Anda di halaman 1dari 2

Siang itu, cuaca kota Bandung sangat gerah.

Kegerahan tersebut ditambah lagi dengan


kemacetan lalu lintas yang semakin menambah panasnya terik matahari yang menyengat.
Bunyi klakson mobil yang saling menyapa terdengar dengan kerasnya menandakan
perasaan kesal dari tiap pengemudi. Tak terasa aku pun ikut mendesah panjang
sebagai pertanda kekesalanku. Rapat dengan klien yang semula dijanjikan di hotel
Savoy Homann tertunda akibat kemacetan.
Rin, tolong beritahu Mr. Huygens bahwa saya akan terlambat sekitar 1 jam-an,
perintah ku kepada sekretaris baruku, Arina
Tak lama kemudian dengan cekatan Arina menghubungi Mr. Huygens lewat telepon
selulernya. Sekitar lima menit percakapan mereka berlangsung. Dan selama itu pula
aku mendengar suara-suara bentakkan dalam bahasa Inggris yang dilontarkan kepada
sekretaris baruku itu. Namun Arina dengan sabarnya memohon pengertian dari Mr.
Huygens sialan itu. Sejak semula aku memang tidak ingin berbisnis dengan pria
gendut itu. Namun keadaanlah yang memaksaku. Jika aku tidak melakukan kontrak
dengan Mr. Huygens, bisa jadi saingankulah yang mendapat keuntungan tersebut. Dan
tentunya si Bule gendut itu juga menyadari betapa pentingnya dirinya bagiku. Dasar
sialan! Gerutuku lagi dalam hati. Kasihan juga aku melihat Arina yang menjadi
sasaran gampratan Mr.Huygens. Setelah menutup telepon selulernya ia menghembuskan
nafas panjang sebagai pelepas kekesalannya.
Pak, Mr Huygens meminta kita segera tiba. Jika lebih dari setengah jam ia harus
menunggu, maka kontrak kita dibatalkan, jelas Arina kepadaku.
Aku hanya menganggukkan kepala ku sebagai jawaban kepada Arina. Dan tak lama
kemudian Arina mengartikan anggukkanku dengan memerintahkan Pak Kasim, sopir
pribadiku untuk mempercepat kendaraan.

* * *

Selama perjalanan yang penuh dengan hiruk pikuk kemacetan, suasana mobil tetap
hening. Tidak ada pokok subjek yang menjadi bahan pembicaraan antara aku dengan
Arina. Sekilas aku melirik ke arah Arina yang sedang menerawangkan pandangannya
lewat kaca jendela samping mobil. Gadis ini dapat dikatakan lebih menawan
dibandingkan sekretarisku yang dulu yang berhenti karena hamil. Dan yang
menghamilinya adalah aku. Dengan memberi uang tunjangan yang cukup banyak, aku
memberhentikannya. Namun tidak disangka-sangka setelah memberhentikan Fransisca,
aku malah mendapatkan pengganti yang lebih cantik dan muda dibandingkan dengan
Fransisca. Arina dapat dikatakan sebagai wanita yang cukup sempurna di mataku. Di
samping cantik, tubuhnya dapat dikatakan sangat proposional. Dengan tinggi 160 cm
dan payudara yang tidak terlalu besar ataupun kecil menambah nilai plus di mataku.
Dan... oh indahnya sepasang paha yang semapai miliknya. Dengan rok mini yang
dikenakan, jelas kemulusan dan paha putihnya dapat kunikmati dengan mudah. Apalagi
dalam keadaan menerawang seperti sekarang, pengawalan pahanya menjadi lengah. Dan
kedua pahanya yang sedikit terbuka itu mulai membangkitkan nafsuku. Menyadari aku
sedang menikmati kemulusan pahanya, Arina segera membenarkan duduknya dan menarik
sedikit ke bawah roknya itu. Melihat hal tersebut, nafsuku bukannya reda bahkan
malah menjadi-jadi. Aku semakin tertantang untuk mengetahui isi dalam rok tersebut.
Dengan segera tangan kananku mulai bergerilya mengelus paha Arina. Arina yang
terkejut atas kekurangajaranku segera menepis tanganku dan segera menggeser
duduknya semakin menjauhiku. Pak Kasim yang dari tadi melihat aksiku hanya
tersenyum kecil. Tentunya hal tersebut bukan hal aneh baginya selama bekerja
untukku selama 15 tahun. Setidaknya sudah tiga sekretarisku yang menjadi korban
aksiku di mobil. Dan pada akhirnya mereka terpaksa memasrahkan diri setelah itu.
Dan tentunya respon Arina atas kekurangajaranku sudah sering kujumpai. Dan hanya
satu langkah penyelesaian untuk penolakkannya itu yakni dengan menggunakan
kekerasan. Dengan segera aku mengeluarkan sebuah pisau lipat yang sengaja kusimpan
dalam koperku guna melindungi diri. Arina sangat terkejut atas ancamanku itu.
Sekilas aku melihat wajahnya yang mulai memucat. Rupanya ia juga seperti gadis lain
yang harus menyerah hanya karena ancaman. Dan kali ini dengan leluasa tanganku
dapat masuk ke dalam celah pahanya. Dengan perlahan namun pasti aku mulai meraba-
raba paha putih Arina yang hanya dapat pasrah. Benar-benar mulus dan lembut.
Setelah asyik meraba-raba pahanya, kini tangan kananku mulai semakin liar. Ujung-
ujung jariku mulai menyentuh permukaan cd-nya. Setelah tangan kananku bergerilya
untuk beberapa waktu di daerah pangkal pahanya, aku dapat memastikan Arina
mengenakan cd yang tidak berenda. Dipenuhi dengan penasaran, akhirnya aku
memutuskan untuk melepas cd Arina. Karena sulit melepaskan cd Arina dengan hanya
mengandalkan tangan kanan saja, akhirnya aku memerintahkan Arina untuk melepaskan
cd-nya sendiri. Dalam keadaan terancam siapapun orang itu pada akhirnya hanya dapat
menuruti seperti kerbau dicocok hidung. Akhirnya Arina mulai melepaskan cd-nya. Dan
sesuai dengan tebakkanku, cd Arina tidak berenda dan berwarna putih polos. Setelah
melepas cd-nya sampai lutut, kini giliran tangan kananku yang mengambil alih.
Dengan cekatan aku melepas dan mengambil cd Arina. Seperti anak kecil yang
mendapatkan mainannya, demikian pula hatiku berbunga-bunga. Cd Arina itu aku
rentangkan dan kemudian hidungku mulai mengambu bagian pangkal cd tersebut.
Ternyata wanginya sangatlah merangsang. Apalagi terdapat sedikit spot di bagian
pangkal cd tersebut sehingga dengan reflex lidahku mulai menjilati bagian tersebut.
Setelah bermain-main dengan cd Arina cukup lama, akhirnya aku mengantongi cd
tersebut. Kemudian tangan kananku kembali beraksi di pahanya. Kali ini aku tidak
lagi bermain-main di sekitar paha tetapi langsung ke arah pangkal paha dan
memainkan daerah vaginanya. Jari-jariku mulai memainkan rambut kemaluannya yang
sepertinya tidak terlalu lebat. Setelah puas meraba-raba rambut kemaluan Arina,
kini jariku mulai beraksi di daerah bibir vagina Arina. Karena dalam keadaan duduk
maka hanya daerah klitorisnya saja yang dapat kuraba. Dengan cepat jari telunjukku
mulai menggesek-gesek permukaan clit Arina sementara jari tengahku memaksa masuk ke
dalam liang vagina Arina. Arina yang tidak dapat menahan rangsangan yang kuberikan
mulai memejamkan mata dan mendesah pelan. Melihat Arina mulai terangsang, aku
mendekati leher Arina dan mulai menjilati leher jenjangnya. Tak lama setelah itu
lidahku beralih ke belakang daun telinga yang merupakan tempat sensitif akan
rangsang. Melihat kondisi bahwa Arina sudah sepenuhnya dapat kukuasai maka tangan
kiriku mulai menyerang payudara Arina yang aku tafsir sekitar 34B. Aku mulai
menyelipkan tangan ku kedalam kemeja lengan pendek yang ia kenakan. Meskipun
terhalang oleh branya, namun tanganku tetap tidak menyerah begitu saja. Tanganku
menerobos ke dalam cup branya untuk mencari punting payudara Arina. Setelah
bergelut beberapa menit akhirnya aku menemukan punting Arina. Segera jari jempolku
menekan-nekan punting payudaranya yang mulai mengeras karena terangsang oleh
permainan tangan kananku di dalam roknya. Tidak cukup hanya menggunakan jari jempol
saja, jari telunjukku nampak tidak sabar untuk memainkan payudara Arina yang padat
itu. Segera jari telinjukku beraksi bersama dengan jari jempol untuk memilin-milin
pentil payudara Arina. Arina yang sejak tadi sudah basah kini semakin tidak berdaya
menghadapi rangsangan yang terus kuberikan kepadanya. Dan akhirnya Arina mendesah
panjang menandakan bahwa ia telah orgasme.

Sayangnya permainan tersebut harus berakhir sebelum juniorku mendapat jatah karena
akhirnya kami tiba pula di Hotel Savoy Homann yang menjadi tempat tujuan kami.
Mungkin bagi Arina itu merupakan suatu kesempatan untuk lolos dari kandang macan
namun berbeda denganku. Dengan segurat rasa kecewa aku akhirnya melepaskan tangan
kananku dari dalam rok Arina.
Saya kasih tahu sebaiknya kamu tidak menceritakan kejadian ini pada siapapun atau
kamu dan keluargamu akan saya habisi semua, ancamku kepada Arina.
Dan setelah itu aku keluar dari mobil dan meninggalkan Arina yang masih sibuk
membereskan pakaiannya.

* * *

Anda mungkin juga menyukai