Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia mental retardasi disebut dengan istilah tunagrahita atau tuna mental yaitu
menunjuk pada individu yang mengalami hambatan perkembangan mental mencakup
aspek inteligensi, sosial dan fungsi fungsi mental (Sutjihati Somantri, 2006).
Anak retardasi mental memiliki karakteristik individual. Karakteristik ini mempunyai
konsekuensi dalam tindak pembelajaran. (Rohyadi & Zaenal, 2003) Mengemukakan
bahwa tindak pembelajaran anak retardasi mental tidak semata mata didasarkan pada
angka intelligensi tetapi pada pertimbangan kemampuan, dan kebutuahan nyata yag
dihadapi anak.
Ada ciri utama untuk mengkatagorikan retardasi mental. Ciri tersebut adalah
keterbatasan dalam fungsi mental (fungsi intelektual), dan hambatan dalam beberapa
keterampilan perilaku adaptif seperti; berkomunikasi, mengurus dirinya sendiri dan
keterampilan sosial. Hambatan keterampilan ini disebut hambatan perilaku adaptif
(Vaughn, Bos & Schumm, 2000).
Intervensi pembelajaran terkait erat dengan pengelolaan secara khusus setiap
komponen pembelajaran, disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak retardasi mental
agar setiap siswa dapat merespon tugas-tugas belajar. Komponen pembelajaran sebagai
satu sistem yang saling berinteraksi antar sub komponen tujuan, materi/bahan ajar,
metode atau strategi pembelajaran, media dan evaluasi (Wina Sanjaya, 2009).
Retardasi mental berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
edisi III adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang
terutama ditandai oleh terjadinya rendahnya keterampilan selama selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh,
misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental juga dapat
terjadi dengan atau tampa gangguan jwa atau gangguan fisik lainnya (Malim, 2010).

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan umum
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dari gangguan psikiatri pada anak dan
remaja yaitu retardasi mental.

1
1.2.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui definisi dari retardasi mental
2. Untuk mengetahui klasifikasi retardasi mental
3. Untuk mengetahui etiologi retardasi mental
4. Untuk mengetahui perbantingan jurlna dan terori yang dibuat oleh kelompok.

2
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Defenisi Retardasi Mental


Menurut International Stastistical Classification of Diseases and Related Health
Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang
terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya keterbatasan
(impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada semua tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa,
motorik dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa
atau gangguan fisik lainnya. Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-
kurangnya tiga sampai empat lipat pada populasi ini dibanding dengan populasi
umum (Lumbantobing, 2006).
Retardasi mental merupakan keadaan dengan intelegensi kurang (abnormal) atau
dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-
kanak). Retardasi mental ditandai dengan adanya keterbatasan intelektual dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Sandra, 2010). Retardasi mental berdasarkan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III adalah suatu
keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai
oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental juga dapat terjadi dengan atau
tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Maslim, 2001).
Klasifikasi menurut DSM IV (American Psychiatric Association, Washington,
1994) yang dikutip Lumbantobing (2001), bahwa terdapat empat tingkat gangguan
intelektual, yaitu : ringan, sedang, berat dan sangat berat.

2.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental


Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR (2004)
adalah:
1. Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah pada
seorang individu melakukan tes IQ.

3
2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada fungsi
adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang diharapkan
untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal dua dari bidang
berikut: komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup,
kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas, kemandirian,
kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan.
3. Terjadi sebelum umur 18 tahun

2.3 Klasifikasi Retardasi Mental


Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan kelemahan
intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR (2004), yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang
dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian besar (sekitar 85%)
dari kelompok retardasi mental. Pada usia pra sekolah (0-5 tahun) mereka dapat
mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya
dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa
retardasi mental, sampai usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat
memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6
SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial
dan vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin membutuhkan
supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika mengalami tekanan sosial
atau tekanan ekonomi.
2. Retardasi Mental Sedang
Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang
dapat dilatih (trainable). Sebaiknya penggunaan terminologi dapat dilatih ini tidak
dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari kelompok ini tidak dapat
dididik (educable). Kelompok ini membentuk sekitar 10% dari kelompok retardasi
mental. Kebanyakan individu dengan tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan
komunikasi selama masa anak dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan
vokasional, dan dengan pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat
diri sendiri. Mereka juga memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan
okupasional namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik lebih

4
dari tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di lingkungan
yang sudah dikenal.
Selama remaja, mereka kesulitan dalam mengenal norma-norma pergaulan
lingkungan sehingga mengganggu hubungan persaudaraan. Pada masa dewasa
sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar (unskilled) atau setengah kasar
(semi skilled) di bawah pengawasan workshop yang dilindungi. Mereka dapat
menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan dengan pengawasan (supervisi).
3. Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi mental.
Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu berkomunikasi. Sewaktu
usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat dilatih dalam kecakapan
mengurus diri secara sederhana. Mereka memperoleh jangkauan yang terbatas
pada instruksi pelajaran pra-akademik, seperti mengetahui huruf dan perhitungan
yang sederhana, tetapi bisa menguasai seperti belajar membaca melihat beberapa
kata. Sewaktu usia dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila
diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan di
masyarakat, bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai
yang membutuhkan perawatan khusus.
4. Retardasi Mental Sangat Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok retardasi mental.
Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan
neurologik, yang mengakibatkan retardasi mentalnya. Sewaktu masa anak, mereka
menunujukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor. Perkembangan
motorik dan mengurus diri dan kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan
dengan latihan-latihan yang adekuat. Beberapa di antaranya dapat melakukan
tugas sederhana di tempat yang disupervisi dan dilindungi.
5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan
Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya digunakan ketika
ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak bisa dites dengan tes
inteligensi standar. Hal ini bisa terjadi saat anak-anak, remaja, atau dewasa ketika
mereka mengalami hendaya yang terlalu berat atau tidak bisa bekerjasama untuk
menjalani tes, atau pada bayi, saat ada keputusan klinik dari gangguan fungsi
intelektual secara signifikan, tetapi tes yang ada tidak dapat menghasilkan nilai IQ
(contoh: The Bayley Scales of Infant Development, Cattell Infant Intelligence
5
Scales, dan lainnya). Pada umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar
untuk dikaji adanya retardasi mental kecuali pada hendaya berat.

2.4 Etiologi Retardasi Mental


Menurut Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memaparkan bahwa 30%
dari anak-anak yang cacat mental serius disebabkan oleh ketidaknormalan genetik,
seperti down syndrom, 25% disebabkan oleh cerebrum palsy, 30% disebabkan oleh
meningitis dan masalah prenatal sedangkan 15% sisanya belum dapat ditemukan
(Muhammad, 2008). Anak yang mengalami retardasi mental dapat disebabkan
beberapa faktor diantara faktor genetik atau juga kelainan dalam kromosom, faktor
ibu selama hamil dimana terjadi gangguan dalam gizi atau penyakit pada ibu seperti
rubella, atau adanya virus lain atau juga faktor setelah lahir dimana dapat terjadi
kerusakan otak apabila terjadi infeksi seperti terjadi meningitis, ensefalitis, dan lain-
lain (Hidayat, 2005).
Retardasi mental disebabkan karena faktor keturunan (retardasi mental genetik),
dan mungkin juga tidak diketahui (retardasi mental simplex). Kedua - duanya ini
dinamakan juga retardasi mental primer. Retardasi mental sekunder disebabkan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi otak mungkin pada waktu prenatal, perinatal atau
postnatal (Maramis, 1994). Lebih lanjut dalam Maramis, 1994 dikemukankan bahwa
penyebab retardasi mental sebagai berikut :
A. Akibat infeksi dan atau intoxikasi
Yaitu retardasi mental yang disebabkan oleh kerusakan jaringan otak akibat
infeksi intraktrand karena serum, obat atau zat tosik lainnya.
B. Akibat rupadaksa dan atau sebab fisik lainnya
Rupadaksa sebelum lahir serta trauma seperti sinar X, bahan kontrasepsi dan
usaha melakukan abortus dapat menyebabkan kelainan retardasi mental.
C. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Pada kasus gangguan gizi berat dan berlangsung lama sebelum usia individu
empat tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak yang dapat menyebabkan
kelainan retardasi mental.
D. Akibat penyakit otak yang nyata (post natal)
Hal ini dapat dikarenakan neoplasma (tidak termasuk tumbuhan sekunder karena
rudapaksa atau keradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi
belum diketahui etiologinya (diduga hereditas/familial)
6
E. Akibat penyakit dan atau pengaruh prenatal yang tidak jelas
Keadaan ini biasanya sudah ada sejak sebelum lahir, namu tidak diketahui secara
jelas etiologinya.
F. Akibat kelainan kromosom
Terjadi kelainan kromosom dalam jumlah ataupun bentuknya.
G. Akibat prematurasi
Keadaan bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, panjang
kurang atau sama dengan 45 cm, lingkaran dada kurang dari 30 cm, lingkar kepala
kurang dari 33 cm. Masa gestasi kurang dari 37 minggu. Kepala relatif besar dari
pada badannya, kulit tipis transparan. Rambut biasanya tipis. Tulang rawan dan
daun telinga belum cukup sehingga elastisitas daun telinga masih kurang. Kondisi
ini menunjukkan bahwa organ-organ tubuh pada bayi premature belum terbentuk
secara sempurna sehingga keadaan bayi seperti ini dapat mengalami retardasi
mental.
H. Akibat gangguan jiwa yang berat
Gangguan jiwa yang terjadi ketika masa kanak-kanak
I. Akibat deprivasi psikososial
Akibat faktor-faktor biomedik atau sosio budaya (uang berhubungan dengan
deprivasi sosial dan penyesuaian diri).

2.5 Terapi Retardasi Mental


Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok gangguan
heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi
mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan & Sadock,
2010).
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan
atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan yang
disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk
1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
umum tentang retardasi mental,
2) usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat,

7
3) aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang
optimal,
4) eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan sistem saraf
pusat. Untuk anak-anak dan ibu dengan status sosioekonomi rendah,
pelayanan medis prenatal dan postnatal yang sesuai dan berbagai program
pelengkap dan bantuan pelayanan sosial dapat menolong menekan komplikasi
medis dna psikososial.

b. Pencegahan sekunder dan tersier


Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali,
gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit dan untuk
menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya. Anak retardasi mental
sering kali memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang memerlukan terapi
psikiatrik.Kemampuan kognitif dan sosial yang terbatas yang dimiliki anak
tersebut memerlukan modalitas terapi modalitas terapi psikiatrik yang
dimodifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan anak.
1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak dengan
retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan
keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan latihan kejuruan.
2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika.
3) Pendidikan keluarga
4) Intervensi farmakologis

2.6 Ciri ciri Anak dengan Retardasi Mental


Menurut klasifikasi retardasi mental berdasarkan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ-III) yang diterbitkan oleh Direktorat
Kesehatan Jiwa Depkes RI tahun 1993 tercantum pada F70 sampai dengan F79,
dengan penjabaran, retardasi mental ringan bila menggunakan tes IQ dengan baku
yang tepat, angka IQ berkisaran antara 50 sampai 69. Ciri anak retardasi mental
ringan ini dalam pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada
berbagai tingkat dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi
perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa, akan tetapi mayoritas
penderita retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan berbicara dalam
kehidupan sehari-hari. Kebanyakan juga mandiri penuh dalam merawat diri sendiri
8
dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walau
perkembangannya agak lambat dari anak normal. Secara umum anak retardasi mental
ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut :
A. Karakteristik fisik anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya
sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
B. Karakteristik psikis anak tunagrahita ringan meliputi: kemampuan berpikir
rendah, perhatian dan ingatannya lemah, sehingga mengalami kesulitan untuk
mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektualnya,
kurang memiliki perbendaharaan kata, serta kurang mampu berpikir abstrak.
C. Karakteristik sosial anak tunagrahita ringan yaitu mampu bergaul, menyesuaikan
diri dilingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu
mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan
melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.

2.7 Masalah Perilaku Sosial Retardasi Mental


Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H. Erickson, fase
perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua dan fase itu secara biologik
dan psikologik individu mempunyai potensi kesiapan untuk maju ke taraf fungsional
berikutnya yang lebih tinggi, bila dasar-dasar organik biologik tidak defektif dan
mempunyai bawaan (genetic endowment) yang normal (Kusumawardhani, 2013).
Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam hubungan dengan
orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun teman yang meliputi proses
berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja, 2011).
Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya dapat berjalan
seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan perkembangan anak
retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan
perilaku anak retardasi mental berada di bawah usia kalendernya dan ketika usia 5-6
tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata, 1979
dalam Efendi, 2006).
Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan
norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental sering dianggap aneh oleh
sebagian anggota masyarakat karena tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran
normatif atau karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan tingkat umurnya. Dilihat
dari usia mereka memang dewasa, tetapi perilaku yang ditampilkan tampak seperti
9
anak-anak. Akibatnya anak tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak
lingkungan (Kemis & Rosnawati, 2013).
Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam memenuhi segala
kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi dan pada gilirannya akan muncul
perilaku menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan diri, dan sebagai
wujud penyesuaian sosial yang salah (maladjusted). Bentuk penyesuaian yang salah
tersebut seperti kompensasi yang berlebihan, pengalihan (displacement), nakal
(delinquent), regresi, destruksi, agresif dan lain-lain (Efendi, 2006).
Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati (2013),
yaitu:
1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan duduk lama
2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit teman,
mengambil milik orang lain dan mengoceh/mengomel
3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan/pekerjaan
dan cepat beralih perhatian atau merespon semua obyek yang ada di sekitarnya
4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil dan
disalahkan orang lain (teman, guru)
5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika merasa
terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya
6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen, melempar
barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori dinding,
membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela
7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul pipi/dagu,
mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak rambut
8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak kooperatif
9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan
berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.

Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan ketergantungan,


hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral. Tingkah laku
keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang
lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti
oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Ketika anak merasa takut, tegang
dan kehilangan orang yang menjadi tempat bergantung, kecenderungan

10
ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak retardasi
mental lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh
bantuan sosial (Soemantri 2007).

Mc Iver menggunakan Childrens Personality Quaestionare dan menyimpulkan


ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak matang, depresi, bersikap
dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang dan merusak. Anak
retardasi mental perempuan mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang
dapat menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan. Anak retardasi mental
cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan
terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial
sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi (Somantri, 2007).

2.8 Penanganan Retardasi Mental Ringan


Menurut jevuska (2010), latihan dan pendidikan yang diberikan kepada anak
retardasi mental yaitu:
A. Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas yang ada
B. Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial
C. Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat mencari nafkah kelak

Latihan anak-anak ini lebih sulit dari pada anak-anak biasa karena perhatian
mereka mudah sekali tertarik kepada hal-hal yang lain. Harus diusahakan untuk
mengikat perhatian mereka dengan merangsang panca indera, misalnya dengan alat
permainan yang berwarna atau yang berbunyi, dan semuanya harus konkrit, artinya
dapat dilihat, didengar dan diraba. Prinsip-prinsip ini yang mula - mula dipakai oleh
Fiabel dan Pestalozzi, sehingga sekarang masih digunakan ditaman kanak-kanak
(Judarwanto, 2009). Latihan diberikan secara kronologis dan meliputi :

A. Latihan rumah, yaitu pelajaran-pelajaran mengenai makan sendiri, berpakaian


sendiri, kebersihan badan.
B. Latihan sekolah, yaitu penting dalam hal ini ialah perkembangan sosial.
C. Latihan teknis, yaitu berikan sesuai dengan minat, jenis kelamin dan kedudukan
sosial.
D. Latihan moral, yaitu sejak kecil anak harus diberitahukan apa yang baik dan apa
yang tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-tiap pelanggaran disiplin perlu
disertai dengan hukuman dan tiap perbuatan yang baik perlu disertai hadiah.

11
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Perbandingan Jurnal dan Teori


Setelah kami melihat dan membandingkannya antara teori retardasi mental dan jurnal
yang kami temukan dapat kami simpulkan bahwa retardasi mental tidak ada perbedaan
antara teori dan jurnal, sama-sama mendefenisikan bahwa Retardasi mental merupakan
keadaan dengan intelegensi kurang (abnormal) atau dibawah rata-rata sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak).Retardasi mental ditandai
dengan adanya keterbatasan intelektual dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial
(Sandra, 2010). Retardasi mental berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa edisi ke III adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh,
misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental juga dapat
terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Maslim, 2001).
Sedangkan pada jurnal membahas tentang anak-anak dengan Retardasi mental dapat
terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya sehingga
berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif,
bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental juga dapat terjadi dengan atau tanpa
gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Retardasi Mental ringan ini secara kasar
setara dengan kelompok retardasi yang dapat dididik (educable).Kelompok ini
membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia pra
sekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif,
mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan
dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai usia yang lebih lanjut.
Anak yang mengalami retardasi mental dapat disebabkan beberapa faktor diantara
faktor genetik atau juga kelainan dalam kromosom, faktor ibu selama hamil dimana
terjadi gangguan dalam gizi atau penyakit pada ibu seperti rubella, atau adanya virus lain
atau juga faktor setelah lahir dimana dapat terjadi kerusakan otak apabila terjadi infeksi
seperti terjadi meningitis, ensefalitis, dan lain-lain.
Jadi kesimpulan dari jurnal dan teori, retardasi mental merupakan anak retardasi
mental ringan ini dalam pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada
berbagai tingkat dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan

12
kemandirian dapat menetap sampai dewasa, akan tetapi mayoritas penderita retardasi
mental ringan dapat mencapai kemampuan berbicara dalam kehidupan sehari-hari.
Kebanyakan juga mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan
praktis dan ketrampilan rumah tangga, walau perkembangannya agak lambat dari anak
normal.

13
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Retardasi mental merupakan keadaan dengan intelegensi kurang (abnormal) atau
dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-
kanak).Retardasi mental ditandai dengan adanya keterbatasan intelektual dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Sandra, 2010). Retardasi mental berdasarkan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III adalah suatu keadaan
perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh
pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, dan sosial. Retardasi mental juga dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa
atau gangguan fisik lainnya (Maslim, 2001).
Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan kelemahan intelektual
terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR (2004), yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang
dapat dididik (educable).Kelompok ini membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dari
kelompok retardasi mental.
2. Retardasi Mental Sedang
Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang
dapat dilatih (trainable).Sebaiknya penggunaan terminologi dapat dilatih ini tidak
dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari kelompok ini tidak dapat
dididik (educable).
3. Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi
mental.Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu berkomunikasi.
Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat dilatih dalam kecakapan
mengurus diri secara sederhana.
4. Retardasi Mental Sangat Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok retardasi mental.Pada
sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan
neurologik, yang mengakibatkan retardasi mentalnya.

14
5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan
Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya digunakan ketika
ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak bisa dites dengan tes
inteligensi standar.

15
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing, S.M., 2006. Neurologi klinis. Jakarta: FKUI, hal 88-90.

Lumbantobing S. M. 2001. Neurogeriatri. Ed 1th. Jakarta: BP FK-UI.

Maslim, R., 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: PT.
Nuh Jaya.

American Psychiatric Association. 2004. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders. DSM-IV-TR: Washington DC.

Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Terjemahan Widjaja
Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. p. 17-35.

Yudrik, Jahja. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Kemis dan Ati Rosnawati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita.
Bandung: PT. Luxima Metro Media.

16

Anda mungkin juga menyukai