Anda di halaman 1dari 4

REFLEKSI KASUS MATI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik di RSUP DR.Sardjito

Diajukan kepada:
dr. I.B.G. Surya Putra Pidada, Sp.F

Disusun Oleh:
Arga Kafi Perdana 20110310063

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
I. Identitas Korban
- Nama : Mr. X
- Jenis kelamin : Laki laki
- Usia : 70 th
- Agama : Tidak diketahui
- Pekerjaan : Tidak diketahui
- Alamat : Tidak diketahui
- Tanggal pemeriksaan : 14 Juli 2016
- Jam pemeriksaan : 12.25 13.36
- Peristiwa : Kasus Lain (KL)

II. Deskripsi Kasus


A. Anamnesis
Seorang laki-laki lanjut usia ditemukan meninggal dunia, mengapung di kolam ikan
Dusun Kadisoka Purwomartani, Kalasan, Sleman pada hari Jumat, 08 Juli 2016
sekitar pukul 15.00 WIB. Selanjutnya dibawa ke RSUP Dr.Sardjito.Identitas korban
tidak diketahui. Jenazah kemudian disimpan dalam lemari pendingin jenazah hingga
kelengkapan surat otopsi dari pihak penyidik diserahkan ke pihak rumah sakit.
Pada tanggal 14 Juli 2016 pukul.12.25 dilakukan pemeriksaan luar jenazah oleh pihak
forensik, keadaan jenazah berlabel terbungkus kantong hitam.Setelah kantong dibuka
jenazah memakai sarung berwarna hitam motif kotak-kotak memakai kaos berwarna
merah polos.Selain itu didapatkan sebilah bambu dan sandal jepit dua buah berwarna
hijau (kanan) dan putih (kiri) yang bukan merupakan satu pasang.
Ditemukan luka lecet geser di bagian bahu atas, siku, punggung dan pergelangan
tangan, lutut, tungkai bawah kiri, punggung tangan kanan, tungkai bawah kanan, dan
punggung kaki kanan. Terdapat luka robek di tungkai bawah kiri bagian belakang
yang sudah dijahit.
Korban tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pengambilan darah karena
sampel tidak layak untuk diambil.
Pada akhir pemeriksaan didapatkan kesimpulan bawah korban meninggal akibat
asfiksia serta didapatkan tanda-tanda pembusukan pada tubuh korban.

III. Masalah yang Diangkat


Apakah tanda-tanda bahwa korban meninggal akibat asfiksia ?
IV. Analisis Kasus
Stadium Pada Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam
4 stadium yaitu:
Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan
merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah
dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas,
bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila
keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
Stadium Kejang
Akibat kadar CO2 yang terus naik maka akan timbul rangsangan terhadap
sistem saraf pusat berupa gerakan klonik yang kuat pada hamper seluruh otot tubuh,
kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin
dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin
jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium
apnea.
Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan
semakin memanjang, akhirnya berhenti dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan.
Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hamper tidak teraba, pada stadium ini
bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
Stadium Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap.
Masa dari saat asfiksia timbul hingga terjadi kematian sangat bervariasi. Umumnya
antara 4-5 menit. Stadium 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung
dari tingkat penghalangan oksigen. Bila tidak 100% maka waktu kemaatian akan lebih
lama, dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap

Tanda Kardinal Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsy untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, di bawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
konjungtiva dan sclera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru
dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan visceral dari pleura, perikardium,
peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vascular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulitdan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolute Hb tereduksi (Hb yang tidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5
gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensic dengan
konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti
darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

V. Kesimpulan
Perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan penyebab pasti kematian pada
jenazah ini adalah karena asfiksia akibat tenggelam. Bila jenazah masih segar (belum
terdapat pembusukan), maka diagnosis kematian akibat tenggelam akan lebih lebih
mudah ditegakkan melalui pemeriksaan yang teliti dari pemeriksaan luar,
pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium berupa histology jaringan, destruksi
jaringan dan berat jenis serta kadar elektrolit darah. Bila mayat sudah membusuk
maka diagnosis kematian akibat tenggelam dibuat berdasarkan adanya diatom yang
cukup banyak pada paru paru yang bila disokong oleh penemuan diatom pada ginjal,
otot skelet atau diatom pada sumsum tulang, maka diagnosis akan menjadi lebih pasti.
VI. Referensi
1. Nurhantari Y, et al. Panduan Belajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. 2011.
2. Idries, Abdul Muin dan Tjiptomartono, Agung L. 2008. Penerapan Ilmu
Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan.Jakarta : Sagung Seto.
3. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai