Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Spondilolistesis merupakan pergeseran kedepan korpus vertebra dalam hubungannya

dengan sacrum atau kadang hubungan dengan vertebra lainnya. Kelainan terjadi akibat hilangnya

kontinuitas pars intervertebralis sehingga menjadi kuran kuat untuk menahan pergeseran tulang

belakang. Dikenali 5 jenis utama spondilolistesis, yaitu : displastik (kongenital), isthmic,

degeneratif, trauma dan patologis (Samsuhidajat, dkk., 2002).

Gejalanya berupa nyeri pinggang yang semakin hebat bila berdiri, berjalan,atau berlari,

dan berkurang bila beristirahat. Biasanya otot biceps femur, semitendinosus, semimembranosus

dan grasilis tegang sehingga ekstensi tungkai terbatas. Foto rontgen memberikan gambaran yang

jelas menunjukkan kelainan vertebra. Kelainan ini mungkin tidak bergejala sehingga perlu

pemeriksaan klinis dan radiologis berkala. Adanya pergeseran yang progresif merupakan

indikasi untuk melakukan stabilisasi. Nyeri pinggang yangr ingan biasanya dapat diatasi dengan

pemakaian alat penguat lumbosacral (Samsuhidajat, dkk., 2002).

Pada spondilolistesis tipe kongenital, pergeseran mungkin demikian berat sehingga

mempersempit panggul dan tidak memungkinkan persalinan per vaginam (Samsuhidajat, dkk.,

2002).

Sedankan fraktur kompresi merupakan diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari

suatu penekanan atau tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut.Fraktur kompresi

vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam menopang beban tersebut,

seperti pada kasus terjadinya trauma. Pada osteoporosis, fraktur kompresi dapat terjadi gerakan

sederahana seperti terjatuh pada kamar mandi, bersin, atau mengangkat beban yang berat.
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering terjadi dan merupakan

masalah yang serius.Setiap tahun, sekitar 700.000 insidensi di Amerika Serikat, dimana

prevalensinya meningkat 25% pada wanita yang berumur diatas 50 tahun.Satu dari dua wanita

dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50 tahun menderita osteoporosis berhubungan

dengan fraktur. Insidensi fraktur kompresi vertebra meningkat secara progresif berdasarkan

semakin bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%) dan wanita

(23,5%), yang diukur berdasarkan suatu studi pemeriksaan radiologi. Meskipun hanya sekitar

sepertiga menunjukkan gejala akut, awalnya semua berhubungan dengan angka yang signifikan

meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan psikologis.

Penderita fraktur kompresi vertebra dapat mengalami penurunan kualitas hidup yang

berhubungan dengan kesehatan berdasarkan fungsi fisik, status emosi, gejala klinis, dan

keseluhuran performa fungsional, dan dampak terhadap psikologis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI VERTEBRA

Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi

medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara

segmentel yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang

torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sacral

yang menyatu (vertebra sacral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).

Gambar Anatomi Tulang Belakang


Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan lain oleh karena adanya dua

sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari

samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal dan

lumbal.Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus

intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus yang

memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang.Lingkup gerak sendi pada

vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena

adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai

ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya

semakin kecil.

Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu:

a) Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya.

b) Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina, pedikel,

prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentun-ligamentun

supraspinosum dan intraspinosum, ligamentun flavum, serta kapsul sendi.

Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di

belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, 2 pedikel,

1 prosesus spinosus, serta 2 prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang

mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas

servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian

depan dan arkus neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal

berbentuk segitiga datar dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil.

Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan
lunak yaitu ligamentun longitudinal anterior, ligamentun longitudinal posterior, ligamentun

flavum, ligamentun interspinosus, dan ligamentum supraspinosus.

Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan

komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu

satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua

dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi

intervertebralis lateralis. Tulang belakang dikatakan tidak stabil, bila kolom vertical

terputus pada lebih dari dua komponen.

Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang

menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.Semakin tinggi

kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan.Missal, jika

kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di

bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah

dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sacral

mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi.


Gambar 2. Sendi dan ligament kolumna vertebra

Gambar Persarafan tulang belakang


Gambar Gerakan kolumna vertebra

Gambar Otot yang memproduksi gerakan dari sendi intervertebrata torakal dan lumbal
2.2 SPONDILOLISTESIS

2.2.1 Definisi

Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata

spondylo yang berarti tulang belakang (vertebra) dan listhesis yang berarti

bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus vertebrae (biasanya

kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada

pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan

tetapi hal tersebut dapat terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi (Voshoor,

dkk, 2013).

2.2.2 Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital

tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional

dan stres/ tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam

terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis :(Salter, 2013)

a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat

kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan L5

inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5(Salter, 2013).

b. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau

pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada

individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya

pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra

mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut

dengan spondilolistesis. Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :(Salter, 2013)


Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolistesis

dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren yang disebabkan oleh

hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur pars interarticularis dan

paling sering terjadi pada laki-laki(Salter, 2013).

Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis.

Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih

tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang

baru(Salter, 2013).

Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian

pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam menegakkan

diagnosis kelainan ini(Salter, 2013).

c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat

degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi tersebut

akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe

spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis

degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30 %(Salter, 2013).


d. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada

elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan dengan

fraktur pada bagian pars interartikularis(Salter, 2013).

e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang

sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya

(Salter, 2013).

2.2.3 Patofisiologi

Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sehari-hari

mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.

Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing

mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmic,

degenerative, traumatic dan patologik. Spondilolistesis displastik merupakan

kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi lumbosacral joints dengan

permukaan sendi yang kecil dan inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang

terjadi, akan tetapi cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan

dengan deficit neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior

dan prosessus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area

permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral (Vokshoor, dkk., 2013).

Spondilolistesis displastik terjadi akibat defek arkus neural, seringnya pada

sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95 % kasus berhubungan dengan spina

bifida occulta. Terjaid kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun

peregserannya minimal. Spondilolistesis isthmic merupakan bentuk spondilolistesis

yang paling sering. Spondilolistesis isthmic (juga sering disebut spondilolistesis


spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering dijjumpai dengan angka

prevalensi 5-7 %. Fredericson et al menunjukkan bahwa defek spondilolistesis

biasanya didapatkan pada usia 6-16 tahun, dan pergeseran tersebut sering lebih cepat.

Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian

tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya

gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa

kebanyakan spondilolistesis isthmic tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya

gejala tidak diketahui. Secara kasar 90 % pergeseran isthmus merupakan pergeseran

tingkat rendah (low grade : kurang dari 50 % yang mengalami pergeseran) dan sekitar

10 % bersifat high grade (lebih dari 50 % yang mengalami pergeseran)(Vokshoor,

dkk., 2013).

Sistem grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai adalah system

grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori tersebut didasarkan

pengukuran jarak dari pinggir posterior korpus vertebra superior hingga pinggir

posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan dengannya pada foto

rontgen lateral. Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra

superior total : (Vokshoor, dkk., 2013)

Grade 1 adalah 0-25 %

Grade 2 adalah 25-50 %

Grade 3 adalah 50-75 %

Grade 4 adalah 75-100 %

Spondiloptosis lebih dari 100 %


Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan

spondilolisis menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional dan postural

akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis. Lordosis lumbal

dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik

pada pars interartikularis dan kelemahan pars interartikularis pada pasien muda.

Terdapat hubungan antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan

timbulnya defek pada pars interartikularis(Salter, 2013).

Pada Tipe degenerative, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit

diskus degenerative atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis.

Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian

tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya terkena.
Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat

hipertrofi ligament atau permukaan sendi(Salter, 2013).

Pada Tipe traumatic, banyak bagian arkus neural yang terkena / mengalami

fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil. Spondilolistesis

patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau berasal dari metastasis

atau penyakit metabolic tulang, yang menyebabkan mineralisasi abnormal,

remodeling abnormal serta penipisan bagian posterior sehingga menyebabkan

pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets,

tuberculosis tulang, Giant cell Tumor dan metastasis tumor (Salter, 2013).

2.2.4 Gambaran Klinis

Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe

pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa

low back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama

selama aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran

(slippage), meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi.

Tanda neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system

sensoris, motoric dan perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf.

Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan

berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :(Vokshoor, dkk., 2013)

Terbatasnya pergerakan tulang belakang

Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh

Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal

Hiperkifosis lumbosacral junction


Kesulitan berjalan

Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)

Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan

muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio

neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering

terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat

stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar

saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor halluces longus.

Penyebab gejala klaudikasio neurogenic selama pergerakan adalah bersifat

multifactorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan

duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal dengan menegangkan ligamentum flavum,

mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut mengurangi

tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang timbul (Vokshoor,

dkk., 2013).

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan radiologis (Vokshoor, dkk., 2013).

a. Gambaran Klinis

Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala

khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas

membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya.

Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri

yang spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring
tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti subluksasi vertebra. Keadaan

umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak

berhubungan dengan penyakir atau kondisi lainnya (Vokshoor, dkk., 2013).

b. Pemeriksaan Fisik

Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi

bersifat ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk postur.

Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.

Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri

umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang

nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai

timbul. Ketika pasien dalam posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan,

perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan

secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot

adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar

defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan

meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus. Defek dapat diketahui pada

posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis

biasanya negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali

pada pasien dengan sindrom cauda equine yang berhubungan dengan lesi derajat

tinggi (Vokshoor, dkk., 2013).

c. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam

diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan


spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP, Lateral

dan oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian lumbosacral

akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada lumbosacral

joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam

mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada

posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada

beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti bone scan atau CT scan

dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars

interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan. Bone scan (SPECT scan)

bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan pada defek pars

interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos. Scan positif

menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak

mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitive akan terjadi. CT scan dapat

menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang

lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat

mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal dan anatomi serabut saraf ) lebih

baik dibandingkan dengan foto polos (Vokshoor, dkk., 2013).


2.3 FRAKTUR KOMPRESI

2.3.1 Definisi

Fraktur kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu

penekanan atau tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut.Fraktur

kompresi vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam

menopang beban tersebut, seperti pada kasus terjadinya trauma. Pada osteoporosis,

fraktur kompresi dapat terjadi gerakan sederahana seperti terjatuh pada kamar mandi,

bersin, atau mengangkat beban yang berat.

Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan

membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang

mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh

dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala,

osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian

membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami

fraktur kompresi.

2.3.2 Epidemiologi

Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering terjadi dan

merupakan masalah yang serius.Setiap tahun, sekitar 700.000 insidensi di Amerika

Serikat, dimana prevalensinya meningkat 25% pada wanita yang berumur diatas 50

tahun.Satu dari dua wanita dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50 tahun
menderita osteoporosis berhubungan dengan fraktur. Insidensi fraktur kompresi

vertebra meningkat secara progresif berdasarkan semakin bertambahnya usia, dan

prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%) dan wanita (23,5%), yang diukur

berdasarkan suatu studi pemeriksaan radiologi. Meskipun hanya sekitar sepertiga

menunjukkan gejala akut, awalnya semua berhubungan dengan angka yang

signifikan meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan psikologis.

2.3.3 Etiologi

2.3.3.1 Trauma

Trauma merupakan penyebab terbanyak pada pasien yang berusia

dibawah 50 tahun, oleh karena itu fraktur yang terjadi pada laki-laki daripada

perempuan sampai usia 60 tahun. Contoh fraktur yang terjadi akibat trauma

adalah fraktur kompresi baji merupakan suatu cedera fleksi, korpus

terkompresi tetapi ligament posterior tetap utuh dan fraktur biasanya bersifat

stabil.

2.3.3.2 Posmenopausal osteoporosis

Merupakan penyebab tersering pada wanita yang berumur di atas 60

tahun.

2.3.3.3 Keganasan

Semakin bertambahnya usia begitu juga peningkatan resiko terjadinya

fraktur patologis akibat keganasan, dan multiple mieloma, nekrosis avaskular,

limpoma atau metastasis keganasan lain atau adanya infeksi juga ikut

berperan. Fraktur kompresi vertebra terjadi pada 50% sampai 70% pasien

dengan multiple mieloma.


2.3.3.4 Osteoporosis Sekunder

Beberapa pasien ditemukan memiliki densitas tuang dibawah nilai

normal berdasarkan usia. Pada kasus ini penyebab sekunder dari kehilangan

masa tulang harus diperhatikan, seperti penggunaan terapi glukokortikoid,

penggunaan alkohol, hipogonadisme, dan endokrinopati seperti hipertiroid,

dan penyakit chusing, hiperparatiroid, dan diabetes mellitus.

2.3.4 Mekanisme Cedera

Pada cedera tulang belakang, mekanisme cedera yang mungkin adalah :

2.3.4.1 Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)

Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada

leher.Ligament anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin

mengalami fraktur. Cedera ini stabil karena tidak merusak ligament posterior.

Gambar Cedera hiperekstensi

2.3.4.2 Fleksi
Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada vertebra.

Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat merusak ligament

posterior. Jika ligament posterior rusak maka sifat fraktur ini tidak stabil.

2.3.4.3 Fleksi dan Kompresi digabungkan dengan distraksi posterior

Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior

dapat mengganggu kompleks vertebra pertengahan, di samping kompleks

posterior. Berbeda dengan fraktur kompresi murni, keadaan ini merupakan

cedera tidak stabil dengan risiko progresif yang tinggi.

2.3.4.4 Pergeseran aksial (kompresi)

Kekuatan vertical yang mengenai segmen lurus pada spina servikal

atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nucleus pulposus akan

mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertical pada

vertebra, dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke

dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (brust fracture). Karena


unsur posterior utuh keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil.Fragmen

tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis dan inilah yang

menjadikan fraktur ini berbahaya, kerusakan neurologik sering terjadi.

Gambar Fraktur kompresi

2.3.4.5 Rotasi-fleksi

Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi

dan rotasi.Ligamen dan kapsul sendi teregang sampat batas kekuatannya,

kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau bagian

atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini adalah

pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas, dengan atau tanpa

kerusakan tulang.

2.3.4.6 Translasi horizontal

Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat

bergeser ke anteroposterior atau ke lateral.Lesi bersifat tidak stabil dan sering

terjadi kerusakan saraf.


Gambar Translation injury

2.3.5 Klasifikasi

Francis Denis mengembangkan konsep tiga kolum dari fraktur spinal

torakolumbal, awalnya konsep ini dikembangkan untuk mengklasifikasikan fraktur

spinal torakolumbal, namun dapat juga diaplikasikan pada tulang belakang dibawah

servikal karena secara umum anatomi tulang belakang mirip dengan vertebra torakal

dan lumbal.

Tabel Klasifikasi fraktur stabil dan tidak stabil

Tipe fraktur Bagian yang terkena Stabil vs tidak stabil

Wedge fracture Hanya anterior Stabil

Burst fracture Anterior dan middle Tidak stabil

Fracture/dislocation Anterior, middle dan Tidak stabil

injuries posterior

Seat belt fracture Anterior, middle dan Tidak stabil

posterior
Denis membagi vertebra menjadi tiga kolum. Ketidak stabilan terjadi jika

cedera terkena dua kolum yang berlanjut, contoh kolum cedera terkena kolum

anterior dan medial atau medial dan posterior. Tiga kolum tersebut yaitu:

Kolum anterior:

Ligament longitudinal anterior

Dua per tiga anterior korpus vertebra

Dua per tiga anterior diskus intervertebral

Kolum medial:

Satu per tiga korpus vertebra

Satu per tiga diskus intervertebral

Ligament longitudinal posterior

Kolum posterior:

Pedikel

Sendi facet dan processus articular

Ligamentum flavum

Neural arch dan ligament interconnecting

Menurut sistem Denis, trauma tulang belakang diklasifikasikan menjadi

cedera minor dan mayor, berdasarkan potensi risikountuk menyebabkan

ketidakstabilan. Cidera minoradalahfraktur yang disebabkan dari prosessustranversus,

prosessus artikular, pars interarticularis, dan prosessus spinosus yang hanya

melibatkan sebagian dari kolom posterior dan tidak menyebabkan ketidakstabilan

akut. cedera tulang belakang mayor diklasifikasikan ke dalam empat kategori, semua

didefinisikan dalam hal tingkat keterlibatan masing-masing dari tiga kolom, yaitu:
compression, burst, seat-belt-type, dan fraktur tipe fracture-dislocation. Setiap jenis

fraktur juga dapat dibagi beberapa subclass berdasarkan tingkat keparahan kerusakan.

Fraktur kompresi, adalah fraktur akibat kompresi dan terdapat fraktur dari

kolomanterior. Kolom tengah utuh dan bertindak sebagai engsel. Mungkin terdapat

cedera parsial dari kolom posterior, yang menunjukkan kekuatan ketegangan di tingkat

itu. kolom tengah yang kompeten mencegah fraktur dari subluksasi atau kompresi

elemen saraf oleh retropulsion fragmen dari dinding posterior ke kanal. Empat subtipe

dari fraktur kompresi dapat diidentifikasi:

Tipe A - keterlibatan kedua end plates

Jenis B keterlibatansuperiorend plate

Jenis C inferior end plate

Jenis D - tekuk dari korteks anterior dengan kedua end plates utuh.

Burst fraktur, terjadi akibat beban aksial dari kedua kolum yaitu kolum anterior

dan kolom tengah yang berasal di tingkat satu atau kedua ujung-piring dari vertebra

yang sama. Lima jenis burst fraktur dapat digambarkan.

Tipe A: Fraktur pada keduaend-plates. tulang yang retropulsed ke kanal.


Tipe B: Fraktur superior end-plate. Hal ini umum dan terjadi karena kombinasi

bebanaksial dengan fleksi.

Jenis C: Fraktur inferior end-plate.

Jenis D: rotasi burst. fraktur ini bisa salah didiagnosis sebagai fraktur-

dislokasi.Mekanisme cedera ini adalah kombinasi dari beban aksial dan rotasi.

Jenis E: Burst fleksi lateral. Jenis fraktur berbeda dari fraktur kompresi lateral yang

menyajikan peningkatan jarak interpediculate pada anteroposterior pemeriksaan

radiologis.

Gambar Tipe burst fracture

Fraktur seat-belt-type, kedua posterior dan kolom tengah gagal karena hiper-

fleksi dan akibat adanya tegangan. Bagian anterior dari kolom anterior sebagian

mungkin rusak di bawah kompresi, tapi masih berfungsi seperti engsel. Tidak ada
subluksasi, dan tulang belakang adalah utamanya tidak stabil jika dalam posisi fleksi.

Fraktur seat-belt-type dapat dibagi menjadi dua subtipe:

Cedera satu tingkat: Ini hadir sebagai fraktur sederhana melalui tulang, atau

sebagai gangguan ligamen melewati ligamen kompleks posterior dan disc

intervertebralis.

Cedera dua tingkat: Kolom tengah pecah baik melalui tulang atau disk. Pola

cedera ini sebanding dengan kondisi yang disajikan dalam fraktur hangmans.

Gambar Fraktur seat-belt

Fraktur dislokasi, terjadi karena kegagalan ketiga kolom di bawah kompresi,

ketegangan, rotasi, atau geser. Hal ini mirip dengan kursi-belt-jenis cedera. Namun,

engsel anterior juga terganggu dan beberapa derajat dislokasi hadir. Ada tiga subtipe

dari fraktur-dislokasi bsed pada mekanisme cedera: flexion rotation, flexion

distraction, and shear.


Fraktur dislokasi tipe flexion-rotation

Fraktur dislokasi tipe flexion-distraction

Fraktur dislokasi tipe shear (posteroanterior shear, anteroposterior shear)

Gambar fraktur dislokasi. Dari kiri ke kanan, tipe flexion-rotation tipe flexion-distraction

tipe shear (posteroanterior shear, anteroposterior shear)

2.3.6 Cedera Medula Spinalis

2.3.6.1 Antara Vertebra Th I dan Th X

Segmen korda lumbal petama pada orang dewasa berada pada tingkat

vertebra T10. Akibatnya, transeksi korda pada tingkat itu akan

menghindarkan korda toraks tetapi mengisolasikan seluruh korda, lumbal dan

sacral, disertai paralisis tungkai bawah dan visera. Akar toraks bagian bawah

juga dapat mengalami transeksi tetapi tidak banyak pengaruhnya.

2.3.6.2 Di Bawah Vertebra Th X

Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus medularis) di antara

vertebra T1 dan L1, dan meruncing pada ruang di antara vertebra Li dan
L2.Akar saraf L2 sampai S4 muncul dari konus medularis dan beraturan turun

dalam suatu kelompok (cauda equine) untuk muncul pada tingkat yang

berurutan pada spina lumbosacral. Karena itu, cedera spina di atas vertebra

T10 dapat menyebabkan transeksi korda, cedera di antra T10 dan L1 dapat

menyebabkan lesi korda dan lesi akar saraf, dan cedera di bawah vertebra L1

hanya menyebabkan lesi akar syaraf.

Akar sacral mempersarafi:

a) Sensasi dalam daerah pelana, suatu jalur di sepanjang bagian

belakang paha dan tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar telapak

kaki.

b) Tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan

kaki.

c) Refleks anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki

pengendalian kencing.

Akar Lumbal mempersyarafi:

a) Sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang dipasok oleh

segmen sakral.

b) Tenaga motoric pada otot yang mengendalikan pinggul dan lutut,

refleks kremaster dan reflek lutut.

Bila cedera tulang berada pada sambungan torakolumbla, penting

untuk membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar saraf dan

transeksi korda dengan kerusakan akar saraf. Pasien tanpa kerusakan akar

saraf akan jauh lebih baik.


2.3.6.3 Lesi Korda Lengkap

Paralisis lengkap dan tidak ada sensasi di bawah tingkat cedera

menunjukkan transeksi korda.Selama stadium syok spinal, bila tidak ada

refleks anal (tidak lebih dari 24 jam pertama) diagnosis tidak dapat

ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan deficit saraf terus

berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi korda lengkap yang

berlangsung lebih dari 72 jam tidak akan sembuh.

2.3.6.4 Lesi Korda Tidak Lengkap

Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan

peniti di daerah perianal) menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis

baik.Penyembuhan dapat berlanjut sampai 6 bulan sedelah

cedera.Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma korda centra.Di

bawah vertebra T 10, diskrepansi antara tingkat neurologic dan tingkat rangka

adalah akibat traseksi akar yang turun dari segmen yang lebih tinggi dari lesi

korda.

Tabel Incomplete Cord Syndrome

Sindrom Deskripsi

Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi

motorik dan sensifitas terhadap nyeri,


Anterior cord
temperatur, namun fungsi propioseptif masih

normal

Propioseftif ipsilateral normal, motoric hilang


Brown-sequard
dan kehilangan sensivitas nyeri dan temperatur
pada sisi kontralateral

Khusus pada region central, anggota gerak atas


Central cord
lebih lemah disbanding anggota gerak bawah

Dorsal cord Lesi terjadi pada bagian sensori terutama

(posterior cord) mempengaruhi propioseptif

Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar

Conus medullaris degan kanalis neuralis; arefleks pada vesika

uranaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis

Cauda eqiuna neuralis yang mengakibatkan arefleksia vesika

urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Grading system pada cedera medulla spinalis:

1. Klasifikasi Frankel

Grade A: motoris (-) sensoris (-)

Grade B: motoris (-) sensoris (+)

Grade C: motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D: motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E: motoris (+) normal sensoris (+)

2. Klasifiasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Tabel ASIA impairment scale

Grade Description

A Lengkap: tidak ada sensorik maupun motorik dibawah level


defisit neurologi

Tidak lengkap: sensorik maupun motoriknya menurun di


B
bawah level deficit neurologi

Tidak lengkap: sensorik baik dan fungsi motorik dibawah


C
defisit neurologi memiliki kekuatan otot dibawah 3

Tidak lengkap: sensorik baik namun kekuatan otot


D
motoriknya lebih dari 3 atau sama dengan 3

E Fungsi sensorik dan motorik normal

2.3.7 Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar kasus, pasien tidak menceritakan adanya trauma yang

signifikan meskipun mereka kadang-kadang menjelaskan aktifitas yang

meningkatkan tarikan pada tulang belakang, seperti mengangkat jendela, mengangkat

anak kecil dari tempat tidur, atau gerakan melenturkan badan secara berlebihan.

Trauma dengan energy yang besar biasanya ditemukan pada pasien berusia muda,

terutama pada laki-laki dengan densitas tulang yang normal.

Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala.Pada saat

fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti rasa nyeri yang dalam pada sisi

fraktur.Jarang sekali menyebabkan kompresi pada medulla spinalis, tampilan klinis

menunjukkan miolopatik fraktur dengan tanda dan gejala nyeri radikuller yang

nyata.Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh banyak gerak, dan pasien biasanya

merasa lebih nyaman dengan beristirahat.


Fraktur kompresi biasanya bersifat incidental, menunjukkan gejala nyeri

tulang belakang ringan sampai berat.Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh

karena terjadinya kifosis dan scoliosis.Pasien juga menujukkan gejala-gejala pada

abdomen seperti rasa perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia, dan penurunan

berat badan.Gejala pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya

kapasitas paru.

2.3.8 Komplikasi Fraktur Kompresi Vertebra

Apabila fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak, komplikasi

jangka panjangnya sangat penting. Konsekuensinya dapat dikategorikan sebagai

biomekanik, fungsional, dan psikologis.

2.3.8.1 Biomekanik

Nyeri tulang belakang persisten dalam kaitannya dengan faktor-faktor

mekanik dan kelemahan otot akibat terjadinya kyphosis. Gejala-gejala pada

abdomen, kyphosis progresif, terutama dengan fraktur kompresi multiple,

menyebabkan pemendekan tulang belakang thorak sehingga menyebabkan

penekanan pada abdomen, dimana dapat menyebabkan gejala gastrointestinal

seperti rasa cepat kenyang dan tekanan abdomen. Pada beberapa pasien yang

mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang signifikan, costa bagian

terbawah akan bersandar pada pelvis, menyebabkan terjadinya abdominal

discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia

yang dapat mengakibatkan penurunan berat badan terutama pada pasien yang

berusia lanjut.Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi vertebra

dan kyphosis umumnya ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan


penurunan kapasitas vital paru.Dallam persamaan, setiap fraktur menurunkan

kapasitas vital 9%.Meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Karena terjadinya

kyphosism maka beban berlebih akan ditopang oleh tulang disekitarnya,

ditambah lagi dengan adanya osteoporosis semakin mengingkatkan risiko

terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra mengalami fraktur

kompresi semakin meningkatkan adanya fraktur tambahan lima kali lipat

dalam setahun.

2.3.8.2 Fungsional

Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih

rendah dalam performa fungsional dibandingkan dengan control, lebih

banyak membutuhkan pembantu, pengalaman lebih sering mengalami sakit

saat bekerja, dan mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Penelitian terbaru pada pasien-pasien ini memiliki nilai yang rendah pada

indeks kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan berdasarkan

fungsi fisik, status emosi, gejala klinis, dan keseluhuran performa fungsional.

Oleh karena itu, banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra

akan menjadi tidak aktif, dengan berbagai alas an antara lain rasa nyeri akan

berkurang dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi.

Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada akhirnya akan

mengakibatkan semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas

sehari-hari.

2.3.8.3 Psikologis
Kejadian depresi meningkat pada pasien yang menderita fraktur

kompresi vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh, detorientasi

dalam kemampuan merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien

yang mengalami depresi biasanya yang mengalami lebih dari satu fraktur dan

akan menjadi cepat tua dan terisolasi secara sosial.

2.3.9 Diagnosis

Diagnosis fraktur kompresi vertebra dapat dilakukan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

2.3.9.1 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri,

sehingga tanda-tanda osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih tampak.

Kemudian pemeriksaan dilakukan dengan menekan vertebra dengan ibu jari

mulai dari atas sampai ke bawah yaitu pada prosesus spinosus.Fraktur

kompresi vertebra dapat terjadi mulai dari oksiput sampai dengan sacrum,

biasanya terjadi pada region pertengahan thorak (T7-T8) dan pada

thorakolumbal junction.Ulangi lagi pemeriksaan sampai benar-benar

ditemukan lokasi nyeri yang tepat.Nyeri yang berhubungan dengan

pemeriksaan palpasi vertebra mungkin disebabkan oleh adanya fraktur

kompresi vertebra.

Adanya deformitas pada tulang belakang tidak mengindikasikan

adanya fraktur.Jika tidak ditemukan nyeri yang tajam, kemungkinan hal

tersebut merupakan suatu kelainan tulang belakang yang berkaitan dengan

umur. Pemeriksaan selajutnya dilakukan dengan membantu pasien melakukan


gerakan fleksi dan ekstesi pada tulang belakang, gerakan ini akan

menyebabkan rasa nyeri yang disebabkan oleh adanya fraktur kompresi

vertebra.

Spasme otot atau kekakuan otot dapat terjadi sebagai akibat dari

kekuatan otot melawan gravitasi pada bagian anterior dari

vertebra.Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan.Tidak jarang pada kasus

osteomyelitis mempunyai gejala yang mirip dengan fraktur kompresi

vertebra.

2.3.9.2 Radiologi

2.3.9.2.1 X Foto Vertebra

Selama pemeriksaan fisik, marker radioopak mungkin

ditempatkan pada kulit pada daerah yang paling terasa nyeri,

karena bagaimanapun juga perlu difikirkan adanya neoplasma

atau adanya erosi pada endplate akibat osteomyelitis. Posisi

anteroposterior dan lateral dilakukan untuk mengetahui adanya

fraktur kompresi vertebra. Fraktur kompresi vertebra

asimptomatik tidak selalu menunjukkan kolaps vertebra pada

gambaran radiologi. Fraktur kompresi vertebra secara radiografi

digambarkan sebagai penurunan panjang vertebra lebih dari 15%,

umumnya ditemukan pada vertebra thorakolumbal secara

anteroposterior dan lateral. Bagian thorakolumbal yang biasa

terkena adalah T8, T12, L1 dan lumbal nagian bawah terbanyak

adalah L4.
Gambar Rontgen fraktur kompresi vertebra

2.3.9.2.2 MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Jika sumber nyeri tidak dapat ditemukan, MRI dapat

menunjukkan adanya keganasan, mengidentifikasi adanya fraktur

dan membantu dalam menentukan terapi yang tepat.Adanya short

tau inversion recovery(STIR) paling ideal diperiksa dengan MRI


Gambar MRI fraktur kompresi vertebra

2.3.9.2.3 CT Scan

CT scan sangan berguna menggambarkan adanya fraktur

dan dapat memberikan informasi jika tentang adanya kelainan

densitas tulang. CT Scan dan MRI juga sangat penting dalam

menentukan diferensial diagnosis karena adanya penyempitan

kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertevra dapat

digambarkan.
Gambar CT Scan fraktur kompresi vertebra

2.3.9.2.4 Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur

dan tingkat osteoporosis karena keammpuannya dalam

menggambarkan densitas tulang.

2.3.9.2.5 Scintigraphy

Merupakan suatu metode diagnostic yang menggunakan

deteksi radiasi sinar gamma untuk menggambarkan kondisi dari

jaringan atau organ, juga merupakan metode ayng penting untuk

memprediksi hasil (outcome) dari beberapa teknik operasi.


BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : Ny. Pariyem

Usia : 24 th

Jeniskelamin : Perempuan

Alamat : Sembungharjo 01/06 Genuk Semarang

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SMA

Status : Belum menikah

SukuBangsa : Jawa (WNI)

Ruangan : ICU

3.2 Anamnesa (Alloanamnesa)

Anamnesis

Seorang pasien laki-laki usia 24 tahun datang dibawa oleh keluarga ke RSI

Sultan agung dengan kondisi tidak sadarkan diri. Sebelumnya pasien muntah dan kejang

kejang setelah meminum alkohol. Saat kejang pasien terjatuh kemudian tidak sadarkan diri.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat kencing manis, kolesterol, asam urat disangkal.


Riwayat darah tinggi (-), tidakminumobat

Riwayat stroke sebelumnya (-)

Riwayat trauma kepala (+)

Riwayat penyakit keluarga

Hipertensi (-)

diabetes mellitus (-)

alergi (-)

asma (-)

Riwayat penyakit yang sama di keluarga (-)

Riwayat sosial ekonomi dan pribadi

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : GCSE1M3V1

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Tekanan darah : 130/90mmHg

Nadi : 104x/menit reguler

Pernapasan : 20x/menit

Suhu : 36,70C

Tinggi badan : 160cm

Berat badan : 60 kg

IMT : 23,43 kg/m2

Status generalis
Kulit : sawo matang, tidak pucat

Kepala :mesosefal tidak terlihat ada deformitas maupun fraktur capitis

Mata : konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor 2 mm, refleks

cahaya langsung (+), refleks cahaya tidak langsung (+)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), tidak adapembesaran tiroid.

Paru : pernapasan simetris saat statis dan dinamis, ada napas cuping hidung,

adapenggunaan otot bantu napas, suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-), wheezing (-).

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 cm di medial linea midclavicula

sinistra

Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal.

Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), bising (-)

Abdomen :

Inspeksi : datar, venektasi (-), jejas (-),gambaran gerak usus (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-),ballotemen ginjal kanan (+) kiri (+),lien dan

hepar tak teraba

Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-) normal, nyeri ketok

costovertebra (+/+)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Anggota gerak : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik.

3.4 Diagnosis
3.5 PemeriksaanPenunjang

3.5.1 Pemeriksaan Radiologi

3.5.1.1 Gambaran Radiologi X-Foto Vertebra

3.5.1.2 Pembacaan Hasil X-Foto Vertebra

3.5.1.3 Kesan
BAB IV

PEMBAHASAN

Di dalam kasus ini didapatkan pasien seorang laki-laki usia 24 tahun dibawa oleh

keluarga ke RSI Sultan agung dengan kondisi tidak sadarkan diri.Sebelumnya pasien muntah dan

kejang kejang setelah meminum alkohol. Saat kejang pasien terjatuh kemudian tidak sadarkan

diri. Untuk melakukan penanganan lebih lanjut perlu diketahui penyebabnya, maka pasien perlu

menjalani pemeriksaan CT-scan kepala terlebih dahulu.

Dari hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan gambaran berupa lesi hiperdens intrasulci

dan perifalksyang menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid1. Didapatkan pula gambaran

lesi hiperdens bentuk semilunar di region frontoparietal kiri yang menunjukkan perdarahan

subdural akut di regio frontoparietal kiri. Belum tampak tanda-tanda peningktan tekanan

intracranial yang berupa midline shifting, penyempitan ventrikel,sulci, fissure, cysterna. Tampak

air fluid level di sinus maksilaris kiri pada potongan SPN yang dicurigai hematosinus di sinus

maksilaris kiri. Tiak tampak discontinuitas os. Cranium maupun fraktur os. Cranium.
BAB V

KESIMPULAN

Pasiendalamkasusinididapatkan diagnosis perdarahan subarachnoid dan perdarahan

subdural di region frontoparietal kiri disertai curiga adanya hematosinus maksilaris.

Didasarkanpadapemeriksaanradiologi CT-scan didapatkanlesi hiperdens intrasulci dan perifalks

yang menunjukkan perdarahan subarachnoid. Tampak lesi hiperdens bentuk semilunar di region

frontoparietal kiri yang menunjukkan perdarahan subdural. Gambaran pada potongan sinus

paranasal tampak air fluid level di sinus maksilaris kiri yang menunjukkan adanya hematosinus.

Anda mungkin juga menyukai