Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel
(ganas) pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus
paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah
yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini
sulit diketahui secara dini. Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya
jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar
negeri, angka kejadian jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh
tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Asal tumor primer juga
sulit untuk ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien
berobat dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah
memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1,2
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat
dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal
yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi
awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena
itu, pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal
dari tumor dan mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal
jinak. Pengobatan keganasan sinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli
dengan berbagai disiplin ilmu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Hidung
Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar
(eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk oleh
tulang, kulit dan otot. Osteokartilago hidung dibungkus oleh beberapa otot yang
berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal. Kulit yang melapisi tulang
hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk
digerakkan serta mengandun banyak kelenjar sebasea. Sedangkan dibagian
dalamnya terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh
septum nasi.3

Gambar 1. (Kiri) Struktur dinding lateral hidung. (Kanan) Anatomi septum nasi

Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan choana
dibagian belakang. Didalam cavum nasi anterior inferior terdapat vestibulum yang
berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian lateralnya terdapat tiga
susun turbin konka yang disebut konka nasalis superior, media dan inferior.5
Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis baik eksterna maupun
interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang
sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion
sphenopalatina dan cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya
yang berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus
superfisial terbesar.5
Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera penciuman sebab
didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus olfaktori, konka dan vaskular
didalamnya melembabkan udara inspirasi, cilia dan rambut hidung yang terdapat
pada anteroinferior cavum nasi melindungi saluran pernapasan atas, memperbaiki
kualitas resonansi suara yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal.5

2.1.2 Sinus Paranasalis


Sinus paranasalis dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok anterior
dan posterior. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulangtulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus maxillaris, frontalis dan
ethmoidalis anterior masuk dalam kelompok anterior, kesemua sinus ini bermuara
pada meatus medius. Sedangkan kelompok posterior terdiri atas sinus ethmoidalis
posterior dan sinus sphenoidalis. Sinus ethmoidalis bermuara dengan meatus
superius cavum nasi dan sinus sphenoidalis bermuara pada resesus
sphenoethmoidalis.1,5

Gambar 2. Anatomi sinus paranasalis. (Kiri) Potongan frontal. (Kanan) Tampak


depan

Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau


epitel pernapasan, juga disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Sinus
maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin
manusia. Kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris
mengalirkan sekret ke dalam meatus media.1
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.1
Sinus etmoid beronggarongga, terdiri dari selsel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Selsel ini jumlahnya
bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior dan bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecilkecil
dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior
konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan selsel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dari lamina basalis.1
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.1
Sinus frontalis mempunyai kapasitas total volume 6-7 ml. Sinus frontalis
mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis sedangkan sinus sfenoidalis
mempunyai kapasitas total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan
sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior. Mukosa
sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel goblet, dan
kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi.
Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang
dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal
untuk dibuang.2
Secara umum, fungsi dari sinus-sinus ini adalah melembabkan dan
menghangatkan udara inspirasi, melindungi komponen beberapa organ dalam
tengkorak akibat adanya perbedaan suhu intrakranial, berperan dalam resonansi
suara dan meringankan tempurung kepala agar tidak terlalu berat akibat adanya
beberapa komponen organ yang di bebankan pada tengkorak.5

2.2 Epidemiologi Tumor Sinonasal


Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Umumnya ditemukan di Asia dan
Afrika daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah
peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring. Pria yang
terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari tumor ini terjadi
pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi
pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri.
Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas
sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3,4

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Tumor Sinonasal


Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak
faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara
lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa,
mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar
penyebab kanker pada kepala dan leher.7
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker
kepala dan leher.7
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk
diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit
sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes.
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium.
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan
sepatu.1,4,7,8,9
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV.9
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr.7,9
6. Usia, Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.7
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih sering
pada pria dibandingkan pada wanita.7
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali
terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras
radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan. 1,4,8

2.4 Patofisiologi Tumor Sinonasal


Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan,
debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun
mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang
menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu
sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu
fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan
dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu
onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan
berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati
tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel
kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau
diperlukan karsinogen yang berbeda.9,10
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh
dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10
tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga
dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional
dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.9,10
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan
kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel
normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak
didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.10
2.5 Klasifikasi Tumor
2.5.1 Tumor Jinak
a. Papiloma Skuamosa
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis
mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Etiologinya
mungkin disebabkan oleh virus, namun perubahan epitel pada papiloma skuamosa
dapat bervariasi dalam berbagai derajat diskeratosis. Lesi seringkali diamati pada
sambungan mukoutaneus hidung anterior, terutama pada batas kaudal anterior dan
septum. Untuk kepentingan diagnosis ataupun pengobatan, eksisi lesi dilakukan
dengan anestesi lokal dan di periksakan untuk biopsi.1,8
b. Papiloma Inversi
Papiloma inversi ini membalik ke dalam epitel permukaan. Jarang
ditemukan pada hidung dan sinus paranasalis, seringkali berasal dari dinding
lateral hidung dan secara makroskopis terlihat hanya seperti gambaran polip.
Tumor ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini
sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas (pada 10%
kasus). Lebih sering dijumpai pada laki-laki usia tua. Terapi pada tumor ini adalah
bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.1,7,8
c. Displasia Fibrosa
Displasia fibrosa sering mengacu pada tumor fibro-oseus tak berkapsul
yang melibatkan tulang-tulang wajah dan sering mengenai sinus paranasalis.
Etiologinya tidak diketahui, tumor ini merupakan tumor yang tumbuh lambat,
jarang disertai nyeri dan cenderung timbul sekitar waktu pubertas dimana pasien
datang dengan alasan kosmetik akibat asimetri wajah. Karena pertumbuhan tumor
kembali melambat dengan bertambahnya usia, maka kebutuhan akan pengobatan
bergantung pada derajat deformitas atau ada tidaknya nyeri. Meskipun reseksi
total diperlukan pada terapi tumor ini tapi pada mayoritas kasus hanya dilakukan
pengangkatan sebagian tumor saja untuk memulihkan kontur dan fungsi wajah.8
d. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa
yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal
dan mendorong bola mata keanterior.1,8

2.5.2 Tumor Ganas


a. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum yang sering
ditemukan pada karsinoma sinonasal, sekitar 60% dari semua kasus. Kebanyakan
karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam hidung atau sinus maksila,
tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya sudah melibatkan hidung, sel
ethmoidal dan antrum/maksila. Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma
epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus
paranasal termasuk tipe keratinizing dan nonkeratinizing. Karsinoma sel
skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-
70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan frontalis
(sekitar 1%). Gejala berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea,
nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak
kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut
dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi.1,8,11,12
Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi,
invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti pada
mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik, karsinoma
sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya
rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau
infiltratif.3
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi
seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif.4
i. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi
skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler
(sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges.
Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-
sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi
stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai dengan diferensiansi baik, sedang
atau buruk.1,3,7,8
ii. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical Cell, transitional)
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang di
karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini
dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal
sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau
karsinoma neuroendokrin.3,7

Gambar. 3 Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing.


b. Undifferentiated
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Bp.DR
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : -
Alamat : Plaju
Tanggal datang : 4 Mei 2017
No.RM : 53-75-78

II. Anamnesis
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Keluar cairan kental berwarna kehitaman sejak 13 hari
yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Os mengeluh keluar cairan kental berwarna kuning bercampur darah
berwarna kehitaman sejak 13 hari yang lalu. 14 hari lalu Os mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor dengan kecpatan 70 km/jam. Os
terjatuh miring ke sisi kiri dan terdapat bekas luka di regio supraorbital sinistra
dan di regio zigomaticum sinistra. Os memakai helm saat kecelakaan terjadi, dan
saat helm dilepas terdapat darah segar mengalir melalui lubang hidung sebelah
kiri. Os langsung dibawa ke IGD terdekat, namun Os mengaku bahwa keluar
darah dari hidungnya tidak berlangsung lama sehingga tidak diberikan tampon
dan hanya dibersihkan luka pada wajah lalu diperbolehkan pulang. Keesokan
harinya Os mengaku sering mengeluarkan cairan kental berwarna kekuningan
bercampur darah berwarna kehitaman. Os juga mengatakan sakit kepala di sebelah
kiri sejak kecelakaan sampai Os datang ke Rumah Sakit.
Sejak 18 hari yang lalu Os mengaku mengalami batuk, pilek, hidung
tersumbat dan belum sembuh sampai Os berobat ke Rumah Sakit. Tidak ada rasa
nyeri di hidung, namun pasien mengeluh sesak. Os pernah berobat untuk batuk
pilek 1 minggu yang lalu namun masih belum sembuh.
Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat trauma 14 hari
yang lalu.

Riwayat Pengobatan
Setelah kecelakaan Os langsung dibawa ke IGD, namun tidak diberikan
tampon karena darah sudah tidak mengalir ketika sampai di IGD. Luka pada
tubuh Os dibersihkan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Os mengaku tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini. Riwayat
alergi dan asma pada keluarga disangkal penderita.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi seperti bersin-bersin dan gatal-gatal ketika terkena debu,
atau setelah memakan makanan tertentu disangkal. Riwayat asma juga disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Suhu : 36,7C
Nafas : 20 x/ menit
Nadi : 82 x/ menit

Status lokalis
Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Kelainan kongenital - -
Preaurikula Radangdantumor - -
Trauma - -
Kelainan kongenital - -
Aurikula Radang dan tumor - -
Trauma - -
Edema - -
Retroaurikula
Hiperemis - -
Nyeritekan - -
Sikatriks - -
Fistula - -
Fluktuasi - -
Nyeri pergerakan - -
Palpasi aurikula
Nyeri tekan tragus - -
Kelainan kongenital - -
Kulit Tenang Tenang
Sekret + (keruh) + (keruh)
Canalis Serumen + +
Acustikus Edema - -
Externa Jaringangranulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -

Warna Putih seperti Putih seperti


Intak mutiara mutiara
Retraksi (-) (-)
Refleks cahaya (-) (-)
Perforasi (+) (+)
Membrana
(-) (-)
Timpani
Di kuadran
superior posterior.

Hidung
Rhinoskopi Cavum nasi kanan Cavum nasi kiri
anterior
Mukosa hidung Hiperemis (-), sekret Hiperemis (-), sekret (+), massa (-
(+), massa (-) )
Septum nasi Deviasi (-), dislokasi (-) Deviasi (-), dislokasi (-)
Konka inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
dan media
Meatus inferior Polip (-) Polip (-)
dan media

Mulut Dan Orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
Mukosa mulut Tenang
Lidah Bersih, basah,gerakan normal
kesegalaarah
Mulut Palatum molle Tenang, simetris
Gigi geligi Caries (-)
Uvula Simetris
Halitosis (-)
Mukosa Tenang
Besar T1 T1
Kripta : Normal - Normal
Detritus : (-/-)
Tonsil
Perlengketan (-/-)

Mukosa Tenang
Faring Granula (-)
Post nasal drip (-)
Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan :-

Leher
Kelenjargetahbening : Tidak teraba pembesaran KGB
Massa : Tidakada

IV. DIAGNOSIS BANDING


Epistaksis Anterior
Epistaksis Posterior

V. DIAGNOSIS
Epistaksis Anterior

VI. PENGELOLAAN DAN TERAPI


Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai
terapi pendukung pada pasien epistaksis. Bila pasien datang dengan
epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta tekanan
darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang
infus.
Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini
seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat
dikauterisasi dengan larutan Nitrat Argenti (AgNO3) 25-30%.
Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi
pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi
agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru
saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah
infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.
Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah
infeksi akibat pemasangan tampon.10

Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat


dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat
dilakukan pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon
Bellocg. Tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah benang, 2 di satu
sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocg, dapat
digunakan kateter Folley dengan balon.10
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan
adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian
proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit
untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai
darah ke mukosa hidung :
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior
untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri
karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anastesi lokal.
Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang
menyilang pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke
posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis.
Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna
dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah arteri faringeal
asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung
atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan benang 3/0 silk atau
linen.3
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum,
lalu dilakukan insisi Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina.
Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus
posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari
bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah
terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi
untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan
lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan
menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan
bipolarelectrocauter dan nervehook. Setelah arteri maksila interna
diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan
tampon yang telah diberi antibiotik selama 24 jam.3
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling
baik diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau
keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen
etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7
mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan
untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi
periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah
posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem
arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior
jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.3
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Os mengeluh keluar cairan kental berwarna kuning bercampur darah
berwarna kehitaman sejak 13 hari yang lalu. 14 hari lalu Os mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor dengan kecpatan 70 km/jam. Os
terjatuh miring ke sisi kiri dan terdapat bekas luka di regio supraorbital sinistra
dan di regio zigomaticum sinistra. Os memakai helm saat kecelakaan terjadi, dan
saat helm dilepas terdapat darah segar mengalir melalui lubang hidung sebelah
kiri. Os langsung dibawa ke IGD terdekat, namun Os mengaku bahwa keluar
darah dari hidungnya tidak berlangsung lama sehingga tidak diberikan tampon
dan hanya dibersihkan luka pada wajah lalu diperbolehkan pulang. Keesokan
harinya Os mengaku sering mengeluarkan cairan kental berwarna kekuningan
bercampur darah berwarna kehitaman. Os juga mengatakan sakit kepala di sebelah
kiri sejak kecelakaan sampai Os datang ke Rumah Sakit.
Sejak 18 hari yang lalu Os mengaku mengalami batuk, pilek, hidung
tersumbat dan belum sembuh sampai Os berobat ke Rumah Sakit. Tidak ada rasa
nyeri di hidung, namun pasien mengeluh sesak. Os pernah berobat untuk batuk
pilek 1 minggu yang lalu namun masih belum sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir, D., dkk. 2006. Epistaksis. Maalah Kedokteran Nusantara. Vol 39
No 3. Universitas Sumatera Utara.
2. Mangunkusumo, E dan Wardani, RS. 2007. Polip Hidung dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, edisi keenam
3. Liston, Stephen. 2014. Anatomi Telinga: Dalam Buku Ajar Penyakit THT,
BOIES. Jakarta EGC
4. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease
AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 9.
5. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu,
Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3.
Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.
6. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann, 1997: 119.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a
pocket reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc,
1994.
8. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of
common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115.
9. Thuesen AD, Jacobsen J, NepperRasmussen J. Juvenile angofobroma.
Ugeskr Leager. 2005. Vol. 167.
10. Tiwari D, Plater M, Partridge R, WestonSimons J. Primary malignan
melanoma of nose: a rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol.
34 (6): 653 4.

Anda mungkin juga menyukai