Anda di halaman 1dari 6

WHOs Cardinal Sign (1997) .

Cardinal sign Klasifikasi

Hipopigmentasi atau eritema Pausibasilar (1-5 lesi kulit)


dengan disertai kehilangan sensasi

Penebalan saraf perifer


Multibasilar ( 6 atau lebih lesi
Hasil positif dalam pemeriksaan kulit)
skin smear atau biopsi

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:

1) Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.


Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem
kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil
yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadi
peradangan setiap terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit
dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB dapat
mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh penderita
lepra kemungkinan akan mengalami reaksi tipe 1.
Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah
mulai minum obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1
sebelum mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi
merupakan tanda penyakit yang sering muncul pertama yang
menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil
penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa
pengobatan maupun sesudahnya.
2) Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum
(ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar
terbunuh dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati
mencetuskan reaksi alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh
tubuh dan menyebabkan gejala sistemikkarena protein ini terdapat
dialiran pembuluh darah.
Erythema nodusum leprosum hanya terjadi pada penderita tipe
MB, terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula
pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti
bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar
kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL
termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan
komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit
kompleks imun, karena salah satu protein M. leprae bersifat
antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin
penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid.
Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh
lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi
pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman
lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan
dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Tabel Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

1 Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan sampai berat disertai


ringan (sub febris) atau kelemahan umum dan
tanpa demam demam tinggi

2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama Timbul nodul kemerahan,


menjadi lebih meradang lunak dan nyeri tekan.
(merah), dapat timbul Biasanya pada lengan dan
bercak baru tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)

3 Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi


umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
4 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar
organ lain getah bening, sendi, ginjal,
testis, dll

5 Waktu timbul Biasanya segera setelah Biasanya saat pengobatan


pengobatan
6 Tipe lepra Dapat terjadi pada lepra Hanya pada lepra tipe MB
tipe PB maupun MB

Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1 dan
tipe 2.
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

Ringan Berat Ringan Berat

1 Kulit Bercak: merah, Bercak: merah, Nodul: merah, Nodul: merah,


tebal, panas, tebal, panas, nyeri panas, nyeri panas, nyeri yang
nyeri* yang bertambah bertambah parah
parah sampai sampai pecah
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada
perabaan: (-) perabaan: (+) perabaan: (-) perabaan: (+)

Gangguan Gangguan fungsi: Gangguan Gangguan fungsi:


fungsi: (-) (+) fungsi: (-) (+)

3 Keadaan Demam: (-) Demam: Demam: Demam: (+)


umum
4 Gangguan - - - Terjadi
pada organ perdanngan pada:
lain Mata:
Iridocyclitis
Testis:
epididimoorchitis
Ginjal: nephritis
Kelenjar limfe:
limfadenitis
Gangguan pada
tulang, hidung dan
tenggorokan

*) Apabila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf
dikategorikan sebagai reaksi berat.
4 A. TERANGKAN PENGOBATAN LEPRA MENURUT WHO DAN
JANGKA PENDEK
Penatalaksanaan Lepra menurut WHO
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-
Multydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin,
klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin
dan dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat
antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua
jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan
selalu menghasilkan mengembangan resistensi obat, pengobatan
dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat
perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping obat,
ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.
Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg
setiap bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap
hari, dan dapsone 100 mg setiap hari.
Anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi
rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap
bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari.
2) MDT untuk lepra tipe PB
Dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap
bulan.
Anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap
bulan.
Note: anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun,
rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan,
dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari
klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan pada
pergantian hari, tergantung dosis
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:
1) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)
Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah korikosteroid. Biasanya diberikan
prednison 40 mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan
harus secepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk
mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak.
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Apabila diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.
2) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid
antara lain prednison dengan dosis yang disesuaikan berat
ringannya reaksi, biasanya diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari.
Dosis diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali
sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat ditambahkan
analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul
ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila
obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu
sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara terus-
menerus.
Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak
mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan
saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi lepra terutama reaksi
reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau
nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul
berupa nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya
berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya, serta adanya
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang
kancing baju, memegang benda kecil atau kesulitan berjalan.
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of
disability (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini lepra,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, mengenali
gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid secepatnya.
Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya
memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya
apabila terdapat gangguan sensibilitas.

Anda mungkin juga menyukai