Anda di halaman 1dari 67

PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG

SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG


KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN
YANG BERKELANJUTAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Pekarangan


Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan
Kesejahteraan yang Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Vivandra Prima Budiman


NIM P052120171
RINGKASAN
VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai
Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang
Berkelanjutan. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S.
ARIFIN, dan MADE ASTAWAN.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akan mengancam ketahanan


pangan karena dapat menurunkan jumlah produksi pertanian. Di sisi lain, muncul
harapan dari luas agregat pekarangan yang terus bertambah. Pekarangan sebagai
agroekosistem memperhatikan komponen biotik dan abiotik untuk menghasilkan
berbagai produk yang bisa menunjang ketahanan pangan. Pengelolaan pekarangan
dalam suatu kawasan atau kampung akan meningkatkan manfaatnya. Sejumlah
pekarangan pada satu kawasan atau komunitas masyarakat disebut pekarangan
kampung. Pemerintah memfasilitasi pengelolaan pekarangan kampung dengan
melibatkan kelompok wanita tani (KWT). Kontribusi pengelolaan pekarangan
terhadap ketahanan pangan dihitung berdasarkan nilai ekonomi produknya untuk
konsumsi, berbagi, dan dijual.
Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisis agroekosistem pekarangan
kampung, 2) menganalisis pengelolaan pekarangan kampung, 3) menganalisis
pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan, serta 4) menyusun rekomen-
dasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan
pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan September 2013 sampai Juni 2014 di Kabupaten Bandung (600 1 200 mdpl),
Kabupaten Bogor (150 600 mdpl), dan Kabupaten Cirebon (0 150 mdpl).
Kelompok luas pekarangan yang paling banyak di Kabupaten Bandung yaitu
ukuran sedang (50%) dengan rata-rata 317 m2, sedangkan pekarangan di Kabupaten
Bogor dan Cirebon paling banyak berukuran sempit (67% dan 60%) dengan rata-
rata 143 m2 dan 145 m2. Hampir setiap pekarangan memiliki zona depan sebagai
tempat bertani dan bersosialisasi. Jenis tanaman strata I dan II mendominasi di
ketiga kabupaten, yang berkorelasi dengan daya dukung pekarangan sempit dan
sedang. Fungsi tanaman pangan lebih banyak daripada komoditas non-pangan.
Nilai ekonomi rata-rata dari produk pekarangan per m2 dalam satu tahun di
Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu Rp 11 100, Rp 13 400, dan Rp 10
500. Kontribusi nilai ekonomi dari pekarangan kampung yang diperoleh rumah
tangga terhadap biaya konsumsi per bulannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan
Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%. Jenis komoditas pekarangan yang paling
banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu buah (25.3%), ternak besar
(24.8%), dan sayur (12.9%). Tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi lingkungan agar produksinya optimal. Keberlanjutan
pengelolaan pekarangan kampung perlu didukung oleh tiga komponen inti, yaitu
kelompok tani (aspek sosial), kebun bibit (aspek ekologi), dan koperasi desa (aspek
ekonomi). Adapun rekomendasinya yaitu: 1) pemberdayaan KWT oleh tenaga
pendamping, 2) revitalisasi kebun bibit kelompok agar pasokan bibit tetap tersedia,
terutama tanaman sayur yang musiman dan buah-buahan, 3) pengembangan usaha
koperasi unit desa untuk menampung produk pekarangan kampung.
Kata kunci:
kelompok wanita tani, pemanfaatan produk pekarangan, nilai ekonomi, koperasi
SUMMARY
VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Management of Pekarangan Kampong as
Agroecosystem to Support the Sustainable of Food Security and Prosperity.
Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, and MADE
ASTAWAN.

There have been massive changes in land use from agricultural areas into
urban areas in West Java province because increasing that will reduced the size of
paddy fields and farm. On the other hand, total area of pekarangan or Indonesian
home garden has continuously increased in line with the increase of settlement.
Pekarangan as agroecosystems produce wide range of products in order to support
food security in family level. A number of pekarangan in a village region or one
society communities called pekarangan kampong. Management of pekarangan
kampong will improve the ability for supporting food security as well as economic
value. In this context, the economic value of the product showed contribution of
pekarangan which calculated from saving, sharing, and selling.
The purpose of this study is to analyze the agro-ecosystem characteristics of
pekarangan kampong, to analyze management of pekarangan kampong, to analyze
utilization from the production of pekarangan management as supporting food
security, and to designing a management strategy recommendation of pekarangan
kampong as agro-ecosystem to support sustainable food security. The study was
conducted in Bandung regency (600 - 1200 m asl) as high land, Bogor regency (150
600 m asl) as middle land, and Cirebon regency (0 150 m asl) as lowland, since
September 2013 until June 2014.
Based on this research, about 50% of pekarangan in Bandung regency are
categorized by medium size (between 120 400 m2). Then about 67% and 60% of
pekarangan in Bogor and Cirebon regencies are categorized by small size (between
0 120 m2). The average size of pekarangan in Bandung, Bogor, and Cirebon
regencies are 317 m2, 143 m2, and 145 m2 respectively. Almost every pekarangan
has front zone where usualy used for agricultural practice and social activities. The
results show average annual economic value from harvesting product of pekarang-
an in Bandung is Rp 11 100 per m2, in Bogor is Rp 13 400 per m2 and in Cirebon
is Rp 10 500 per m2. The contribution of economic income from pekarangan toward
monthly consumption cost in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 19.1 %,
10.8%, and 7.1% respectively. In total, the kind of pekarangan commodity that
gave a lot contribution to the economic value was fruits (25.3 %), livestock (24.8 %),
and vegetables (12.9 %). Selected crops, livestock, and fish in pekarangan should
be adapted to the environmental conditions. The prime components of pekarangan
kampong is women farmer group (social aspect), communal nursery (ecological
acpect), and cooperation (economic aspect). The recommendation of management
of pekarangan kampong to sustainable food security and prosperity is empower-
ment women farmer group which guided by assistant, communal nursery revita-
lization, and cooperation improvement to collect all products from pekarangan.

Keywords: Women farmer group, pekarangan products utilisation, economic value,


cooperation
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG
SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG
KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN
YANG BERKELANJUTAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN


NRP: P052120171

Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Kaswanto, S.P., M.Si.
Judul : Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem
untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
yang Berkelanjutan.
Nama : Vivandra Prima Budiman
NRP : P052120171

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS


Ketua

Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, MSc Prof Dr Ir Made Astawan, MS


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pascasarjana Dekan Sekolah Pascasarjana


Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 9 April 2015 Tanggal Lulus :


2
3

PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahim.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih,
atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis berjudul Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk
Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan. Shalawat
serta salam ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta umatnya.
Penyusunan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar Magister Sains dari
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tujuan tesis ini menganalisis dan menyusun
rekomendasi pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung yang
diposisikan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada Prof. Dr. Hadi
Susilo Arifin, M.S. selaku ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Nurhayati HS Arifin,
M.Sc. dan Prof. Dr. Made Astawan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang
mana beliau-beliau telah sangat berjasa memberikan banyak saran serta pelajaran
yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr.
Kaswanto, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Tidak lupa penulis sampaikan
terima kasih banyak kepada Azka L.Z. Azra sebagai rekan penelitian, enumerator
(Refi, Ray, Irma, dkk), HSA students (Arkham, Erlin, Tyo, dkk), Izan Faruqi, rekan
seperjuangan di PSL IPB 2012 (Mas Riza, Mas Royo, Kak Ita, Mba Dini, dkk)
dan seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang baik, Vinessa
Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman, serta sangat terima kasih untuk
Papah, Dr. H. Dana Budiman, M.Si. dan Mamah, Hj. Elvi Andi, Bsc. yang telah
memberi dukungan luar biasa, baik materiil, nasihat, maupun doa-doanya. Karya
tulis ini merupakan salah satu bakti penulis atas cinta orang tuanya.
Penulis sangat berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, sebagai upaya menjaga ketahanan pangan bangsa Indonesia, khusus-
nya melalui upaya pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan. Semoga
ke depannya bangsa Indonesia terus memiliki ketahanan pangan yang kuat.

Bogor, April 2015

Vivandra Prima Budiman


4
i

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR iii


DAFTAR TABEL iii
1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 4
1.6. Kerangka Pikir Penelitian 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan 5
2.2. Biofisik Pekarangan 5
2.2.1. Ukuran Pekarangan 5
2.2.2. Zona Pekarangan 6
2.2.3. Keragaman Horizontal (Fungsi) 7
2.2.4. Keragaman Vertikal (Strata) 7
2.3. Agroekosistem 7
2.4. Ketahanan Pangan 8
2.5. Aspek Keberlanjutan 8
3. METODE PENELITIAN 9
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 9
3.2. Alat dan Bahan 10
3.3. Metode Pengumpulan Data 11
3.4. Metode Pengolahan Data 11
3.4.1. Analisis Karakteristik Pekarangan 11
3.4.2. Analisis Sosial 12
3.4.3. Analisis Hasil Pertanian dan Nilai Ekonomi 13
3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan 13
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15
4.1. Analisis Situasional 15
4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung 15
4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor 19
4.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Cirebon 24
4.2. Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan 28
4.2.1. Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan 28
4.2.2. Analisis Ukuran Pekarangan 29
4.2.3. Analisis Zonasi Pekarangan 31
4.2.4. Analisis Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan 32
4.2.5. Analisis Keragaman Horizontal (Fungsi) Pekarangan 33
4.3. Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung 35
4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani 35
4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani 36
4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani 37
4.3.4. Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kawasan 39
ii

4.4. Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung 40


4.4.1. Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung 40
4.4.2. Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung 42
4.5. Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan 43
5. KESIMPULAN DAN SARAN 46
5.1. Simpulan 46
5.2. Saran 47
DAFTAR PUSTAKA 47
iii

DAFTAR TABEL
1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP ........................ 10
2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ........................................................ 10
3 Data yang diperlukan dalam penelitian. ............................................................. 10
4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data ........................... 14
5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung ................... 16
6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan
Bojongemas, Kabupaten Bandung............................................................... 17
7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ....................................................... 17
8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan
Bojongemas ................................................................................................. 19
9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ...................... 19
10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ..................... 21
11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang,
dan Bantarsari .............................................................................................. 21
12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ
Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ............................................................... 22
13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikara-
wang, dan Bantarsari ................................................................................... 23
14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ............... 23
15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon .................. 25
16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor .......................................................................................... 26
17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ........................................................ 26
18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor .......................................................................................... 27
19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ............... 28
20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ....... 29
21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung ............. 29
22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ................... 30
23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan .......................................... 31
24 Keragaman strata tanaman pekarangan ............................................................ 33
25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan ......................... 34
26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung .......................................... 35
27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT.............................. 39
28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa ............. 40
29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun .......... 41
30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan ...... 41
31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun ....... 42
32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung ........................... 42
33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga ........ 43
iv

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian............................................................................. 4
2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007) ........................... 5
3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009)............................. 6
4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C)
Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat....................................................... 9
5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung .............. 15
6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari....................... 18
7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar ..................... 18
8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas .................. 18
9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor ................... 20
10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik .................... 22
11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang................. 22
12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari ................... 22
13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon .............. 24
14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor ................. 26
15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol......................... 26
16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor................ 27
17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan .......... 32
18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan ................................... 32
19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan.............................. 33
20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan................... 34
21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung ................................. 37
22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor ..................................... 37
23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon .................................. 37
24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten
Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan) ................................. 38
25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik ..................... 39
26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung .................. 44
27 Sistem pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan ........................ 46
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi sumberdaya alam yang ada,
seharusnya mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan
penduduknya. Mengacu pada definisi ketahanan pangan dari FAO (2010), maka
ketahanan pangan nasional dapat diartikan sebagai kondisi ketika semua penduduk
memiliki akses pangan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Kebutuhan pangan
penduduk Indonesia yang berjumlah 243.74 juta jiwa (BPS 2014) tidaklah sedikit
dan merupakan tantangan besar bagi pemerintah. Selain itu, untuk menjaga daya
beli pangan untuk konsumsi, maka kesejahteraan penduduk perlu ditingkatkan.
Permasalahan ketahanan pangan nasional yang dialami saat ini salah satunya
adalah hasil panen menurun akibat berkurangnya lahan untuk aktivitas pertanian.
Banyak ladang, kebun, dan sawah mengalami alif fungsi menjadi lahan terbangun
seperti perumahan dan kawasan urban. Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan
hasil mengejutkan sebab selama tahun 2000 2002 telah terjadi konversi lahan
pertanian seluas 563 000 ha atau sekitar 188 000 ha per tahun. Pengurangan luas
lahan pertanian akibat konversi lahan mencapai 7.27 % selama tiga tahun atau rata-
rata 2.42 % per tahun (Irawan 2005). Kemudian pada tahun 2010 2011 secara
nasional telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 355 360 hektar atau berkurang
1.97% dari tahun sebelumnya (BPS 2013). Kondisi demikian terjadi begitu masif
terutama di Pulau Jawa, karena peningkatan kepadatan penduduk yang disebabkan
oleh laju pertumbuhan penduduk. Jawa Barat sebagai provinsi dengan penduduk
terbanyak di Indonesia, pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 hingga 2010
sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Pemerintah harus bijak dalam menyikapi alih
fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini supaya kebutuhan tempat tinggal tetap
terpenuhi namun tidak sampai mengancam ketersediaan pangan dalam negeri.
Tidak hanya masalah konversi lahan pertanian, faktor kemiskinan penduduk
juga dapat memicu kerawanan pangan. Hal tersebut karena penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan sulit memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pada
tahun 2013 sebanyak 28.55 juta jiwa penduduk Indonesia masih termasuk dalam
kategori miskin (BPS 2014). Adapun di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 4.38 juta
penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan yang kebanyakan tersebar di
perdesaan (BPS 2014). Harga barang konsumsi pangan yang terus meningkat dan
tidak terjangkau mengakibatkan mereka banyak yang mengalami rawan pangan.
Ketika terjadi pembangunan perumahan yang menggantikan lahan pertanian,
maka di sisi lain, jumlah luas agregat pekarangan akan meningkat. Kondisi tersebut
dimungkinkan karena masyarakat Indonesia lebih menyukai pemukiman horizontal
(landed), di mana penambahan rumah penduduk akan diikuti penambahan jumlah
pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI pada tahun 2010, luas
total pekarangan di Indonesia mencapai lebih dari 10,3 juta hektar (Arifin 2013).
Luasan tersebut merupakan modal potensial untuk menunjang ketahanan pangan.
Pekarangan merupakan lahan pertanian skala rumah tangga yang biasanya
ditanami beraneka ragam vegetasi serta hidup berbagai jenis hewan ternak dan/atau
ikan (Arifin 1998). Area pekarangan berpotensi sebagai lokasi budidaya beraneka
ragam sumber pangan seperti tanaman pertanian, hewan ternak, maupun ikan air
tawar. Dalam sudut pandang ekologi, interaksi serta integrasi antar komponen
biotik dan abiotik di pekarangan akan membentuk suatu ekosistem pertanian skala
2

rumah tangga. Agroekosistem pekarangan didefinisikan sebagai unit penggunaan


lahan di sekitar rumah yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya
sendiri, yang mengubah energi cahaya matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input
pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi
manusia (Arifin et al. 2009). Ekosistem buatan ini diharapkan bisa bermanfaat tidak
hanya di sektor pangan, tetapi juga secara ekologi dan ekonomi bagi rumah tangga
secara berkelanjutan. Pentingnya pekarangan untuk melawan masalah gizi buruk
dan kerawanan pangan telah semakin menjadi perhatian (Kumar dan Nair 2004).
Pemerintah Indonesia sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan pangan
seluruh penduduknya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang (UU)
No. 18 tahun 2012 tentang pangan. UU tersebut merupakan amandemen dari UU
Pangan No. 7 tahun 1996 tentang pangan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 68
tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk
mewujudkan ketahanan pangan nasional sudah cukup berhasil, meskipun beberapa
komoditas pangan pokok masih diimpor, misalnya beras, kedelai, dan daging sapi.
Terkait kondisi demikian, pemerintah lalu membuat kebijakan Peraturan Presiden
No. 22 tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi
pangan berbasis sumberdaya lokal, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri
Pertanian No. 43 tahun 2009 tentang gerakan percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Oleh karena itu, Badan Ketahanan
Pangan (BKP) Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 mencanangkan program
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) untuk meningkatkan
keanekaragaman pangan yang bergizi seimbang, sehat, dan aman (B2SA) serta
memanfaatkan komoditas pangan lokal.
Program P2KP menginisiasi pengelolaan beberapa pekarangan dalam suatu
kawasan untuk menunjang ketahanan pangan masyarakat. Sejumlah pekarangan
pada satu kawasan atau suatu komunitas masyarakat dapat disebut pekarangan
kampung (Arifin 2013). Dalam program ini, BKP melibatkan kelompok wanita tani
(KWT) di desa dan kelurahan sebagai pengelola pekarangan kampung. Setiap KWT
beranggota minimal 10 orang atau 10 pekarangan yang disebut dasa wisma, serta
memiliki satu kebun bibit kelompok. Program P2KP direncanakan berjalan selama
5 tahun sejak 2010 hingga 2015 (BKP 2012), yang mana setiap KWT mendapat
dana bantuan modal dan pengembangan usaha secara bertahap di setiap tahunnya.
Pengelolaan pekarangan kampung diharapkan bermanfaat menunjang ketahanan
pangan dalam aspek sosial, ekologi, dan ekonomi bagi rumah tangga maupun
masyarakat lokal secara berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah


Pekarangan sebagai agroekosistem merupakan bentuk pertanian skala rumah
tangga. Luasan agregat pekarangan di Indonesia sangat potensial sebagai penunjang
atau alternatif sumber pangan nasional yang dimulai dari skala rumah tangga atau
keluarga. Hal tersebut dengan syarat pemilik pekarangan tidak hanya memelihara
tanaman hias sebagai ornamen rumah tetapi juga membudidayakan tanaman pangan
dan hewan ternak. Produk pekarangan memiliki nilai tambah yaitu bisa dikonsumsi
oleh rumah tangga atau dijual, namun tetap mempertahankan manfaat sosial dan
ekologinya (Kehlenbeck et al. 2007). Nilai ekonomi dari produk pekarangan bisa
menunjang ketahanan pangan rumah tangga, dengan asumsi uang yang diperoleh
dari penjualan produk kemudian digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.
3

Keanekaragaman hayati pertanian yang ada di suatu pekarangan sebaiknya


memperhatikan aspek agroekologi. Hal ini maksudnya adalah perlu ada kesesuaian
antara komponen biotik dengan abiotik sehingga dapat membentuk agroekosistem
pekarangan yang produktif. Komponen abiotik yang perlu diperhatikan yaitu iklim,
suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, ketersediaan air, dan jenis tanah.
Beberapa komponen tersebut biasanya dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas
permukaan laut dan letak geografis. Maka menarik untuk dikaji ada atau tidaknya
perbedaan komoditas pertanian dan hasil panen dari pekarangan yang berada pada
ketinggian dan letak yang berbeda. Tidak hanya itu, aspek sosial-budaya dalam hal
organisasi masyarakat pada tiap lokasi pun dapat dikaji. Lokasi yang dimaksud ini
diklasifikasikan menjadi dataran tinggi, sedang, dan rendah.
Idealnya klasifikasi ketiga lokasi penelitian berada dalam satu daerah aliran
sungai (DAS) yang terdiri atas upper stream (hulu), middle stream (tengah), dan
down stream (hilir). Lokasi pelaksanaan program P2KP telah ditentukan oleh BKP
tingkat provinsi, yang mana tidak setiap desa/kelurahan di kabupaten/kota terpilih
sebagai penerima program ini. Berdasarkan data dan rekomendasi dari BKP Jawa
Barat tidak memungkinkan untuk mengambil sampel dalam satu DAS.
Kajian beberapa pekarangan kampung dibuat menyeluruh, yang mana fungsi
pekarangan tidak hanya dipandang dari aspek ketahanan pangan, tetapi juga aspek
sosial, ekonomi, dan ekologi. Pengelolaan pekarangan kampung yang dilakukan
oleh KWT diharapkan dapat menjawab tantangan ketahanan pangan. Meskipun
banyak KWT yang baru terbentuk saat sosialisasi program P2KP, mereka dituntut
untuk menghasilkan pangan yang murah, beragam, dan aman dari pekarangannya.
Adapun masalah yang dikaji adalah:
1. Bagaimana kondisi eksisting pekarangan kampung milik KWT?
2. Bagaimana pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT?
3. Bagaimana kontribusi hasil pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan
keluarga sekaligus mengurangi belanja pangan rumah tangga, menambah
income rumah tangga, dan membantu kebutuhan pangan masyarakat?
4. Bagaimana strategi pengelolaan pekarangan oleh masyarakat desa agar bisa
menunjang kebutuhan pangan serta meningkatkan pendapatan rumah tangga
secara berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung milik KWT.
2. Menganalisis pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT
3. Menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan.
4. Menyusun rekomendasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung
untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi tentang
karakteristik agroekosistem pekarangan kampung, aktivitas pengelolaannya oleh
KWT, serta hasil evaluasi pengelolaan pekarangan kampung. Informasi tersebut
lalu dirumuskan menjadi rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung yang
berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam suatu kawasan.
4

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Aspek pekarangan yang ditinjau dalam penelitian ini meliputi ekologi, pola
pengelolaan, pemanfaatan produk, dan nilai ekonomi produknya. Peninjauan aspek
ekologi berdasarkan kondisi perbedaan zona ekologi pekarangan. Perbedaaan zona
ekologi berimplikasi pada penentuan lokasi sampel yang berada di wilayah berbeda,
yaitu dataran tinggi (500 - 1 000 mdpl), sedang (150 - 500 mdpl), dan rendah (0 -
150 mdpl). Sampel merupakan pekarangan KWT penerima bantuan program P2KP.
Program tersebut sebagai pendorong pengelolaan pekarangan kampung, yang mana
pendanaannya bersumber dari pemerintah pusat dan bekerja sama dengan Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kota atau kabupaten. Aspek sosial
ditinjau untuk menganalisa peran kelembagaan, yakni KWT dalam mengelola
pekarangan secara kolektif. Aspek ekonomi dihitung berdasarkan nilai ekonomi
produk pekarangan dari aktivitas konsumsi, berbagi, dan penjualan. Nilai ekonomi
produk pekarangan mengacu pada harga yang berlaku di pasar tingkat kabupaten.

1.6. Kerangka Pikir Penelitian


Masalah ketahanan pangan nasional melatarbelakangi penelitian agroeko-
sistem pekarangan ini. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan sebaiknya
dilakukan secara kolektif agar memberikan dampak positif bagi rumah tangga dan
juga masyarakat sekitarnya. Dampak tersebut meliputi aspek ekologi, sosial, dan
ekonomi. Aspek ekologi menyentuh kajian biofisik dari pekarangan. Aspek sosial
menyentuh aspek kelembagaan pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT.
Kemudian aspek ekonomi menyentuh nilai ekonomi produk pekarangan yang
dikonsumsi, dibagikan, dan dijual. Produk dari penelitian ini adalah rekomendasi
pengelolaan pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kese-
jahteraan yang berkelanjutan (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian


5

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan
Pekarangan merupakan lahan dengan sistem terintegrasi dan mempunyai
hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan
tumbuhan dan tanaman serta dengan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010).
Pekarangan dapat dianalogikan sebagai miniatur praktik agroforestri skala rumah
tangga (Arifin et al. 2009). Fungsi dasar pekarangan, khususnya di area perdesaan,
yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004). Secara
umum, agroekosistem pekarangan memiliki fungsi produksi dan jasa lingkungan
(Kehlenbeck et al. 2007). Fungsi produksi berkaitan dengan peran langsung dari
konsumsi atau pemanfaatan tanaman dan hewan yang dibudidayakan, serta peran
komersial dari penjualan komoditas pekarangan; sedangkan fungsi jasa lingkungan
berkaitan dengan sosial, budaya, dan ekologi (Gambar 2). Pekarangan berfungsi
untuk menghasilkan: 1) bahan pangan tambahan hasil sawah dan tegalan; 2) sayur
dan buah-buahan; 3) unggas, ternak kecil, dan ikan; 4) rempah-rempah, bumbu, dan
wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangan; dan 6) uang tunai (Deptan 2002). Selain
itu, pekarangan juga memberi manfaat jasa lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan
pekarangan bisa ditekankan pada fungsi pekarangan yang berimbang secara
produktif, baik sisi ekonomis maupun ekologis (Arifin 2013).

Gambar 2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007)

2.2. Biofisik Pekarangan


Biofisik pekarangan terdiri atas beberapa aspek, yaitu ukuran (luas), zonasi,
keragaman vertikal (strata) tanaman, serta keragaman horizontal (fungsi) tanaman
dan hewan di pekarangan (Arifin 1998, Arifin et al. 2009, 2010, Azra 2014).
2.2.1. Ukuran Pekarangan
Ukuran lahan pekarangan sebagai media usaha tani sangat menentukan
intensitas produksi dalam pekarangan (Arifin et al. 2013). Ukuran pekarangan juga
salah satu modal dalam pengelolaan pekarangan, dengan asumsi bahwa semakin
luas lahan maka semakin banyak aktivitas pertanian yang bisa dilakukan (Budiman
6

et al. 2015). Pekarangan diklasifikasikan ke dalam empat ukuran, yaitu: (1)


pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, (2) pekarangan sedang dengan
luas 120 m2 s.d. 400 m2, (3) pekarangan besar dengan luas 400 m2 s.d. 1000 m2, dan
(4) pekarangan sangat besar dengan luas lebih dari 1 000 m2 (Arifin 1998; Arifin et
al. 2012). Ukuran pekarangan yang lebih kecil biasanya ditemukan di kawasan
perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih tinggi (Brownrigg 1985). Model dan
penggunaan pekarangan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dipengaruhi oleh
ukuran luas lahannya. Sebuah pekarangan agar dapat mengakomodasi semua
struktur dan fungsi vegetasi, dibutuhkan luas minimum atau critical minimum size
seluas 100 m2 (Arifin et al. 1997, 1998a; Arifin 1998). Pada pekarangan kota yang
memiliki karakter ukuran sempit tentu diperlukan rekayasa dalam budidaya semisal
dengan menanam buah di dalam pot (tabulampot), vertical garden, green screen
garden, hanging garden, green roof garden, dan lain-lain (Arifin et al. 2009, 2010).
2.2.2. Zona Pekarangan
Model pekarangan rumah didasarkan pada pengetahuan dan kearifan lokal
masyarakat setempat. Pekarangan sebagai tipe taman rumah Indonesia (Arifin dan
Nakagoshi 2011) memiliki zona sebagai bentuk tata ruang sesuai lokasi geografis
dan kondisi sosial budaya yang berlaku di lingkungan pekarangan. Pada umumnya
pekarangan terdiri dari empat zona (Gambar 3), yaitu (1) pekarangan depan, (2)
pekarangan samping kiri, (3) pekarangan samping kanan, serta (4) pekarangan
belakang (Arifin 1998, 2002, Arifin et al. 1997, 2009). Seperti halnya pekarangan
di Jawa Barat, suku Sunda menamai zona depan pekarangan mereka sebagai buruan,
samping sebagai pipir, dan belakang sebagai kebon (Arifin 2009). Pembagian zona
tersebut berguna dalam mempelajari bagaimana anggota rumah tangga meman-
faatkan pekarangan. Zona depan merupakan tempat penting untuk sosialisasi dan
pembelajaran nilai sosial budaya kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang tua
(Arifin 1998). Zona depan juga berfungsi sebagai tempat untuk ritual keagamaan
dan upacara kebudayaan, pertemuan, serta arena bermain anak-anak (Abdoellah
1985). Zonasi ini menentukan pengelolaan pekarangan. Tanaman yang digunakan
untuk estetika banyak ditemukan di zona depan, sedangkan tanaman-tanaman untuk
agroforestri banyak ditemukan di zona samping dan belakang (Arifin et al. 1996).
Hal ini didukung oleh Azra et al. (2014) yang menyatakan bahwa preferensi
penanaman di zona depan lebih banyak untuk tanaman hias, sedangkan di zona
belakang cenderung ditanami berbagai tanaman pangan.

pintu masuk
Zona Depan

Zona Zona
Samping Samping
kiri kanan

Zona Belakang

Gambar 3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009)


7

2.2.3. Keragaman Horizontal (Fungsi)


Keragaman horizontal mengacu pada fungsi atau manfaat dari tanaman dan
hewan yang ada di pekarangan. Tanaman pertanian di pekarangan diklasifikasikan
berdasarkan keragaman horizontal (fungsi) menjadi 8 fungsinya (Karyono 1978,
Arifin et al. 1997, 1998, 2009, 2012), yaitu (1) tanaman hias; (2) tanaman buah; (3)
tanaman sayuran; (4) tanaman bumbu; (5) tanaman obat; (6) tanaman penghasil
pati; (7) tanaman industri; (8) tanaman lain, yaitu tanaman yang tidak termasuk
dalam kategori di atas. Penentuan kelompok tanaman berdasarkan fungsi ini
dipengaruhi oleh preferensi pemilik pekarangan sebagai konsumen (Arifin 1997,
1998). Hewan ternak di pekarangan digolongkan berdasarkan ukurannya, yaitu
ternak besar, ternak kecil, dan ikan air tawar (Azra 2014). Ternak besar yaitu hewan
mamalia berukuran besar dengan berat lebih dari 10 kg serta memerlukan kandang
yang ditempatkan di pekarangan secara khusus, contohnya sapi, kerbau, kambing,
dan domba. Ternak kecil yaitu hewan mamalia berukuran kecil dengan berat kurang
dari 10 kg dan unggas yang penempatan kandangnya bisa dipindah-pindahkan,
contohnya kelinci, ayam, entog, bebek, itik, dan angsa.
2.2.4. Keragaman Vertikal (Strata)
Pekarangan di Indonesia selalu dicirikan dengan keragaman stratifikasi
tumbuhan/tanaman yang cukup tinggi, mulai dari jenis rerumputan, herbaceous,
semak, perdu, dan pohon tinggi (Arifin et al. 1997, 2010, 2012). Struktur tanaman
pekarangan tersebut akan membentuk multilayer (berlapis) yang merepresentasikan
sistem agroforestri (Arifin 1998). Berdasarkan keragaman vertikal (strata), tanaman
pekarangan terdiri atas strata I s.d. V dengan ketinggian tajuk yang berbeda-beda
(Arifin 1998). Strata I yakni tanaman yang tingginya kurang dari 1 m, kelompok
semak/herba/rumput, misal talas, ubi jalar, jahe, tomat, cabai, terong, bayam,
kangkung, semangka, dan nanas; strata II yakni tinggi tanaman 1-2 m, semak/herba,
misal singkong, katuk, suji, rosella, ganyong, dan kacang panjang; strata III yakni
tinggi tanaman 2-5 m, kelompok perdu kecil/semak, misal jeruk, lemon, pisang,
pepaya, dan mengkudu; strata IV yakni tinggi tanaman 5-10 m, kelompok pohon
kecil/perdu besar, misal jambu biji, nangka, rambutan, mengkudu, dan sawo; dan
strata V yakni tanaman yang tinggi tajuknya lebih dari 10 m, kelompok pohon tinggi,
misalnya petai, jengkol, durian, melinjo, salam, kelapa, sukun, dan duku.

2.3. Agroekosistem
Agroekosistem yaitu unit penggunaan lahan yang meliputi tanaman dan/atau
hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi matahari, air, nutrisi,
tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara
ekonomis bermanfaat bagi manusia; seperti bahan pangan, pakan, sandang, maupun
papan (Arifin et al. 2009). Pekarangan adalah salah satu bentuk nyata dari sebuah
agroekosistem. Produktivitas tanaman atau hewan ternak dan ikan dipengaruhi oleh
kesesuaiannya dengan lingkungan tempat dibudidayakan.
Pada pekarangan di Jawa Barat, ditemukan integrasi antara manusia, tanaman,
dan hewan yang membentuk sebuah rantai makanan (Soemarwoto dan Soemarwoto
1981). Prinsip agroekologi digunakan dalam pengelolaan agroekosistem untuk
meningkatkan fungsi biodiversitas yang integral di dalamnya (Gliessman 1998).
Pendekatan agroekosistem terhadap nilai penting keanekaragaman hayati atau bio-
diversitas berbeda dengan pendekatan ekosistem alam (Moonen dan Barberi 2008).
8

Keanekaragaman hayati di dalam pengelolaan agroekosistem telah diseleksi oleh


manusia dengan memilih spesies, varietas, dan ras yang lebih produktif, serta
mengurangi spesies, varietas, dan ras yang kurang produktif. Langkah tersebut
dilakukan karena agroekosistem tumbuh dan dikelola dengan tujuan memproduksi
pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008).

2.4. Ketahanan Pangan


Mengacu pada Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, pangan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pada Perpres No. 68 tahun 2002 pasal
1 dan UU No. 18 tahun 2012 dijelaskan bahwa ketahanan pangan dapat diartikan
sebagai kondisi di mana terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perse-
orangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.

2.5. Aspek Keberlanjutan


Penggunaan terbaik dari lahan dalam konsep keberlanjutan (sustainability)
dispesifikasikan sebagai satu situasi keseimbangan atau integrasi antara efisiensi,
ekuitas, dan penggunaan sumberdaya alam (Miranda 2001). Pekarangan merupakan
lambang keberlanjutan (Kumar dan Nair 2004). Aspek pangan dan ekonomi perlu
diperhatikan mengingat hasil produksi dari pekarangan merupakan indikator
keberhasilan pengelolaan pekarangan, selain itu cukup banyak hasil pekarangan
yang berpotensi sebagai sumber pemasukan ekonomi bagi rumah tangga (Michon
dan Mary 1994). Keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat
dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni ling-
kungan (ekologi), masyarakat (sosial-budaya), dan ekonomi (Arifin et al. 2009).
Konsep tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Dimensi lingkungan mengacu pada masalah kelestarian alam seperti
keragaman lanskap, kualitas kehidupan, kelangkaan sumberdaya, dan
variabel-variabel lingkungan yang terkait dengan kemanusiaan. Faktor
biodiversitas juga menjadi kunci strategi ekologis menuju keberlanjutan
produksi pertanian (Altieri 1999). Orientasi pada ekologi seyogianya
dilakukan dengan misi konservasi yang berprinsip pada pemanfaatan
yang peduli lingkungan (Arifin et al. 2009). Pemanfaatan lahan dilakukan
secara berkelanjutan, yaitu dapat memenuhi keperluan saat ini sekaligus
mengawetkan sumberdaya tersebut untuk generasi yang akan datang, hal
ini tentunya memerlukan kombinasi bijak antara produksi dan konservasi.
b. Dimensi sosial memperhatikan masalah-masalah ekuitas atau masalah
distribusi dan keadilan, seperti distribusi pendapatan, akses ke sumber
pangan, dan tingkat kesejahteraan hidup. Dengan kata lain, harus dikaji
dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud.
9

Konsep yang berpihak pada masyarakat diacu pada kesejahteraan secara


rohani dan jasmani masyarakat itu sendiri (Arifin et al. 2009).
c. Dimensi ekonomi berhubungan dengan masalah efisiensi (penghematan)
serta kesejahteraan seperti pendapatan, produksi, dan investasi. Pada
konteks ketahanan pangan, penggunaan pekarangan sebaiknya layak
secara ekonomi dalam arti memberikan hasil produksi yang optimal.
Pengelolaan lahan harus diarahkan pada aktivitas produktif dan efisien.

3. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil sampel
di tiga wilayah dengan ketinggian yang berbeda. Ketiga wilayah tersebut yaitu
dataran tinggi (600 1 200 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bandung, dataran
sedang (150 600 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bogor, dan dataran rendah
(0 150 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Cirebon (Gambar 4). Pada setiap
kabupaten tersebut dipilih 3 kecamatan yang memiliki satu desa yang terdapat
kelompok wanita tani (KWT) penerima program Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP). Lokasi sampel di Kabupaten Bandung berada di Desa
Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas. Lokasi sampel di Kabupaten Bogor berada
desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari. Lokasi sampel di Kabupaten Cirebon
berada di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor.
Sampel terpilih yaitu pekarangan milik anggota KWT penerima P2KP di desa
tersebut. Masing-masing KWT memiliki 10 pekarangan anggota yang disebut dasa
wisma. Satu wilayah atau kabupaten diwakili oleh 30 sampel pekarangan. Total
sampel berjumlah 90 pekarangan berikut pemiliknya yang tersebar merata di
sembilan kawasan (Tabel 1). Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September 2013 hingga bulan Juni 2014.

B C

Sumber: Bakosurtanal 2003


Gambar 4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan
C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
10

Tabel 1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP


No. Kabupaten Kecamatan Desa KWT
1 Bandung Arjasari Patrolsari Mawar
2 (dataran tinggi) Cilengkrang Girimekar Sauyunan
3 Solokanjeruk Bojongemas Melati 2
4 Bogor Cibungbulang Situ Udik Teratai
5 (dataran sedang) Dramaga Cikarawang Mawar
6 Rancabungur Bantarsari Rukun Tani
7 Cirebon Jamblang Bakung Lor Jambu Alas
8 (dataran rendah) Gunung Jati Grogol Bina Sri Lestari
9 Kapetakan Pegagan Lor Harum Sari

3.2. Alat dan Bahan


Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan dalam bentuk perangkat keras
(hardware) perangkat lunak (software) (Tabel 2). Perangkat keras digunakan saat
melakukan survei lapang dan wawancara, sedangkan perangkat lunak digunakan
pada pengolahan data yang terhimpun. Bahan-bahan yang digunakan berbentuk
data yang diperlukan untuk analisis (Tabel 3).
Tabel 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Alat Kegunaan
Perangkat keras (hardware)
Lembar kuisioner Catatan data sementara dari hasil survei di lapang
Kamera digital Pengambilan data visual kondisi wilayah setempat
Meteran Pengukuran luas pekarangan dan tanaman
Abney level Pengukuran ketinggian tanaman
GPS Pengecekan lapang dan delineasi
Perangkat lunak (software)
Microsoft Excel 2013 Pengolahan data kuesioner dan analisis ekonomi

Tabel 3 Data yang diperlukan dalam penelitian.


Jenis Data Bentuk Data Sumber
Aspek Ekologi
1. Iklim - Statistik - Agroklimat
2. Kondisi umum pertanian - Statistik - BPS, BKP5K
3. Fisik pekarangan - Ukuran dan zona - Survei lapang
4. Biodiversitas pekarangan - Daftar dan fungsi tanaman - Survei lapang dan
kampung pekarangan wawancara
Aspek Sosial
1. KWT penerima P2KP - Laporan kegiatan - BKP kabupaten
2. Data demografi anggota - Usia, pendidikan, pekerjaan, - Wawancara
KWT penghasilan
3. Evaluasi pengelola - Pemanfaatan pekarangan dan - Wawancara dan
pekarangan kampung P2KP FGD
Aspek Ekonomi
1. Pemanfaatan dan nilai - Informasi harga komoditas - Survei pasar
ekonomi produk pertanian di pekarangan
2. Persepsi pemasaran produk - Deskriptif - Wawancara dan
pekarangan kampung FGD
11

3.3. Metode Pengumpulan Data


Metode penelitian yang digunakan yaitu survei lapangan, wawancara, dan
diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD). Penentuan sampel dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Pemilihan tiga kabupaten
di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung, Bogor, dan Kabupaten Cirebon mewakili
kondisi lingkungan yang berbeda berdasarkan letak geografis dan ketinggiannya di
atas permukaan laut (mdpl). KWT diseleksi berdasarkan rekomendasi dari Badan
Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Barat dan kabupaten yang merupakan
penerima program P2KP pada tahun 2011 dan 2012. Pada satu kabupaten dipilih
tiga KWT, lalu dipilih 10 anggota sebagai responden oleh ketua KWT.
Metode survei dilakukan dengan pengamatan langsung ke pekarangan-
pekarangan, kebun bibit kelompok, lingkungan pekarangan kampung, dan harga
komoditas pertanian di pasar terdekat. Wawancara dilakukan kepada anggota KWT
dan pihak terkait di tingkat desa dan kabupaten. Aktivitas wawancara terhadap
pemilik pekarangan terkait beberapa aspek, yaitu: aspek ekologi (ukuran luas dan
zonasi pekarangan, sumber air, keragaman tanaman dan hewan yang dipelihara),
aspek pengelolaan pekarangan kampung, dan pemanfaatan produk pekarangan.
Studi pustaka juga dilakukan sebagai informasi tambahan dan bahan analisis atau
referensi kesesuaian komoditas pertanian di pekarangan dengan lingkungannya.

3.4. Metode Pengolahan Data


Tahap selanjutnya setelah data terhimpun yaitu dilakukan beberapa analisis,
yaitu: 1) analisis ekologi pekarangan sebagai suatu agroekosistem, 2) analisis sosial
pada pengelolaan pekarangan kampung, 3) analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi
produk dari pekarangan, serta 4) penyusunan strategi pengelolaan agroekosistem
pekarangan kampung dalam menunjang ketahanan pangan yang berkelanjutan.
3.4.1. Analisis Karakteristik Pekarangan
Karakteristik pekarangan sebagai dasar dalam pengembangan pekarangan
dianalisis secara deskriptif. Analisis karakteristik pekarangan yaitu (Arifin 1998,
Arifin et al. 2013): 1) kondisi lingkungan (ketinggian, suhu, dan curah hujan); 2)
klasifikasi ukuran sempit (< 120 m2), sedang (120 400 m2), besar (400 1000 m2),
dan sangat besar (> 1000 m2); dan 3) agro-biodiversitas berdasarkan fungsi tanaman
(hias, sayur, buah, pati, bumbu, obat, industri, dan lainnya). Selain itu juga dikaji
keberadaan dan pemanfaatan hewan ternak dan ikan, baik jenis maupun jumlahnya;
(7) sumber air; (8) pemeliharaan pekarangan (pemberian pupuk serta pengendalian
hama dan penyakit). Jenis ternak dikelompokkan menjadi ternak besar dan kecil,
yang mana ternak besar hanya spesies domba dan kambing, adapun ternak kecil
yaitu ayam, bebek, angsa, dan kelinci. Pembatasan hewan besar agar tidak ada
pencilan data pada angka bobot komoditas pekarangan, sehingga tidak termasuk
spesies sapi dan kerbau.
3.4.1.1. Analisis Dominansi Tanaman Pekarangan
Analisis dominansi tanaman dilakukan dengan metode Summed Dominance
Ratio (SDR) untuk mengetahui komposisi tanaman yang ada di pekarangan. Agar
diketahui angka SDR dari tanaman tersebut, nilai kerapatan relatif spesies (RDa)
dan nilai frekuensi relatif spesies (RFa) harus diketahui terlebih dahulu. Adapun
rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai RDa, RFa, dan SDR adalah
sebagai berikut (Kanara 2012):
12


(%) = 100


(%) = 100

+
(%) =
2
Nilai kerapatan dan frekuensi tersebut dihitung per spesies tanaman di setiap
pekarangan. Terkait dengan fungsi dasar pekarangan sebagai penunjang ketahanan
pangan rumah tangga maka hanya jenis tanaman pangan (obat, sayur, buah, bumbu,
penghasil pati) yang dinilai SDR-nya. Setelah mengetahui angka SDR dari setiap
spesies di pekarangan, lalu dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam satu
pekarangan kampung. Angka SDR rata-rata per spesies tanaman di pekarangan
dalam suatu kabupaten diperoleh dari nilai SDR-nya per pekarangan kampung. Hal
ini berguna untuk mengetahui spesies tanaman pangan apa yang paling banyak
(mendominasi) di pekarangan kampung dalam suatu kabupaten. Semakin tinggi
nilai SDR spesies tanaman berarti keberadaan spesiesnya semakin dominan.
3.4.1.2. Analisis Keragaman Shannon-Wiener
Komoditas pekarangan yang dianalisis meliputi tanaman, hewan ternak, dan
ikan yang ditemukan di setiap pekarangan, yang kemudian diketahui nilai rata-rata
keberadaannya untuk suatu kabupaten. Tanaman yang dianalisis terbatas pada jenis
tanaman pangan, yaitu tanaman obat, sayur mayur, buah-buahan, bumbu, serta
penghasil pati. Keragaman tanaman tersebut dianalisis dengan metode Shannon
Wiener (Azra et al. 2014), yang mana rumusnya sebagai berikut:


= ln()
=1
Keterangan: H = Indeks keanekaragaman hayati Shannon-Wiener
Pi = ni/n
ni = jumlah individu jenis ke-i
n = jumlah individu dari semua spesies
ln = logaritma natural (bilangan alami)
s = jumlah jenis yang ada
Nilai perhitungan indeks keragaman (H) tersebut menunjukkan keragaman
spesies tinggi bila H > 3, keragaman spesies sedang dengan nilai 1 < H < 3, atau
keragaman spesies rendah bila H < 1 di lokasi penelitian (Azra 2014). Semakin
tinggi keragaman spesies maka agroekosistem itu semakin baik secara ekologi.
3.4.2. Analisis Sosial
Analisis sosial dalam pengelolaan pekarangan kampung meliputi demografi
(umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan anggota KWT). Informasi
tersebut penting dalam perumusan rekomendasi strategi pengelolaan pekarangan.
Umur rata-rata untuk melihat potensi kemampuan responden. Tingkat pendidikan
responden diklasifikasikan mulai dari lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah
pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan diploma atau sarjana (D3/S1).
Pekerjaan responden digolongkan menjadi ibu rumah tangga (IRT), petani
atau buruh tani, wirausaha atau pedagang, pegawai atau buruh, dan usaha lainnya.
Pendapatan rata-rata responden per bulannya dikelompokkan dalam beberapa kelas
13

yaitu: 1) kurang dari Rp 500 000, 2) Rp 500 001 Rp 1 000 000, 3) Rp 1 000 001
Rp 1 500 000, 4) Rp 1 500 001 Rp 2 000 000, 5) Rp 2 000 001 Rp 2 500 000,
dan 6) Rp 2 500 001 Rp 3 000 000. Pendapatan ini tidak termasuk pendapatan
bulanan dari suami atau anaknya. Besarnya pendapatan tambahan dari pekarangan
akan dibandingkan dengan nilai pendapatan responden untuk diketahui persentase
kontribusi hasil pengelolaan pekarangan terhadap pendapatan responden.
3.4.3. Analisis Hasil Pekarangan dan Nilai Ekonomi Produk
1. Analisis hasil dari panen tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan dilakukan
sebagai berikut:
a. Menghitung rata-rata produksi tanaman pekarangan per fungsi (Arifin
1998), ternak, dan ikan dalam satu tahun.
b. Digunakan kalender tanam sebagai referensi siklus tanaman semusim.
c. Digunakan referensi umur panen hewan ternak dan ikan budidaya.
d. Satuan-satuan lokal yang ditemui saat survei seperti ikat atau karung
dikalibrasi dengan satuan baku yakni kilogram (kg).
2. Analisis pemanfaatan hasil panen pekarangan dilakukan dengan pengelom-
pokkan hasil atau produk dari pekarangan sesuai keinginan pemiliknya. Lalu
diperoleh tiga kelompok pemanfaatan produk pekarangan, yaitu konsumsi
rumah tangga, dibagikan ke tetangga, dan dijual ke pasar.
3. Analisis nilai ekonomi hasil panen di pekarangan dilakukan dengan cara:
a. Harga komoditas pertanian yang digunakan adalah harga beli pada saat
survei di masing-masing kabupaten dalam satuan rupiah (Rp).
b. Penghematan rumah tangga dihitung melalui valuasi hasil panen dari
pekarangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga dengan harga
komoditas yang serupa di pasaran;
c. Kontribusi sosial dihitung melalui valuasi hasil panen yang diberikan
ke tetangga atau saudara dengan harga komoditas yang serupa di pasar.
d. Menghitung tambahan nilai ekonomi bagi rumah tangga dengan valuasi
hasil produksi pekarangan yang dijual ke pasar.
e. Pendapatan tambahan ini dihitung dalam waktu satu tahun, sehingga
perhitungannya disesuaikan dengan jumlah panen dalam setahun.

3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan


Penyusunan rekomendasi dimulai dari kajian tujuan pertama (karakteristik
agroekosistem dan pengelolaan pekarangan kampung), kedua (hasil produksi dan
nilai ekonomi produk pekarangan), dan kelembagaan serta kebijakan yang terkait
pengelolaan pekarangan kampung. Tahap diskusi bersama pihak-pihak yang terkait
pengelolaan pekarangan kawasan dilakukan untuk memperoleh informasi yang
komprehensif. Pihak yang terkait tersebut yaitu KWT, penyuluh atau pendamping
KWT, perangkat desa, dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di kabupaten.
Bentuk diskusi dilakukan personal maupun dalam forum grup diskusi yang mana
menghadirkan pakar pekarangan dari institusi pendidikan. Perumusan dilakukan
secara deskriptif berdasarkan informasi yang dihimpun dan data hasil analisis.
Berbagai macam parameter tersebut dikelompokkan menurut analisis yang
digunakan pada setiap tujuan. Secara umum meliputi analisis agroekosistem, sosial,
dan ekonomi, sebagai penunjang keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung.
Matriks keterkaitan antara tujuan, standar, metode, alat, dan analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.
14

Tabel 4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data


Tujuan Standar Metode Alat Analisis
1. Analisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung
a. Kondisi Ketinggian lokasi (mdpl), survei dan lembar Karakteristik agro-
lingkungan suhu udara (oC), curah tinjauan survei ekosistem kawasan
hujan (mm/tahun), dan pustaka dan komoditas
jarak desa ke kota (km) pertanian lokal
b. Ukuran Klasifikasi Arifin (1998): survei meteran Ukuran pekarangan
1. sempit (< 120 m2) dan lembar minimum, rata-rata,
2. sedang (120 400 m2) survei dan maksimum di
3. besar (400 1000 m2) lokasi penelitian
4. sangat besar (> 1000 m2)
c. Zonasi Klasifikasi menurut Arifin survei kamera Intensitas zonasi
(1998): a) zonasi depan, b) digital, setiap ukuran
samping, dan c) belakang catatan pekarangan
d. Keragaman Klasifikasi Arifin (1998): survei abney level, Keanekaragaman jenis
vertikal 1. Strata V (>10 m) lembar dan jumlah spesies
tanaman 2. Strata IV (5-10 m) survei, dan tanaman pekarangan
(strata) 3. Strata III (2-5 m) kamera berdasarkan strata
4. Strata II (1-2 m) digital
5. Strata I (<1 m)
e. Keragaman Klasifikasi fungsi tanaman survei dan lembar Keanekaragaman jenis
horizontal (Arifin 1998): tanaman wawancara survei, dan dan jumlah spesies
tanaman hias, obat, sayur, buah, kamera tanaman dan hewan
dan hewan bumbu, penghasil pati, digital ternak di pekarangan
ternak industri, dan tanaman berdasarkan fungsi
(fungsi) lainnya. Jenis dan jumlah
ternak serta ikan.
2. Analisis pengelolaan pekarangan kampung
Demografi 1) umur, wawancara lembar 1) umur produktif, 2)
pengelola 2) tingkat pendidikan, kuesioner pemahaman kerja dan
pekarangan 3) jenis pekerjaan, ilmu pertanian, 3 & 4)
kampung 4) pendapatan, waktu mengelola
5) kondisi kebun bibit pekarangan dan status
sosial, 5) kelanjutan
suplai bibit tanaman
3. Analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan kampung
a. Hasil panen Dikonversi dalam satuan survei dan lembar Jumlah produk dari
pekarangan kilogram (kg) per tahun wawancara kuesioner pekarangan kampung
b. Distribusi 1. Dikonsumsi sendiri survei dan lembar Konsumsi rumah
hasil dari 2. Dibagikan ke tetangga wawancara kuesioner tangga, kepedulian
pekarangan 3. Dijual ke warung/pasar sosial, dan penjualan
c. Nilai 1. Penghematan biaya wawancara, lembar Nilai penghematan
ekonomi 2. Sumbangan sosial konversi kuesioner, biaya, kepentingan
produk 3. Pendapatan tambahan nilai produk harga pasar sosial, dan pendapatan
d. Produk- Nilai ekonomi pekarangan perhitungan data produk Tingkat produktivitas
tivitas per satuan meter persegi dan luas pekarangan kawasan
lahan
4. Rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem dalam menunjang
ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan
Penyusunan rekomendasi dalam wawancara Lembar Persepsi pihak terkait
pengelolaan pekarangan kampung oleh dan diskusi kuesioner, tentang pengelolaan
KWT sebagai suatu agroekosistem kelompok notulensi pekarangan kampung
untuk menunjang ketahanan pangan (FGD) FGD dan penjualan produk
yang berkelanjutan secara kolektif
15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Analisis Situasional
4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan
Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 176.240 ha (BPS Kab. Bandung 2013), yang terletak pada 10722' 108
50' Bujur Timur dan 641' 719' Lintang Selatan. Batas-batas administratif
Kabupaten Bandung adalah:
bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Sumedang;
bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;
bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;
bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi.
Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan dan 278 desa, yang mana tiga
desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Patrolsari di Kecamatan
Arjasari, Desa Girimekar di Kecamatan Cilengkrang, dan Desa Bojongemas di
Kecamatan Solokanjeruk. Penduduk di Kabupaten Bandung sebanyak 3.351 juta
jiwa dengan tingkat kepadatan 19.01 orang/ha. Kepadatan penduduk Kecamatan
Arjasari, Cilengkrang, dan Solokanjeruk yaitu 14.47, 16.37, dan 33.24 orang/ha
(BPS Kab. Bandung 2013).
Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung merupakan pegunungan dan
perbukitan yang mengelilingi Kota Bandung, dengan ketinggian antara 500 1 800
mdpl. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson
dengan curah hujan antara 1 500 4 000 mm/tahun. Ketinggian tempat berpengaruh
terhadap suhu udara yang berkisar antara 12C 24C. Kelembaban udara di
Kabupaten Bandung yaitu 78% saat musim hujan dan 70% saat musim kemarau.
Umumnya kondisi lingkungan desa di Kabupaten Bandung masih asri (Gambar 5).

Gambar 5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung


Lahan pertanian di Kabupaten Bandung didominasi lahan basah atau sawah
yang banyak terhampar di wilayah cekungan Bandung. Luas panen padi sawah pada
tahun 2012 mencapai 78 029 ha dengan produksi sebanyak 520 437 ton. Pertanian
lahan kering di Kabupaten Bandung yang banyak ditemui berupa talun dan tegalan.
Luas lahan perkebunan pada tahun 2012 sekitar 52 921 ha (BPS Kab. Bandung
2013). Lahan kering dipergunakan untuk budidaya aneka tanaman pangan seperti
singkong, jagung, pisang, terong, kangkung, caisin, bawang, dan tomat. Komoditas
andalan kabupaten ini yaitu teh, kopi, dan cengkeh. Tanah jenis andosol, mediteran,
dan aluvial yang ada di kabupaten ini cocok digunakan sebagai lahan pertanian.
16

4.1.1.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bandung


Desa Patrolsari berada di ketinggian 835 mdpl dan merupakan lokasi peneliti-
an yang tertinggi. Kondisi demikian berdampak pada suhu udara yang sejuk dan
udara yang cukup lembab sehingga sesuai untuk tumbuhan dataran tinggi. Akses
jalan ke lokasi pekarangan sampel cukup jauh dari jalan arteri Kabupaten Bandung
namun masih ada jalan kabupaten yang bisa dilalui kendaraan beroda empat dan
truk beroda enam. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di
Desa Patrolsari yaitu sumur (80%), kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Desa
Patrolsari memiliki komoditas pertanian unggulan yaitu tanaman hanjeli yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pati dan diolah menjadi berbagai pangan alternatif.
Desa Girimekar berada di ketinggian 750 mdpl dengan sebagian wilayah desa
yang berupa lereng dataran tinggi, sehingga akses jalannya cukup terjal mencapai
kemiringan 45o. Warga desa yang ingin membeli kebutuhan pangan harus pergi ke
pasar dengan jarak sekitar 3 km, sehingga mereka mengandalkan warung terdekat.
Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di sana yaitu sumur,
saluran irigasi, kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Warga desa ini membuat saluran
air dari mata air, namun lebih banyak mengandalkan air sumur (40%) terutama pada
musim kemarau. Suhu udara yang sejuk dan tersedianya air akan mendukung
pertumbuhan berbagai tanaman dataran tinggi, tidak terkecuali padi sawah. Potensi
lokal sekaligus komoditas pertanian andalan desa ini yaitu padi dan cengkeh.
Desa Bojongemas berada di ketinggian yang kurang lebih sama dengan Kota
Bandung yaitu 650 mdpl (Tabel 5), sehingga suhu udaranya masih cukup sejuk.
Akses jalan menuju lokasi penelitian mudah dilalui karena dekat dari jalan arteri
Kabupaten Bandung dan jalannya cukup lebar. Penggunaan lahan masih didominasi
oleh pertanian, terutama berupa padi sawah dan kebun. Sumber air yang digunakan
untuk pengairan pekarangan di Desa Bojongemas yaitu sumur, kolam ikan, dan air
hujan. Ada 80% warga yang memanfaatkan air sumur, terutama selama musim
kemarau. Pada saat musim hujan desa ini kerap mengalami banjir karena luapan
dari sungai Citarum sehingga merusak tanaman pertanian. Bencana banjir juga
merugikan pemilik kolam ikan karena banyak ikan yang hilang bila terjadi banjir.
Komoditas pertanian andalan Desa Bojongemas yaitu padi sawah.
Tabel 5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung
Nama Desa Ketinggian Jarak ke Sumber air pekarangan (%) Komoditas
(mdpl) kota (km) sumur kolam irigasi hujan andalan
Patrolsari 835 11.0 80 10 0 10 Hanjeli
Girimekar 750 6.0 40 10 30 20 Cengkeh
Bojongemas 650 8.0 80 20 0 0 Padi

4.1.1.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bandung


Pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas memiliki ukuran
rata-rata seluas 190 m2, 457 m2, dan 212 m2 sebagai tempat bertani skala rumah
tangga. Ukuran pekarangan terbesar di ketiga desa ini adalah 368 m2, 950 m2, dan
565 m2, sedangkan ukuran terkecilnya masing-masing yaitu 73 m2, 136 m2, dan
20 m2 (Tabel 6). Seluruh pekarangan di ketiga desa ini memiliki zona depan yang
biasa disebut buruan. Warga desa biasa memanfaatkan zona depan untuk tempat
bersosialisasi dengan tetangga. Ada 70% pekarangan di Desa Bojongemas yang
memiliki zona belakang, sedangkan di Desa Girimekar hanya 40% yang memiliki
17

zona belakang. Sebagian besar pekarangan di ketiga desa memiliki zona samping
yang disebut pipir (Arifin 2009). Beberapa pekarangan memiliki kandang hewan
ternak dan kolam ikan (Tabel 6). Kandang ternak unggas ditemukan di sebagian
besar (80%) pekarangan warga Desa Patrolsari. Berdasarkan pengamatan, kandang
hewan ternak dan kolam ikan lebih banyak diletakkan di zona samping dan
belakang, sedangkan zona depan ditanami tanaman hias dan pangan.
Tabel 6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar,
dan Bojongemas, Kabupaten Bandung
Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%)
Nama Desa
Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol
Patrolsari 73 368 190 100 60 70 60 40 80 20
Girimekar 136 950 457 100 40 70 40 30 50 30
Bojongemas 20 565 212 100 70 50 40 20 60 40
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan
KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan
Keanekaragaman tanaman pekarangan berpengaruh terhadap strata tanaman.
Kebanyakan tanaman yang dipelihara di pekarangan Desa Patrolsari, Girimekar,
dan Bojongemas termasuk kelompok strata I dan II. Rata-rata di pekarangan setiap
desa memiliki 32 jenis tanaman strata I, 18 jenis tanaman strata II, 12 jenis tanaman
strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 11 jenis tanaman strata V. Kemudian
menurut fungsinya, tanaman hias dan buah sebagai jenis yang paling beragam di
pekarangan Desa Patrolsari (Gambar 6). Tanaman pekarangan di Desa Girimekar
didominasi oleh jenis tanaman hias, bumbu, dan sayur (Tabel 7). Tanaman pangan
yang dibudidayakan di desa tersebut sudah lebih spesifik untuk lingkungan dataran
tinggi. Contoh tanaman yang ditemui di pekarangan dataran tinggi yaitu jahe merah,
brokoli, lobak, blueberry, stroberi, dan hanjeli.
Tabel 7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas
Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak
Nama Desa
I II III IV V a b c d e f g h B K I
Patrolsari 29 19 10 1 12 24 5 9 17 7 5 2 2 1 3 2
Girimekar 41 16 13 3 9 33 5 13 18 6 2 3 2 0 3 3
Bojongemas 26 18 12 2 13 12 5 16 18 9 5 2 1 1 3 2
Rata-rata 32 18 12 2 11 24 5 13 18 7 4 2 2 1 3 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f),
industri (g), dan lainnya (h)
Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
Menurut informasi dari penduduk lokal, 20 tahun yang lalu Desa Girimekar
merupakan perkebunan cengkeh yang termasuk tanaman strata IV yang berfungsi
sebagai tanaman industri (Gambar 7). Dikarenakan penduduk desa terus bertambah
serta harga jual cengkeh yang sempat menurun, sehingga banyak pohon cengkeh
yang ditebang. Saat ini hanya beberapa pekarangan yang masih memiliki pohon
cengkeh. Beternak ayam dan bebek lebih disukai warga ketiga desa daripada hewan
ternak lainnya. Warga Desa Bojongemas lebih banyak membudidayakan tanaman
sayur dan buah daripada tanaman hias di pekarangannya (Gambar 8). Dikarenakan
pekarangan desa ini kadang tergenang banjir saat musim hujan, maka warga desa
mengantisipasinya dengan membuat vertikultur.
18

Gambar 6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari

Gambar 7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar

Gambar 8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas


4.1.1.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bandung
Anggota KWT Mawar di Desa Patrolsari, KWT Sauyunan di Desa Girimekar,
dan KWT Melati 2 di Desa Bojongemas, adalah suku Sunda. Seluruh anggota KWT
Mawar, Sauyunan, dan Melati 2 sudah berstatus kawin, dengan usia rata-rata yaitu
45, 56, dan 48 tahun. Tingkat pendidikan anggota KWT Mawar yang lulusan SD
(50%) masih lebih banyak daripada lulusan SMP (20%) dan SMA (30%). Tingkat
pendidikan anggota KWT Sauyunan yang lulusan SD sebanyak 80%, sedangkan
lulusan SMP dan SMA masing-masing hanya 10%. Tingkat pendidikan anggota
KWT Melati 2 yang lulusan SD sebanyak 50%, lebih banyak daripada lulusan SMP
(30%) dan SMA (10%), tetapi ada 10% anggota yang berpendidikan diploma.
Jenis pekerjaan sehari-hari anggota KWT Mawar yaitu berwirausaha (30%),
pedagang (10%), ibu rumah tangga (50%), dan 10% sisanya pekerjaan lain. Banyak
anggota KWT Sauyunan di Desa Girimekar tidak memiliki pekerjaan selain sebagai
ibu rumah tangga, hanya 10% anggota yang bekerja sebagai guru. Sebagian anggota
KWT Melati 2 memiliki usaha sendiri (50%), sedangkan anggota yang bekerja
sebagai petani hanya 10%, dan 40% sisanya hanya menjadi ibu rumah tangga (IRT).
Pendapatan rata-rata anggota KWT di Patrolsari yaitu hanya Rp 300 000 per bulan,
sedangkan di Desa Girimekar mencapai Rp 1 000 000 per bulan, dan anggota KWT
di Desa Bojongemas berpenghasilan rata-rata Rp 500 000 per bulan (Tabel 8). Ada
beberapa anggota KWT yang mendapat penghasilan tambahan dari anaknya.
19

Tabel 8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan


Bojongemas
Rata- Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Penghasilan
Desa rata D3 / Wira- Karya- Lain- rata-rata per
usia SD SMP SMA S1 IRT Petani
usaha wan lain bulan (Rp)
Patrolsari 45 50 20 30 0 30 20 40 0 10 300 000
Girimekar 50 80 10 10 0 90 0 0 0 10 1 000 000
Bojongemas 48 50 30 10 10 40 10 50 0 0 500 000

Pengelolaan pekarangan kampung dilakukan oleh KWT di masing-masing


desa. KWT Mawar yang berada di Desa Patrolsari dibentuk sejak tahun 2010, KWT
Sauyunan di Desa Girimekar dibentuk pada tahun 2009, dan KWT Melati 2 sudah
ada sejak tahun 2008. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT yang
dibimbing langsung oleh tenaga pendamping dari Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan (BKPP) tingkat kabupaten. Selain itu, kegiatan rutin KWT bervariasi
tergantung keinginan ketua dan anggotanya, misalnya membuat pangan olahan dan
arisan kelompok (Tabel 9). KWT Mawar pernah mendapat bantuan bibit hanjeli
yang kemudian dibudidayakan dan dapat dipanen dengan baik. Hasil panen hanjeli
dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan alternatif sumber karbohidrat.
KWT ini beberapa kali diminta oleh pihak Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa
Barat untuk membawa hasil olahan hanjeli pada kegiatan diversifikasi pangan di
Gedung Sate, Kota Bandung. KWT Melati 2 mengembangkan produksi makanan
ringan dan telur asin yang sebagian bahan bakunya diperoleh dari pekarangan.
Tabel 9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas
Desa KWT Tahun berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan
Patrolsari Mawar 2010 Pelatihan pekarangan, Pangan olahan
membuat pangan olahan hanjeli
Girimekar Sauyunan 2009 Pelatihan pekarangan, -
simpan pinjam kelompok
Bojongemas Melati 2 2008 Pelatihan pekarangan, Telur asin dan
membuat pangan olahan rangginang

4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor


Wilayah Kabupaten Bogor hanya berjarak sekitar 30 km dari DKI Jakarta.
Luas wilayah kabupaten ini yaitu 230.195 Ha (BPS Kab. Bogor 2014), yang terletak
di antara 10623'45 - 10713'30 Bujur Timur dan 618' - 647'10 Lintang Selatan.
Batas administratif wilayah pemerintahan Kabupaten Bogor adalah:
sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang dan Kota Depok;
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kab. Purwakarta;
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur;
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten).
Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan dan 426 desa, yang mana tiga
desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Situ Udik di Kecamatan
Cibungbulang, Desa Cikarawang di Kecamatan Darmaga, dan Desa Bantarsari di
Kecamatan Rancabungur. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebanyak 5.202
juta jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk pada tahun 2013 yaitu 20 orang/ha.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Cibungbulang, Dramaga, dan Rancabungur
masing-masing yaitu 42, 45, dan 25 orang/ha (BPS Kab. Bogor 2014).
20

Kabupaten Bogor memiliki rentang topografi yang lebar yakni antara 50


2 500 mdpl. Iklim di Kabupaten Bogor jika mengikuti klasifikasi Schmidt dan
Ferguson digolongkan pada iklim tropis A (sangat basah) dan tipe B (basah). Iklim
tipe A berada di bagian Selatan dengan suhu 20oC sampai 22oC sedangkan iklim B
di bagian Utara dengan suhu sekitar 25oC. Suhu udara harian berkisar antara 22.7
31.2 oC. Curah hujan rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor yaitu 3 841 mm/tahun,
dengan rentang antara 2 400 5 200 mm/tahun. Kelembapan udara rata-rata per
tahun di kabupaten ini cukup tinggi yakni 83% (BPS Kab. Bogor 2014).

Gambar 9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor


Kondisi lahan pertanian di Kabupaten Bogor cukup subur, hal ini dibuktikan
oleh banyaknya jenis tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi,
seiring dengan semakin banyaknya pendatang dan developer permukiman, lahan
pertanian di Kabupaten Bogor yang berupa sawah maupun kebun, kini semakin
berkurang luasnya karena beralih fungsi menjadi lahan terbangun. Tercatat luas
sawah di Kabupaten Bogor terus berkurang dari 2008 hingga 2010, dan kini tidak
lebih dari 48 484 ha (BPS Kab. Bogor 2011). Jenis tanah andosol, regosol, dan
aluvial cocok digunakan sebagai media tanam. Meskipun mata pencaharian utama
warga desa di Kabupaten Bogor adalah petani, namun kebanyakan hanya memiliki
lahan kurang dari 1 ha, yang bekerja sebagai buruh tani pada lahan milik tuan tanah.
Produk tanaman pangan masih menjadi komoditas unggulan kabupaten ini.
4.1.2.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bogor
Desa Situ Udik berada di ketinggian 460 mdpl sebagai lokasi sampel tertinggi
di Kabupaten Bogor. Akses menuju lokasi sampel pekarangan cukup jauh dari jalan
arteri. Penggunaan lahan didominasi oleh persawahan dan kebun. Sumber air yang
paling banyak digunakan untuk mengairi pekarangan di Desa Situ Udik yaitu sumur
(50%), aliran sungai (30%), dan kolam ikan (20%) (Tabel 8). Meskipun pekarangan
warga desa dekat dengan sawah, namun mereka tidak menjadikan saluran irigasi
sebagai sumber pengairannya. Tata ruang pemukiman membentuk koloni di mana
sejumlah rumah terkonsentrasi pada kawasan tertentu, dan pemilik lahan yang lebih
luas berada di pinggiran kawasan. Komoditas pertanian andalan desa ini yaitu padi.
Desa Cikarawang berada di ketinggian 193 mdpl serta berbatasan langsung
dengan Kota Bogor. Akses ke desa relatif mudah karena hanya berjarak 3 km dari
jalan utama Kota Bogor. Penggunaan lahan didominasi oleh persawahan, ladang,
dan kebun. Desa ini memiliki komoditas andalan berupa ubi jalar (BP3K Darmaga
2014) dan jambu kristal. Sebagian besar (60%) warga desa memanfaatkan sumur
sebagai sumber air untuk mengairi pekarangan mereka. Selain itu ada juga warga
yang memanfaatkan kolam ikan, sungai, atau hanya mengandalkan air hujan untuk
mengairi pekarangannya (Tabel 10).
21

Desa Bantarsari berada di ketinggian 165 mdpl dengan letak yang berdekatan
dengan jalur utama antara Kota Bogor dan Kecamatan Parung. Penggunaan lahan
pertanian didominasi oleh sawah, ladang, dan kebun. Sejak beberapa tahun yang
lalu, warga desa membudidayakan jambu kristal yang sekarang menjadi komoditas
andalan mereka. Sumber air yang digunakan warga untuk mengairi pekarangannya
yaitu sumur (50%), sungai, kolam ikan, atau mengandalkan air hujan (Tabel 10).
Tabel 10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor
Nama Desa Ketinggian Jarak ke Sumber air pekarangan (%) Komoditas
(mdpl) kota (km) sumur kolam sungai hujan andalan
Situ Udik 460 10.0 50 20 30 0 Padi
Cikarawang 193 3.0 60 20 10 10 Jambu kristal
Bantarsari 165 6.0 50 10 10 30 Jambu kristal

4.1.2.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bogor


Ukuran rata-rata pekarangan di Desa Situ Udik (Gambar 11), Cikarawang
(Gambar 12), dan Bantarsari (Gambar 13) berturut-turut adalah 175.1 m2, 93.5 m2,
dan 160.2 m2. Adapun luas pekarangan terbesar di masing-masing desa tersebut
yaitu 500 m2, 300 m2, dan 600 m2, sedangkan luas terkecilnya yaitu 40 m2, 10 m2,
dan 6 m2 (Tabel 11). Beberapa pekarangan di Desa Situ Udik dan Bantarsari tidak
memiliki zona depan karena letak rumahnya sangat berdekatan dengan jalan,
sehingga ruang yang ada dimanfaatkan untuk akses keluar masuk orang maupun
kendaraan. Seluruh pekarangan di Desa Cikarawang memiliki zona depan, namun
hanya 20% pekarangan yang memiliki zona belakang (Tabel 11). Persentase keber-
adaaan kandang ternak kecil (KTK) di ketiga desa ini lebih besar daripada kandang
ternak besar (KTB). Pekarangan kampung yang paling banyak memiliki KTB yakni
di Situ Udik, sedangkan yang paling banyak memiliki KTK yakni di Cikarawang.
Tabel 11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang,
dan Bantarsari
Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%)
Nama Desa
Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol
Situ Udik 40 500 175.1 80 80 60 40 50 60 20
Cikarawang 10 300 93.5 100 20 40 60 20 70 20
Bantarsari 6 600 160.2 80 30 60 10 0 50 50
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan
KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan
Kebanyakan tanaman pekarangan yang ada di Desa Situ Udik, Cikarawang,
dan Bantarsari termasuk kelompok strata I dan II. Keragaman jenis tanaman strata
V di Desa Situ Udik paling banyak daripada desa lainnya. Rata-rata di pekarangan
setiap desa memiliki 27 jenis tanaman strata I, 21 jenis tanaman strata II, 10 jenis
tanaman strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 9 jenis tanaman strata V.
Kemudian berdasarkan fungsi tanaman, keragaman spesies tanaman hias yang
paling banyak di pekarangan ketiga desa tersebut. Pekarangan di Desa Cikarawang
memiliki keragaman jenis buah-buahan yang paling banyak (Tabel 12). Tanaman
buah yang populer di Desa Cikarawang yaitu jambu kristal (Psidium guajava L.),
meskipun buah ini aslinya berasal dari Taiwan. Rata-rata jumlah jenis tanaman hias
di setiap pekarangan kampung yaitu 20 jenis. Tanaman buah merupakan tanaman
pangan memiliki variasi jenis yang paling banyak di pekarangan Kabupaten Bogor.
22

Berbeda halnya dengan tanaman yang beraneka ragam, hewan ternak di pekarangan
hanya terdiri dari beberapa spesies. Fasilitas kandang ternak kecil yang ada di
pekarangan Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari hanya diisi ayam kampung
(Gallus domesticus). Pemanfaatan kolam di pekarangan biasanya untuk budidaya
ikan gurami, lele dumbo, dan ikan mas.
Tabel 12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari
Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak
Nama Desa
I II III IV V a b c d e f g h B K I
Situ Udik 24 21 11 2 10 20 7 9 15 12 1 2 4 1 1 2
Cikarawang 24 24 12 1 9 25 2 10 16 13 2 1 1 2 1 1
Bantarsari 34 18 8 2 8 14 4 19 13 15 2 0 3 0 1 3
Rata-rata 27 21 10 2 9 20 4 13 15 13 2 1 3 1 1 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f),
industri (g), dan lainnya (h)
Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)

Gambar 10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik

Gambar 11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang

Gambar 12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari


23

4.1.2.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bogor


Mayoritas anggota KWT di Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa
Bantarsari adalah orang Sunda. KWT Rukun Tani di Desa Bantarsari cukup banyak
memiliki anggota yang berstatus warga pendatang karena lokasinya mudah diakses
serta dekat dengan jalur utama menuju Kota Depok dan DKI Jakarta. Usia rata-rata
anggota KWT di tiap desa yaitu 42, 42, dan 45 tahun. Tingkat pendidikan anggota
KWT Teratai di Desa Situ Udik yang hanya lulusan SD sebanyak 50%, ada 20%
lulusan SMP, ada 20% lulusan SMA, dan hanya 10% yang lulusan S1. Tingkat
pendididkan anggota KWT Mawar di Desa Cikarawang yaitu 60% hanya lulusan
SD, 30% lulusan SMP, 20% lulusan SMA, dan tidak ada responden yang lulusan
D3/S1. Tingkat pendidikan anggota KWT Teratai yaitu 40% hanya lulusan SD,
20% lulusan SMP, 30% lulusan SMA, dan hanya 10% responden lulusan D3/S1.
Jenis pekerjaan mayoritas anggota KWT Teratai adalah IRT (50%), petani
dan bekerja mandiri (wirausaha) masing-masing 20%, dan 10% responden yang
bekerja sebagai karyawan. Anggota KWT Mawar yang menjadi IRT (40%) dan
petani (40%), sedangkan 20% lagi berwirausaha. Ketua KWT Teratai dan Mawar
juga berprofesi sebagai petani yang memiliki lahan garapan di luar pekarangannya.
Anggota KWT Rukun Tani bekerja sebagai IRT (30%), berwirausaha (30%), dan
petani (40%). Pendapatan rata-rata anggota KWT di Situ Udik yaitu Rp 950 000
per bulan, sedangkan di Desa Cikarawang hanya Rp 450 000 per bulan. Rata-rata
anggota KWT di Desa Bantarsari memiliki penghasilan mencapai Rp 1 100 000 per
bulan (Tabel 13).
Tabel 13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikara-
wang, dan Bantarsari
Rata- Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Penghasilan
Nama Desa rata D3 / Wira- Karya- Lain- rata-rata per
usia SD SMP SMA S1 IRT Petani usaha wan lain bulan (Rp)
Situ Udik 42 50 20 20 10 50 20 20 10 0 950 000
Cikarawang 42 60 30 10 0 40 40 20 0 0 450 000
Bantarsari 45 40 20 30 10 30 20 30 0 20 1 100 000

KWT Teratai dibentuk pada tahun 2009, sedangkan KWT Mawar dan Rukun
Tani dibentuk tahun 2011. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT
yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya kegiatan
rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 14). Produk unggulan dari KWT
Teratai yaitu pangan olahan yang sebagian bahan bakunya berasal dari pekarangan.
Produk unggulan KWT Mawar yaitu jambu kristal dan keripik ubi ungu. Adapun
produk unggulan KWT Rukun Tani yaitu produk olahan dari jambu kristal seperti
asinan dan manisan jambu kristal, serta berbagai kue jajanan tradisional.
Tabel 14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari
Desa KWT Tahun berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan
Situ Udik Teratai 2009 Pelatihan pekarangan, Kue kering dan
membuat kue dan arisan stroberi
Cikarawang Mawar 2011 Pelatihan pekarangan, Jambu kristal dan
membuat pangan olahan keripik ubi jalar
Bantarsari Rukun Tani 2011 Pelatihan pekarangan, Jambu kristal dan
membuat kue kering kue kering
24

4.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Cirebon


Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang
terletak di bagian Timur dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah.
Luas wilayah Kabupaten Cirebon yaitu 99 036 ha yang berada pada posisi 108o40
108o48 Bujur Timur dan 6o30 7o00 Lintang Selatan. Batas-batas administratif
wilayah Kabupaten Cirebon adalah:
sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Majalengka
sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan dan 424 desa, yang mana tiga
desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Bakung Lor di Kecamatan
Jamblang, Desa Grogol di Kecamatan Gunung Jati, dan Desa Pegagan Lor di
Kecamatan Kapetakan. Jumlah penduduk kabupaten ini sebanyak 2.293 juta jiwa
dengan tingkat kepadatan 23.2 orang/ha. Adapun kepadatan penduduk Kecamatan
Jamblang, Gunung Jati, dan Kapetakan yaitu masing-masing 23.4, 41.5, dan 9.9
orang/ha (BPS Kab. Cirebon 2014).
Wilayah Kabupaten Cirebon dapat dibagi menjadi dataran rendah yang
umumnya terletak disepanjang Pantai Utara sedangkan dataran tinggi di daerah
tengah hingga perbatasan Kabupaten Kuningan di kaki Gunung Ceremai. Bentang
alam tersebut memiliki rentang topografi mulai dari pesisir pantai (0 mdpl) hingga
dataran sedang (130 mdpl). Kabupaten ini beriklim tropis dengan suhu dan curah
hujan dipengaruhi oleh daerah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Suhu udara
di Kabupaten Cirebon berkisar antara 24oC 33oC, dengan curah hujan rata-rata
yaitu antara 150 3 500 mm/tahun, tergantung pada letak dan ketinggian kawasan.
Iklim di Kabupaten Cirebon memiliki curah hujan dan kelembapan udara yang
relatif rendah, diantara penyebabnya yaitu dekat dengan pantai. Kondisi umum
lingkungan kampung di kabupaten ini relatif kering (Gambar 13).

Gambar 13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon


Tanah ketiga desa tersebut umumnya berpasir karena berdekatan dengan
Pantai Utara, sehingga relatif lebih kering dibandingkan jenis tanah di Kabupaten
Bandung dan Bogor. Luas panen palawija pada tahun 2013 mencapai 5 413 ha.
Lahan basah paling banyak berupa sawah, kemudian kolam tambak ikan dan udang.
Luas panen padi sawah dan ladang di kabupaten ini yaitu 90 948 ha (BPS Kab.
Cirebon 2014). Selain padi, komoditas pertanian di kabupaten ini juga didominasi
oleh buah, ikan air tawar, dan udang tambak. Pekarangan dan kebun di kabupaten
ini banyak ditanami pohon mangga dari berbagai macam varietas karena kondisi
lingkungannya yang sesuai. Jumlah pohon mangga yang tersebar di kabupaten ini
mencapai 692 768 pohon pada tahun 2013.
25

4.1.3.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Cirebon


Desa Bakung Lor berada pada ketinggian 13 mdpl yang berjarak 8.5 km dari
Kota Cirebon. Akses ke desa sangat mudah karena dilalui jalan arteri yang meng-
hubungkan antara Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu.
Tidak banyak ditemui tanaman palawija di desa ini. Sebanyak 70% warga di Desa
Bakung Lor memanfaatkan sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan pekarangan,
sedangkan lainnya ada yang mengambil air dari kolam atau hanya mengandalkan
air hujan (Tabel 15). Warga desa mengalami kesulitan dalam pengairan pekarangan
ketika air sumur mereka surut pada musim kemarau. Komoditas pertanian unggulan
di Desa Bakung Lor yaitu buah mangga jambu biji.
Desa Grogol berada pada ketinggian 10 mdpl yang berjarak hanya 4.7 km
dari Kota Cirebon. Akses transportasi ke desa sangat mudah seperti ke desa Bakung
Lor karena keduanya dilalui jalan raya yang sama. Di desa ini jarang ditemukan
ladang tanaman palawija. Sebanyak 70% warganya memanfaatkan sumur sebagai
sumber air untuk kebutuhan pekarangan, sedangkan lainnya hanya mengandalkan
air hujan. Warga desa sering mengalami kesulitan air karena air sumur surut ketika
musim kemarau. Komoditas pertanian unggulan di desa ini yaitu padi.
Desa Pegagan Lor berada pada ketinggian 5 mdpl, yang berjarak 12 km dari
Kota Cirebon. Di desa ini jarang ditemukan ladang tanaman palawija. Sebanyak
50% warga Desa Pegagan Lor mengambil air dari sumur untuk pekarangan mereka.
Dikarenakan rumah-rumah di desa ini dekat dengan sungai kecil, maka tidak sedikit
yang memanfaatkannya sebagai sumber air untuk kebutuhan pekarangan. Selain
keluhan kurangnya air sumur untuk pengairan pekarangan ketika musim kemarau,
beberapa sumur di Desa Pegagan Lor rasanya sedikit asin akibat rembesan air laut.
Komoditas pertanian andalan di Desa Pegagan Lor yaitu padi, budidaya ikan air
tawar, dan tambak udang.
Tabel 15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon
Nama Desa Ketinggian Jarak ke Sumber air pekarangan (%) Komoditas
(mdpl) kota (km) sumur kolam sungai hujan andalan
Bakung Lor 13 8.5 70 10 0 20 Jambu merah
Grogol 10 4.7 70 0 0 30 Mangga
Pegagan Lor 5 12.0 50 10 40 0 Udang tambak

4.1.3.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Cirebon


Pekarangan di Desa Bakung Lor (Gambar 14), Grogol (Gambar 15), dan
Pegagan Lor (Gambar 16) memiliki luas rata-rata 88.3 m2, 163.0 m2, dan 182.3 m2.
Adapun luas maksimal pekarangan tiap desa tersebut yaitu 625 m2, 300 m2, dan 311
m2, sedang-kan luas minimalnya yaitu 6 m2, 18 m2, dan 40 m2 (Tabel 12). Seluruh
pekarangan di ketiga desa tersebut memiliki zona depan, dengan ketersediaan zona
belakang dan samping yang bervariasi. Keberadaan kandang ternak besar (KTB)
tidak ditemui pada pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor,
meskipun pekarangan dimungkinkan sebagai tempat pemeliharaan kambing dan
sapi. Ketiadaan fasilitas KTB biasanya karena keterbatasan ukuran dan zonasi
pekarangan serta kondisi lingkungan masyarakat. Sebanyak 60% pekarangan di
Desa Pegagan Lor memiliki kolam ikan yang dimanfaatkan untuk budidaya ikan
dan udang air tawar, sebagai salah satu sumber pendapatan rumah tangga. Pemilik
pekarangan mensiasati sempitnya lahan dengan membuat vertikultur.
26

Pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor didominasi oleh
tanaman strata I. Pekarangan di ketiga desa tersebut memiliki keragaman strata II
dan III yang hampir sama banyaknya (Tabel 13). Berdasarkan fungsinya, tanaman
pekarangan yang paling banyak ditemui yaitu jenis tanaman hias dan buah-buahan.
Tanaman buah yang umum ditemui di pekarangan yaitu mangga (Mangifera indica)
dari berbagai varietas. Desa Grogol memiliki keragaman tanaman pekarangan yang
rendah karena tanahnya kering dan kurang subur.Warga Desa Grogol kemudian
memanfaatkan pekarangannya untuk beternak unggas (ayam, kalkun, entog, soang,
bebek) dan kelinci. Sebagian pekarangan di Desa Pegagan Lor ditanami pisang batu
untuk dipanen daunnya, sebagai pembungkus tape ketan.
Tabel 16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor
Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%)
Nama Desa
Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol
Bakung Lor 6 625 88.3 100 60 0 10 0 50 20
Grogol 18 300 163.0 100 10 20 50 0 60 30
Pegagan Lor 40 311 182.4 100 70 50 60 0 60 60
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan
KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan
Tabel 17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa
Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor
Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak
Nama Desa
I II III IV V a b c d e f g h B K I
Bakung Lor 18 13 12 1 5 18 0 7 14 8 1 0 1 0 2 1
Grogol 18 9 7 0 4 22 3 1 10 2 0 0 0 0 6 2
Pegagan Lor 20 13 12 1 6 21 4 4 14 4 2 0 3 0 2 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f),
industri (g), dan lainnya (h)
Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)

Gambar 14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor

Gambar 15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol


27

Gambar 16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor


4.1.3.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Cirebon
Anggota KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor memiliki latar
belakang suku Sunda, Jawa, dan Cirebon. Hal tersebut karena memang Kabupaten
Cirebon menjadi salah satu tempat akulturasi budaya Sunda dan Jawa. Usia rata-
rata anggota KWT di tiap desa tersebut yaitu 42, 49, dan 45 tahun. Pendidikan
kebanyakan anggota KWT hanya diselesaikan pada tingkat SD. Tingkat pendidikan
anggota KWT di Desa Bakung Lor yaitu lulusan SMP ada 20%, lulusan SMA ada
20%, dan hanya 10% lulusan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan anggota KWT
di Desa Grogol yang lulusan SMA ada 30% dan hanya 10% yang lulus perguruan
tinggi. Tingkat pendidikan anggota KWT di Desa Pegagan Lor yaitu hanya 10%
lulusan SMP, 30% lulusan SMA, dan bahkan tidak ada (0%) lulusan diploma.
Jenis pekerjaan anggota KWT di Bakung Lor sebagai wirausaha sama banyak
dengan mereka yang menjadi IRT saja. Adapun anggota KWT di Grogol yang
menjadi IRT sebanyak 50%, dan ada 40% yang berwirausaha, serta 10% sebagai
karyawan. Di KWT yang ada di Pegagan Lor, mayoritas anggotanya adalah IRT
dan sisanya ada yang petani (10%), wirausaha (10%), dan lainnya (10%). Sangat
sedikit anggota KWT di Kabupaten Cirebon yang memiliki profesi sebagai petani.
Pendapatan rata-rata per bulan dari anggota KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan
Pegagan Lor yaitu Rp 1 000 000, Rp 950 000, dan Rp 500.000 (Tabel 18).
Tabel 18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol,
dan Pegagan Lor
Rata- Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Penghasilan
Nama Desa rata D3 / Wira- Karya- Lain- rata-rata per
usia SD SMP SMA S1 IRT Petani usaha wan lain bulan (Rp)
Bakung Lor 42 50 20 20 10 50 0 50 0 0 1 000 000
Grogol 49 30 30 30 10 50 0 40 10 0 950 000
PegaganLor 45 60 10 30 0 70 10 10 0 10 550 000

KWT Jambu Alas di Desa Bakung Lor dibentuk pada tahun 2011, sedangkan
KWT Bina Sri Lestari di Desa Grogol dan KWT Harum Sari di Desa Pegagan Lor
dibentuk tahun 2009. Pelatihan pekarangan dan kebun bibit merupakan kegiatan
rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya
kegiatan rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 19). Produk unggulan
dari KWT Jambu Alas yaitu tape ketan yang sudah produksi untuk dijual. Bungkus
tempe ketan ini adalah daun pisang batu yang biasa terdapat di pekarangan. Produk
unggulan KWT Bina Sri Lestari yaitu pangan olahan aneka buah, terutama mangga
gedong gincu, yang bahan bakunya diperoleh dari desa sekitarnya. Adapun produk
unggulan KWT Harum Sari yaitu produk olahan ikan dan kue kering (Tabel 19).
28

Tabel 19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor
Desa KWT Waktu berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan
Bakung Lor Jambu Alas 2011 Membuat tape Jambu biji, tape ketan
ketan
Grogol Bina Sri Lestari 2009 Membuat pangan Aneka pangan olahan
olahan dari buah buah mangga
Pegagan Lor Harum Sari 2009 Kegiatan PKK, Kue kering, pangan
arisan anggota olahan ikan

4.2. Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan


4.2.1. Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan
Kondisi lingkungan di dataran tinggi Kabupaten Bandung, dataran sedang
Kabupaten Bogor, dan dataran rendah Kabupaten Cirebon memiliki perbedaan dari
segi fisik seperti suhu udara harian dan curah hujan dalam setahun (Tabel 20). Hal
tersebut sesuai dengan estimasi bahwa perbedaan ketinggian pada masing-masing
lokasi dapat mewakili karakter ekologi yang berbeda. Suhu udara antara 12 24 oC
di Kabupaten Bandung sesuai untuk pertumbuhan tanaman dan ternak dataran
tinggi. Kemudian kondisi lingkungan di Kabupaten Bogor merupakan irisan dari
karakter lingkungan dataran tinggi dan rendah, salah satu diindikasinya yaitu suhu
udara harian yang memiliki rentang antara 19.0 31.2 oC. Dalam kajian ekologi,
kondisi lingkungan Kabupaten Bogor disebut ecotone atau zona peralihan antara
dua karakter wilayah (Arifin et al. 2009).
Hujan merupakan salah satu sumber air yang penting peranannya dalam
menunjang pertumbuhan dan perkembangan semua makhluk hidup. Curah hujan di
Kabupaten Bandung mencapai 4000 mm/tahun, namun curah hujan di Kabupaten
Bogor yang tertinggi dibandingkan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yakni 2 400
5 200 mm/tahun. Berbeda halnya dengan Kabupaten Cirebon, sebagai wilayah
yang memiliki dan dekat dengan garis pantai, iklim lokalnya memiliki suhu udara
rata-rata yang lebih panas, kering, serta curah hujan tahunan yang rendah. Kondisi
tanah yang lebih subur dan tidak kering di Kabupaten Bandung dan Bogor sangat
menunjang aktivitas pertanian di pekarangan.
Selain faktor-faktor tersebut, jarak dan akses transportasi antara desa tempat
pekarangan kampung berada dengan kota terdekat juga menjadi perhatian. Hal ini
karena jarak dan akses transportasi bisa berpengaruh terhadap laju urbanisasi dan
distribusi barang antara desa dengan kota. Semakin dekat jarak desa dengan kota,
maka diasumsikan laju urbanisasi semakin tinggi dan distribusi barang semakin
mudah. Begitu pula jika akses transportasi bagus dan mudah maka diasumsikan laju
urbanisasi semakin tinggi dan distribusi barang semakin cepat. Jarak rata-rata lokasi
pekarangan kampung di Kabupaten Bogor paling dekat ke kota (6.3 km), dan jarak
yang terjauh yaitu di Kabupaten Cirebon.
Laju urbanisasi yang terjadi di suatu wilayah tercermin dari angka kepadatan
penduduk. Kabupaten Cirebon memiliki kepadatan penduduk paling tinggi (23
orang/ha) dibanding kabupaten lainnya. Kabupaten Cirebon memang memiliki
lanskap dan akses transportasi yang lebih menunjang laju urbanisasi. Kepadatan
penduduk tersebut berimplikasi pada kebutuhan tempat tinggal berupa perumahan
dan sarana umum seperti kantor dan pasar. Semakin banyak area terbangun maka
akan mengubah fungsi lahan yang awalnya berupa sawah, kebun, dan pekarangan.
29

Tabel 20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon


Kabupaten Ketinggian Suhu udara Curah hujan Jarak lokasi ke Kepadatan
(mdpl) (oC) (mm/tahun) kota (km) (orang/ha)
Bandung 650 835 12.0 24.0 1 500 4 000 6.0 11.0 19
Bogor 165 460 19.0 31.2 2 400 5 200 3.0 10.0 20
Cirebon 5 13 24.0 33.0 1 500 3 500 4.7 12.0 23
Kabupaten Bandung memiliki komoditas andalan seperti cengkeh, hanjeli,
teh, dan sapi perah. Selain itu, di Lembang dan Ciwidey yang juga dataran tinggi
Kabupaten Bandung, terdapat banyak tanaman stroberi untuk kepentingan wisata
dan komersial. Sisi positif dari kondisi lingkungan Kabupaten Bogor yaitu tingkat
kesesuaian lahan yang lebih baik untuk lebih banyak komoditas pertanian. Kondisi
lingkungan di Kabupaten Cirebon sesuai untuk tanaman dan hewan ternak dataran
rendah. Pada kenyataannya, memang banyak varietas mangga serta ternak kambing
dan sapi di pekarangan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hasil inventarisasi di pekarangan kampung menunjukkan adanya 199 spesies
tanaman dan 17 spesies hewan ternak. Dominansi tanaman pekarangan dianalisis
dengan metode Summed Dominance Ratio (SDR), hasilnya diperoleh 10 tanaman
pangan yang dominan di pekarangan Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
(Tabel 21). Mangga, cabe rawit, pisang, pepaya, singkong, dan jeruk merupakan
komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Bandung dengan skor SDR tinggi.
Habitat pohon mangga sebenarnya bukan di lingkungan dataran tinggi seperti
Kabupaten Bandung, namun karena relatif mudah tumbuh dan ketidaktahuan dari
pemilik pekarangan maka populasinya manjadi banyak. Komoditas pangan dari
pekarangan di Kabupaten Bogor yang memiliki skor SDR tinggi yaitu tomat, cabe
rawit, kunyit, kangkung, caisin, dan bayam. Komoditas pangan dari pekarangan di
Kabupaten Cirebon yang dominan yaitu mangga, pisang, cabe merah, lengkeng,
pepaya, dan kangkung. Keberadaan tanaman mangga di Kabupaten Cirebon telah
sesuai dengan habitatnya di dataran rendah yang relatif kering dan panas.
Tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, selada, bayam, cabe merah, dan
jahe di pekarangan merupakan komoditas pertanian yang direkomendasikan oleh
BKP tingkat kabupaten dalam program P2KP. Cabe rawit (Capsicum frutescens)
sebagai bahan untuk sambal, banyak ditemui di pekarangan karena terkait budaya
orang Sunda yang menyukai sambal sebagai pelengkap masakan sehari-hari.
Tabel 21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung
Kabupaten Tanaman pangan yang dominan (hasil metode SDR)
Bandung - mangga, cabe rawit, pisang, pepaya, terong, singkong, jeruk,
kunyit, jambu air, bawang daun
Bogor - tomat, cabe rawit, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe merah,
jahe, kacang panjang, jahe merah
Cirebon - mangga, pisang, cabe merah, lengkeng, pepaya, kangkung, jambu
biji, tomat, kelapa, jeruk

4.2.2. Analisis Ukuran Pekarangan


Ukuran pekarangan merupakan salah satu modal pengelolaan pekarangan,
dengan asumsi semakin luas maka akan semakin banyak aktivitas budidaya yang
bisa dilakukan (Budiman et al. 2015). Sebuah pekarangan harus memenuhi ukuran
30

minimum atau critical minimum size seluas 100 m2, agar dapat mengakomodasi
keanekaragaman hayati yang ideal (Arifin et al. 1998). Berdasarkan ukuran rata-
ratanya, pekarangan yang paling luas di Kabupaten Bandung (317.1 m2), kemudian
di Kabupaten Cirebon (144.6 m2), lalu Kabupaten Bogor (142.9 m2). Pekarangan
dengan rata-rata luasan tersebut mampu mengakomodasi berbagai macam tanaman
dari strata dan fungsi yang berbeda. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan pada
seluruh pekarangan karena diferensiasi ukuran luas pekarangan yang cukup lebar
di masing-masing kabupaten, terutama di Bogor dan Cirebon. Klasifikasi terhadap
luasan pekarangan menunjukkan 50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk
kategori sedang, sedangkan sebanyak 66.7% pekarangan di Kabupaten Bogor dan
60% pekarangan di Kabupaten Cirebon termasuk kategori pekarangan sempit.
Luasan pekarangan tidak ada yang lebih dari 1 000 m2 (Tabel 22).
Tabel 22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
Luas Pekarangan (m2) Kategori Luasan Pekarangan (%)
Kabupaten
Min Maks Rata-rata Sempit Sedang Besar
Bandung 20.0 950.0 317.1 26.7 50.0 23.3
Bogor 6.0 600.0 142.9 66.7 20.0 13.3
Cirebon 6.0 625.0 144.6 60.0 36.7 3.3
Berdasarkan penelitian Brownrigg (1985), ukuran pekarangan yang lebih
kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih
tinggi. Pada konteks penelitian ini, pekarangan pada dataran tinggi (Kabupaten
Bandung) memiliki rata-rata ukuran terluas, sedangkan pekarangan pada dataran
sedang (Kabupaten Bogor) memiliki ukuran tersempit. Di sisi lain, ditinjau dari
faktor urbanisasi yang tercermin oleh kepadatan penduduknya, maka Kabupaten
Bandung dengan angka kepadatan terendah (19 orang/ha) memiliki ukuran rata-rata
pekarangan paling luas, sedangkan Kabupaten Bogor dan Cirebon dengan angka
kepadatan penduduk yang lebih tinggi memiliki ukuran pekarangan lebih sempit.
Kondisi demikian sebagaimana pernyataan Arifin et al. (1998a), bahwa ukuran
pekarangan lebih dipengaruhi oleh faktor urbanisasi daripada ketinggian lokasi.
Kemudian Arifin et al. (1998b) dan Kehlenbeck et al. (2007) menyatakan bahwa
kawasan dengan laju urbanisasi yang paling rendah (perdesaan) memiliki ukuran
pekarangan paling besar, sedangkan kawasan dengan laju urbanisasi yang tinggi
memiliki ukuran pekarangan yang kecil.
Laju urbanisasi di Kabupaten Bogor dan Cirebon ditunjang oleh jarak desa ke
kota yang relatif dekat serta akses transportasi (jalan dan angkutan umum) yang
lebih mudah. Kedua faktor tersebut tentu dapat meningkatkan harga lahan, sehingga
ada kecenderungan pemilik pekarangan untuk menjual sebagian lahannya apabila
memerlukan tambahan uang. Hal ini didukung pernyataan Arifin et al. (1998a) bah-
wa penurunan ukuran luas pekarangan pada kawasan urban dan sedang mengalami
urbanisasi disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk dan harga lahan.
Faktor jarak lokasi ke kota, akses transportasi, dan laju urbanisasi lebih
berpengaruh terhadap ukuran luas pekarangan. Pernyataan ini tidak berseberangan
dengan Arifin et al. (2012) yang menyatakan bahwa pekarangan pada dataran tinggi
memiliki ukuran lebih kecil daripada pekarangan di dataran rendah. Adanya per-
bedaan lokasi sampel, yang mana penelitian ini tidak terkait daerah aliran sungai
(DAS) sedangkan penelitian Arifin et al. (2012) memiliki keterkaitan dengan DAS,
menyebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi karakter pekarangan.
31

Ukuran luas lahan pekarangan yang menyempit wajar terjadi seiring dengan
bertambahnya tuntutan kebutuhan pemukiman serta perilaku sosial dan budaya
masyarakat. Kondisi ini di mana lahan pekarangan sangat terbatas untuk aktivitas
pertanian dapat disiasati oleh pemilik pekarangan. Meskipun luasannya kurang dari
critical minimum size (100 m2), pekarangan masih bisa dioptimalkan dengan teknik
vertikultur, yakni budidaya tanaman secara vertikal. Contoh vertikultur yang bisa
diaplikasikan yaitu dengan model bertingkat, gantung, atau tempel.

4.2.3. Analisis Zonasi Pekarangan


Pembagian tata ruang pekarangan menjadi zona depan, samping (kanan dan
kiri), serta belakang dipengaruhi oleh pemanfaatan lahan dan kondisi sosial-budaya
pemiliknya. Keberadaan zonasi ini bervariasi di setiap pekarangan yang tergantung
pada posisi rumah. Pekarangan pada umumnya memiliki zona depan sehingga
paling banyak ditemukan pada pekarangan di Kabupaten Bandung (100%), Cirebon
(97%), serta Bogor (87%) (Tabel 23). Zona depan yang biasa disebut halaman,
buruan (Sunda), atau pelataran (Jawa) merupakan tempat penting untuk berbagai
aktivitas sosial, budaya, dan agama. Beberapa pekarangan yang tidak memiliki zona
depan dikarenakan posisi rumah yang sangat dekat dengan jalan atau gang.
Zona pekarangan belakang juga paling banyak di Kabupaten Bandung, tetapi
itu tidak mencapai 2/3 dari pekarangan yang ada. Zona pekarangan belakang paling
sedikit ditemukan di Kabupaten Bogor (43%). Keberadaan zona belakang sering
dikurangi atau dikorbankan oleh pemilik pekarangan untuk perluasan rumah. Zona
samping pekarangan paling banyak terdapat di Kabupaten Bandung, sedangkan
paling sedikit di Kabupetan Cirebon. Pada kawasan perumahan yang cukup padat
memang jarang ditemui zona pekarangan samping karena umumnya antara rumah
satu dengan tetangganya saling berhimpitan. Tata ruang pekarangan seperti ini
paling mudah dijumpai pada perumahan-perumahan baru di kawasan urban.
Tabel 23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan
Keberadaan zonasi pekarangan (%)
Kabupaten
Depan Belakang Samping kiri Samping kanan
Bandung 100 57 63 47
Bogor 87 43 53 37
Cirebon 97 47 23 40
Zonasi juga digunakan untuk mengetahui lokasi tanaman pekarangan (Arifin
et al. 1998). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa banyak pemilik pekarangan
memanfaatkan zona depan untuk menanam beraneka macam tanaman hias supaya
memperindah tampilan rumahnya. Zona samping ditanami berbagai tanaman obat,
sayur, buah, dan bumbu, serta kolam ikan atau kandang ternak unggas. Sedangkan
di zona belakang lebih banyak ditanami tanaman industri, buah, dan penghasil pati,
serta kolam ikan atau kandang ternak besar. Hasil survei di lapangan menunjukkan
bahwa penggunaan pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon pada
zona depan, samping, maupun belakang masih didominasi untuk budidaya tanaman
pangan (Gambar 17). Maka sangat disayangkan ketika banyak zona belakang yang
dikurangi luasnya atau bahkan dihilangkan, sebab akan mengurangi fungsi peka-
rangan sebagai penghasil pangan. Pemilik pekarangan yang tidak memiliki zona
belakang biasanya kehilangan potensi produksi yang menunjang ketahanan pangan,
terutama dari komoditas pertanian penghasil pati dan protein hewani.
32

Kabupaten Kabupaten Kabupaten


Depan

Bandung
Samping
Belakang
Depan
Bogor

Samping
Belakang
Depan
Cirebon

Samping
Belakang
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Pangan Non-Pangan
Gambar 17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan

4.2.4. Analisis Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan


Jumlah jenis tanaman strata I, dengan tinggi tajuk kurang dari 1 m, paling
banyak terdapat pada pekarangan di ketiga kabupaten, yang kemudian diikuti jenis
tanaman strata II (Gambar 18). Persentase keragaman tanaman pekarangan strata I
di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 46%, 45%, dan 42% dari populasi
tanaman pada tiap lokasi. Pekarangan di Kabupaten Bandung memiliki tanaman
strata I yang paling beragam, yakni sebanyak 62 spesies (Tabel 24). Persentase
keragaman tanaman pekarangan strata II di Kabupaten Bandung, Bogor, dan
Cirebon yaitu 25%, 25%, dan 23%. Pekarangan di Kabupaten Bandung memiliki
tanaman strata II yang paling beragam, yakni sebanyak 33 spesies. Persentase kera-
gaman tanaman pekarangan strata III di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
yaitu 12%, 15%, dan 21%. Persentase keragaman tanaman pekarangan strata IV di
Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 6%, 3%, dan 3%. Kemudian
persentase keragaman tanaman pekarangan strata V di Kabupaten Bandung, Bogor,
dan Cirebon yaitu 11%, 12%, dan 11%. Keragaman strata tanaman ini berkorelasi
dengan ukuran pekarangan yang umumnya termasuk kategori sempit dan sedang.
Keanekaragaman spesies tanaman pekarangan paling banyak di Kabupaten
Bandung dengan total 134 spesies. Keadaan ini karena ukuran luas pekarangan di
sana rata-rata termasuk kategori sedang (120 400 m2), yang mana pekarangan
dengan luas lebih dari 100 m2 mampu mengakomodasi keberadaan tanaman strata
IV dan V (Arifin et al. 1997, 1998b). Hal tersebut juga dimungkinkan karena daya
dukung pekarangan akan meningkat apabila ukurannya semakin luas. Pekarangan
sempit dapat dioptimalkan untuk budidaya tanaman strata I, II, dan III.

Kab. Bandung

Kab. Bogor

Kab. Cirebon

0% 10% 20% 30% 40% 50%


Strata V Strata IV Strata III Strata II Strata I
Gambar 18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan
33

Tabel 24 Keragaman strata tanaman pekarangan


Jumlah spesies tanaman pekarangan Total spesies
Kabupaten tanaman
Strata I Strata II Strata III Strata IV Strata V
Bandung 62 33 16 8 15 134
Bogor 57 31 19 4 15 126
Cirebon 38 21 19 3 10 91

4.2.5. Analisis Keragaman Horizontal (Fungsi) Pekarangan


Berdasarkan data inventarisasi keanekaragaman hayati pertanian yang ada di
pekarangan, Kabupaten Bandung memiliki keanekaragaman tanaman paling tinggi
dengan total 134 spesies. Kemudian keragaman tanaman pekarangan yang cukup
banyak berada di Kabupaten Bogor (126 spesies), sedangkan Kabupaten Cirebon
memiliki keragaman tanaman pekarangan paling sedikit (91 spesies). Selain karena
rata-rata ukuran pekarangan yang paling luas, kondisi lingkungan di Kabupaten
Bandung juga mendukung aktivitas pertanian sehingga keanekaragaman hayati
pertanian di pekarangannya paling baik. Berbeda halnya dengan kondisi alam di
Kabupaten Cirebon yang justru menjadi salah satu faktor pembatas dalam budidaya
beberapa jenis tanaman. Salah satu upaya untuk mengantisipasi kekurangan air
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, yaitu dengan menanam di pot atau
polybag karena dapat menghemat penggunaan air dan pupuk. Pada kondisi kering
biasanya tanaman buah, sayur, bumbu, dan obat ditanam di pot atau polybag.
Hasil analisis keragaman horizontal atau fungsi tanaman (Arifin et al. 1997,
1998) menunjukkan bahwa jumlah spesies tanaman hias paling banyak di antara
semua fungsi tanaman pekarangan (Gambar 19). Persentase jenis tanaman hias di
Kabupaten Bandung dan Bogor sama-sama 35%, sedangkan di Kabupaten Cirebon
mencapai 41%. Meskipun demikian, jumlah spesies tanaman hias di Kabupaten
Cirebon sebenarnya paling sedikit (37 spesies) dibandingkan di Kabupaten Bogor
(44 spesies) dan Bandung (47 spesies). Persentase tanaman obat dan bahan industri
di Kabupaten Bandung paling tinggi walaupun hanya 9% dan 4% dari populasi
tanaman yang ada. Pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki persentase tanaman
sayur (17%), bumbu (16%), dan penghasil pati (6%) paling tinggi dibandingkan
Kabupaten Bandung dan Cirebon. Pekarangan di Kabupaten Cirebon memiliki
persentase tanaman buah (25%) dan fungsi lain (6%) paling tinggi dibandingkan
pekarangan di Kabupaten Bandung dan Bogor. Penentuan fungsi tanaman ini ber-
dasarkan penggunaan dari pemilik pekarangan, sehingga memungkinkan terdapat
satu tanaman yang memiliki fungsi berbeda atau banyak (multi) fungsi.
50

40

30

20

10

0
Kabupaten Bandung Kabupaten Bogor Kabupaten Cirebon
Hias Obat Sayur Buah Bumbu Pati Industri Lainnya
Gambar 19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan
34

Jenis tanaman hias memang paling beragam di pekarangan, namun jumlah


jenis tanaman pangan di setiap kabupaten lebih banyak daripada jenis tanaman non-
pangan (Gambar 20). Persentase tanaman pangan pada pekarangan kampung di
Kabupaten Bandung dan Bogor masing-masing mencapai 62% dari seluruh spesies
yang teridentifikasi, sedangkan di Kabupaten Cirebon persentasenya lebih rendah,
yakni 57% namun masih lebih banyak dari tanaman non-pangan. Hal tersebut juga
dibuktikan dengan analisis Shannon-Wienner terhadap keanekaragaman tanaman
pangan, yang mana hasil tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor (H = 1.95), kemudian
Kabupaten Bandung (H = 1.44) dan terendah yaitu Kabupaten Cirebon (H = 0.86).
Tingkat keanekaragaman tanaman pangan pada pekarangan kampung di Kabupaten
Bogor tersebut karena upaya dan keinginan pemilik pekarangan yang ditunjang
oleh lingkungannya. Sebagaimana telah disebutkan, dataran sedang di Kabupaten
Bogor merupakan zona peralihan (ecotone) sehingga memiliki kesesuaian ling-
kungan lebih baik untuk lebih banyak makhluk hidup.
Tanaman pangan meliputi tanaman obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati,
serta beberapa spesies dari kelompok tanaman hias dan industri, sedangkan
tanaman non-pangan pada umumnya merupakan tanaman hias, bahan baku industri,
dan lainnya. Tanaman hias yang dapat dikonsumsi misalnya bunga kecombrang,
kenikir, puring, petai cina, dan daun suji. Tanaman tersebut ada yang bermanfaat
sebagai sayuran, obat-obatan, atau bumbu masak. Adapun tanaman industri yang
dapat dikonsumsi yaitu cokelat (kakao), kopi, cengkeh, kelapa, dan aren. Di sisi
lain, ada tanaman pangan yang dimanfaatkan untuk fungsi lain, seperti tanaman
singkong sebagai pagar pembatas pekarangan.

Kab. Bandung 62% 38%

Kab. Bogor 62% 38%

Kab. Cirebon 57% 43%

pangan non-pangan
Gambar 20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan
Suatu agroekosistem pekarangan tidak hanya tanaman yang dibudidayakan
tetapi juga ternak mamalia (kambing, domba, kelinci), unggas (ayam, bebek, angsa),
dan ikan air tawar. Keberadaan hewan ternak di pekarangan Kabupaten Bandung
dan Bogor cukup tinggi yaitu 34.5%. Keragaman hewan ternak yang cukup tinggi
di pekarangan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yaitu terdapat masing-masing 10
spesies (Tabel 25). Keanekaragaman hayati berkontribusi terhadap keberlanjutan
sosial ekonomi suatu agroekosistem (Kehlenbeck et al. 2007).
Tabel 25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan
Persentase keberadaan (%) Jumlah spesies
Kabupaten Ternak Ternak Kolam Rata- Ternak Ternak
Ikan
mamalia unggas ikan rata mamalia unggas
Bandung 10.0 66.7 26.7 34.5 3 4 3
Bogor 16.7 56.7 30.0 34.5 3 1 4
Cirebon 0.0 20.0 20.0 13.3 0 7 3
35

4.3. Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung


4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani
Demografi KWT menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi pengelola
pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. Variabel demografi tersebut
meliputi rata-rata usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan
per bulan. Usia dapat mempengaruhi pola pikir dan kemampuan kerja (Purwanti
2007). Usia rata-rata anggota KWT di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
yaitu 50, 43, dan 44 tahun, yang mana pada rentang tersebut masih dapat dikatakan
usia produktif. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar (52%)
anggota KWT hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), padahal tingkat pendidikan akan
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami arti penting pengelolaan
pertanian dan mencari solusi permasalahan (Adhawati 1997). Anggota KWT di
Kabupaten Cirebon rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, daripada
anggota KWT di Kabupaten Bandung dan Bogor. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa rata-rata orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki pendapatan per
bulan yang lebih tinggi.
Jenis pekerjaan berhubungan dengan waktu yang tersedia untuk mengelola
pekarangan, dan ternyata mayoritas responden adalah ibu rumah tangga yang lebih
sering ada di rumah. Ibu rumah tangga diasumsikan memiliki kesempatan lebih
leluasa untuk mengelola pekarangannya dari pada mereka yang bekerja di sawah,
pabrik, atau sekolah. Namun, waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap
hari antara 5 30 menit. Ternyata ada hal lain yang mempengaruhi kesempatan
mengelola pekarangan yakni aktivitas sosial ibu-ibu, seperti arisan, pengajian di
majelis talim, dan mengasuh anaknya. Waktu untuk mengelola pekarangan belum
menjadi prioritas dalam keseharian mereka. Responden yang bekerja sebagai petani
di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 10%, 27%, dan 3% sehingga
banyak anggota KWT yang belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. Anggota
KWT yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bogor paling banyak daripada di
kabupaten lainnya. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan
program P2KP ini perlu menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindak-
lanjuti dengan lebih banyak memberi perhatian dan arahan. Setiap kabupaten
memiliki karakteristik demografi anggota KWT yang berbeda (Tabel 26).
Tabel 26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung
Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Pendapatan per kelas (%)
Rata-rata Umur

Ibu Rumah Tangga


Diploma / Sarjana

Rp 500 ribu < 1 juta

Rp 2.5 juta < 3 juta


Rp 1 juta < 1.5 juta

Rp 1.5 juta < 2 juta

Rp 2 juta < 2.5 juta


Sekolah Dasar

Rp 1 < 500 ribu


Wiraswasta

Pegawai

Lainnya
Petani

Kabupaten
SMA
SMP

70 10 10 3 3 3
Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 0 7
Rata-rata Rp 600 000
70 3 3 3 7 13
Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7
Rata-rata Rp 816 000
63 7 10 3 3 13
Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3
Rata-rata Rp 834 000
Keterangan: SMP = Sekolah Menengah Pertama SMA = Sekolah Menengah Atas
36

Nilai pendapatan per bulan hasil wawancara hanya menggambarkan kondisi


ekonomi responden. Ternyata lebih dari 67% anggota KWT memiliki penghasilan
kurang dari Rp 500 000 per bulan, sehingga sangat rawan terjadi masalah ekonomi
di rumah tangga apabila penghasilan utama keluarga terganggu. Penghasilan rata-
rata anggota KWT di Kabupaten Cirebon paling tinggi (Rp 834 000) daripada di
kabupaten lainnya. Penghasilan tersebut berasal dari wirausaha di bidang agribisnis
dengan komoditas berupa telur bebek, udang, tape ketan, dan pangan olahan.
Berdasarkan analisis demografi anggota KWT berupa kondisi sosial dan
ekonomi, dapat dinilai kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola pekarangan
kampung di masing-masing kabupaten. SDM di Kabupaten Bogor telah memiliki
kemanpuan bertani paling baik, sedangkan SDM di Kabupaten Cirebon memiliki
potensi paling baik dalam mengelola pekarangan kampung.

4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani


Kegiatan pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan oleh KWT
dalam rangka program P2KP mencakup pemberdayaan masyarakat, pembibitan dan
distribusi bibit ke pekarangan anggota, pemanenan dan pemanfaatan produk dari
pekarangan, serta pemasaran produk pekarangan kampung. Pemberdayaan anggota
KWT sebagai sumberdaya manusia pengelola pekarangan kampung penting untuk
dilakukan karena pekarangan mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya
dengan tanaman dan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010).
Menurut hasil pengamatan serta wawancara di Kabupaten Bandung, Bogor,
dan Cirebon, diketahui kegiatan pemberdayaan anggota KWT berupa pelatihan
budidaya tanaman pertanian di pekarangan. Mereka diberikan pencerdasan tentang
fungsi dan manfaat pengelolaan pekarangan, cara mengelola pekarangan sebagai
sumber pangan rumah tangga, serta budidaya tanaman dengan teknik vertikultur.
Selain itu, mereka juga mendapat pelatihan pembibitan tanaman di kebun bibit
kelompok dan pengolahan produk hasil pekarangan menjadi produk olahan pangan
yang lebih bernilai ekonomis. Kegiatan-kegiatan tersebut dibimbing langsung oleh
pendamping KWT yang merupakan penyuluh dari Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian (BP3), di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
tingkat kabupaten. Di samping kegiatan KWT yang telah terprogram oleh BP3,
biasanya KWT berinisiatif membuat kegiatan internal yang bertujuan mempererat
kekompakan dan menambah fungsi kelompok, seperti arisan, masak bersama, dan
simpan pinjam modal anggota.
Upaya pemanenan komoditas dari pekarangan kampung akan meningkatkan
kuantitas produk sehingga dapat lebih menunjang ketahanan pangan, kepedulian,
dan kesejahteraan masyarakat. Pekarangan satu dengan tetangganya dapat saling
tukar (barter) komoditas pangan yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Kelebihan produksi pangan dari pekarangan kampung dapat dibagi-
kan kepada orang yang membutuhkan sehingga menumbuhkan sikap peduli di
masyarakat. Jumlah produk pekarangan kampung yang semakin banyak akan lebih
ekonomis apabila dijual ke pasar. Sebagai contoh, dalam sekali panen buah mangga
dari pekarangan kampung di Kabupaten Cirebon diperoleh rata-rata 406 kg. Contoh
lainnya, pemanenan jambu kristal dari pekarangan kampung di Desa Cikarawang,
Kabupaten Bogor, yang menghasilkan puluhan kilogram dalam sekali panen. Hasil
panen tersebut apabila dijual ke pasar akan lebih mudah dan bernilai ekonomis.
37

Produk pekarangan kampung tidak hanya bahan mentah, tetapi juga pangan
olahan. Produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT bertujuan meningkatkan nilai
guna dan ekonomi dari hasil panen di pekarangan kampung. Selain itu, pembuatan
produk pangan olahan menjadi alternatif aktivitas pemberdayaan anggota KWT
yang kondisi lingkungan pekarangannya kurang mendukung aktivitas pertanian,
misalnya karena kekeringan atau tanah yang kurang subur. Bahan dasar produk
pangan olahan KWT tidak terbatas dari pekarangan kampung yang dikelola, tetapi
dapat bekerja sama dengan KWT dari desa lain yang memiliki sumberdaya berlebih.
Sebagaimana yang telah dicatat pada kondisi KWT di masing-masing kabupaten,
contoh produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT di Kabupaten Bandung yaitu
telur asin dan nasi hanjeli (Gambar 21), kemudian contoh pangan dari Kabupaten
Bogor yaitu keripik ubi ungu dan kue tradisional (Gambar 22), sedangkan pangan
olahan KWT di Kabupaten Cirebon lebih beragam seperti tape ketan, manisan
aneka buah, dan sirup buah mangga gedong gincu (Gambar 23).

Gambar 21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung

Gambar 22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor

Gambar 23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon

4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani


Keberlanjutan produksi dari pekarangan kampung ditunjang oleh beberapa
komponen, diantaranya yaitu kebun bibit yang dikelola bersama oleh anggota KWT
(Gambar 24). Berdasarkan pengamatan di lapangan, meskipun kebun bibit tersebut
bukan satu-satunya komponen penunjang operasional pekarangan kampung, keter-
38

sediaan bibit tanaman sangat diperlukan bagi pekarangan, terutama komoditas yang
berumur semusim. Pendamping KWT biasanya memberi rekomendasi komoditas
pertanian yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan kampung. Benih tanaman
tersebut biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu penyediaannya
oleh pendamping KWT.

Gambar 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di
Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan)
Anggota KWT memilih sendiri komoditas pertanian yang dikembangkan di
pekarangannya masing-masing. Sebelum membeli bibit, mereka bermusyawarah
tentang tanaman apa yang akan ditanam, dan biasanya pendamping kelompok ikut
memberikan saran. Komoditas yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bandung dan
Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah. Sedangkan kebun bibit di Kabupaten
Cirebon membibitkan tanaman sayur, bumbu, dan ikan. Ketersediaan bibit tanaman
dan hewan ternak sebaiknya sesuai dengan daya dukung pekarangan kampung
sehingga dapat tumbuh dengan baik. Pembibitan ini belum banyak meng-hasilkan
bibit komoditas lokal, misalnya talas bogor dan nanas bogor di Kabupaten Bogor
atau mangga gedong gincu di Kabupaten Cirebon.
Kelemahan dalam pengelolaan modal kebun bibit kelompok menjadi masalah
yang sering ditemui pada masing-masing kabupaten. Kondisi ini terjadi karena
KWT hanya mengandalkan dana bantuan sosial dari pemerintah. Dana bantuan
program P2KP memang diberikan selama 5 tahun, namun hanya setahun sekali dan
biasanya pencairan dana tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kurangnya
modal untuk membeli benih tanaman pada pembibitan kesekian kalinya meng-
akibatkan kebun bibit tidak berfungsi optimal. Kebutuhan lain untuk pembibitan
tanaman pekarangan yaitu pupuk organik dan kantong polybag. Sebagai contoh,
kebun bibit kelompok di Desa Bantarsari dan Grogol yang kekurangan modal
sehingga tidak terpelihara telah berakibat pada penurunan jumlah komoditas yang
ditanam di pekarangan, sehingga angka produksinya menjadi rendah. Berbeda
halnya dengan kebun bibit di Desa Girimekar dan Cikarawang yang memiliki
sumber modal lain, sehingga bibit untuk pekarangan kawasan tetap tersedia. Modal
lain tersebut berasal dari penjualan bibit tanaman serta penjualan produk KWT.
Kebun bibit kelompok tani yang kebanyakan terbuat dari bambu yang mudah
rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan material tersebut karena menyesuaikan
dengan anggaran yang telah ditentukan oleh BKP. Pada saat survei, hanya 45%
kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan 55% lainnya
sudah rusak (Gambar 25). Masalah lain terkait keberadaan kebun bibit kelompok
yaitu status kepemilikan lahan. Keberadaan kebun bibit kelompok yang dibangun
di atas lahan pribadi sangat tergantung pada kehendak pemilik lahan. Kebun bibit
kelompok milik KWT di ketiga kabupaten yang berada di atas lahan pribadi ada
sebanyak 77% dan hanya 23% yang berada di lahan milik desa (Tabel 27). Kondisi
39

kebun bibit kelompok dipengaruhi oleh aktivitas dan kepedulian anggota KWT,
kemudian ketersediaan lahan, serta perhatian pemerintah desa.

Gambar 25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik


Tabel 27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT
Status kepemilikan
Kondisi fisik (%)
Kabupaten lahan (%) Bibit yang diproduksi
Baik Rusak Desa Pribadi
Bandung 33 66 0 100 - Bayam, selada, labu air, cabe
hijau, cabe merah, tomat, jahe,
kunyit, pepaya, bawang daun
Bogor 33 66 33 66 - Kangkung, selada, labu air,
seledri, cabe, tomat, kunyit,
jahe, jambu kristal, stroberi
Cirebon 66 33 33 66 - Kangkung, seledri, terong,
cabe, tomat, jahe, kunyit,
dukuh, jambu biji, ikan gurami

4.3.4. Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kampung


Meskipun fungsi dasar pekarangan di area perdesaan yaitu sebagai sumber
produksi pangan untuk menyambung kehidupan keluarga atau subsisten (Kumar
dan Nair 2004), tidak sedikit pemilik pekarangan yang menjual hasil panen dari
pekarangan berupa produk segar maupun hasil olahan. Produk tersebut merupakan
kelebihan dari kebutuhan konsumsi ataupun sengaja dibudidayakan di pekarangan
kerena memiliki nilai ekonomi. Penjualan berbagai macam produk pekarangan saat
ini masih banyak secara individu. Tengkulak lebih berperan memasarkan produk
pekarangan, misalnya pemasaran buah di Kabupaten Bogor dan Cirebon. Mereka
membeli buah mangga atau jambu biji dengan sistem ijon, yang mana pembelian
buah tanpa dihitung per kilogram namun dikira-kira harganya per pohon sebelum
buah masak. Jarak antara rumah ke pasar juga menjadi kendala pemasaran karena
akan menambah waktu dan biaya transportasi. Banyak pemilik pekarangan belum
mampu melakukan pemasaran produknya secara efektif dan efisien, sehingga tidak
memperoleh keuntungan maksimal.
Selain faktor persaingan usaha dengan tengkulak dan jarak pekarangan ke
pasar, permasalahan utama dari pemasaran produk pekarangan adalah kuantitas
produk yang akan dijual ke pasar. Penjualan hasil panen dari pekarangan menjadi
tidak menguntungkan apabila nilai ekonomi produk yang dijual tidak sebanding
dengan biaya produksi dan transportasinya. Sehingga untuk mendapat keuntungan
40

ekonomi diperlukan kuantitas produk hingga jumlah tertentu, yang sulit terpenuhi
oleh satu pekarangan. BKP tingkat kabupaten kemudian menyikapi hal tersebut
dengan memberi kesempatan kepada KWT sebagai pengelola pekarangan kampung
untuk menjual produk KWT di pasar tani. Upaya ini belum mamberi solusi efektif
karena pasar tani hanya dilaksanakan sebulan sekali di ibukota kabupaten.
Sebaiknya ada upaya dari KWT untuk menjual produk pekarangan kampung
secara kolektif dan berkesinambungan sehingga biaya produksi bisa lebih rendah
dan mereka dapat lebih sering memperoleh keuntungan. Pemasaran produk dengan
cara tersebut dapat dilakukan langsung oleh KWT atau unit bisnis independen yang
bergerak di bidang agribisnis, misalnya koperasi unit desa (KUD). Ide pemasaran
ini tentu membutuhkan dukungan dari pihak KWT sebagai produsen. Berdasarkan
hasil wawancara, masyarakat di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon rata-rata
setuju (49%) apabila pemasaran produk pekarangan kampung dilakukan secara
kolektif. Hanya 7% responden yang ingin menjual sendiri hasil pekarangannya.
Tantangan pemasaran kolektif yang menjadi perhatian adalah keberadaan
lembaga koperasi. Benar bahwa pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto telah
banyak didirikan KUD, bahkan hampir setiap desa memiliki KUD dengan bantuan
modal dari pemerintah. Pada saat ini jarang ditemui KUD yang masih beroperasi
karena banyak koperasi yang mengalami masalah kepengurusan dan modal usaha.
Menurut informasi dari responden, tidak ada KUD di tempat pelaksanaan program
P2KP yang masih aktif. Tidak hanya itu, sejauh ini belum ada koperasi yang fokus
menjangkau produk pekarangan atau pangan olehan KWT. Meskipun kondisinya
demikian, masih mungkin melakukan pemasaran produk pekarangan kampung
secara kolektif. Hal tersebut terlihat dari tingginya dukungan pengelola pekarangan
terhadap adanya koperasi pekarangan, yang mencapai rata-rata 72% setuju dan 9%
sangat setuju (Tabel 28). Persepsi masyarakat tersebut memberikan harapan bahwa
koperasi dapat kembali diberdayakan untuk mengumpulkan serta memasarkan
produk mentah dan olahan dari pekarangan kampung.
Tabel 28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa
Keinginan pemasaran kolektif (%) Dukungan koperasi pekarangan (%)
Kabupaten Tidak Biasa Setuju Sangat Tidak Biasa Setuju Sangat
setuju saja setuju setuju saja setuju
Bandung 0 23 47 30 0 17 67 17
Bogor 7 43 37 13 7 23 70 0
Cirebon 13 0 65 23 0 10 79 10
Rata-rata 7 22 49 22 2 17 72 9

4.4. Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung


4.4.1. Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung
Pada saat survei di lapangan, hasil panen berbagai macam produk pekarangan
seperti sayur, buah, umbi, daging, dan telur disetarakan ukurannya dalam satuan
kilogram (kg). Hal ini dilakukan karena masih banyak masyarakat perdesaan yang
menggunakan satuan tradisional yang tidak baku, seperti ikat, genggam, dan karung.
Penyeragaman satuan produk ini untuk memudahkan dalam analisis pemanfaatan
produk pekarangan kampung oleh pemiliknya. Secara umum, produk pekarangan
dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi oleh keluarga, dibagikan ke tetangga, dan
dijual sebagai sumber pendapatan rumah tangga.
41

Pekarangan sebagai suatu agroekosistem (Arifin et al. 2009) yang tumbuh


dan dikelola dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen
dan Barberi 2008). Pekarangan kawasan dengan produksi rata-rata terbanyak yaitu
Kabupaten Bandung (1 365.4 kg/tahun), lalu Kabupaten Cirebon (734 kg/tahun),
dan terendah di Kabupaten Bogor (663.9 kg/tahun). Meskipun memiliki hasil panen
terbanyak, produktivitas pekarangan di Kabupaten Bandung bukan yang tertinggi.
Produktivitas lahan pekarangan yang tertinggi di Kabupaten Cirebon sebesar 0.6
kg/m2/tahun, sedangkan di Kabupaten Bandung dan Bogor yakni 0.5 kg/m2/tahun.
Hasil demikian karena faktor ukuran pekarangan, yang mana rata-rata pekarangan
di Kabupaten Bandung lebih luas dibandingkan di Kabupaten Bogor dan Cirebon.
Tanaman buah, ikan, dan penghasil pati berkontribusi besar pada jumlah hasil
panen. Pemanfaatan produk pekarangan untuk konsumsi rumah tangga yang
tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor (29.7%). Pemanfaatan hasil panen pekarangan
yang paling banyak di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu sama-sama
untuk dijual (58.4%, 56.9%, 64.1%) sebagai pendapatan rumah tangga. Hasil panen
pekarangan di ketiga kabupaten tersebut yang dibagikan berkisar antara 13.4
18.5 % (Tabel 29).
Tabel 29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun
Hasil rata-rata panen Alokasi hasil panen dari pekarangan (%)
Kabupaten produk (kg/thn) Dikonsumsi Dibagikan Dijual
Bandung 1365.4 22.9 18.7 58.4
Bogor 663.9 29.7 13.4 56.9
Cirebon 734.0 20.0 15.9 64.1

Berdasarkan fungsinya, buah-buahan merupakan produk pekarangan di ke-


tiga kabupaten dengan persentase paling tinggi yang dimanfaatkan untuk konsumsi
rumah tangga dan dibagikan kepada tetangga (Tabel 30). Kontribusi terbesar pada
rata-rata jumlah hasil panen pekarangan kawasan di Kabupaten Bandung, Bogor,
dan Cirebon yaitu buah (176 kg/tahun), ternak besar (56 kg/tahun), dan buah (193
kg/tahun). Komoditas pekarangan yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga di
Kabupaten Bandung yaitu buah (42.4%), di Kabupaten Bogor juga buah-buahan
paling banyak dikonsumsi (33.1%), begitu pula di Kabupaten Cirebon yang mana
buah paling banyak dikonsumsi (83.1%). Komoditas pekarangan yang paling
banyak dijual di Kabupaten Bandung yaitu buah (32%), adapun di Kabupaten
Bogor yaitu ternak besar (38%), dan di Kabupaten Cirebon yaitu buah (71%).
Tabel 30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan
Alokasi Komoditas tanaman (%) Hewan ternak (%)
Kabupaten
hasil obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan
Konsumsi 1.1 12.0 42.4 4.2 20.2 0.0 1.6 9.2 9.3
Bandung Dibagikan 1.0 7.1 54.2 1.5 30.4 0.0 1.3 1.7 2.8
Dijual 0.0 3.4 31.8 4.6 19.0 13.5 8.0 6.6 13.2
Konsumsi 2.7 16.8 33.1 11.2 7.1 0.0 0.0 9.8 19.2
Bogor Dibagikan 8.9 6.5 35.9 11.0 24.8 0.0 0.0 3.9 9.0
Dijual 0.0 1.9 10.0 10.0 5.4 0.0 38.7 7.8 26.2
Konsumsi 0.7 0.7 84.1 0.8 0.0 0.0 0.0 6.3 7.4
Cirebon Dibagikan 0.1 0.7 92.9 1.7 0.0 0.0 0.0 1.3 3.3
Dijual 0.0 4.4 70.8 0.4 0.0 2.2 0.0 4.5 17.8
42

4.4.2. Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung


Berdasarkan nilai ekonomi, produk pekarangan di ketiga kabupaten umum-
nya menjadi tambahan pendapatan rumah tangga (72.3%), kemudian penghematan
(17.5%), dan untuk kepedulian sosial (10.2%). Meskipun akumulasi nilai ekonomi
terbesar yaitu Kabupaten Bandung, nilai lahan pekarangan per meter persegi per
tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor (Rp 13 400), kemudian di Kabupaten
Bandung (Rp 11 100), sedangkan Kabupaten Cirebon memiliki nilai produktivitas
terendah dengan Rp 10 500 /m2/tahun (Tabel 31). Biaya pemeliharaan pekarangan
diabaikan karena mereka menggunakan pupuk kandang atau kompos yang dibuat
sendiri. Rendahnya nilai produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
pemanfaatan lahan yang belum optimalkan untuk pertanian dan pemeliharaan
pekarangan yang kurang intensif. Komoditas yang dibudidayakan di pekarangan
kampung juga belum memperhatikan kebutuhan pasar sehingga nilai jualnya
rendah. Penjualan hasil panen menghasilkan kontribusi paling besar terhadap total
nilai ekonomi produk pekarangan. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa lebih dari
65% nilai ekonomi produk pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
diperoleh dari hasil penjualan produk. Persentase nilai ekonomi dari konsumsi
pangan untuk rumah tangga terhadap nilai ekonomi produk pekarangan di Kabu-
paten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 17.4%, 17.9%, dan 17.0%. Berdasarkan
hasil tersebut, nilai ekonomi produk yang dikonsumsi rumah tangga sekitar 18%.
Tabel 31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun
Nilai produktivitas Persentase nilai ekonomi per alokasi (%)
Kabupaten (Rp / m2 / tahun) Konsumsi Kepedulian Pendapatan
Bandung 11 100 17.7 12.2 70.1
Bogor 13 400 17.9 5.2 76.9
Cirebon 10 500 17.0 13.1 69.9
Kelompok komoditas pekarangan yang paling berkontribusi terhadap nilai
ekonomi di Kabupaten Bandung yaitu tanaman industri berupa cengkeh, Kabupaten
Bogor yaitu ternak kambing, dan Kabupaten Cirebon yaitu buah mangga (Tabel 32).
Hewan ternak besar seperti sapi dan kambing dipelihara di pekarangan untuk dijual
kembali sebagai investasi. Nilai ekonomi produk pekarangan sebagai konsumsi
pangan rumah tangga yang paling banyak diperoleh dari buah-buahan, sayur mayur,
ternak kecil, dan ikan. Adapun jenis komoditas yang paling besar kontribusinya
pada pendapatan rumah tangga yaitu hewan ternak besar, buah, tanaman industri,
dan ikan. Secara total, komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi
terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak besar, buah, tanaman industri, dan sayur.
Tabel 32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung
Kelompok komoditas tanaman (%) Hewan ternak (%)
Kabupaten Nilai
obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan
Penghematan 0.6 29.7 37.7 6.0 4.2 0.0 0.5 14.8 6.5
Bandung Kepedulian 0.4 29.0 54.4 3.0 7.1 0.0 0.4 3.3 2.3
Pendapatan 0.0 9.9 15.4 2.9 4.1 36.3 18.2 7.2 6.0
Penghematan 1.4 37.1 16.2 13.5 2.6 0.0 0.0 13.2 16.0
Bogor Kepedulian 1.1 27.1 17.4 20.2 13.5 0.0 0.0 8.3 12.4
Pendapatan 0.0 0.3 5.1 5.0 0.9 0.0 71.7 5.0 12.0
Penghematan 1.5 5.4 65.4 2.4 0.0 0.0 0.0 16.2 9.1
Cirebon Kepedulian 0.2 5.4 80.7 5.9 0.0 0.0 0.0 3.5 4.3
Pendapatan 0.0 17.9 53.8 0.6 0.0 2.7 0.0 8.5 16.4
43

Kontribusi hasil pekarangan secara langsung untuk menunjang konsumsi


pangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 3.8%, 2.2%, dan 1.4%
dari biaya konsumsi per bulannya. Sedangkan kontribusi nilai ekonomi pekarangan
yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.7%, dan 7.1% (Tabel 33). Pemilik
pekarangan lebih banyak memanen produk buah dan sayur dibanding sumber pati
dan protein hewani. Hewan ternak besar seperti kambing atau domba dipelihara di
pekarangan untuk dijual sebagai investasi. Kebutuhan konsumsi hewani yang dapat
ditunjang dari pekarangan yaitu ikan, susu sapi, telur, dan daging ayam.
Tabel 33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga
Kabupaten Biaya konsumsi rumah Penghematan Tambahan income Kontribusi
tangga per bulan (Rp) per bulan (%) per bulan (%) ekonomi (%)
Bandung 1 180 400 3.8 15.3 19.1
Bogor 1 521 400 2.2 8.5 10.7
Cirebon 1 340 800 1.4 5.7 7.1

4.5. Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan


4.5.1. Konsep Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan
Pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon masih banyak yang
belum mampu menunjang kebutuhan pangan rumah tangga. Jika untuk menunjang
konsumsi pangan rumah tangga saja kesulitan, maka sulit untuk saling berbagi hasil
panen, dan kecil kemungkinan pekarangan itu dapat menjual produknya. Kesulitan
tersebut karena ukuran pekarangannya kurang dari 120 m2. Menurut Arifin (1998),
ukuran kritis minimal suatu pekarangan ideal yaitu 100 m2, sebab apabila kurang
dari itu maka tanaman dan hewan ternak yang dipelihara akan terbatas keragaman
strata dan fungsinya. Tercatat 26.7% pekarangan di Kabupaten Bandung, 66.7%
pekarangan di Kabupaten Bogor, dan 60% pekarangan di Kabupaten Cirebon yang
termasuk kategori sempit. Berbeda halnya jika komoditas yang dibudidayakan
adalah tanaman non-pangan atau hewan ternak besar yang khusus untuk dijual.
Pada kondisi tersebut, kebutuhan pangan rumah tangga dapat dibeli dari hasil
penjualan produk dari pekarangan.
Dalam konsep keberlanjutan penggunaan lahan, penggunaan terbaik yaitu
suatu situasi keseimbangan atau integritas antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan
sumberdaya alam (Miranda 2001). Penggabungan beberapa pekarangan di suatu
kawasan akan meningkatkan jumlah dan jenis komoditasnya. Sebagai gambaran,
suatu kampung biasanya memiliki komoditas unggulan seperti mangga yang ada di
hampir setiap pekarangan di Kabupaten Cirebon, dan jambu biji atau jambu merah
di Desa Cikarawang dan Bantarsari, Kabupaten Bogor. Tidak hanya bahan mentah,
tetapi produk olahan warga juga bisa menjadi komoditas unggulan suatu kampung.
Pekarangan kampung yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam satu kawasan
dapat meningkatkan produksi secara agregat dengan memanfaatkan sumberdaya
alam yang tersedia di lingkungan sekitarnya.
Kondisi pengelolaan pekarangan kampung serta kendala yang teridentifikasi
saat survei dan wawancara kemudian dikemukakan pada forum diskusi kelompok
atau focus group discussion (FGD) yang melibatkan pihak-pihak terkait. Pihak yang
terlibat dalam FGD ini terdiri atas: a) Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
tingkat kabupaten, b) instansi (dinas dan badan) pemerintah daerah kabupaten yang
terkait pelaksanaan program P2KP, c) pemerintah kecamatan, d) pemerintah desa,
44

e) penyuluh, dan f) KWT. FGD dilaksanakan di Kantor Badan Ketahanan Pangan


dan Penyuluhan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon untuk menampung
aspirasi dari peserta terhadap permasalahan yang ada secara komprehensif.
Terdapat tiga isu penting dalam pengelolaan pekarangan kampung yang telah
dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program P2KP, yaitu: 1) pemahaman dan
kondisi anggota KWT (masyarakat) terhadap pekarangan, 2) ketersediaan bibit
tanaman dan hewan ternak atau ikan untuk pekarangan, serta 3) pemasaran produk
hasil pekarangan kampung.
Hasil diskusi tersebut kemudian menentukan tiga komponen keberlanjutan
pekarangan kampung sebagai solusi permasalahan yang terjadi, yaitu: 1) kelompok
wanita tani (KWT), 2) kebun bibit kelompok, dan 3) koperasi. Arifin et al. (2009)
menyatakan bahwa keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat
dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni ekologi
(lingkungan), sosial (masyarakat), dan ekonomi (pasar). Mengacu pada pendapat
tersebut, kemudian ditetapkan bahwa komponen dalam pengelolaan pekarangan
kampung dapat mewakili tiga pilar keberlanjutan (Gambar 26).

Gambar 26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung

4.5.2. Pengelolaan Agroekosistem Pekarangan Kampung untuk Menunjang


Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan
Komponen penting dalam konsep pekarangan kampung yang berkelanjutan
adalah: 1) KWT, 2) kebun bibit kelompok, dan 3) koperasi. Dalam praktiknya,
konsep tersebut dijabarkan dalam pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung
yang bertujuan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat
yang berkelanjutan. Adapun garis besar rekomendasi pengelolaannya terangkum
menjadi tiga hal, yakni pemberdayaan KWT, revitalisasi kebun bibit kelompok, dan
pengembangan koperasi.
Rekomendasi untuk pemberdayaan KWT yaitu :
1. KWT di setiap desa dan kelurahan diberikan pemahaman yang tepat tentang
pertanian dan pengelolaan pekarangan kampung sesuai dengan kondisi atau
kemampuannya. Penyesuaian tersebut melihat kenyataan bahwa masyarakat di
perdesaan mungkin telah berpengalaman dalam hal pertanian namun kurang
baik dalam manajemen organisasi dan sumberdaya, sedangkan masyarakat di
45

perkotaan biasanya lebih berpendidikan sehingga lebih mudah berorganisasi


dan mengelola sumberdaya namun belum terbiasa dengan aktivitas pertanian.
2. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kabupaten memfasilitasi
pengelola pekarangan kampung dengan adanya pendamping yang terampil.
Tenaga pendamping dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik dan benar
tentang hal-hal yang mendukung pengelolaan pekarangan kampung. Selain itu,
pendamping sebaiknya mampu bersahabat dengan seluruh anggota kelompok.
3. Tenaga pendamping secara intensif memberikan pelatihan dan pengarahan
terkait pengelolaan pekarangan kampung. Teknik vertikultur perlu diketahui
oleh seluruh anggota KWT dan diaplikasikan pada pekarangan sempit. KWT
sebaiknya diberikan rekomendasi tanaman dan hewan ternak apa saja yang
cocok untuk dibudidayakan di pekarangan dengan memperhatikan lingkungan
sekitar. Pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem diarahkan
agar sesuai dengan daya dukung (luasan), kondisi lingkungan (lokasi), serta
manfaat dan nilai jual produk yang akan dipanen.
Rekomendasi untuk revitalisasi kebun bibit kelompok yaitu:
1. Adanya dukungan dari pemerintah setempat, seperti menyediakan lahan untuk
lokasi kebun bibit kelompok. Semestinya kebun bibit kelompok berada di atas
tanah desa atau pemerintah dengan persetujuan perangkat desa atau kelurahan
agar keberadaannya lebih terjamin. Sebisa mungkin dihindari pembangunan
kebun bibit di atas tanah pribadi karena rawan konflik kepentingan yang bisa
mengancam eksistensinya.
2. Bangunan kebun bibit sebaiknya terbuat dari material yang tahan lama dan
berkualitas baik, supaya kebun bibit tidak cepat rusak. Perawatan bangunan
kebun bibit kelompok dilakukan sebagai tanggung jawab bersama oleh seluruh
anggota KWT.
3. Jenis tanaman pertanian yang akan dikembangkan sebaiknya tanaman semusim
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu,
dan bahkan pakan ternak (Thakur et al. 2005). Berdasarkan analisis produksi
dan mengacu pada pernyataan tersebut, pembibitan sebaiknya difokuskan pada
tanaman buah, sayur, dan bumbu karena dapat dikonsumsi oleh rumah tangga
dan nilai ekonominya relatif lebih besar.
4. Selain mempertimbangkan aspek konsumsi dan ekonomi, aspek konservasi
keanekaragaman hayati juga penting diperhatikan. Maksudnya jangan sampai
komoditas yang dibibitkan untuk pekarangan kampung akan mengeliminasi
sumberdaya lokal atau spesies endemik. Konservasi keanekaragaman hayati
diperlukan untuk keseimbangan ekosistem, karena pemanfaatan sumberdaya
hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang akan menyebabkan
makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna (Supriatna 2008). Pekarangan
sebagai agroekosistem yang berbasis agroforestri dapat menjadi salah satu
metode konservasi secara eks-situ, khususnya untuk pertanian (Paruna 2012).
Institusi pendidikan atau pihak akademisi dapat berkontribusi memberikan
rekomendasi komoditas pekarangan.
5. Aktivitas pembibitan oleh KWT dilakukan tanpa tergantung pada dana bantuan
sosial dari pemerintah pusat maupun daerah. KWT dituntut untuk mandiri dan
kreatif dalam mencari modal pembibitan. Sumber modal pembibitan bisa dari
46

hasil penjualan bibit kepada anggota kelompok, keuntungan dari penjualan


produk pekarangan kampung, dan keuntungan penjualan pangan olahan.
Rekomendasi untuk pengembangan koperasi yaitu:
1. Koperasi berperan sebagai pengumpul produk-produk pekarangan kampung.
Pihak koperasi diupayakan mau menerima produk dalam bentuk mentah atau
hasil olahan, tentunya dengan harga yang layak sesuai mekanisme pasar.
2. Terkait dengan aspek ekonomi, hingga saat ini satu-satunya wadah organisasi
formal yang menggalang dan menghimpun sumberdaya untuk kekuatan di
bidang ekonomi dan sosial di pedesaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD)
(Saragih 2010). Namun kenyataannya di lapangan banyak KUD yang tidak
beroperasi karena masalah organisasi dan modal. Adapun KUD yang masih
beroperasi belum menggarap produk pekarangan kampung. KUD diharapkan
mau mengembangkan usaha di sektor agribisnis pekarangan kampung.
3. Hasil penjualan produk pekarangan menjadi modal kelompok untuk membeli
benih dan pengembangan usahanya. Asas kekeluargaan dan gotong royong
perlu dibina antara KUD dengan KWT sehingga perputaran modal berjalan
lancar dan dapat mendukung keberlanjutan pekarangan kampung.
Pada praktiknya, sistem pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung
yang berkelanjutan melibatkan kebun bibit kelompok, pekarangan anggota, dan
koperasi unit desa (Gambar 27).

Gambar 27 Sistem dalam pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Simpulan
Berdasarkan klasifikasi ukuran, 50% pekarangan di Kabupaten Bandung
termasuk kategori sedang, dengan rata-rata luas 317.1 m2. Berbeda halnya dengan
Kabupaten Bogor dan Cirebon yang sebanyak 66.7% dan 60% pekarangannya
termasuk kategori sempit. Zona belakang pekarangan di Kabupaten Bandung,
Bogor, dan Cirebon paling banyak digunakan untuk budidaya tanaman pangan.
Tanaman strata I dan II mendominasi di pekarangan ketiga kabupaten tersebut,
sesuai dengan daya dukung pekarangan ukuran sempit dan sedang. Meskipun
tanaman hias paling banyak ditemukan di semua pekarangan, namun keragaman
tanaman pangan lebih banyak daripada non-pangan. Menurut analisis Shanon-
Wienner, pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki keanekaragaman tanaman
pangan tertinggi (H = 1.95). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ecotone
yang lebih sesuai untuk lebih banyak spesies tanaman dan hewan.
47

Pemanfaatan hasil panen dari pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan


Cirebon paling banyak untuk dijual daripada untuk dikonsumsi atau dibagikan,
dengan persentase penjualan produk masing-masing 58%, 57%, dan 64%. Nilai
ekonomi produk pekarangan di ketiga pekarangan tersebut masing-masing 70%,
77%, dan 70%. Produktivitas lahan menurut nilai ekonomi pekarangan per m2 per
tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor (Rp 13 400) dan yang terendah yaitu
di Kabupaten Cirebon (Rp 10 500). Kontribusi nilai ekonomi pekarangan kampung
yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%.
Keberlanjutan pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dijabarkan
pada tiga komponen, yaitu kelompok wanita tani (KWT), kebun bibit kelompok,
dan koperasi. Diperlukan pemberdayaan KWT untuk meningkatkan kemampuan-
nya sebagai pengelola pekarangan kampung. Diperlukan revitalisasi kebun bibit
kelompok agar bibit untuk pekarangan tetap tersedia serta pembibitan difokuskan
pada tanaman sayur dan buah karena produksinya tinggi, bisa dikonsumsi langsung
dan lebih bernilai ekonomi. Diperlukan pemasaran kolektif melalui pengembangan
usaha koperasi unit desa pada bidang agribisnis pekarangan kampung.

5.2. Saran
Pengelolaan pekarangan kampung bermanfaat untuk menunjang ketahanan
pangan, menjaga kepedulian sosial, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Diperlukan perhatian dan peran pemerintah, masyarakat, dan koperasi untuk
mewujudkan hal tersebut. Kajian tentang jasa lanskap dari agroekosistem
pekarangan akan menambah nilai ekonomi pekarangan kampung.

DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah OS. 1985. Home Gardens in Java and Their Future Development. Di
dalam: Prosiding Lokakarya Internasional Pekarangan Tropis Pertama.
Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.
Adhawati SS. 1997. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran
Tinggi di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa [Tesis].
Makassar (ID): Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.
Altieri MA. 1999. The Ecological Role of Biodiversity in Agroecosystems. Elvesier
J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 74: 19-31.
Arifin HS. 1998. Study on Vegetation Structure of Pekarangan and Its Changes in
West Java, Indonesia. [Doctor Dissertation]. Okayama (JP): The Graduate
School of Natural Science and Technology, Okayama University.
Arifin HS. 2010. Manajemen Lanskap dalam Pembangunan Pertanian Menuju
Harmonisasi Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan.
Pembangunan Pedesaan: Pemikiran Guru Besar 6 PT BHMN. Bogor (ID):
IPB Press.
Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1996. Vegetation in The Home Gardens
Pekarangan in West Java, Indonesia. Buletin of International Association
for Landscape Ecology Japan Vol. 3 (3): 38-40.
Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1997. Effects of the Fragmentation and the
Change of the Social and Economical Aspects on the Vegetation Structure in
the Rural Home Gardens of West Java, Indonesia. Japan Institue of
Landscape Architecture J., Tokyo (JP): Vol. 60 (5): 489-494.
48

Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998a. Effects of Urbanization on the Perfor-


mance of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japanese Journal
Tropical Agriculture (JP). Vol 61(4): 325-333.
Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998b. Effects of Urbanization on the Vegetation
of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japanese Journal Tropical
Agriculture (JP). Vol 42(2): 94-102.
Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap
Agroforestri. Bogor (ID): IPB Press.
Arifin HS, Nakagoshi N. 2011. Landscape Ecology and Urban Biodiversity in
Tropical Indonesian Cities. Landscape & Ecol. Eng. J. Springer. Vol: 7(1)
33-43.
Arifin NHS, Arifin HS, Astawan M, Kaswanto, Budiman VP. 2013. Optimalisasi
Fungsi Pekarangan Melalui Program Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di dalam:
Prosiding Lokakarya Nasional dan Seminar FKPTPI, Bogor 2-4 September
2013. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. hlm 22-31.
Azra ALZ. 2014. Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap
Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Keluarga [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Azra ALZ, Arifin HS, Astawan M, Arifin NHS. 2014. Analisis Karakteristik
Ekologis Pekarangan dalam Mendukung Penganekaragaman Pangan
Keluarga di Kabupaten Bogor. J. Lanskap Indonesia (in press). Bogor (ID).
Brownrigg L. 1985. Definition and traditions, Home Garden Source Book, Vol. 1
Home Garden Issues and Ecological Aspect. Di dalam: Prosiding Lokakarya
Internasional Pekarangan Tropis Pertama. Bandung (ID): Univ. Padjadjaran.
Budiman VP, Arifin HS, Arifin NHS, Astawan M. 2015. Management of
Pekarangan Kampong to Supporting Food Security in West Java Province.
JSSH Pertanika (in press). Serdang (MY): Universiti Putra Malaysia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bandung dalam Angka 2013.
Bandung (ID): BPS Kabupaten Bandung.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Daerah Kabupaten Cirebon 2013.
Cirebon (ID): BPS Kabupaten Cirebon.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2014. Bogor
(ID): BPS Kabupaten Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama
Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2014. Jakarta (ID): BPS.
[BP3K Darmaga] Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan KehutananVII
Darmaga. 2014. Laporan Program Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Tahun 2014. Bogor (ID): BKP3.
Dalgaard T, Hutchings NJ, Porter JR. 2003. Agroecology, Scaling and Inter-
disciplinary. Elvesier J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 100:
p39-51.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pemanfaatan Pekarangan.
Jakarta (ID): Depatemen Pertanian RI.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. The State of Food Insecurity in
the World-Addressing Food Insecurity in Protracted Crisis. Rome (IT): Food
and Agriculture Organization of the UN.
49

Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi


Ketahanan Pangan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Vol. 27 No. 7. Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI.
Gliessman SR. 1998. Agroecology: Ecological Process in Sustainable Agriculture.
Michigan (US): Ann Arbor Press.
Kanara N. 2012. Struktur, Fungsi, dan Dinamika Keanekaragaman Hayati Pertanian
pada Pekarangan di Hulu DAS Kalibekasi, Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor
(ID): Fakultas Pertanian IPB
Karyono. 1981. Homegarden Structure in Rural Areas of The Citarum Watershed,
West Java. [disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.
Kehlenbeck K, Arifin HS, Maass BL. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a
Socio-Economic and Agro-Ecological Context. dalam Stability of Tropical
Rainforest Margins. Berlin (GB): Springer.
[Kementan] Kementerian Pertanian RI. 2009. Sasaran Skor Pola Pangan Harapan
(PPH) Tahun 2010-2014. Rancangan Rencana Strategis Kementerian
Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian
Kumar BM, Nair PKR. 2004. The Enigma of Tropical Rainforest. Agrofor Syst J.
No. 61: 135-152.
Michon G, Mary F. 1994. Conversion of traditional village gerdens and new
economic strategis of Ural household in the area of Bogor, Indonesia.
Agroforestry System 25: 31-58.
Miranda JI. 2001. Multicriteria analysis applied to the sustainable Agricultural
problem. Int. J. Sustain. Dev. World Ecol. 8:67-77.
Moonen AC, Barberi P. 2008. Functional biodiversity: An agroecosystem approach.
Elsevier AEE J. Vol 127 (2008): 7-21.
Paruna P. 2012. Model Pekarangan sebagai Taman Keanekaragaman Hayati di
Kawasan Industri Karawang International Industrial City. [skripsi]. Bogor
(ID): Fakultas Pertanian IPB.
Pearce, D. 1992. Economic Valuation and The Natural world. World Bank Working
Papers. New York (US): The World Bank.
Pujowati P. 2009. Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran
Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Purwanti R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino, Studi
Kasus: Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa. Bogor (ID): Jurnal Sosial
Ekonomi Kehutanan 4(3):257-269.
Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian. Pambudy R, Dabukke FBM, editor. Bogor (ID): IPB Press.
Soemarwoto O dan Soemarwoto I. 1981. Home Gardens in Indonesia. [artikel]. The
Fourth Pacific Science International Congress. Singapore (SG) p27.
Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor
Indonesia.
Thakur PS. Dult V, Shegal S, Kumar R. 2005. Diversification and Improving
Productivity of Mountain Farming System through Agroforestry Practice in
Nortwestern India. Conference Proceeding AFTA 2005: 1-7.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, pada tanggal 7 Januari 1989, dari pasangan


Dr. Ir. H. Dana Budiman, M.Si. dan Hj. Elvi Andi, Bsc. Penulis merupakan putra
pertama dari tiga bersaudara, dengan adik perempuan bernama Vinessa Prisma
Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman. Penulis saat ini bertempat tinggal di Desa
Sukamanah, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Pendidikan dasar ditempuh oleh penulis di SDN Brawijaya 1 Kota Sukabumi
(1995-2001). Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Sukabumi melalui kelas akselerasi (2001-2003).
Pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kota
Sukabumi dan di tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI 2006). Penulis lulus sebagai sarjana Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun 2012. Kemudian penulis
langsung melanjutkan pendidikan di sekolah pascasarjana IPB program magister
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada tahun 2012.
Selama menjadi mahasiswa pascasarjana program magister di PSL (2012-
2015), penulis pernah menjadi asisten peneliti pada kegiatan Penelitian Lintas
Fakultas yang berjudul Pemberdayaan Keanekaragaman Pertanian Pekarangan
untuk Mendukung Penganekaragaman Pangan yang Bergizi Seimbang, Sehat, dan
Aman. Penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 2013-2014 dan diketuai oleh
Dr. Nurhayati H.S. Arifin. Adapun sumber dana penelitian berasal dari Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Selain menjadi asisten peneliti,
penulis sempat menjadi asisten praktikum pada beberapa mata kuliah S1 dan S2 di
lingkup Departemen Arsitektur Lanskap (2014). Penulis juga pernah terlibat dalam
proyek kerjasama Badan Ketahana Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor dengan Dept. Arsitektur
Lanskap Fakultas Pertanian IPB dalam rangka Kegiatan Model Pengembangan
Kawasan Ketahanan Pangan di Kecamatan (2014).
Penulis telah mempresentasikan hasil penelitian pada dua forum ilmiah, yaitu
Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia
(FKPTPI) tahun 2013 di IPB Bogor dan seminar serupa tahun 2014 di Universitas
Andalas Padang. Penulis juga sedang dalam proses publikasi hasil penelitiannya
pada Jurnal Internasional -Jurnal Social Science and Humanity (JSSH)- Pertanika
milik Universitas Putra Malaysia (UPM).

Anda mungkin juga menyukai