Anda di halaman 1dari 22

MODUL DESTRUCTIVE TEST

I. Tujuan Praktikum
1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis logam (besi tuang,
baja, tembaga, dan alumunium).
2. Untuk membandingkan titik-titik luluh logam-logam tersebut.
3. Untuk membandingkan tingkat keuletan logam-logam tersebut melalui %
elongasi dan % pengurangan luas.
4. Untuk membandingkan fenomena necking pada logam-logam tersebut.
5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari logam-logam tersebut.
6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisis kurva tegangan regangan,
baik kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa jenis logam.
7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractograf) logam-logam tersebut
dan menganalisanya berdasarkan sifat-sifat mekanis yang telah dicapai.

II. Dasar Teori


Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban
kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan
panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik
tegangan-regangan, sebagaimana ditunjukkan oleh gambar di bawah ini. Data-data
penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah perilaku mekanik
material dan karakteristik perpatahan.
Plastic range
Elastic range

y
P
Unit stress

R
Unit strain

II.1. Perilaku mekanik material


Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan nonlogam)
dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut
terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah:

a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)


Merupakan daerah batas di mana tegangan dan regangan mempunyai hubungan
proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan
penambahan regangan secara proposional dalam hubungan linear = E (bandingkan
dengan hubungan y = mx; di mana y mewakili tegangan; x mewakili regangan; dan m
mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan).

b. Batas elastis (elastic limit)


Daerah elastis adalah daerah di mana bahan akan kembali kepada panjang semula bila
tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bagian dari batas plastik
ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari luar) maka batas
elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali kepada ukuran
semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik
di mana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen
(plastis) untuk pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastis yang
hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya. Kebanyakan material teknik
mempunyai batas elastisitas yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalnya.

c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)


Titik ini merupakan suatu batas di mana material akan terus mengalami deformasi tanpa
adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan menunjukkan
mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress).

Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur kristal
BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom karbon, boron,
hidrogen, dan oksigen. Interkasi antara dislokasi dari atom-atom tersebut menyebabkan
baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik
luluh atas (upper yield point).

Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya tidak memperlihatkan
batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh material seperti ini maka
digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset. Dengan metode ini
kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai tegangan di mana bahan
memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas tegangan
dan regangan. Umunya garis offset diambil 0.1 0.2% dari regangan total dimulai dari 0
dan ditarik ke atas sejajar dengan garis proporsional hingga berpotongan dengan kurva.
Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan
deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan
pembebanan mekanik seperti tarik, tekan, bending, atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh
ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur
produk-produk logam seperti proses rolling,drawing, streching, dan sebagainya. Dapat
dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:
Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)
Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)

d. Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)


Merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum
terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum UTS ditentukan dari
beban maksimum FMAX dibagi luas penampang awal AO.
UTS = (FMAX)(AO)-1
Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (kurva tegangan
regangan) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang
bersifat getas memberikan perilaku yang yang berbeda di mana tegangan maksimum
sekaligus tegangan perpatahan. Dalam kaitannya dengan penggunaan struktural maupun
dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah atas tegangan yang sama
sekali tidak boleh dilewati.

e. Kekuatan putus (breaking strength)


Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaking)
dengan luas Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat beban maksimum M
terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka terjadi mekanisme
penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada
bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil dari pada kekuatan maksimumnya
sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan
maksimumnya.
f. Keuletan (ductility)
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan
deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini, dalam beberapa tingkatan, harus
dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending,
stretching, drawing, hamering, cutting dan sebagainya. Secara umum dilakukan dengan
tujuan sebagai:
Untuk menunjukkan perpanjangan di mana suatu logam dapat berdeformasi
tanpa terjadinya patah dalam suatu proses pembentukan logam, misal
pengerolan dan ekstrusi.
Untuk memberi petunjuk umum mengenai kemampuan logam untuk
berdeformasi secara plastis sebelum patah.
Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi
pengolahan.

Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:


Persentase perpanjangan (elongation)

Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang


awalnya.

L f L
Elongasi, (%) = | o
|x 100 %
Lo

Dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo adalah panjang awal dari benda uji.

Persentase pengurangan penampang (area reduction)


Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan
terhadap luas penampang awalnya.
A o A f
Reduksi penampangnya, R (%) = | | x 100%
Ao
Dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

g. Modulus elastisitas (modulus Young)


Merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin besar harga modulus ini, maka
semakin kecil regangan elastic yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu,
atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-
regangan, modulus kekakuan dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang
linier, diberikan oleh:

E= atau E = tan

Dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan.
Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energy ikat antar atom-atom,
sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa
merubah struktur bahan.

h. Modulus kelentingan (modulus of reselience)


Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya
kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area
elastik diagram tegangan regangan.

i. Modulus ketangguhan (modulus of toughness)


Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya perpatahan.
Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva tegangan
regangan hasil pengujian tarik. Pertimbangan desain yang mengikutsertakan modulus
ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen yang mungkin
mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus
ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan
berlebih, tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang rendah
di mana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.

j. Kurva tegangan rekayasa dan sesungguhnya


Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang)
dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan sesungguhnya
diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat terukur.
Perbedaan kedua kurva tidaklah terlalu besar pada regangan yang kecil, tetapi menjadi
signifikan pada rentang terjadinya pengerasan regangan (strain hardening), yaitu setelah
titik luluh terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah
necking.
Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual
mampu menahan turunnya beban karena luas area awal A O bernilai konstan pada saat

P
perhitungan tegangan = . Sementara pada kurva tegangan-regangan
Ao
sesungguhnya luas area aktual adalah selalu turun sehingga terjadinya perpatahan dan

P
benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena = sehingga notasi
A
true stress dan true strain dapat dituliskan sebagai:
F
T =
Ai
dan
li
T =ln
lo

II.2. Karaktersitik Perpatah


Material dikatakan ulet bila material tersebut mengalami deformasi elastis dan plastis
sebelum akhirnya putus. Sedangkan material getas tidak mengalami deformasi elastis
sebelum mengalami putus.

a. Perpatahan ulet
Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik:
1. Penyempitan awal
2. Pembentukkan rongga-rongga kecil (cavity)
3. Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu retakan
4. Perambatan retak
5. Perpatahan gesek akhir pada sudut 45O

b. Perpatahan getas (ductile)


Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material.
2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-
atom material (transgranular).
3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat pola-
pola yang dinamakan chevrons atau fan-like pattern yang berkembang keluar dari
daerah awal kegagalan.
4. Material keras dengan butir halus (fne-grain) tidak memiliki pola-pola yang
mudah dibedakan.
5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya
dan mulus.

III. Metodologi Penelitian


III.1. Alat dan Bahan
1. Universal testing machine, Servopulser Shimadzu kapasitas 30 ton
2. Caliper dan/atau micrometer
3. Spidol permanent atau penggores (cutter)
4. Strereoscan macroscope
5. Sampel Uji Tarik
III.2. Flow Chart Proses
DAFTAR PUSTAKA

Callister, William D.2007.Material science and Engineering.United State of America: John


Wiley&Sons,Inc
MODUL PENGUJIAN MERUSAK (DESTRUCTIVE TEST)
PENGUJIAN KEKERASAN

I. Tujuan Praktikum
1. Menguasai beberapa metode pengujian yang umum dilakukan untuk
mengetahui nilai kekerasan suatu logam.
2. Menjelaskan makna nilai kekerasan material dalam lingkungan ilmu metalurgi
dan ilmu-ilmu terapan lainnya.
3. Menjelaskan perbedaan antara pengujian kekerasan dengan metode gores,
pantulan, dan indentasi.
4. Menjelaskan kekhususan pengujian kekerasan dengan metode Brinell, Vickers,
Knoop, dan Rockwell.
5. Mengaplikasikan beberapa formulasi dasar untuk memperoleh nilai kekerasan
material dengan uji Brinell dan Vickers.

II. Dasar Teori


Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material terhadap gaya
penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa
mekanisme penggoresan (scratching), pantulan maupun indentasi dari material keras
terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut,
dikenal 3 metode uji kekerasan:

Metode Goresan
Dilakukan dengan cara mengukur kedalaman atau lebar goresan pada benda uji dengan
cara menggoreskan permukaan benda uji dengan material pembanding. Indentor yang
biasa digunakan adalah jarum yang terbuat dari intan. Namun, metode ini tidak banyak
digunakan dalam dunia metalurgi, namun masih dalam dunia mineralogi.

Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yaitu dengan membagi kekerasan material di
dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini
bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, hingga skala 10 sebagai nilai
kekerasan tertinggi. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia ini
diwakili oleh:
1. Talc 2. Gipsum
3. Calcite 7. Quartz
4. Fluorite 8. Topaz
5. Apatite 9. Corondum
6. Orthoclase 10. Diamond (intan)

Bila suatu mineral mampu digores oleh apatite (no.5) tetapi tidak mampu digores oleh
fluorite (no.4), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 4 dan 5. Kekurangan
utama metode ini adalah ketidakakuratan nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan
mineral-mineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar
antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki interval yang besar (jarang ditemukan).

Metode Pantulan (rebound)


Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Sceleroscope yang
mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang
dijatuhkan dari suatu ketinggian. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili
kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada
alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.

Metode Indentasi
Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor
dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material
ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis
indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji kekerasan
dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Metode Brinell
Diperkenalkan oleh J.A Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan ini dilakukan
dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan
waktu indentasi tertentu. Hasil penekanan berupa jejak yang berbentuk setengah bola
dengan permukaan lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya dengan mikroskop
khusus pengukur jejak. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

D D2d2
( D )
2P
BHN =

Di mana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm), dan d diameter jejak (mm).

Prosedur pengujiannya yaitu dengan menggunakan indentor bola dengan diameter D =


10 mm terbuat dari baja atau karbida tungsten. Beban yang diaplikasikan dapat dipilih
sebesar 500, 1500, atau 300 kg, tergantung jenis bahan yang akan diuji (pada umumnya
3000 kg untuk logam-logam ferrous dengan waktu indentasi sekitar 10 detik dan 500 kg
untuk logam-logam non-ferrous dengan waktu indentasi sebesar 30 detik) sehingga
terbentuk jejak berupa lingkaran atau cekungan yang simetris di permukaan bahan
dengan diameter d (mm). Besarnya nilai kekerasan Brinell (BHN = Brinell Hardness
Number) dihitung dengan menggunakan persamaan di atas.

Metode Vicker
Pada metode ini digunakan indentor intan beberbentuk piramida dengan sudut 136 o.
Prinsip pengujian ini adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan
berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada
mikroskop pengujur jejak. Nilai kekerasan material diberikan oleh:
1,854 P
VHN =
d2
Dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk sangkar.

Penggunaan indentor intan berbentuk piramid pada metode Vickers sangat


menguntungkan karena dapat digunakan untuk memeriksa bahan-bahan dengan
kekerasan tinggi. Di samping itu, bentuk dan geometri jejak yang dihasilkan tidak banyak
terpengaruh oleh besarnya beban yang diberikan sehingga besarnya beban tidak perlu
dikontrol terlalu ketat seperti halnya pada metode Brinell. Selain pada skala makro,
metode Vickers dapat digunakan pada skala mikro, dengan pembebanan sangat rendah,
yaitu 1-1000 gram.

Metode Rockwell
Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari
diameter/diagonal jejak yang dihasilkan, maka metode ini merupakan uji kekerasan
dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai dalam industri
karena praktis. Prinsip pengujian pada metode Rockwell yaitu dengan melakukan
pembebanan sebanyak 2 tahap, di mana tahap pertama adalah pembebanan minor
untuk menentukan titik awal (starting point) dan tahap kedua adalah pembebanan
mayor (pembebanan utama). Indentor pada metode Rockwell ini berbentuk kerucut
dengan sudut 120O dari intan dengan diameter 1/16 inch atau bola baja berdiameter 1/8
inch. Beban yang digunakan bervariasi 60, 100, dan 150. Jenis indentor dan beban
menentukan skala kekerasan yang digunakan. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca
pada display sehingga pengujian ini cukup banyak digunakan di industri.

Metode Knoop
Merupakan salah satu metode micro-hardness, yaitu uji kekerasan untuk benda uji yang
kecil. Nilai kekerasan Knoop adalah pembebanan dibagi dengan luas penampang yang
terdeformasi permanent. Jejak yang dihasilkan sekitar 0.01mm 0.1 mm dan beban
yang digunakan berkisar antara 5 gr 5 Kg. Permukaan benda uji harus benar-benar
halus.
14,2
KHN=
l2

III. Metodologi Penelitian


III.1. Alat dan Bahan
1. Hoytom macrohardness tester (metode Brinell, Vicker, dan Rockwell)
2. Buehler Micromet 2100 series microhardness tester (metode Vickers)
3. Micrometer
4. Measuring microscope
5. Sampel uji silinder pejal dan uji tarik (besi tuang, baja, tembaga, dan
alumunium)

III.2. Flow Chart Proses


1. Metode goresan

MP e mn g i
PA en n c a t a t
Sulu i hj i a n
aeg anl i m d a t a
lBka eta a k h ne a
des a a n
anrs aa Usm a j i
psD ea n g o l a h
ianp ne l d a t a
at a i
2. Metode pantul

MP e mn g i
PA en n c a t a t
Sulu i hj i a n
aeg anl i m d a t a
Bka l et a a k h ne a
des a a n
nrsa aa Usm a j i
psD ea n g o l a h
nap i ne l d a t a
at a i
3. Metode indentasi

M PP ee mn g i
mumm
PluA i hejn i eeana nnc a t a t
Set o t d
aBtka l oenl a i kdh de a a t a
eo l d
deenesra aa a Us n a j i
pebDnv i iera c in g o l a h
s
aakntk a enine r l d a t a
ols o
p
DAFTAR PUSTAKA

Callister, William D.2007.Material science and Engineering.United State of America: John


Wiley&Sons,Inc
MODUL PENGUJIAN MERUSAK (DESTRUCTIVE TEST)
PENGUJIAN IMPAK

I. Tujuan Praktikum
1. Menjelaskan tujuan dan prinsip dasar pengukuran harga impak dari logam.
2. Mengetahui temperatur transisi perilaku kegetasan baja struktural ST 42.
3. Menganalisa permukaan patahan (fractograf) sampel impak yang diuji pada
beberapa temperatur.
4. Membandingkan nilai impak beberapa jenis logam.
5. Menjelaskan perbedaan metode Charpy dan Izod.

II. Dasar Teori


Pengujian impak merupakan suatu pengujian yang mengukur ketahan bahan terhadap
beban kejut. Pengujian ini merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi
operasi material yang sering ditemui dalam perlengkapan transportasi atau konstruksi
dimana beban tidak selamanya terjadi secara perlahan-lahan seperti pada pembebanan
tarik.

Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban
yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda
uji mengalami deformasi.
Pada pengujian impak ini banyaknya energy yang diserap oleh bahan untuk terjadinya
perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut.

Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam
satuan joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang
terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan dapat diuji dengan metode
Charpy diberikan oleh:
E
HI=
A
Dimana E adalah energy yang diserap dalam satuan joule dan A luas penampang
dibawah takik dalam satuan mm2.

Secara umum benda uji impak dikelompokkan dalam dua golongan sampel standart
yaitu: batang uji Charpy, banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod yang
lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang
bujur sangkar ( 10x10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45 o,
dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. benda uji diletakkan pada
tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari
ayunan bandul. Benda uji izod mempunyai penampang lintang bujur sangkar atau
lingkaran dengan takik V di dekat ujung yang dijepit.

Gambar. Skematik pembebanan impak benda uji charpy dan izod

Takik (notch) dalam benda uji standar ditunjukan sebagai suatu konsentrasi tegangan
sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi dibagian tersebut. Selain berbentuk V
dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole).
Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan
permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan yang tejadi. Secara umum
perpatahan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Perpatahan berserat (Fibrous fracture)


Perpatahan berserat adalah perpatahan yang melibatkan mekanisme pergeseran
bidang-bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditadai dengan
permukaan perpatahan berserat yang berbentuk dimple yang menyerap cahaya dan
berpenampilan buram.

2) Perpatahan granular/kristalin
Perpatahan granular adalah perpatahan yang dihasilkan oleh mekanisme
pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle).
Ditandai dengan permukaan perpatahan yang datar yang mampu memberikan daya
pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).

3) Perpatahan campuran
Perpatahan campuran adalah perpatahan yang merupakan kombinasi dua jenis
perpatahan yaitu perpatahan granular dan berserat.

Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran ketangguhan
suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen patahan berserat
dan patahan kristalin yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji pada temperature
tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka semakin tangguh bahan
tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati permukaan patahan benda uji di
bawah mikroskop stereoscan.

Informasi lain yang dapat diasilka oleh pengujian impak adalah temperature transisi.
Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis
perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperature yang berbeda-beda. Pada pengujian
dengan temperature yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa benda akan bersifat
ulet (ductile) pada temperature tinggi sedangkan pada temperature renda material akan
bersifat rapuh. Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom pada temperature
yang berbeda dimana pada temperature kamar vibrasi itu berada dalam kondisi
kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperature dinaikkan (ingatlah
bahwa energy panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom
bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap
pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin
tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi menjadi relative sulit sehingga dibuthkan
energy yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur
dibawah nol drajat celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan
dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih
mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah.

Informasi mengenai temperature transisi menjadi demikian penting bila suatu material
akan didesain utuk aplikasi yang melibatkan rentang temperature yang besar, dari
temperature di bawah nol derajat celcius hingga temperature tinggi di atas 100 derajat
celcius misalnya.

Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga
dan aluminium bersifat ulet pada semua temperature sementara bahan dengan
kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan logam-loga BCC
dengan kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperature
dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jarigan pipa,
dan sebagainya bersifat rapuh pada temperature rendah.

III. Metodologi Penilitian


III.1. Alat dan Bahan
1. Impact testing machine (metode Charpy) kapasitas 30 Joule.
2. Caliper dan/atau micrometer
3. Stereoscan macroscope
4. Termometer
5. Furnace
6. Sampel Uuji impak baja ST 42 dan Cu-Zn (3 buah)
7. Dry ice
III.2. Flow Chart Process Pengujian

MPU e j i mr l a i lk i u a n
AS n a
huPI m a n a s
le i sl a
Blbp eaa hr ba e d a
De a t
napk a U d j ai 3
as
bi a h a n u j i
a i
DAFTAR PUSTAKA

Callister, William D.2007.Material science and Engineering.United State of America: John


Wiley&Sons,Inc

Anda mungkin juga menyukai