Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAULUAN

1.1 Latar Belakang

Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar, dan koroid yang
dapat menimbulkan kebutaan. Di negara maju, 10% kebutaan pada populasi usia
produktif adalah akibat uveitis. Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan di mata
saja atau merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenik dan infeksi,
namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik. Secara anatomi, uveitis
dibagi menjadi uveitis anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis. Insidens
uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang
karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27) yang merupakan faktor
predisposisi uveitis anterior, lebih tinggi di negara maju. Uveitis posterior menjadi
penyebab kebutaan kelima di negara berkembang seperti Amerika Selatan, India,
dan Afrika karena tingginya penyakit infeksi khususnya toksoplasmosis,
tuberkulosis, HIV dan sifilis. Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan
sekitarnya seperti vitreus, retina, dan nervus optik. Penyebab tersering adalah
tuberkulosis, sindrom vogt-koyanagi-harada (VKH), oftalmia simpatika, dan
penyakit behcet. Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan
menimbulkan komplikasi kebutaan bila tidak ditatalaksana dengan baik. Selain
itu, uveitis dapat mengakibatkan peradangan jaringan sekitar seperti sklera, retina,
dan nervus optik sehingga memperburuk perjalanan penyakit dan meningkatkan
komplikasi. Karena uveitis dapat menimbulkan kebutaan, dokter harus mampu
menegakkan diagnosis klinis, memberikan terapi awal, menentukan rujukan serta
menindaklanjuti pasien rujukan balik yang telah selesai ditatalaksana oleh dokter
spesialis.
1.2 Tujuan

Penulisan tinjauan pustaka mengenai uveitis ini bertujuan untuk


meningkatkan pengetahuan penulis, dan pembaca mengenai penyakit uveitis.
Bagaimana cara mendiagnosisnya sampai ke penatalaksanaannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Uveitis merupakan inflamasi pada traktus uvealis. Definisi uveitis yang


digunakan sekarang menggambarkan setiap inflamasi yang tidak hanya
melibatkan uvea, tapi juga struktur lain yang berdekatan dengan uvea.

2.2 Epidemiologi

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun,
angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya
uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis
pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus
dan uveitis nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya
berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis.

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu


klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis.

2.3.1 Klasifikasi anatomis

a) Uveitis anterior

b) Uveitis intermediet

c) Uveitis posterior

d) Panuveitis
Gambar 1. Klasifikasi uveitis secara anatomi

2.3.2. Klasifikasi klinis

a) Uveitis akut : onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan berlangsung selama < 6
minggu

b) Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-


tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik

2.3.3. Klasifikasi etiologis

a) Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh

b) Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh

- Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis


- Infeksi

Yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus (herpes


zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm (toksokariasis)

- Uveitis spesifik idiopatik

Yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, tetapi


memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari bentuk lain (sindrom
uveitis Fuch)

- Uveitis non-spesifik idiopatik

Yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam kelompok di atas.

2.3.4. Klasifikasi patologis

a) Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada koroid

b) Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel

raksasa multinukleus

2.4 Gambaran Klinis

2.4.1 Uveitis Anterior

Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris
saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis. Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis. Infeksi
yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS),
virus varisela zoster (VVZ), tuberkulosis, dan sifilis. Uveitis anterior akut
umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus kronik dapat melibatkan kedua
mata.
Uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh trauma, pasca-operasi, dan
reaksi hipersensitivitas. Frekuensi uveitis anterior kronik lebih jarang dan
umumnya asimtomatik namun dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak dan
glaukoma. Uveitis anterior pada anak meningkatkan komplikasi strabismus,
keratopati, katarak, edema makular, dan glaukoma yang mengganggu penglihatan
serta memicu ambliopia sehingga perlu diterapi secara agresif. Gejala uveitis
anterior umumnya ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri, namun pada uveitis
berat, tajam penglihatan dapat menurun. Gejala klinis dapat berupa mata merah,
nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis anterior menyebabkan
spasme otot siliar dan sfingter pupil yang menimbulkan nyeri tumpul/berdenyut
serta fotofobia. Jika disertai nyeri hebat, perlu dicurigai peningkatan tekanan bola
mata. Spasme sfingter pupil mengakibatkan miosis dan memicu sinekia posterior.
Penurunan tajam penglihatan terutama akibat kekeruhan cairan akuos dan edema
kornea walaupun uveitis tidak selalu menyebabkan edema kornea. Tanda uveitis
anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior longus
dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar.

Gambar 2. Uveitis Anterior

2.4.2 Uveitis Intermediet

Uveitis intermediet adalah peradangan di pars plana yang sering diikuti


vitritis dan uveitis posterior. Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade
ketiga-keempat dan 20% terjadi pada anak. Penyebabnya sebagian besar idiopatik
(69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease (0,6%).
Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis,
Toxoplasma, Candida, dan sifilis. Gejala uveitis intermediet biasanya ringan yaitu
penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri dan mata merah, namun jika
terjadi edema makula dan agregasi sel di vitreus penurunan tajam penglihatan
dapat lebih buruk. Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi
dan jaringan fibrovaskular (snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan
memerlukan terapi agresif. Vaskulitis retina perifer terjadi pada 20-60% kasus.
Komplikasinya adalah edema makula (12-51%), glaukoma (20%), dan katarak
(15-50%).

Gambar 3. Uveitis Intermediet

2.4.3 Uveitis Posterior

Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan


jaringan sekitar seperti vitreus, retina, dan nervus optik. Infeksi paling sering
disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ, cytomegalovirus
(CMV), dan HIV. Pada kasus non-infeksi, uveitis posterior disebabkan oleh
koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis, dan neoplasma. Uveitis
posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut. Pasien mengeluh
penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus, edema makula,
kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae, dan atrofi nervus
optik.4 Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior
karena menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana
dengan baik.
2.4.4 Panuveitis

Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti


retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom VKH,
oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis panuveitis
ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior

2.5 Diagnosa Banding

Penting untuk menentukan apakah lesi yang terjadi akibat inflamasi, tumor, proses
vaskuler, atau proses degenerasi. Meksipun flare dan sel di COA merupakan tanda
utama uveitis, tapi bukan merupakan suatu tanda diagnostik pasti uveitis karena
proses nekrotik atau metastasis neoplasma juga dapat menyebabkan proses
inflamasi. Debris seluler vitreus juga dapat terjadi akibat proses degeneratif
seperti retinitis pigmentosa atau retinal detachment.

Berikut adalah beberapa dari diagnosis banding uveitis, yaitu


konjungtivitis, glaukoma sudut tertutup akut, retinoblastoma, xanthogranuloma
juvenile iris, limfoma malignan, neurofibroma, pseudoeksfoliasi lensa,
amiloidosis familial primer, hiperplasia limfoid reaktif, dan sarkoma sel
retikulum.

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan terapi uveitis adalah mencegah komplikasi yang mengancam


penglihatan, menghilangkan keluhan pasien, dan jika mungkin mengobati
penyebabnya. Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis,
yaitu midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat
infeksi harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai.
Penatalaksanaan uveitis meliputi pemberian obat-obatan dan terapi operatif, yaitu

a. Kortikosteroid topikal, periokuler, sistemik (oral, subtenon, intravitreal) dan


Sikloplegia

b. Pemberian anti inflamasi non steroid


c. Pemberian obat jenis sitotoksik seperti ankylating agent (siklofosfamid,
klorambusil), antimetabolit (azatrioprin, metotrexat) dan sel T supresor
(siklosporin)

d. Terapi operatif untuk evaluasi diagnostik (parasentesis, vitreus tap dan biopsi

korioretinal untuk menyingkirkan neoplasma atau proses infeksi) bila diperlukan.

e. Terapi untuk memperbaiki dan mengatasi komplikasi seperti katarak,


mengontrol glaukoma dan vitrektomi.

Midriatikum berfungsi untuk memberikan kenyamanan pada pasien,


mencegah pembentukan sinekia posterior, dan menghancurkan sinekia.
Memberikan kenyamanan dengan mengurangi spasme muskulus siliaris dan
sfingter pupil dengan menggunakan atropin. Atropin tidak diberikan lebih dari 1-2
minggu.Steroid topikal hanya digunakan pada uveitis anterior dengan pemberian
steroid kuat, seperti dexametason, betametason, dan prednisolon. Komplikasi
pemakaian steroid adalah glaukoma, posterior subcapsular cataract, komplikasi
kornea, dan efek samping sistemik.

2.7 Komplikasi

Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler


(TIO) akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi,
atau penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan
atrofi nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain
meliputi corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula,
edema diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment.

2.8 Prognosis

Prognosis Umumnya prognosis baik jika dengan terapi yang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai