Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN ANAK

PROGRAM DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP


KESEJAHTERAAN ANAK

Disusun Oleh :

Tingkat II C

Kelompok 2: Saswika Handayani

Sausan Nabilah

Shinta Maharani

Silvia Ramadhani Saputri

Sri Astuti

Sri Ayu Agustin

Suka Hati

Susi Lestari

Thia Fardarina

Thesy Putri Andini

Dosen Pembimbing : Jawiah, S.Pd

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

JURUSAN DIII KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2016/2017


KATA PENGANTAR

Syukur Allhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Keperawatan Anak tentang Program dan Kebijakan Pemerintah
Terhadap Kesejahteraan Anak. Semoga makalah Keperawatan Medikal Bedah II
ini dapat menjadi alat belajar yang lebih efektif dan menambah wawasan. Kami
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat diselesai dengan baik. Oleh karena itu, masukan, saran, kritik, dan
usul yang sifatnya untuk perbaikan dari berbagai pihak khususnya Bapak/Ibu
serta rekan rekan sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Dalam menyelesaikan makalah ini kami mendapat dukungan dari berbagai


pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Atas bantuan dukungan dan
bimbingan tersebut kami ucapkan terimakasih. Semoga dukungan dan bimbingan
semua menjadi amal sholeh dan mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa.

Palembang, 21 Maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan .................................................................................................. 4

I.1. Latar Belakang ........................................................................................... 4

I.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 6

I.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 7

BAB II Pembahasan .................................................................................................. 8

BAB III Penutup .......................................................................................................22

III.1. Kesimpulan ............................................................................................. 22

III.2. Saran ........................................................................................................ 22

Daftar Pustaka .................................................................................................. 23


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintah dalam rangka mewujudkan INDONESIA SEHAT 2010 telah


melakukan berbagai perubahan dalam sector kesehatan. Dimulai dari amandemen
undang-undang, pembentukan undang-undang baru seperti undang-undang
perlindungan anak dan undang-undang pornografi jika ditinjau dari kesehatan
jiwa masyarakat.
Pada awalnya pemerintah telah membentuk undang-undang kesehatan.
Namun secara lebih khusus lagi pemerintah membentuk undang-undang
perlindungan anak yang mencakup segala hal tentang anak atau seseorang yang
belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan. Semua hal
mengenai anak dimuat dalam undang-undang ini, termasuk juga didalamnya
mengenai kesehatan anak.
Dalam undang undang pokok kesehatan no.9 tahun 1960 pasal 3 ayat (1)
disebutkan bahwa Pertumbuhan anak yang sempurna dalam lingkungan hidup
yang sehat adalah penting untuk mencapai generasi yang sehat dan bangsa yang
kuat. Dengan disebutkannya hal tersebut, secara tidak langsung menandakan
bahwa pemerintah sangat memperhatikan anak sebagai tunas-tunas bangsa dalam
hal pertumbuhan dan perkembangannya (kesehatannya).
Pemerintah juga memandang anak sebagai manusia seutuhnya yang juga
termasuk makhluk holistic. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan berbagai
undang-undang yang melindungi rakyat pada umumnya dan anak-anak pada
khususnya.
Undang undang yang dikeluarkan pemerintah tersebut antara lain :
1. UU PERLINDUNGAN ANAK No.23 tahun 2002 pasal 44 47
Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya
kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat
kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara
komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta
masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan
kesehatan dasar maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 45
(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan
merawat anak sejak dalam kandungan.
(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib
memenuhinya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang
lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau
menimbulkan kecacatan.
Dalam UU Kesehatan no.23 tahun 1992 pasal 21 disebutkan bahwa :
Pasal 21
(1) Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi
masyarakat dan makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai
standar dan atau persyaratan kesehatan.
(2) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang
berisi :
a. bahan yang dipakai;
b. komposisi setiap bahan;
c. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;
d. ketentuan lainnya.
(3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau
persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dan peredaran, dan disita untuk
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah :

1. Apa saja Kebijakan Pemerintah terhadap Kesehatan Anak ?


2. Bagaimanakah upaya peningatan derajat kesehatan keluarga ?
3. Tujuan Pemerintah memilihkan kualitas kesehatan untuk anak?
4. Apa saja program kesejahteraan sosial anak (pksa ?
5. Apa saja Komponen Progam ?
6. Bagaimana Permasalahan Anak di Indonesia ?
7. Apa itu Kebijakan Sosial Terkait Perlindungan Anak ?
8. Komponen Sistem Perlindungan Anak Nasional ?
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa saja Kebijakan Pemerintah terhadap Kesehatan


Anak
2. Untuk memahami upaya peningatan derajat kesehatan keluarga
3. Untuk mengetahui Tujuan Pemerintah memilihkan kualitas kesehatan
untuk anak
4. Untuk memahami apa saja Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
5. Untuk mengetahui apa saja Komponen Progam
6. Untuk memahami bagaimana Permasalahan Anak di Indonesia
7. Untuk mengetahui bagaimana Permasalahan Anak di Indonesia
8. Untuk memahami Komponen Sistem Perlindungan Anak Nasional
BAB II

PEMBAHASAN

1. Kebijakan Pemerintah terhadap Kesehatan Anak

Strategi Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010


mengisyaratkan bahwa pembangunan kesehatan ditujukan pada upaya
menyehatkan bangsa. Indikator keberhasilannya antara lain ditentukan oleh angka
mortalitas dan morbiditas, angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama
pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab terhadap
pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal. Salah satu
tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan
ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Anak (AKB) masih tinggi yaitu, 307 per
100.000 kelahiran hidup dan AKB 35/1000 kh. Target yang ditetapkan untuk
dicapai pada RPJM tahun 2009 untuk AKI adalah 226 per 100.000 kh dan AKB
26/1000 kh. Dengan demikian target tersebut merupakan tantangan yang cukup
berat bagi program KIA.
Sebagaian besar penyebab kematian ibu secara tidak langsung (menurut
survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 sebesar 90%) adalah komplikasi yang
terjadi pada saat persalinan dan segera setelah bersalin. Penyebab tersebut dikenal
dengan Trias Klasik yaitu Pendarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%).
Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara lain adalah ibu hamil menderita
Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (HB kurang dari 11 gr%) 40%.
Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan resiko terjadinya
kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
Beberapa kegiatan dalam meningkatkan upaya percepatan penurunan AKI telah
diupayakan antara lain melalui peningkatan kualitas pelayanan dengan melakukan
pelatihan klinis bagi pemberi pelayanan kebidanan di lapangan. Kegiatan ini
merupakan implementasi dari pemenuhan terwujudnya 3 pesan kunci Making
Pregnancy Safer yaitu:
1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
2. Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat,
dan
3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga atau
diramalkan sebelumnya sehingga ibu hamil harus sedekat mungkin pada sarana
pelayanan ndicator emergency dasar. Penyebab utama kematian Ibu adalah
Perdarahan, Infeksi, Eklampsi, Partus lama dan Komplikasi Abortus. Perdarahan
merupakan sebab kematian utama. Dengan demikian sangat pentingnya
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan karena sebagian besar komplikasi
terjadi pada saat sekitar persalinan, sedang sebab utama kematian bayi baru lahir
adalah Asfiksia, Infeksi dan Hipotermi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Selama kurun waktu 20 tahun angka kematian bayi (AKB) telah diturunkan secara
tajam, namun AKB menurut SDKI 2002-2003 adalah 35 per 1000 KH. Angka
tersebut masih tinggi dan saat ini mengalami penurunan secara lambat. Dalam
Rencana Pembangunan jangka panjang Menengah Nasional (RPJMN) salah satu
sasarannya adalah menurunkan AKB dari 35 1000 KH menjadi 26 per 1000 KH
pada tahun 2009. Oleh karena itu perlu dilakukan intervensi terhadap masalah-
masalah penyebab kematian bayi untuk mendukung upaya percepatan penurunan
AKB di ndicator.

2. Upaya peningkatan derajat kesehatan keluarga

Upaya peningkatan derajat kesehatan keluarga dilakukan melalui program


pembinaan kesehatan keluarga yang meliputi upaya peningkatan kesehatan Ibu
dan Bayi, Anak Pra Sekolah dan Anak Usia Sekolah, Kesehatan Reproduksi
Remaja, dan Kesehatan Usia Subur. Era Desentralisasi menurut pengelola
program di Kabupaten / Kota untuk lebih proaktif didalam mengembangkan
program yang mempunyai daya ungkit dalam akselerasi penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sesuai situasi dan
kemampuan daerah masing-masing mengingat AKI dan AKB merupakan salah
satu ndicator penting keberhasilan program kesehatan Indonesia.

PROGRAM POKOK KIA


1. Program ANC
2. Deteksi risti ibu hamil
3. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
4. Rujukan kasus risti ibu hamil
5. Pemeriksaan BBL (Neonatus), bayi dan balita
6. Penanganan neonatal yang berisiko
7. Pelayanan kesehatan bayi umur 1 bulan sampai 1 tahun
8. Pelayanan kesehatan balita
9. Pelayanan kesehatan pra school

Salah satu kebijakan pemerintah yang lainnya adalah dengan membentuk


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Yang dalam salah satu pemenuhan
tugasnya mengajukan berbagai upaya melindungi anak dalam bidang kesehatan.
Diantaranya adalah dengan menjauhkan anak usia dini dari merokok. Yang
dengan cara Pengendalian yang efektif dan pemihakan pemerintah yang lebih
tegas. Untuk itu yang harus dilakukan adalah membuat peraturan perundang-
undangan untuk mencegah bahaya rokok pada anak berupa :

1. Anak tidak boleh merokok


2. Anak tidak boleh membeli rokok
3. Orang dewasa tidak boleh menjual rokok pada anak
4. Orang tua tidak boleh merokok di depan anak.
5. Orang dewasa tidak boleh merokok di depan ibu yang sedang hamil.
6. Ibu yang sedang hamil tidak boleh merokok.
7. Iklan rokok tidak boleh mengambil sasaran anak-anak.
3. Tujuan Pemerintah memilihkan kualitas kesehatan untuk anak

Menciptakan Generasi penerus bangsa yang sehat dan bangsa yang kuat.
Mensejahterakan kehidupan semua penduduk.
Menciptakan kehidupan yang layak pada setiap anak, serta persiapan untuknya
dimasa depan.
Sebagai alat pencegahan dan pengobatan terhadap kesehatan anak.
Sebagai Proteksi kesehatan anak terhadap jajanan dan makanan yang
berbahaya.

4. PROGAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK

Program kesejahteraan sosial anak (PKSA) adalah upaya yang terarah ,


terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak.
PKSA ini meliputi : bantuan/subsidi pemenuhan kebutuhan dasar, aksesbilitas
pelayanan sosial dasar, penguatan orangtua/keluarga dan penguatan lembaga
kesejahteraan sosial anak. Tujuan dari PKSA adalah untuk mewujudkan
pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari penelantaran,
eksploitasi dan diskriminasi, sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan
partisipasi anak dapat terwujud. Sasaran PKSA adalah:

(1). Anak balita terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dengan kecacatan dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus agar
meningkat prosentase terhadap akses pelayanan sosial dasar.

(2). Orangtua dan keluarga yang bertanggungjawab dalam pengasuhan dan


perlindungan kepada anak meningkat prosentasenya.

(3). Penurunan prosentase anak yang mengalami masalah sosial.

(4). Lembaga kesejahteraan sosial yang menangani anak meningkat baik


kuantitas maupun kualitasnya.
(5). Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan Sosial
di bidang pelayanan kesejahteraan sosial anak yang terlatih meningkat.

(6). Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) yang bermitra dan berkontribusi melalui


dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dalam pelaksanaan PKSA.

(7). Produk hukum perlindungan hak anak yang djperlukan untuk landasan
hukum pelaksanaan PKSA.

Kriteria Penerima Program. Penerima manfaat program ini diprioritaskan


kepada anak-anak yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan
dan memiliki kriteria masalah sosial seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan,
keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana,
dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Prioritas
penerima manfaat dibagi dalam 5 (lima) kelompok, meliputi:

(1). Anak balita terlantar dan/atau membutuhkan perlindungan khusus (5 tahun ke


bawah).

(2). Anak telantar/tanpa asuhan orangtua (6 18 tahun), meliputi: anak yang


mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orangtua/keluarga atau anak
kehilangan hak asuh dari orangtua/keluarga.

(3). Anak terpaksa bekerja di jalanan (6-18 tahun) meliputi: anak yang rentan
bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, anak yang bekerja dan hidup di
jalanan.

(4). Anak berhadapan dengan hukum (6 18 tahun) meliputi: anak yang


diindikasi melakukan pelanggaran hukum, anak yang mengikuti proses peradilan,
anak yang berstatus diversi, anak yang telah menjalani masa hukuman pidana, dan
anak yang menjadi korban perbuatan pelanggaran hukum.

(5). Anak dengan kecacatan (0 18 tahun), meliputi: anak dengan kecacatan


fisik, anak dengan kecacatan mental dan anak dengan kecacatan ganda.

(6). Anak yang memerlukan perlindungan khusus lainnya (6 18 tahun),


meliputi: anak dalam situasi darurat, anak korban trafficking (perdagangan), anak
korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak korban eksploitasi, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi serta dari komunitas adat terpencil, anak yang
menjadi korban penyalagunaan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA), serta anak yang terenfeksi HIV/AIDS.

5. Komponen Progam.
PKSA dibagi menjadi 5 komponen utama program, yaitu:

1. Program Kesejahteraan Sosial Anak Batira (PKS-AB)


2. Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar/Jalanan (PKS-Antar/PKS
Anjal)
3. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum
(PKS-ABH)
4. Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK)
5. Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Perlindungan Khusus (PKS-
AMPK)

PKSA dirancang sebagai upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang
dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
dan bantuan kesejahteraan sosial anak bersyarat (conditional cash transfer), yang
meliputi:

(1). Bantuan sosial/subsidi pemenuhan kebutuhan dasar.

(2). Peningkatan aksesbilitas terhadap pelayanan sosial dasar (akte


kelahiran, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan air bersih, rekreasi,
ketrampilan dan lain-lain).

(3). Penguatan dan tanggungjawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan


dan perlindungan anak. (4). Penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial
anak.

6. Permasalahan Anak di Indonesia


Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1, ayat 1 UU No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak). Anak mendapat perhatian besar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
(UU Negara RI tahun 1945 pasal 28 b (2)). Selanjutnya ditegaskan bahwa
fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(Pasal 34 ayau 1 dan 2)

Ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut dijabarkan dalam


peraturan dan perundang-undangan, salah satunya UU nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.

Untuk meraih tujuan perlindungan anak tersebut, UU ini menjelaskankan


bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 20).
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal
22). Lebih tegas dalam pasal 23 disebutkan bahwa ayat (1) Negara dan pemerintah
menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
hukum bertanggung jawab terhadap anak. Ayat 2 menyebutkan bahwa Negara dan
pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. (Pasal 23).

Untuk menjalankan fungsi pengawasan ini, UU ini pasal 74 menyebutkan


bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk lembaga
independen untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak
di Indonesia.

Sampai saat ini terlihat bahwa peraturan dan perundang undangan belum
mampu merespon permasalahan anak Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data
permasalahan anak, berdasarkan sensus penduduk 2010, dari 237,637 juta jiwa,
sebanyak 85,7 juta adalah anak, dengan rincian 15 juta bayi, 25 juta balita dan
sekitar 35 juta remaja. Sampai hari ini baru 49% yang telah memiliki akte
kelahiran dan 219 dari 495 Kabupaten/Kota di Indonesia yang telah memiliki
legislasi/regulasi berupa Perda yang membebaskan biaya penerbitan akta
kelahiran.[1] Akte kelahiran merupakan hak setiap anak yang dijamin oleh
undang-undang tentang kewarga negaraan dan identitas anak yang berpengaruh
pada pengakuan terhadap silsilah dan nasab anak. Situasi ini memperlihatkan
bahwa Negara sangat lalai dalam pemenuhan akte kelhairan.
Selanjutnya data Kementerian Sosial tahun 2009 menyebutkan ada sekitar
5,4 juta anak terlantar dan 12,3 juta anak hampir terlantar, serta 232.000 anak
jalanan di seluruh Indonesia. Secara umum anak terlantar berada dalam berbagai
situasi. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara
wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial (Pasal 1 ayat 6 UU No.
23/2002). Permasalahan pemenuhan kebutuhan anak ini dapat terjadi pada anak
dalam pengasuhan keluarga atau di luar keluarga. Secara umum keberadaan anak
dalam pengasuhan adalah :

1. Anak dalam keluarga

Anak dalam keluarga terdiri dari orang tua lengkap, orang tua tunggal atau
dalam keluarga yang masih memiliki hubungan darah dengan anak.

2. Anak dalam keluarga pengganti

Keluarga pengganti seperti orang tua asuh, wali dan orang tua angkat

3. Anak dalam institusi

Anak dalam institusi lembaga kesejahteraan social anak seperti panti asuhan,
atau lembaga berbasis pendidikan seperti pesantren dan sekolah yang
memiliki asrama.

4. Anak tanpa pendamping

Anak tanpa pendamping adalah anak yang tinggal di luar keluarga dan
pengasuh seperti anak jalanan, buruh pabrik, pertambangan, perkebunan dan
anak-anak lainnya yang terlepas dari keluarga dan menjalani hidupnya
sendiri.

Resiko keterlantaran dapat terjadi dalam berbagai situasi tersebut. Secara


Internasional disepakati bahwa keluarga merupakan tempat terbaik bagi anak.
Negara harus mempertahankan keberadaan anak dalam keluarga. Dibutuhkan
kebijakan dan program yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Selain masalah ketrelantaran, data KPAI menyebutkan bahwa jumlah


perkawinan dini 34,5 % dari total perkawinan sah di Indonesia. Pasangan suami
istri dalam perkawinan dini belum memiliki kematangan emosi dan jaminan
ekonomi untuk melanjutkan kehidupan, sehingga perkawinan dini sangat rentan
terhadap perceraian. Perceraian menyisakan masalah anak menjadi korban dari
perceraian tersebut. Setiap tahun ada 125.000 anak korban perceraian dan menjadi
obyek perebutan kuasa asuh yang berpotensi terjadinya kekerasan terhadap anak.
Di bidang kesehatan juga menunjukan angka yang cukup siqnifikan, yaitu
1,39 juta anak menderita gizi buruk dan 3 juta anak kekurangan gizi. Angka
kematian bayi 34/1.000 dan balita 42/1.000. Jumlah anak yang kecanduan rokok
sekitar 20 juta orang. Anak korban HIV/AIDS sekitar 150 orang tahun 2005 dan
pada bulan maret menjadi 1.193 dari total 21.000 penderita HIV/AIDS di
Indonesia. Ini menunjukan fenomena gunung es.

Permasalahan lainnya terkait dengan perlindungan khusus ada sekitar 6.000


anak setiap tahun menghuni lembaga pemasyarakatan, 5.600 di lapas anak dan
sisanya di lapas orang dewasa. Sejak tahun 2009 KPAI mengkampanyekan
penghapusan penjara bagi anak dan sekarang sedang ikut mengawal RUU Sistem
Peradilan Pidana Anak yang sedang dibahas oleh DPR. Dalam beberapa
kunjungan ke daerah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan perlindungan
anak, terlihat bahwa system hukum di Indonesia belum berpihak sepenuhnya pada
kepentingan terbaik bagi anak, ditambah dengan rendahnya pemahaman dan
komitmen aparat penegak hukum terhadap perlindungan anak.

Sistem hukum di Indonesia masih kental dengan warna kolonialisme,


termasuk hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak. Secara normatif
hukum harus mampu melindungi dan memberikan dukungan untuk tumbuh
kembang anak yang lebih baik dan terlindungi hak-haknya dengan baik. Tetapi
sampai saat ini, pengadilan lebih banyak memutuskan untuk memenjarakan anak.
Pada umumnya anak yang dipenjarakan, bukan menjadi lebih baik, karena penjara
menjadi sekolah kriminal yang terbaik untuk anak. Sehingga anak yang dihukum
penjara karena kenakalan ringan seperti mencuri makanan, tawuran dan kesalahan
ringan lainnya, di penjara anak berinteraksi dengan berbagai orang dan
kemampuan kriminal yang beragam, sehingga ketika anak keluar penjara dan
tidak diterima oleh lingkungannya, mereka kembali melakukan tindakan kriminal
yang lebih berat seperti perampokan, pengedar narkoba dan tindakan kriminal
berat lainnya. Ini menunjukan bahwa penjara menjadi sekolah kriminal bagi anak.

Data lain menunjukan bahwa ada sekitar 40.000 anak yang dieksploitasi
secara seksual baik karena korban trafiking maupun dilacurkan. Sekitar 700.000
anak menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alcohol, dan zat adiktif lainnya
(NAPZA). Sekitar 2,5 Juta anak korban kekerasan di Indonesia, baik kekerasan
fisik, psikis, seksual maupun social. Masih 4,5 juta anak di pekerjakan di seluruh
Indonesia.
7. Kebijakan Sosial Terkait Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah


sebagaimana diatur dalam undang undang. Pemerintah harus membuat berbagai
kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah
dan program yang dapat merespon kebutuhan dan permasalahan anak. Sebelum
membahas lebih jauh tentang kebijakan social, perlu dibahas tentang kebijakan
public dan ruang lingkupnya.

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk


mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto, 2010 : 7). Kebijakan (policy)
adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government yang
hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula governance yang menyentuh
pengelolaan sumberdaya public. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-
keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, financial dan manusia demi
kepentingan public, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga
Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan
kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideology, dan kepentingan-kepentingan
yang mewakili system politik suatu Negara (Suharto, 2011 : 3).

Berbicara tentang kebijakan, sangat terkait dengan pemerintah. Bridgman


dan Davis (2005:3) dalam Edi Suharto (2011 : 3) menyebutkan kebijakan public
pada umumnya mengandung pengertian mengenai whatever government dhoose
to do or not to do. Artinya, kebijakan public adalah apa saja yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Pemerintah sebagai alat untuk melayani kepentingan public, maka disebut dengan
kebijakan public. Menurut Hogwood dan Gunn (1990) dalam Edi Suharto (2011 :
4) Kebijakan public sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut :

o Bidang Kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-


pernyataan yang ingin di capai
o Proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah
yang telah dipilih
o Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah
o Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan
sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan
o Keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh peemrintah,
sebagai produk dari kegiatan tertentu.
o Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan x, maka akan diikuti
oleh Y
o Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative
panjang.
Sebuah kebijakan tidak terjadi dengan sendirinya. Dibutuhkan proses yang
komprehensif dengan melibatkan semua pihak, sehingga kebijakan tersebut dapat
merespon kebutuhan masyarakat, mengatasi permasalahan masyarakat dan
diterima oleh public secara keseluruhan. Anderson (1994:37) dalam Edi Suharto
(2011 : 26) menyatakan bahwa proses perumusan kebijakan mengikuti sekuen
logis sebagai berikut :

o Pemerintah menyadari bahwa sebuah respon diperlukan untuk mengatasi


masalah
o Pemerintah menyeleksi aksi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi
masalah
o Pemerintah menetapkan sebuah solusi
o Pemerintah menerapkan atau mengimplementasikan solusi yang telah
dipilih
o Pemerintah mengajukan pertanyaan, apakah kebijakan itu berjalan baik?

8. Tujuan Kebijakan Sosial

Kebijakan social dalam rangka perlindungan anak ini harus memiliki


dampak langsung pada pencapaian tujuan perlindungan anak. Jadi kebijakan
social tidak hanya dilihat dalam konsep, tetapi juga dilakukan evaluasi dalam
implementasinya. Marshall (1965) dalam Edi Suharto (2010:10) menyebutkan
bahwa Kebijakan social adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga Negara
melalui penyediaan pelayanan social dan bantuan keuangan.

Kebijakan social adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk


mencegah terjadinya masalah social (fungsi preventif), mengatasi masalah social
(fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan)
sebagai wujud kewajiban Negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak
social warganya (Suharto, 2006a).

Terkait dengan perlindungan anak, pemerintah melalui RPJMN (Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014 meminta kepada semua
pihak untuk melakukan koordinasi dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Untuk terlaksananya koordinasi ini, dirumuskan satu pendekatan khusus tentang
perlindungan anak yaitu SBA (System Building Approach). SBA adalah sebuah
strategi Perlindungan Anak yang bertujuan mempromosikan suatu Sistem
Perlindungan Anak yang komprehensif mencakup semua bentuk perlakuan salah,
penelantaran, kekerasan dan eksploitasi dengan menangani faktor risiko guna
meminimalisasikan kerentanan anak dan merespons berbagai isu menyangkut
perlindungan anak (Unicef, 2010).
SBA ini muncul karena merespon permasalahan perlindungan anak di
Indonesia. Kecenderungan pemerintah, LSM dan masyarakat selama ini lebih
pada pendekatan isu, sehingga kebijakan dan program yang disusun sesuai dengan
perkembangan isu yang terjadi. Pendekatan isu ini memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya :

1. Gagal melihat akar penyebab umum yang memerlukan respon bersama

Seluruh energy dan potensi dikerahkan untuk merespon permasalahan yang


muncul. Secara umum terlihat masalah dapat diatasi, tapi karena focus pada
isu yang dikerjakan, permasalahan lain tidak ditangani sampai tuntas,
sehingga akar masalah tidak terselesaikan dengan baik. Dalam praktek
pekerjaan social, hal seperti ini tidak mampu menyelesaikan masalah.
Permasalahan lama akan selalu berulang dan muncul dengan bentuk lain yang
lebih berat karena mengendap terlalu lama dan menjadi seperti gunung es di
lautan, kecil terlihat tapi besar dalam dasar laut.

2. Gagal membangun tautan antara respon dan kebijakan

Kegagalan ini muncul karena adanya adanya pemisahan antara implementasi


dan pembuatan kebijakan. Masing-masing pihak terlihat kerja masing-
masing.

3. Program dirancang dengan berkutat pada kepentingan departemental/profesi/


keahlian daripada anak.

Sampai saat ini permasalahan departemental sulit untuk dihindari karena ada
aturan teknis tentang pelaksanaan kegiatan dan keuangan yang membuat
pelaksana kesulitan untuk menggabung kegiatan dengan kementerian lain
atau masyarakat. Aturan teknis ini belum mampu dirubah atau disesuaikan
dengan SBA yang sudah disepakati oleh pemerintah. SBA ini terkesan jadi
elitis karena sulit untuk diterapkan di lapangan jika tidak didukung oleh
system pelaksanaan yang kuat dilapangan.

4. Pembaharuan sering terjadi terisolasi dari system yang lebih luas berdiri
sendiri

Permasalahan ini sudah terasa sangat mengganggu dalam percepatan


pencapaian hasil pembangunan nasional, sehingga semua sector diwajibkan
untuk bekerja dalam satu kerang system yang kuat dan terukur. Keberhasilan
pengembangan system ini dipengaruhi oleh beberapa hal :
1. Harus ada hubungan antara berbagai faktor resiko, tindakan, dan
kegiatan;

2. Harus ada koordinasi antara para pelaku yang terlibat;


3. Adanya peran dan mandat yang jelas, dan sistem dapat memberikan
pelayanan yang komprehensif untuk menjawab kebutuhan anak;
4. Hanya melalui pendekatan komprehensif maka pelayanan dapat dibangun.

Menetapkan suatu Sistem Perlindungan Anak Nasional bertujuan


memperkuat lingkungan protektif guna melindungi anak dari segala bentuk
penyalahgunaan, eksploitasi, penelantaran dan kekerasan;system ini terdiri dari
komponen-komponen yang saling berkait. Memberikan pelayanan yang mencegah
dan merespons semua permasalahan perlindungan anak secara terpadu serta
mempromosikan sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku yang menjamin
kesejahteraan dan perlindungan anak

SBA mencakum norma yaitu peraturan perundang undangan, kebijakan dan


program. Norma ini harus didukung oleh Struktur dan Pelayanan. Ketersediaan
kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak menentukan apakah program berjalan atau tidak. Struktur atau kelembagaan
harus didukung oleh komitmen dan pelayanan aparatnya. Jika aparat tidak
memiliki komitmen untuk berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, maka
norma dan struktur tidak mampu menjangkau permasalahan anak. Terakhir proses
yang menjelaskan bagaimana implementasi dari norma, peraturan dan kebijakan
di lapangan.

Komponen system perlindungan anak nasional dari aspek kerangka hukum


dan kebijakan terdiri dari system kesejahteraan social bagi anak dan keluarga,
Sistem peradilan dan perubahan perilaku social. Diantara tiga komponen tersebut,
terdapat dukungan Parenting, pengasuhan anak, konseling dll., pelayanan dasar
lain, yaitu Kesehatan dan Pendidikan. Dalam system peradilan anak terdapat
komponen Pengasuhan Anak,Peradilan Anak, Perawatan, Adopsi, saksi anak
dan korban anak.

Semua komponen saling berhubungan satu sama lain karena akan menjadi
faktor yang menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan perlindungan anak.
Komponen Sistem Perlindungan Anak Nasional

Intervensi dalam perlindungan anak dapat dikelompokan dalam tiga


intervensi, yaitu ; intervensi primer yang ditujukan untuk semua anak, keluarga
dan masyarakat yang menghadapi masalah dalam perlindungan anak. Pencegahan
sekunder ditujukan pada anak dan keluarga yang rentan, sedangkan pencegahan
tersier yang ditujukan pada anak-anak dan keluarga yang telah menjadi korban.

Implementasi dari SBA ini menghadapi tantang yang sangat besar,


dipengaruhi oleh system dan aturan yang diterapkan dalam masing-masing
kementerian dan lembaga. Seringkali dalam satu kementerian mengalami
kesulitan dalam melakukan koordinasi program dan mereka baru bertemu ketika
bekerja di lapangan. Masing-masing pihak datang dengan programnya sendiri dan
sulit untuk dipertemukan dalam satu kesatuan yang terintegrasi. Hal ini
mempengaruhi sikap masyarakat terhadap program pemerintah tersebut.

Sebagaimana yang digambarkan dalam piramida bahwa peran pemerintah


sangat terbatas dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Tanggung jawab
pemerintah banyak yang dilaksanakan oleh masyarakat. Situasi ini menuntut agar
pemerintah mampu mengeluarkan regulasi dan peraturan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar perlindungan anak, sehingga potensi besar yang tersedia
dalam masyarakat dapat digunakan dengan sebaik-banyak untuk kepentingan
terbaik bagi anak.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Beberapa kegiatan dalam meningkatkan upaya percepatan penurunan AKI telah


diupayakan antara lain melalui peningkatan kualitas pelayanan dengan melakukan
pelatihan klinis bagi pemberi pelayanan kebidanan di lapangan. Kegiatan ini
merupakan implementasi dari pemenuhan terwujudnya 3 pesan kunci Making
Pregnancy Safer yaitu:
1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
2. Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat,
dan
3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

3.2 Saran

1. Kebijakan social dalam perlindungan anak merupakan kebutuhan mendesak


mengamati dari data situasi anak yang sangat memprihatinkan. Jika tidak segera
diatasi, maka anak-anak tersebut akan hidup dan terbentuk oleh situasi dan
lingkungannya, sehingga kemampuan anak sangat terbatas untuk meraih
kehidupan yang lebih baik. Hal ini berakibat pada tingginya angka pengangguran,
kemiskinan, kriminalitas dan kekerasan di masyarakat.
2. Untuk mengatasi permasalahan anak harus mampu merumuskan kebijakan social
yang tepat sehingga dapat menjamin bahwa anak-anak terlindungi dengan baik
3. Penyelenggaraan perlindungan anak harus menggunakan pendekatan
pembangunan system perlindungan anak karena selama ini masing-masing pihak
bekerja sendiri-sendiri dengan kebijakan masing-masing. SBA ini mendorong
semua pihak bekerja dalam satu system yang terpadu dan saling melengkapi
dengan mandate yang jelas. Pendekatan system ini sangat efektif dan efisien
karena setiap orang dan lembaga tidak harus mengerjakan segala sesuatu dari
hulu sampai ke hilir. Pembagian tugas akan membuat masalah dapat diatasi
dengan baik dan secara total dampai ke akar masalah.
DAFTAR PUSTAKA

KPAI, Potret Anak Indonesia ; Catatan siluet dan refleksi 2010, Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai