksaan otoskopi ini menggunakan alat berupa
otoskop (Flint, et al., 2010).
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit ke depan dan
kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa. Mula-mula dilihat
keadaan dan bentuk daun telinga (retro-aurikuler) apakah terdapat tanda
peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik daun telinga
menjadi lebih lurus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang
telinga dan membran timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan
untuk memeriksa telinga kanan pasien dan tangan kiri bila memeriksa
telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan
yang memegang otoskop ditekan pada pipi pasien (Soepardi, et al., 2007).
Setiap orang memiliki ukuran, bentuk dan warna MAE yang
berbeda. Normalnya MAE seperti warna kulit dan terdapat rambut halus.
Serumen kuning-kecoklatan kadang dapat terlihat. Membran timpani
tampak berwarna putih keabu-abuan dan tampak cone of light (Flint, et al.,
2010).
Hasil abnormal dapat berupa ketidaknampakan cone of light pada
membran timpani. Hal ini dapat dikarenakan infeksi telinga tengah atau
terdapat cairan. Membran timpani dapat hiperemis dan bulging bila terjadi
infeksi. Bila terdapat cairan di belakang membran timpani akan
menunjukkan kesan seperti gelembung. Selain itu, bila terjadi infeksi pada
MAE, maka akan terlihat MAE hiperemis, edema serta terlihat pus
berwarna kuning-kehijauan (Goldman dan Schafer, 2011).

6. Differential Diagnosis
a. Rhinofaringitis
Faringitis biasanya didahului oleh rhinitis. Tanda dan gejala
meliputi pilek, hidung tersumbat, batuk, nyeri menelan, dan demam.
Pada pemeriksaan choncha dapat ditemukan hiperemis dan edem. Pada
pemeriksaan faring dapat ditemukan faring hiperemis (Longo, et al.,
2008).

b. Miringitis Bulosa
Miringitis bulosa adalah suatu miringitis yang bersifat akut,
ditandai dengan adanya pembentukan bula pada membran timpani.
Pada anamnesis ditemukan adanya nyeri yang hebat pada telinga,
sifatnya berdenyut selama 2-3 hari, serta tuli sensorineural pada nada
nada tinggi (Schweinfurth, 2009).
Pada pemeriksaan otoskop ditemukan :
1) Tanda peradangan pada membran impani (hiperemis pada membran
timpani, reflex cahaya memendek atau hilang).
2) Tanda khasnya adalah adanya bula pada membran timpani. Bula ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan pada membran timpani.
3) Beberapa kasus ditemukan adanya nyeri pinna saat ditarik
(Schweinfurth, 2009).

Gambar 4. Miringitis Bulosa (Scweinfurth, 2009)

c. Mastoiditis Akut
Mastoiditis akut memiliki tanda dan gejala seperti demam, nyeri
telinga, gangguan pendengaran, membran timpani menonjol, dinding
posterior kanalis menggantung, pembengkakan post-aurikula, dan nyeri
tekan mastoid (Adams, et al., 1997).

Progresi mastoiditis akut terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :


1) Hiperemi mukosa mastoid.
2) Transudasi dan eksudasi dari cairan atau pus.
3) Nekrosis tulang oleh karena kurangnya vaskularisasi.
4) Cavitas abses.
5) Perluasan proses inflamasi menuju daerah yang berbatasan dengan
mastoid (Devan, 2011).

d. Otitis Eksterna Akut


Otitis eksterna terdiri dari dua tipe, furunkulosa dan difuse. Tipe
furunkulosa dapat berkembang pada sepertiga luar meatus. Otitis
eksterna difuse (swimmers ear), dikarenakan hilangnya proteksi dari
serumen karena terkikis. Tanda dan gejala dari pasien adalah nyeri
telinga, mengeluarkan secret (otorhea), eritem, dan pembengkakan
meatus eksternus (Longo, et al., 2008). Gejala lain dari otitis eksterna
dapat berupa eritem periaurikula, limfadenopati, demam, serta tuli
konduksi (Koch, 2012).

e. Otitis Media Akut


1) Kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
a) Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
b) Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan
cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran
timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada
membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran
timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
c) Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut,
seperti kemerahan atau eritem pada membran timpani, nyeri
telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
(Kerschner, 2007).
2) Dari hasil anamnesis, pasien OMA bervariasi sesuai umur.
a) Bayi : sulit menyuapi, nangis terus.
b) Dewasa : demam dengan ISPA atu tanpa ISPA, otalgia dengan
penurunan pendengaran, rasa penuh pada telinga.
c) Gejala lain yang tidak sepesifik : nyeri ketika tumbuh gigi,
faringitis, penurunan pendengaran, kekakuan telinga, nyeri sendi
temporomandibularis (Kerschner, 2007).
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan otoskopi : untuk memastikan akut atau kronis.
a) Inflamasi membran timpani.
b) Mukosa kemerahan.
c) Purulen pada telinga tengah.
d) Penurunan mobilitas membran timpani.
e) Bulging pada kuadran posterior.
f) Perforasi dibagian kuadran posterior / inferior, membran timpani
akan tampak opaque dengan eksudat yang mengalir (Kerschner,
2007).
4) Stadium Otitis Media Akut :
a) OMA stadium oklusi tuba :
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani suram, refleks
cahaya memendek dan menghilang. Gambaran retraksi membran
timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Kadang
membran timpani tampak normal berwarna keruh pucat.
b) OMA Stadium hiperemi :
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani hiperemis dan
udem serta refleks cahaya menghilang pada cone of light. Sekret
yang terbentuk mungkin masih bersifat serus sehingga sulit
dilihat. Keluhan sperti demam dan nyeri telinga mulai dirasakan
penderita.
c) OMA Stadium supurasi :
Keluhan dan gejala klinik bertambah hebat. Pemeriksaan
otoskopik tampak membran timpani menonjol keluar (bulging)
dan ada bagian yang berwarna pucat kekuningan sebagai daerah
nekrosis akibat iskemi oleh penekanan terus menerus eksudat
pada kapiler timpani.
d) OMA Stadium perforasi :
Anak yang sebelumnya gelisah menjadi lebih tenang, demam
berkurang. Pada pemeriksaan otoskopik tampak cairan di liang
telinga yang berasal dari telinga tengah. Membran timpani
perforasi. Stadium perforasi bisa tidak ditemukan jika deteksi dini
dan penanganan adekuat dilakukan.
e) Stadium resolusi:
Pemeriksaan otoskopik, tidak ada sekret/kering dan membran
timpani berangsur menutup. Jika pengobatan tidak adekuat akan
terjadi rekurensi dan menjadi Otitis Media Kronik (Djaafar, et al.,
2010).
Tabel 1. Perbedaan Otitis eksterna dan Otitis Media
Otitis eksterna Otitis media
Gambaran peradangan pada pina Peradangan dilihat dari
atau meatus acusticus externa membran timpani
(Adams, et al., 1997).

7. Interpretasi Informasi II
a. Keadaan umum anak Abon tampak sakit. Vital sign : nadi meningkat,
respirasi, dan tekanan darah dalam batas normal, dan peningkatan
temperatur oleh karena demam. Status generalis dalam batas normal.
b. Pemeriksaan otoskopi :
1) Aurikula, pre-aurikula dan retro-aurikula dalam batas normal.
2) Palpasi adanya nyeri gerak aurikula dan nyeri tekan tragus pada
telinga kanan, dapat menunjukkan adanya radang pada telinga
tersebut (termasuk manifestasi klinis OMA).
3) Meatus auditorius eksterna dalam batas normal, tidak edema, tidak
hiperemis, dan tidak terdapat furunkel.
4) Membran timpani pada telinga kanan mengalami edema, hiperemis,
bulging dan cone of light tidak tampak. Dapat menunjukkan terjadi
inflamasi serta adanya cairan di belakang membran timpani sehingga
muncul gambaran bulging dan cone of light tak tampak.

8. Mengeliminasi Differential Diagnosis dan Menentukan Diagnosis Kerja


a. Rhinofaringitis : DD ini dieliminasi oleh karena pada pemeriksaan fisik
tidak ditemukan edema dan hiperemis dari concha serta hiperemis pada
faring (status generalis dalam batas normal).
b. Miringitis bulosa : walau terdapat nyeri aurikula serta tanda-tanda
inflamasi pada membran timpani, DD ini juga dieliminasi oleh karena
standar dari miringitis adalah terdapatnya bula pada membrane timpani,
sedangkan pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan adanya bula.
c. Mastoiditis akut : manifestasi klinis mastoiditis hampir sama dengan
OMA, hanya saja karena tidak ditemukan edema post-aurikula serta
tidak adanya nyeri tekan pada mastoid, DD ini juga dieliminasi.
d. Otitis eksterna akut : DD ini dieliminasi karena pada pemeriksaan
otoskopi bagian dari telinga luar (aurikula serta MAE) masih dalam
batas normal, tak tampak adanya edema maupun hiperemis, serta tak
tampak adanya sekret.
e. Otitis media akut : baik dari anamnesis serta pemeriksaan fisik,
manifestasi klinis tersebut muncul pada OMA. Dari anamnesis yang
dikeluhkan berupa otalgia, penurunan pendengaran, demam, batuk,
pilek dan nyeri tenggorokan (sebagai penyebab OMA), serta hasil
pemeriksaan otoskopi berupa nyeri tekan tragus (+), nyeri gerak
aurikula (+), edema dan hiperemis pada membran timpani dan
gambaran bulging serta tidak tampaknya cone of light merupakan tanda
khas OMA. Keadaan pasien yang tampak sakit, nadi dan suhu
meningkat, otalgia berat serta bulging membran timpani menunjukkan
anak Abon sudah mencapai stadium supurasi.
Diagnosis Kerja : Otitis Media Supuratif Akut Aurikula Dextra.

C. RUMUSAN TUJUAN BELAJAR


1. Pemeriksaan pendengaran atau garpu tala
2. Interpretasi informasi III
3. Definisi, etiologi, dan epidemiologi otitis media supuratif akut
4. Patogenesis otitis media supuratif akut
5. Patofisiologi otitis media supuratif akut
6. Penegakkan diagnosis otitis media supuratif akut
7. Penatalaksanaan otitis media supuratif akut
8. Interpretasi informasi IV
9. Komplikasi otitis media supuratif akut
10. Prognosis otitis media supuratif akut
D. BELAJAR MANDIRI SECARA INDIVIDUAL ATAU KELOMPOK
1. Pemeriksaan pendengaran atau garpu tala
a. Rinne
Garpu tala (frekuensi 256/512) digetarkan. Tangkai garpu tala
diletakkan di processus mastoid penderita. Bila penderita tidak
mendengar suara lagi, kaki garpu tala didekatkan di depan liang telinga
penderita kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne (+), bila
tidak terdengar disebut Rinne (-) (Soetirto, et al., 2009).
b. Weber
Garpu tala digetarkan kemudian tangkainya diletakkan di tengah
garis kepala (vertex, dahi, pangkal hidung, tengah-tengah gigi seri, atau
di dagu) penderita. Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada
salah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila
tidak dapat dibedakan ke arah mana bunyi terdengar lebih keras
dikatakan weber tidak ada lateralisasi (Soetirto, et al., 2009).
c. Schwabach
Garpu tala digetarkan, kemudian tangkai garpu tala diletakkan
pada processus mastoid pemeriksa, bila telah tidak terdengar diletakkan
pada penderita atau sebaliknya (dianggap pemeriksa normal). Apabila
penderita masih mendengar meskipun pemeriksa sudah tidak
mendengar berarti Schwabach memanjang. Apabila pemeriksa masih
mendengar meskipun tidak lagi terdengar oleh penderita berarti
Schwabach memendek (Soetirto, et al., 2009).

Tabel 2. Pemeriksaan Garpu Tala Beserta Interpretasi Hasil


Tes Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis
Rinne
Positif Lateralisasi (-) Sama dengan Normal
pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke Memanjang Tuli
telinga yang sakit konduktif
Positif Lateralisasi ke Memendek Tuli
telinga yang sehat sensorineural
Catatan : Pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif
(Soetirto, et al., 2009)

2. Interpretasi informasi III


a. Tes Rinne negatif pada aurikula dextra tuli konduksi
b. Tes weber lateralisasi ke aurikula dextra (telinga sakit) tuli konduksi
c. Tes Schwabach memanjang pada aurikula dextra tuli konduksi
Sehingga bisa disimpulkan anak Abon menderita tuli konduksi pada
telinga kanan oleh karena otitis media supuratif akut tersebut.

3. Definisi, etiologi, dan epidemiologi otitis media supuratif akut


a. Definisi
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah
dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala
dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau
sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare,
serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, et
al., 2003).
b. Etiologi
1) Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.
Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan
atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus
influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira
5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus
pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan
organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram
negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai
pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang
dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak
(Kerschner, 2007).
2) Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus
yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu Respiratory
syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak
30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus
atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap
fungsi tuba eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan
adesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).
Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan
virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA),
virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang
menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, et al., 2003).
c. Epidemiologi
60-80% bayi memiliki paling sedikit satu episode OMSA, dan
90% terjadi pada usia 2-3 tahun. Di Amerika Serikat angka kejadian
tertinggi dari OMSA terjadi pada usia 6-24 bulan, frekuensi OMSA
terjadi pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, biasanya anak laki-
laki lebih sedikit dibandingkan dengan anak perempuan (Kerschner,
2007).
d. Faktor resiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin,
ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air
susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan
anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba
eustachius, imatur tuba eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan
insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh
struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba eustachius. Selain itu,
sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.
Insidensi terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native
American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi
yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga
berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status
nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong
terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam
pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan
ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan
anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan
anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan
anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga
meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital
mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu,
anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik
bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

4. Patogenesis otitis media supuratif akut


Gambar 5. Patogenesis Otitis Media Akut (Djaafar, et al., 2010)

5. Patofisiologi Otitis Media Supuratif Akut


Telinga tengah biasanya steril, karena gabungan aksi fisiologis silia,
enzim penghasil mucus (misalnya muramidase) dan antibodi berfungsi
sebagai mekanisme petahanan bila telinga terpapar dengan mikroba
kontaminan saat menelan. Otitis media akut terjadi apabila ada gangguan
pada mekanisme fisiologis tersebut (Mansjoer, et al., 2001).
OMA mudah terjadi pada bayi dan anak karena tuba eustachiusnya
relatif pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Normalnya lapisan
mukosa pada telinga tengah menyerap udara pada telinga tengah, jika ada
sumbatan di tuba eustachius, udara tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi
tekanan negatif dan menimbulkan efusi serosa. Efusi ini pada telinga
tengah merupakan media untuk perkembangbiakan mikroorganisme dan
dengan adanya infeksi saluran napas atas dapat terjadi invasi virus dan
bakteri ke telinga tengah, berkolonisasi dan menyerang jaringan dan
menimbulkan infeksi. Meskipun infeksi saluran napas terutama
disebabkan oleh virus namun sebagian besar infeksi otitis media akut
disebabkan oleh bakteri piogenik. Bakteri yang sering ditemukan antara
lain Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza dan
Streptococcus -hemoliticus. Sejauh ini Streptococcus pneumoniae
merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok umur.
Hemophillus influenza adalah patogen yang sering ditemukan pada anak di
bawah usia 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang
dewasa. Gejala klasik otitis media akut antara lain berupa nyeri, demam,
malaise dan kadang kadang nyeri kepala di samping nyeri telinga;
khusus pada anak anak dapat terjadi anoreksia, mual dan muntah.
Seluruh atau sebagian membran timpani secara khas menjadi merah dan
menonjol dan pembuluh pembuluh darah di atas membrane timpani dan
tangkai maleus berdilatasi dan menjadi menonjol (Mansjoer, et al., 2001).
Banyak kasus pencetus OMA disebabkan oleh infeksi saluran nafas
atas yang mengakibatkan kongesti, bengkak dari mukosa nasalis,
nasopharynx dan tuba eustachius. Sumbatan dari isthmus tuba auditiva
akibat dari penimbunan secret dari telinga tengah : hasil perlawanan tubuh
terhadap bakteri atau virus yang berupa nanah sebagai penyebab utama
OMA. Perluasan radang atau infeksi dari hidung atau nasopharynx
kedalam cavum timpani dimungkinkan akibat ada hubungan langsung
hidung dan cavum timpani melalui tuba eustachius serta persamaan jenis
mukosa antara kedua tempat tersebut (Mansjoer, et al., 2001).
Pembengkakan pada jaringan sekitar saluran tuba eustachius dapat
menyebabkan sekret tidak dapat keluar dan akan terakumulasi pada cavum
timpani. Radang yang terjadi pada membran timpani membuat hiperemis.
Sekret yang terakumulasi, lama-lama mendesak membran timpani keluar,
sehingga timbul gambaran bulging yang terasa sakit. Membran timpani
yang terdesak, getarannya akan melemah, ditambah dari getaran osikula
auditiva yang terhambat oleh cairan, menjadikan tuli konduksi
(Donaldson, 2013; Lalwani, 2007).

6. Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Akut


Amoksisilin merupakan first line terapi dengan pemberian 80 mg/kg
BB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin
efektif terhadap Streptococcus pnemoniae, jika pasien alergi ringan
terhadap amoksisilin dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second
line terapi seperti amoksisilin-klavulant efektif terhadap Haemophilus
influenza dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus pnemoniae.
Apabila second line terapi kurang respon, lakukan third line terapi yaitu
dengan melakukan pembedahan meningotomi. Meningotomi ialah
tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase
secret dari telinga tengah ke telinga luar (Lieberthal, et al., 2013).
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan
stadiumnya. Setiap pengobatan telinga harus dibersihkan dengan steril
(Djaafar, et al., 2010)
a. Stadium Oklusi Tuba
1) Berikan antibiotik selama 7 hari :
a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
b) Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x
sehari atau
c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x
sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik jika demam (Djaafar, et al., 2010).
b. Stadium Hiperemis
1) Berikan antibiotik selama 10 14 hari :
a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
b) Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x
sehari atau
c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x
sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simptomatis lainnya (Djaafar,
et al., 2010).
c. Stadium Supurasi
1) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
2) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral
selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik peroral selama 14 hari.
3) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis
THT untuk dilakukan miringotomi (Djaafar, et al., 2010).
d. Stadium Perforasi
1) Berikan antibiotik selama 14 hari
2) Cairan telinga dibersihkan dengan obat cuci telinga Solutio H2O2 3%
dengan frekuensi 2 3 kali selama 3-5 hari sekali (Djaafar, et al.,
2010).

Miringotomi adalah tindakan insisi pada tensa membran timpani


agar teradi drainase sekret dari telinga tengah ke telinga luar. Syaratnya :
pasien tenang, membran timpani terlihat jelas, pisau khusus dan steril
(Djaafar, et al., 2010).

7. Komplikasi Otitis Media Supuratif Akut


a. Mastoiditis
1) Abses Bezold
2) Abses Citelli
b. Paralisis nervus fasial
c. Labirintitis
d. Komplikasi intracranial : meningitis, abses ekstradural, abses subdural,
thrombosis sinus sigmoid.
e. Otitis media kronik
f. Otitis adesif
g. Timpanosklerosis (Simon, et al., 2009).

8. Prognosis Otitis Media Supuratif Akut


Prognosis otitis media supuratif akut masih tergolong baik. Jarang
ditemukan adanya komplikasi, membran timpani dapat pulih kembali,
serta pendengaran pun dapat membaik kembali. Sangat jarang ditemukan
efusi telinga tengah atau perforasi persisten. Hanya sedikit persentase
pasien yang kemudian mengalami mastoiditis akut serta amat langka
terjadi pada pasien yang mengalami komplikasi intracranial (Ransome,
1987).
BAB III
KESIMPULAN

1. Diagnosis kerja pada kasus ini adalah otitis media supuratif akut aurikuler
dextra.
2. Otitis media akut sering disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarhalis, walau dapat
pula disebabkan oleh virus.
3. Sering terjadi pada anak-anak oleh karena tuba eustachius anak-anak masih
pendek, lebar dan datar, sehingga bakteri mudah masuk dari nasofaring menuju
telinga tengah dan kemudian menyebabkan inflamasi dan terjadilah otitis
media akut.
4. Manifestasi klinis dari otitis media akut berupa otalgia, penurunan
pendengaran, demam, serta inflamasi pada telinga tengah seperti edema dan
hiperemis membran timpani serta tampak bulging pada membran timpani.
5. Penatalaksanaan otitis media supuratif akut dapat berupa pemberian antibiotik,
dekongestan, serta antipiretik atau analgesik atau obat simptomatis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G., Boies L., Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.
Alberti, Peter W. 2006. The Anatomy and Physiology of the Ear and Hearing.
Singapore : Department of Otolaryngology.
Alper, Cuneyt M., Charles D. Bluestone. 2004. Advanced Therapy of Otitis
Media. Ontario : BC Decker.
Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. Jakarta : EGC.
Bhatt, Reena A. 2011. Ear Anatomy. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1948907-overview#showall. Diakses
pada tanggal 09 April 2013.
Buchman, C. A., J. D. Levine, T. J. Balkany. 2003. Infection of the Ear. Dalam :
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA : McGraw-Hill.
Chen, R. C., A. S. Khorsandi, D. R. Shatzkes, R. A. Holliday. 2009. The
Radiology of Referred Otalgia. American Journal of Neuroradiology. Vol.
30 : 1817-23.
Davis, Hallowell, Sol Richard Silverman. 1970. Hearing and Deafness. New
York : Holt McDougal.
Djaafar, Zainul A., Helmi, Ratna D. Restuti. 2010. Kelainan Telinga Tengah.
Dalam : Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorok. Jakarta : FKUI.
Donaldson, John D. 2013. Acute Otitis Media. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#showall. Diakses
pada tanggal 12 April 2013.
Flint, P. W., Haughey B. H., Lund V. J., et al. 2010. Cummings Otolaryngology
Head and Neck Surgery. St. Louis : Mosby Elsevier.
Goldman, L., Schafer Al. 2011. Cecil Medicine. Philadelphia : Saunders Elsevier.
Kerschner, J.E. 2007. Otitis Media. Dalam : Nelson Textbook of Pediatrics. USA
: Saunders Elsevier.
Koch, Karen. 2012. Managing otitis externa. South African Pharmaceutical
Journal. Vol. 79 (8) : 17-22.
Lalwani, Anil K. 2007. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head
& Neck Surgery. USA : Mc Graw-Hill.
Lieberthal, Allan S., Aaron E. Carroll, Tasnee Chonmaitree, et al. 2013. The
Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. American Academy of
Pediatrics. Vol. 131 (3) : e964-99.
Longo, Dan, Anthony Fauci, Dennis Kasper, Stephen Hauser, et al. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine. USA : McGraw-Hill.
Majumdar, S., K. Wu, N. D. Bateman, J. Ray. 2009. Diagnosis and management
of otalgia in children. Archives of Disease in Childhood Education &
Practice Edition. Vol. 94 : 33-6.
Mansjoer, Arif, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius.
Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. 2004. Basic Otorhinolaryngology.
Stuttgart : Georg Thieme.
Ransome, Joselen. 1987. Acute Suppurative Otitis Media. Dalam : Scott-Browns
Otolaryngology. London : Butterworths.
Scarbrough, Todd J., Terry A. Day, Todd E. Williams, et al. 2003. Referred
Otalgia in Head and Neck Cancer: A Unifying Schema. American Journal
of Clinical Oncology. Vol. 26 (5) : e157-62.
Schweinfurth J. 2009. Middle ear, tympanic membran, infections. Available at :
http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 11 April 2013.
Simon, Chad, Harold Pine, Francis B. Quinn, Melinda Stoner Quinn. 2009.
Complications of Acute Otitis Media. Available at :
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/pedi-otitis-091026/pedi-otitis-slides-
091026.pdf. Diakses pada tanggal 11 April 2013.
Soepardi, Efiaty Arsyad, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi
Restuti. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. Jakarta : FKUI.
Soetirto, Indro, Hendarto Hendarmin, Jenny Bashiruddin. 2009. Gangguan
Pendengaran (Tuli). Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai