SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
There have been massive changes in land use from agricultural areas into
urban areas in West Java province because increasing that will reduced the size of
paddy fields and farm. On the other hand, total area of pekarangan or Indonesian
home garden has continuously increased in line with the increase of settlement.
Pekarangan as agroecosystems produce wide range of products in order to support
food security in family level. A number of pekarangan in a village region or one
society communities called pekarangan kampong. Management of pekarangan
kampong will improve the ability for supporting food security as well as economic
value. In this context, the economic value of the product showed contribution of
pekarangan which calculated from saving, sharing, and selling.
The purpose of this study is to analyze the agro-ecosystem characteristics of
pekarangan kampong, to analyze management of pekarangan kampong, to analyze
utilization from the production of pekarangan management as supporting food
security, and to designing a management strategy recommendation of pekarangan
kampong as agro-ecosystem to support sustainable food security. The study was
conducted in Bandung regency (600 - 1200 m asl) as high land, Bogor regency (150
600 m asl) as middle land, and Cirebon regency (0 150 m asl) as lowland, since
September 2013 until June 2014.
Based on this research, about 50% of pekarangan in Bandung regency are
categorized by medium size (between 120 400 m2). Then about 67% and 60% of
pekarangan in Bogor and Cirebon regencies are categorized by small size (between
0 120 m2). The average size of pekarangan in Bandung, Bogor, and Cirebon
regencies are 317 m2, 143 m2, and 145 m2 respectively. Almost every pekarangan
has front zone where usualy used for agricultural practice and social activities. The
results show average annual economic value from harvesting product of pekarang-
an in Bandung is Rp 11 100 per m2, in Bogor is Rp 13 400 per m2 and in Cirebon
is Rp 10 500 per m2. The contribution of economic income from pekarangan toward
monthly consumption cost in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 19.1 %,
10.8%, and 7.1% respectively. In total, the kind of pekarangan commodity that
gave a lot contribution to the economic value was fruits (25.3 %), livestock (24.8 %),
and vegetables (12.9 %). Selected crops, livestock, and fish in pekarangan should
be adapted to the environmental conditions. The prime components of pekarangan
kampong is women farmer group (social aspect), communal nursery (ecological
acpect), and cooperation (economic aspect). The recommendation of management
of pekarangan kampong to sustainable food security and prosperity is empower-
ment women farmer group which guided by assistant, communal nursery revita-
lization, and cooperation improvement to collect all products from pekarangan.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG
SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG
KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN
YANG BERKELANJUTAN
Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Kaswanto, S.P., M.Si.
Judul : Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem
untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
yang Berkelanjutan.
Nama : Vivandra Prima Budiman
NRP : P052120171
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahim.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih,
atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis berjudul Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk
Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan. Shalawat
serta salam ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta umatnya.
Penyusunan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar Magister Sains dari
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tujuan tesis ini menganalisis dan menyusun
rekomendasi pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung yang
diposisikan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada Prof. Dr. Hadi
Susilo Arifin, M.S. selaku ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Nurhayati HS Arifin,
M.Sc. dan Prof. Dr. Made Astawan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang
mana beliau-beliau telah sangat berjasa memberikan banyak saran serta pelajaran
yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr.
Kaswanto, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Tidak lupa penulis sampaikan
terima kasih banyak kepada Azka L.Z. Azra sebagai rekan penelitian, enumerator
(Refi, Ray, Irma, dkk), HSA students (Arkham, Erlin, Tyo, dkk), Izan Faruqi, rekan
seperjuangan di PSL IPB 2012 (Mas Riza, Mas Royo, Kak Ita, Mba Dini, dkk)
dan seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang baik, Vinessa
Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman, serta sangat terima kasih untuk
Papah, Dr. H. Dana Budiman, M.Si. dan Mamah, Hj. Elvi Andi, Bsc. yang telah
memberi dukungan luar biasa, baik materiil, nasihat, maupun doa-doanya. Karya
tulis ini merupakan salah satu bakti penulis atas cinta orang tuanya.
Penulis sangat berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, sebagai upaya menjaga ketahanan pangan bangsa Indonesia, khusus-
nya melalui upaya pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan. Semoga
ke depannya bangsa Indonesia terus memiliki ketahanan pangan yang kuat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP ........................ 10
2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ........................................................ 10
3 Data yang diperlukan dalam penelitian. ............................................................. 10
4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data ........................... 14
5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung ................... 16
6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan
Bojongemas, Kabupaten Bandung............................................................... 17
7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ....................................................... 17
8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan
Bojongemas ................................................................................................. 19
9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ...................... 19
10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ..................... 21
11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang,
dan Bantarsari .............................................................................................. 21
12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ
Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ............................................................... 22
13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikara-
wang, dan Bantarsari ................................................................................... 23
14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ............... 23
15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon .................. 25
16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor .......................................................................................... 26
17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ........................................................ 26
18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor .......................................................................................... 27
19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ............... 28
20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ....... 29
21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung ............. 29
22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ................... 30
23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan .......................................... 31
24 Keragaman strata tanaman pekarangan ............................................................ 33
25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan ......................... 34
26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung .......................................... 35
27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT.............................. 39
28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa ............. 40
29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun .......... 41
30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan ...... 41
31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun ....... 42
32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung ........................... 42
33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga ........ 43
iv
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian............................................................................. 4
2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007) ........................... 5
3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009)............................. 6
4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C)
Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat....................................................... 9
5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung .............. 15
6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari....................... 18
7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar ..................... 18
8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas .................. 18
9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor ................... 20
10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik .................... 22
11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang................. 22
12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari ................... 22
13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon .............. 24
14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor ................. 26
15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol......................... 26
16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor................ 27
17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan .......... 32
18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan ................................... 32
19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan.............................. 33
20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan................... 34
21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung ................................. 37
22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor ..................................... 37
23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon .................................. 37
24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten
Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan) ................................. 38
25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik ..................... 39
26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung .................. 44
27 Sistem pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan ........................ 46
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi sumberdaya alam yang ada,
seharusnya mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan
penduduknya. Mengacu pada definisi ketahanan pangan dari FAO (2010), maka
ketahanan pangan nasional dapat diartikan sebagai kondisi ketika semua penduduk
memiliki akses pangan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Kebutuhan pangan
penduduk Indonesia yang berjumlah 243.74 juta jiwa (BPS 2014) tidaklah sedikit
dan merupakan tantangan besar bagi pemerintah. Selain itu, untuk menjaga daya
beli pangan untuk konsumsi, maka kesejahteraan penduduk perlu ditingkatkan.
Permasalahan ketahanan pangan nasional yang dialami saat ini salah satunya
adalah hasil panen menurun akibat berkurangnya lahan untuk aktivitas pertanian.
Banyak ladang, kebun, dan sawah mengalami alif fungsi menjadi lahan terbangun
seperti perumahan dan kawasan urban. Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan
hasil mengejutkan sebab selama tahun 2000 2002 telah terjadi konversi lahan
pertanian seluas 563 000 ha atau sekitar 188 000 ha per tahun. Pengurangan luas
lahan pertanian akibat konversi lahan mencapai 7.27 % selama tiga tahun atau rata-
rata 2.42 % per tahun (Irawan 2005). Kemudian pada tahun 2010 2011 secara
nasional telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 355 360 hektar atau berkurang
1.97% dari tahun sebelumnya (BPS 2013). Kondisi demikian terjadi begitu masif
terutama di Pulau Jawa, karena peningkatan kepadatan penduduk yang disebabkan
oleh laju pertumbuhan penduduk. Jawa Barat sebagai provinsi dengan penduduk
terbanyak di Indonesia, pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 hingga 2010
sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Pemerintah harus bijak dalam menyikapi alih
fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini supaya kebutuhan tempat tinggal tetap
terpenuhi namun tidak sampai mengancam ketersediaan pangan dalam negeri.
Tidak hanya masalah konversi lahan pertanian, faktor kemiskinan penduduk
juga dapat memicu kerawanan pangan. Hal tersebut karena penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan sulit memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pada
tahun 2013 sebanyak 28.55 juta jiwa penduduk Indonesia masih termasuk dalam
kategori miskin (BPS 2014). Adapun di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 4.38 juta
penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan yang kebanyakan tersebar di
perdesaan (BPS 2014). Harga barang konsumsi pangan yang terus meningkat dan
tidak terjangkau mengakibatkan mereka banyak yang mengalami rawan pangan.
Ketika terjadi pembangunan perumahan yang menggantikan lahan pertanian,
maka di sisi lain, jumlah luas agregat pekarangan akan meningkat. Kondisi tersebut
dimungkinkan karena masyarakat Indonesia lebih menyukai pemukiman horizontal
(landed), di mana penambahan rumah penduduk akan diikuti penambahan jumlah
pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI pada tahun 2010, luas
total pekarangan di Indonesia mencapai lebih dari 10,3 juta hektar (Arifin 2013).
Luasan tersebut merupakan modal potensial untuk menunjang ketahanan pangan.
Pekarangan merupakan lahan pertanian skala rumah tangga yang biasanya
ditanami beraneka ragam vegetasi serta hidup berbagai jenis hewan ternak dan/atau
ikan (Arifin 1998). Area pekarangan berpotensi sebagai lokasi budidaya beraneka
ragam sumber pangan seperti tanaman pertanian, hewan ternak, maupun ikan air
tawar. Dalam sudut pandang ekologi, interaksi serta integrasi antar komponen
biotik dan abiotik di pekarangan akan membentuk suatu ekosistem pertanian skala
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan
Pekarangan merupakan lahan dengan sistem terintegrasi dan mempunyai
hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan
tumbuhan dan tanaman serta dengan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010).
Pekarangan dapat dianalogikan sebagai miniatur praktik agroforestri skala rumah
tangga (Arifin et al. 2009). Fungsi dasar pekarangan, khususnya di area perdesaan,
yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004). Secara
umum, agroekosistem pekarangan memiliki fungsi produksi dan jasa lingkungan
(Kehlenbeck et al. 2007). Fungsi produksi berkaitan dengan peran langsung dari
konsumsi atau pemanfaatan tanaman dan hewan yang dibudidayakan, serta peran
komersial dari penjualan komoditas pekarangan; sedangkan fungsi jasa lingkungan
berkaitan dengan sosial, budaya, dan ekologi (Gambar 2). Pekarangan berfungsi
untuk menghasilkan: 1) bahan pangan tambahan hasil sawah dan tegalan; 2) sayur
dan buah-buahan; 3) unggas, ternak kecil, dan ikan; 4) rempah-rempah, bumbu, dan
wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangan; dan 6) uang tunai (Deptan 2002). Selain
itu, pekarangan juga memberi manfaat jasa lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan
pekarangan bisa ditekankan pada fungsi pekarangan yang berimbang secara
produktif, baik sisi ekonomis maupun ekologis (Arifin 2013).
pintu masuk
Zona Depan
Zona Zona
Samping Samping
kiri kanan
Zona Belakang
2.3. Agroekosistem
Agroekosistem yaitu unit penggunaan lahan yang meliputi tanaman dan/atau
hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi matahari, air, nutrisi,
tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara
ekonomis bermanfaat bagi manusia; seperti bahan pangan, pakan, sandang, maupun
papan (Arifin et al. 2009). Pekarangan adalah salah satu bentuk nyata dari sebuah
agroekosistem. Produktivitas tanaman atau hewan ternak dan ikan dipengaruhi oleh
kesesuaiannya dengan lingkungan tempat dibudidayakan.
Pada pekarangan di Jawa Barat, ditemukan integrasi antara manusia, tanaman,
dan hewan yang membentuk sebuah rantai makanan (Soemarwoto dan Soemarwoto
1981). Prinsip agroekologi digunakan dalam pengelolaan agroekosistem untuk
meningkatkan fungsi biodiversitas yang integral di dalamnya (Gliessman 1998).
Pendekatan agroekosistem terhadap nilai penting keanekaragaman hayati atau bio-
diversitas berbeda dengan pendekatan ekosistem alam (Moonen dan Barberi 2008).
8
3. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil sampel
di tiga wilayah dengan ketinggian yang berbeda. Ketiga wilayah tersebut yaitu
dataran tinggi (600 1 200 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bandung, dataran
sedang (150 600 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bogor, dan dataran rendah
(0 150 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Cirebon (Gambar 4). Pada setiap
kabupaten tersebut dipilih 3 kecamatan yang memiliki satu desa yang terdapat
kelompok wanita tani (KWT) penerima program Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP). Lokasi sampel di Kabupaten Bandung berada di Desa
Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas. Lokasi sampel di Kabupaten Bogor berada
desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari. Lokasi sampel di Kabupaten Cirebon
berada di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor.
Sampel terpilih yaitu pekarangan milik anggota KWT penerima P2KP di desa
tersebut. Masing-masing KWT memiliki 10 pekarangan anggota yang disebut dasa
wisma. Satu wilayah atau kabupaten diwakili oleh 30 sampel pekarangan. Total
sampel berjumlah 90 pekarangan berikut pemiliknya yang tersebar merata di
sembilan kawasan (Tabel 1). Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September 2013 hingga bulan Juni 2014.
B C
(%) = 100
(%) = 100
+
(%) =
2
Nilai kerapatan dan frekuensi tersebut dihitung per spesies tanaman di setiap
pekarangan. Terkait dengan fungsi dasar pekarangan sebagai penunjang ketahanan
pangan rumah tangga maka hanya jenis tanaman pangan (obat, sayur, buah, bumbu,
penghasil pati) yang dinilai SDR-nya. Setelah mengetahui angka SDR dari setiap
spesies di pekarangan, lalu dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam satu
pekarangan kampung. Angka SDR rata-rata per spesies tanaman di pekarangan
dalam suatu kabupaten diperoleh dari nilai SDR-nya per pekarangan kampung. Hal
ini berguna untuk mengetahui spesies tanaman pangan apa yang paling banyak
(mendominasi) di pekarangan kampung dalam suatu kabupaten. Semakin tinggi
nilai SDR spesies tanaman berarti keberadaan spesiesnya semakin dominan.
3.4.1.2. Analisis Keragaman Shannon-Wiener
Komoditas pekarangan yang dianalisis meliputi tanaman, hewan ternak, dan
ikan yang ditemukan di setiap pekarangan, yang kemudian diketahui nilai rata-rata
keberadaannya untuk suatu kabupaten. Tanaman yang dianalisis terbatas pada jenis
tanaman pangan, yaitu tanaman obat, sayur mayur, buah-buahan, bumbu, serta
penghasil pati. Keragaman tanaman tersebut dianalisis dengan metode Shannon
Wiener (Azra et al. 2014), yang mana rumusnya sebagai berikut:
= ln()
=1
Keterangan: H = Indeks keanekaragaman hayati Shannon-Wiener
Pi = ni/n
ni = jumlah individu jenis ke-i
n = jumlah individu dari semua spesies
ln = logaritma natural (bilangan alami)
s = jumlah jenis yang ada
Nilai perhitungan indeks keragaman (H) tersebut menunjukkan keragaman
spesies tinggi bila H > 3, keragaman spesies sedang dengan nilai 1 < H < 3, atau
keragaman spesies rendah bila H < 1 di lokasi penelitian (Azra 2014). Semakin
tinggi keragaman spesies maka agroekosistem itu semakin baik secara ekologi.
3.4.2. Analisis Sosial
Analisis sosial dalam pengelolaan pekarangan kampung meliputi demografi
(umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan anggota KWT). Informasi
tersebut penting dalam perumusan rekomendasi strategi pengelolaan pekarangan.
Umur rata-rata untuk melihat potensi kemampuan responden. Tingkat pendidikan
responden diklasifikasikan mulai dari lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah
pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan diploma atau sarjana (D3/S1).
Pekerjaan responden digolongkan menjadi ibu rumah tangga (IRT), petani
atau buruh tani, wirausaha atau pedagang, pegawai atau buruh, dan usaha lainnya.
Pendapatan rata-rata responden per bulannya dikelompokkan dalam beberapa kelas
13
yaitu: 1) kurang dari Rp 500 000, 2) Rp 500 001 Rp 1 000 000, 3) Rp 1 000 001
Rp 1 500 000, 4) Rp 1 500 001 Rp 2 000 000, 5) Rp 2 000 001 Rp 2 500 000,
dan 6) Rp 2 500 001 Rp 3 000 000. Pendapatan ini tidak termasuk pendapatan
bulanan dari suami atau anaknya. Besarnya pendapatan tambahan dari pekarangan
akan dibandingkan dengan nilai pendapatan responden untuk diketahui persentase
kontribusi hasil pengelolaan pekarangan terhadap pendapatan responden.
3.4.3. Analisis Hasil Pekarangan dan Nilai Ekonomi Produk
1. Analisis hasil dari panen tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan dilakukan
sebagai berikut:
a. Menghitung rata-rata produksi tanaman pekarangan per fungsi (Arifin
1998), ternak, dan ikan dalam satu tahun.
b. Digunakan kalender tanam sebagai referensi siklus tanaman semusim.
c. Digunakan referensi umur panen hewan ternak dan ikan budidaya.
d. Satuan-satuan lokal yang ditemui saat survei seperti ikat atau karung
dikalibrasi dengan satuan baku yakni kilogram (kg).
2. Analisis pemanfaatan hasil panen pekarangan dilakukan dengan pengelom-
pokkan hasil atau produk dari pekarangan sesuai keinginan pemiliknya. Lalu
diperoleh tiga kelompok pemanfaatan produk pekarangan, yaitu konsumsi
rumah tangga, dibagikan ke tetangga, dan dijual ke pasar.
3. Analisis nilai ekonomi hasil panen di pekarangan dilakukan dengan cara:
a. Harga komoditas pertanian yang digunakan adalah harga beli pada saat
survei di masing-masing kabupaten dalam satuan rupiah (Rp).
b. Penghematan rumah tangga dihitung melalui valuasi hasil panen dari
pekarangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga dengan harga
komoditas yang serupa di pasaran;
c. Kontribusi sosial dihitung melalui valuasi hasil panen yang diberikan
ke tetangga atau saudara dengan harga komoditas yang serupa di pasar.
d. Menghitung tambahan nilai ekonomi bagi rumah tangga dengan valuasi
hasil produksi pekarangan yang dijual ke pasar.
e. Pendapatan tambahan ini dihitung dalam waktu satu tahun, sehingga
perhitungannya disesuaikan dengan jumlah panen dalam setahun.
zona belakang. Sebagian besar pekarangan di ketiga desa memiliki zona samping
yang disebut pipir (Arifin 2009). Beberapa pekarangan memiliki kandang hewan
ternak dan kolam ikan (Tabel 6). Kandang ternak unggas ditemukan di sebagian
besar (80%) pekarangan warga Desa Patrolsari. Berdasarkan pengamatan, kandang
hewan ternak dan kolam ikan lebih banyak diletakkan di zona samping dan
belakang, sedangkan zona depan ditanami tanaman hias dan pangan.
Tabel 6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar,
dan Bojongemas, Kabupaten Bandung
Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%)
Nama Desa
Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol
Patrolsari 73 368 190 100 60 70 60 40 80 20
Girimekar 136 950 457 100 40 70 40 30 50 30
Bojongemas 20 565 212 100 70 50 40 20 60 40
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan
KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan
Keanekaragaman tanaman pekarangan berpengaruh terhadap strata tanaman.
Kebanyakan tanaman yang dipelihara di pekarangan Desa Patrolsari, Girimekar,
dan Bojongemas termasuk kelompok strata I dan II. Rata-rata di pekarangan setiap
desa memiliki 32 jenis tanaman strata I, 18 jenis tanaman strata II, 12 jenis tanaman
strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 11 jenis tanaman strata V. Kemudian
menurut fungsinya, tanaman hias dan buah sebagai jenis yang paling beragam di
pekarangan Desa Patrolsari (Gambar 6). Tanaman pekarangan di Desa Girimekar
didominasi oleh jenis tanaman hias, bumbu, dan sayur (Tabel 7). Tanaman pangan
yang dibudidayakan di desa tersebut sudah lebih spesifik untuk lingkungan dataran
tinggi. Contoh tanaman yang ditemui di pekarangan dataran tinggi yaitu jahe merah,
brokoli, lobak, blueberry, stroberi, dan hanjeli.
Tabel 7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas
Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak
Nama Desa
I II III IV V a b c d e f g h B K I
Patrolsari 29 19 10 1 12 24 5 9 17 7 5 2 2 1 3 2
Girimekar 41 16 13 3 9 33 5 13 18 6 2 3 2 0 3 3
Bojongemas 26 18 12 2 13 12 5 16 18 9 5 2 1 1 3 2
Rata-rata 32 18 12 2 11 24 5 13 18 7 4 2 2 1 3 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f),
industri (g), dan lainnya (h)
Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
Menurut informasi dari penduduk lokal, 20 tahun yang lalu Desa Girimekar
merupakan perkebunan cengkeh yang termasuk tanaman strata IV yang berfungsi
sebagai tanaman industri (Gambar 7). Dikarenakan penduduk desa terus bertambah
serta harga jual cengkeh yang sempat menurun, sehingga banyak pohon cengkeh
yang ditebang. Saat ini hanya beberapa pekarangan yang masih memiliki pohon
cengkeh. Beternak ayam dan bebek lebih disukai warga ketiga desa daripada hewan
ternak lainnya. Warga Desa Bojongemas lebih banyak membudidayakan tanaman
sayur dan buah daripada tanaman hias di pekarangannya (Gambar 8). Dikarenakan
pekarangan desa ini kadang tergenang banjir saat musim hujan, maka warga desa
mengantisipasinya dengan membuat vertikultur.
18
Desa Bantarsari berada di ketinggian 165 mdpl dengan letak yang berdekatan
dengan jalur utama antara Kota Bogor dan Kecamatan Parung. Penggunaan lahan
pertanian didominasi oleh sawah, ladang, dan kebun. Sejak beberapa tahun yang
lalu, warga desa membudidayakan jambu kristal yang sekarang menjadi komoditas
andalan mereka. Sumber air yang digunakan warga untuk mengairi pekarangannya
yaitu sumur (50%), sungai, kolam ikan, atau mengandalkan air hujan (Tabel 10).
Tabel 10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor
Nama Desa Ketinggian Jarak ke Sumber air pekarangan (%) Komoditas
(mdpl) kota (km) sumur kolam sungai hujan andalan
Situ Udik 460 10.0 50 20 30 0 Padi
Cikarawang 193 3.0 60 20 10 10 Jambu kristal
Bantarsari 165 6.0 50 10 10 30 Jambu kristal
Berbeda halnya dengan tanaman yang beraneka ragam, hewan ternak di pekarangan
hanya terdiri dari beberapa spesies. Fasilitas kandang ternak kecil yang ada di
pekarangan Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari hanya diisi ayam kampung
(Gallus domesticus). Pemanfaatan kolam di pekarangan biasanya untuk budidaya
ikan gurami, lele dumbo, dan ikan mas.
Tabel 12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari
Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak
Nama Desa
I II III IV V a b c d e f g h B K I
Situ Udik 24 21 11 2 10 20 7 9 15 12 1 2 4 1 1 2
Cikarawang 24 24 12 1 9 25 2 10 16 13 2 1 1 2 1 1
Bantarsari 34 18 8 2 8 14 4 19 13 15 2 0 3 0 1 3
Rata-rata 27 21 10 2 9 20 4 13 15 13 2 1 3 1 1 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f),
industri (g), dan lainnya (h)
Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
KWT Teratai dibentuk pada tahun 2009, sedangkan KWT Mawar dan Rukun
Tani dibentuk tahun 2011. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT
yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya kegiatan
rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 14). Produk unggulan dari KWT
Teratai yaitu pangan olahan yang sebagian bahan bakunya berasal dari pekarangan.
Produk unggulan KWT Mawar yaitu jambu kristal dan keripik ubi ungu. Adapun
produk unggulan KWT Rukun Tani yaitu produk olahan dari jambu kristal seperti
asinan dan manisan jambu kristal, serta berbagai kue jajanan tradisional.
Tabel 14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari
Desa KWT Tahun berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan
Situ Udik Teratai 2009 Pelatihan pekarangan, Kue kering dan
membuat kue dan arisan stroberi
Cikarawang Mawar 2011 Pelatihan pekarangan, Jambu kristal dan
membuat pangan olahan keripik ubi jalar
Bantarsari Rukun Tani 2011 Pelatihan pekarangan, Jambu kristal dan
membuat kue kering kue kering
24
Pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor didominasi oleh
tanaman strata I. Pekarangan di ketiga desa tersebut memiliki keragaman strata II
dan III yang hampir sama banyaknya (Tabel 13). Berdasarkan fungsinya, tanaman
pekarangan yang paling banyak ditemui yaitu jenis tanaman hias dan buah-buahan.
Tanaman buah yang umum ditemui di pekarangan yaitu mangga (Mangifera indica)
dari berbagai varietas. Desa Grogol memiliki keragaman tanaman pekarangan yang
rendah karena tanahnya kering dan kurang subur.Warga Desa Grogol kemudian
memanfaatkan pekarangannya untuk beternak unggas (ayam, kalkun, entog, soang,
bebek) dan kelinci. Sebagian pekarangan di Desa Pegagan Lor ditanami pisang batu
untuk dipanen daunnya, sebagai pembungkus tape ketan.
Tabel 16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor
Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%)
Nama Desa
Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol
Bakung Lor 6 625 88.3 100 60 0 10 0 50 20
Grogol 18 300 163.0 100 10 20 50 0 60 30
Pegagan Lor 40 311 182.4 100 70 50 60 0 60 60
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan
KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan
Tabel 17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor
Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak
Nama Desa
I II III IV V a b c d e f g h B K I
Bakung Lor 18 13 12 1 5 18 0 7 14 8 1 0 1 0 2 1
Grogol 18 9 7 0 4 22 3 1 10 2 0 0 0 0 6 2
Pegagan Lor 20 13 12 1 6 21 4 4 14 4 2 0 3 0 2 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f),
industri (g), dan lainnya (h)
Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
KWT Jambu Alas di Desa Bakung Lor dibentuk pada tahun 2011, sedangkan
KWT Bina Sri Lestari di Desa Grogol dan KWT Harum Sari di Desa Pegagan Lor
dibentuk tahun 2009. Pelatihan pekarangan dan kebun bibit merupakan kegiatan
rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya
kegiatan rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 19). Produk unggulan
dari KWT Jambu Alas yaitu tape ketan yang sudah produksi untuk dijual. Bungkus
tempe ketan ini adalah daun pisang batu yang biasa terdapat di pekarangan. Produk
unggulan KWT Bina Sri Lestari yaitu pangan olahan aneka buah, terutama mangga
gedong gincu, yang bahan bakunya diperoleh dari desa sekitarnya. Adapun produk
unggulan KWT Harum Sari yaitu produk olahan ikan dan kue kering (Tabel 19).
28
Tabel 19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor
Desa KWT Waktu berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan
Bakung Lor Jambu Alas 2011 Membuat tape Jambu biji, tape ketan
ketan
Grogol Bina Sri Lestari 2009 Membuat pangan Aneka pangan olahan
olahan dari buah buah mangga
Pegagan Lor Harum Sari 2009 Kegiatan PKK, Kue kering, pangan
arisan anggota olahan ikan
minimum atau critical minimum size seluas 100 m2, agar dapat mengakomodasi
keanekaragaman hayati yang ideal (Arifin et al. 1998). Berdasarkan ukuran rata-
ratanya, pekarangan yang paling luas di Kabupaten Bandung (317.1 m2), kemudian
di Kabupaten Cirebon (144.6 m2), lalu Kabupaten Bogor (142.9 m2). Pekarangan
dengan rata-rata luasan tersebut mampu mengakomodasi berbagai macam tanaman
dari strata dan fungsi yang berbeda. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan pada
seluruh pekarangan karena diferensiasi ukuran luas pekarangan yang cukup lebar
di masing-masing kabupaten, terutama di Bogor dan Cirebon. Klasifikasi terhadap
luasan pekarangan menunjukkan 50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk
kategori sedang, sedangkan sebanyak 66.7% pekarangan di Kabupaten Bogor dan
60% pekarangan di Kabupaten Cirebon termasuk kategori pekarangan sempit.
Luasan pekarangan tidak ada yang lebih dari 1 000 m2 (Tabel 22).
Tabel 22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
Luas Pekarangan (m2) Kategori Luasan Pekarangan (%)
Kabupaten
Min Maks Rata-rata Sempit Sedang Besar
Bandung 20.0 950.0 317.1 26.7 50.0 23.3
Bogor 6.0 600.0 142.9 66.7 20.0 13.3
Cirebon 6.0 625.0 144.6 60.0 36.7 3.3
Berdasarkan penelitian Brownrigg (1985), ukuran pekarangan yang lebih
kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih
tinggi. Pada konteks penelitian ini, pekarangan pada dataran tinggi (Kabupaten
Bandung) memiliki rata-rata ukuran terluas, sedangkan pekarangan pada dataran
sedang (Kabupaten Bogor) memiliki ukuran tersempit. Di sisi lain, ditinjau dari
faktor urbanisasi yang tercermin oleh kepadatan penduduknya, maka Kabupaten
Bandung dengan angka kepadatan terendah (19 orang/ha) memiliki ukuran rata-rata
pekarangan paling luas, sedangkan Kabupaten Bogor dan Cirebon dengan angka
kepadatan penduduk yang lebih tinggi memiliki ukuran pekarangan lebih sempit.
Kondisi demikian sebagaimana pernyataan Arifin et al. (1998a), bahwa ukuran
pekarangan lebih dipengaruhi oleh faktor urbanisasi daripada ketinggian lokasi.
Kemudian Arifin et al. (1998b) dan Kehlenbeck et al. (2007) menyatakan bahwa
kawasan dengan laju urbanisasi yang paling rendah (perdesaan) memiliki ukuran
pekarangan paling besar, sedangkan kawasan dengan laju urbanisasi yang tinggi
memiliki ukuran pekarangan yang kecil.
Laju urbanisasi di Kabupaten Bogor dan Cirebon ditunjang oleh jarak desa ke
kota yang relatif dekat serta akses transportasi (jalan dan angkutan umum) yang
lebih mudah. Kedua faktor tersebut tentu dapat meningkatkan harga lahan, sehingga
ada kecenderungan pemilik pekarangan untuk menjual sebagian lahannya apabila
memerlukan tambahan uang. Hal ini didukung pernyataan Arifin et al. (1998a) bah-
wa penurunan ukuran luas pekarangan pada kawasan urban dan sedang mengalami
urbanisasi disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk dan harga lahan.
Faktor jarak lokasi ke kota, akses transportasi, dan laju urbanisasi lebih
berpengaruh terhadap ukuran luas pekarangan. Pernyataan ini tidak berseberangan
dengan Arifin et al. (2012) yang menyatakan bahwa pekarangan pada dataran tinggi
memiliki ukuran lebih kecil daripada pekarangan di dataran rendah. Adanya per-
bedaan lokasi sampel, yang mana penelitian ini tidak terkait daerah aliran sungai
(DAS) sedangkan penelitian Arifin et al. (2012) memiliki keterkaitan dengan DAS,
menyebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi karakter pekarangan.
31
Ukuran luas lahan pekarangan yang menyempit wajar terjadi seiring dengan
bertambahnya tuntutan kebutuhan pemukiman serta perilaku sosial dan budaya
masyarakat. Kondisi ini di mana lahan pekarangan sangat terbatas untuk aktivitas
pertanian dapat disiasati oleh pemilik pekarangan. Meskipun luasannya kurang dari
critical minimum size (100 m2), pekarangan masih bisa dioptimalkan dengan teknik
vertikultur, yakni budidaya tanaman secara vertikal. Contoh vertikultur yang bisa
diaplikasikan yaitu dengan model bertingkat, gantung, atau tempel.
Bandung
Samping
Belakang
Depan
Bogor
Samping
Belakang
Depan
Cirebon
Samping
Belakang
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Pangan Non-Pangan
Gambar 17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan
Kab. Bandung
Kab. Bogor
Kab. Cirebon
40
30
20
10
0
Kabupaten Bandung Kabupaten Bogor Kabupaten Cirebon
Hias Obat Sayur Buah Bumbu Pati Industri Lainnya
Gambar 19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan
34
pangan non-pangan
Gambar 20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan
Suatu agroekosistem pekarangan tidak hanya tanaman yang dibudidayakan
tetapi juga ternak mamalia (kambing, domba, kelinci), unggas (ayam, bebek, angsa),
dan ikan air tawar. Keberadaan hewan ternak di pekarangan Kabupaten Bandung
dan Bogor cukup tinggi yaitu 34.5%. Keragaman hewan ternak yang cukup tinggi
di pekarangan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yaitu terdapat masing-masing 10
spesies (Tabel 25). Keanekaragaman hayati berkontribusi terhadap keberlanjutan
sosial ekonomi suatu agroekosistem (Kehlenbeck et al. 2007).
Tabel 25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan
Persentase keberadaan (%) Jumlah spesies
Kabupaten Ternak Ternak Kolam Rata- Ternak Ternak
Ikan
mamalia unggas ikan rata mamalia unggas
Bandung 10.0 66.7 26.7 34.5 3 4 3
Bogor 16.7 56.7 30.0 34.5 3 1 4
Cirebon 0.0 20.0 20.0 13.3 0 7 3
35
Pegawai
Lainnya
Petani
Kabupaten
SMA
SMP
70 10 10 3 3 3
Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 0 7
Rata-rata Rp 600 000
70 3 3 3 7 13
Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7
Rata-rata Rp 816 000
63 7 10 3 3 13
Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3
Rata-rata Rp 834 000
Keterangan: SMP = Sekolah Menengah Pertama SMA = Sekolah Menengah Atas
36
Produk pekarangan kampung tidak hanya bahan mentah, tetapi juga pangan
olahan. Produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT bertujuan meningkatkan nilai
guna dan ekonomi dari hasil panen di pekarangan kampung. Selain itu, pembuatan
produk pangan olahan menjadi alternatif aktivitas pemberdayaan anggota KWT
yang kondisi lingkungan pekarangannya kurang mendukung aktivitas pertanian,
misalnya karena kekeringan atau tanah yang kurang subur. Bahan dasar produk
pangan olahan KWT tidak terbatas dari pekarangan kampung yang dikelola, tetapi
dapat bekerja sama dengan KWT dari desa lain yang memiliki sumberdaya berlebih.
Sebagaimana yang telah dicatat pada kondisi KWT di masing-masing kabupaten,
contoh produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT di Kabupaten Bandung yaitu
telur asin dan nasi hanjeli (Gambar 21), kemudian contoh pangan dari Kabupaten
Bogor yaitu keripik ubi ungu dan kue tradisional (Gambar 22), sedangkan pangan
olahan KWT di Kabupaten Cirebon lebih beragam seperti tape ketan, manisan
aneka buah, dan sirup buah mangga gedong gincu (Gambar 23).
sediaan bibit tanaman sangat diperlukan bagi pekarangan, terutama komoditas yang
berumur semusim. Pendamping KWT biasanya memberi rekomendasi komoditas
pertanian yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan kampung. Benih tanaman
tersebut biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu penyediaannya
oleh pendamping KWT.
Gambar 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di
Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan)
Anggota KWT memilih sendiri komoditas pertanian yang dikembangkan di
pekarangannya masing-masing. Sebelum membeli bibit, mereka bermusyawarah
tentang tanaman apa yang akan ditanam, dan biasanya pendamping kelompok ikut
memberikan saran. Komoditas yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bandung dan
Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah. Sedangkan kebun bibit di Kabupaten
Cirebon membibitkan tanaman sayur, bumbu, dan ikan. Ketersediaan bibit tanaman
dan hewan ternak sebaiknya sesuai dengan daya dukung pekarangan kampung
sehingga dapat tumbuh dengan baik. Pembibitan ini belum banyak meng-hasilkan
bibit komoditas lokal, misalnya talas bogor dan nanas bogor di Kabupaten Bogor
atau mangga gedong gincu di Kabupaten Cirebon.
Kelemahan dalam pengelolaan modal kebun bibit kelompok menjadi masalah
yang sering ditemui pada masing-masing kabupaten. Kondisi ini terjadi karena
KWT hanya mengandalkan dana bantuan sosial dari pemerintah. Dana bantuan
program P2KP memang diberikan selama 5 tahun, namun hanya setahun sekali dan
biasanya pencairan dana tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kurangnya
modal untuk membeli benih tanaman pada pembibitan kesekian kalinya meng-
akibatkan kebun bibit tidak berfungsi optimal. Kebutuhan lain untuk pembibitan
tanaman pekarangan yaitu pupuk organik dan kantong polybag. Sebagai contoh,
kebun bibit kelompok di Desa Bantarsari dan Grogol yang kekurangan modal
sehingga tidak terpelihara telah berakibat pada penurunan jumlah komoditas yang
ditanam di pekarangan, sehingga angka produksinya menjadi rendah. Berbeda
halnya dengan kebun bibit di Desa Girimekar dan Cikarawang yang memiliki
sumber modal lain, sehingga bibit untuk pekarangan kawasan tetap tersedia. Modal
lain tersebut berasal dari penjualan bibit tanaman serta penjualan produk KWT.
Kebun bibit kelompok tani yang kebanyakan terbuat dari bambu yang mudah
rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan material tersebut karena menyesuaikan
dengan anggaran yang telah ditentukan oleh BKP. Pada saat survei, hanya 45%
kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan 55% lainnya
sudah rusak (Gambar 25). Masalah lain terkait keberadaan kebun bibit kelompok
yaitu status kepemilikan lahan. Keberadaan kebun bibit kelompok yang dibangun
di atas lahan pribadi sangat tergantung pada kehendak pemilik lahan. Kebun bibit
kelompok milik KWT di ketiga kabupaten yang berada di atas lahan pribadi ada
sebanyak 77% dan hanya 23% yang berada di lahan milik desa (Tabel 27). Kondisi
39
kebun bibit kelompok dipengaruhi oleh aktivitas dan kepedulian anggota KWT,
kemudian ketersediaan lahan, serta perhatian pemerintah desa.
ekonomi diperlukan kuantitas produk hingga jumlah tertentu, yang sulit terpenuhi
oleh satu pekarangan. BKP tingkat kabupaten kemudian menyikapi hal tersebut
dengan memberi kesempatan kepada KWT sebagai pengelola pekarangan kampung
untuk menjual produk KWT di pasar tani. Upaya ini belum mamberi solusi efektif
karena pasar tani hanya dilaksanakan sebulan sekali di ibukota kabupaten.
Sebaiknya ada upaya dari KWT untuk menjual produk pekarangan kampung
secara kolektif dan berkesinambungan sehingga biaya produksi bisa lebih rendah
dan mereka dapat lebih sering memperoleh keuntungan. Pemasaran produk dengan
cara tersebut dapat dilakukan langsung oleh KWT atau unit bisnis independen yang
bergerak di bidang agribisnis, misalnya koperasi unit desa (KUD). Ide pemasaran
ini tentu membutuhkan dukungan dari pihak KWT sebagai produsen. Berdasarkan
hasil wawancara, masyarakat di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon rata-rata
setuju (49%) apabila pemasaran produk pekarangan kampung dilakukan secara
kolektif. Hanya 7% responden yang ingin menjual sendiri hasil pekarangannya.
Tantangan pemasaran kolektif yang menjadi perhatian adalah keberadaan
lembaga koperasi. Benar bahwa pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto telah
banyak didirikan KUD, bahkan hampir setiap desa memiliki KUD dengan bantuan
modal dari pemerintah. Pada saat ini jarang ditemui KUD yang masih beroperasi
karena banyak koperasi yang mengalami masalah kepengurusan dan modal usaha.
Menurut informasi dari responden, tidak ada KUD di tempat pelaksanaan program
P2KP yang masih aktif. Tidak hanya itu, sejauh ini belum ada koperasi yang fokus
menjangkau produk pekarangan atau pangan olehan KWT. Meskipun kondisinya
demikian, masih mungkin melakukan pemasaran produk pekarangan kampung
secara kolektif. Hal tersebut terlihat dari tingginya dukungan pengelola pekarangan
terhadap adanya koperasi pekarangan, yang mencapai rata-rata 72% setuju dan 9%
sangat setuju (Tabel 28). Persepsi masyarakat tersebut memberikan harapan bahwa
koperasi dapat kembali diberdayakan untuk mengumpulkan serta memasarkan
produk mentah dan olahan dari pekarangan kampung.
Tabel 28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa
Keinginan pemasaran kolektif (%) Dukungan koperasi pekarangan (%)
Kabupaten Tidak Biasa Setuju Sangat Tidak Biasa Setuju Sangat
setuju saja setuju setuju saja setuju
Bandung 0 23 47 30 0 17 67 17
Bogor 7 43 37 13 7 23 70 0
Cirebon 13 0 65 23 0 10 79 10
Rata-rata 7 22 49 22 2 17 72 9
5.2. Saran
Pengelolaan pekarangan kampung bermanfaat untuk menunjang ketahanan
pangan, menjaga kepedulian sosial, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Diperlukan perhatian dan peran pemerintah, masyarakat, dan koperasi untuk
mewujudkan hal tersebut. Kajian tentang jasa lanskap dari agroekosistem
pekarangan akan menambah nilai ekonomi pekarangan kampung.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah OS. 1985. Home Gardens in Java and Their Future Development. Di
dalam: Prosiding Lokakarya Internasional Pekarangan Tropis Pertama.
Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.
Adhawati SS. 1997. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran
Tinggi di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa [Tesis].
Makassar (ID): Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.
Altieri MA. 1999. The Ecological Role of Biodiversity in Agroecosystems. Elvesier
J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 74: 19-31.
Arifin HS. 1998. Study on Vegetation Structure of Pekarangan and Its Changes in
West Java, Indonesia. [Doctor Dissertation]. Okayama (JP): The Graduate
School of Natural Science and Technology, Okayama University.
Arifin HS. 2010. Manajemen Lanskap dalam Pembangunan Pertanian Menuju
Harmonisasi Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan.
Pembangunan Pedesaan: Pemikiran Guru Besar 6 PT BHMN. Bogor (ID):
IPB Press.
Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1996. Vegetation in The Home Gardens
Pekarangan in West Java, Indonesia. Buletin of International Association
for Landscape Ecology Japan Vol. 3 (3): 38-40.
Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1997. Effects of the Fragmentation and the
Change of the Social and Economical Aspects on the Vegetation Structure in
the Rural Home Gardens of West Java, Indonesia. Japan Institue of
Landscape Architecture J., Tokyo (JP): Vol. 60 (5): 489-494.
48