Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val)

2.1.a Klasifikasi Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val)

Klasifikasi curcuma heyneana Val dalam sistematika tumbuhan:

Divisi : Spermatophyta

Sub divis : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma heyneana Valeton & Zijp

Gambar 1. Temu Giring (Curcuma heyneana Val)

(BPOM, 2008)

6
7

2.1.b Morfologi tumbuhan

Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) berupa tumbuhan semak,

semusim, tegak, tinggi 1m, batang semu, terdiri dari pelapah daun, tegak,

permukaan licin, membentuk rimpang, hijau muda. Daun tunggal, permukaan licin,

tepi rata, ujung dan pangkal runcing, panjang 40-50 cm, lebar 15-18 cm, pertulangan

menyirip, berambut halus, panjang 15-40 cm, hijau muda, pangkal meruncing, ujung

membulat, rimpang bagian luar kuning kotor, irisan rimpang atau rimpang bagian

dalam kuning. Braktea atau daun pelindung hijau muda pada bagian bawah, merah

muda atau pink pada bagian atas, pangkal meruncing, ujung membulat, mahkota

bunga dan kelopak kuning muda. (BPOM 2008)

2.1.c Kandungan Kimia

Rimpang temu giring mengandung senyawa kurkumin yang dapat memberi

warna kuning. Disamping itu, rimpang ini mengandung minyak atsiri 0,8-3%,

amilum, damar, lemak, tanin, saponin dan flavonoid (Santoso, 2008).

2.1.d Manfaat

Rimpang temu giring sering digunakan untuk campuran lulur guna

memperhalus dan memperkuning kulit. Temu giring juga digunakan dalam ramuan

jamu, khususnya untuk calon pengantin wanita agar mampu mencegah rasa lelah

selama upacara pernikahan. Selain itu, temu giring juga berkhasiat untuk cacingan

pada anak-anak, disentri, luka, bau badan dan campak (Santoso, 2008).
8

2.2 Staphylococcus Aereus

2.2.a Klasifikasi

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

(Syahrurachman dkk, 2010).

Gambar 2. Staphylococcus aureus

2.2.b Morfologi

Kuman ini berbentuk sferis, bila menggerombol dalam sususnan yang tidak

teratur mungkin sisinya agak rata tertekan. Diameter kuman antara 0,8-1,0 mikron.

Pada sediaan langsung yang berasal dari nanah dapat terlihat sendiri, berpasangan,
9

menggerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek. Susunan gerombolan

yang tidak teratur biasanya ditemukan pada sediaan yang dibuat dari perbenihan

padat, sedangkan dari perbenihan kaldu biasanya ditemukan tersendiri atau tersusun

sebagai rantai pendek (Syahrurachman dkk, 2010).

2.2.c Toksin

Bakteri Staphylococcus aureus, mengeluarkan toksin pada makanan berprotein

tinggi (daging, telur, susu, ikan). Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri ini relatif

tahan panas dan tidak mudah dimusnahkan dengan pemanasan normal pada prosedur

pemasakan makanan (Pratiwi, 2008).

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan salah satu kuman yang cukup kebal

diantara mikroorganisme lainnya, dan tahan pada pemanasan 60oC selama 30 menit.

Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang bersifat stabil terhadap pemanasan

(termostabil), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim pencernaan, dan

relatif resisten terhadap pengeringan. Selain enterotoksin, bakteri ini juga

memproduksi hemolisin, yaitu toksin yang dapat merusak dan memecah sel-sel darah

merah. Substrat yang baik untuk pertumbuhan dan produksi enterotoksin ialah

substrat atau makanan yang mengandung protein. Sementara itu, keberadaan bakteri

Staphylococcus aureus dan toksin yang dihasilkan pada makanan tidak dapat

dideteksi secara visual karena tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada

makanan (Pratiwi, 2008).

Keracunan makanan oleh Staphylococcus aureus terjadi jika kita menelan

makanan yang tercemar enterotoksin misalnya daging, ikan, susu, dan hasil
10

olahannya. Makanan yang mengandung enterotoksin, yang masuk ke dalam saluran

pencernaan akan mencapai usus halus, selanjutnya dengan cepat toksin tersebut akan

merusak dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus (Pratiwi, 2008).

2.2.d Patologi

Furunkel atau abses setempat lainnya merupakan suatu contoh lesi oleh

Stafilokokus. Kuman berkembang biak dalam folikel rambut dan menyebabkan

terjadinya mikrosis jaringan setempat. Kemudian terjadi koagulasi fibrin di sekitar

lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses

nekrosis. Selanjutnya disusul dengan serbukan sel radang, di pusat lesi akan terjadi

pencairan jaringan nekrotik, cairan abses ini akan mencari jalan keluar di tempat yang

paling kurang tahanannya. Pengeluaran cairan abses diikuti dengan pembentukan

jaringan granulasi (Syahrurachman dkk, 2010).

Peradangan setempat merupakan sifat khas dari infeksi Stafilokokus. Dari fokus

ini kuman akan menyebar ke bagian tubuh lain lewat pembuluh getah bening dan

pembuluh darah, sehingga peradangan dari vena dan trombosis pun merupakan hal

yang biasa (Syahrurachman dkk, 2010).

2.2.e Kerentanan terhadap antibiotik

Menurut Gillespie (2009) sejarah kerentanan S. aureus merupakan pelajaran

dalam sejarah kemoterapi antimikroba:

1. Awalnya bakteri ini rentan terhadap penisilin, tetapi strain yang

memproduksi -laktamase segera lebih mendominasi.


11

2. Metisilin dan agen yang terkait (misalnya flukloksasilin) kemudian

diperkenalkan dan menggantikan penisilin sebagai obat terpilih, yang

sampai saat ini masih merupakan obat terpilih untuk strain yang sensitif.

3. Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) muncul. Resistensi disebabkan

karena adanya gen mecA yang mengkode protein pengikat penisilin dengan

afinitas rendah. Beberapa MRSA memiliki potensi epidemik (EMRSA).

Vankomisin atau teikoplanin mungkin diperlukan untuk strain-strain ini.

4. Jenis intermediat atau heteroresisten terhadap glikopeptida mulai muncul

dan menjadi persoalan penting.

5. Glycopeptide-resistant strain (GRSA) yang sesungguhnya kemudian

ditemukan.

Antibiotik lain yang efektif meliputi linezolid, aminoglikosida, eritromisin,

klindamisin, asam fusidat, kloramfenikol, dan tetrasiklin.

2.3 Aktivitas antibakteri

2.3.a Infeksi Bakteri

Infeksi terjadi jika mikroorganisme bertumbuh dan mengalahkan mekanisme

pertahanan tubuh. Jika mikroorganisme ini merusak tubuh maka disebut patogen.

Suatu pathogen harus berkembang biak dalam tubuh untuk dapat menimbulkan

infeksi. Virulensi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan jumlah

mikroorganisme yang diperlukan untuk mengakibatkan infeksi (James ed all 2002).


12

2.3.b Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang membunuh bakteri atau menekan pertumbuhan atau

reproduksi mereka. Pelczar dan Chan dalam Widyarto (2009) mengatakan bahwa

makin tinggi suatu zat antimikroba akan semakin cepat sel mikroorganisme terbunuh

atau terhambat pertumbuhannya. Aktivitas antimikroba dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain, konsentrasi atau intensitas zat antimikroba, jumlah

mikroorganisme, keasaman atau kebasaan (pH), potensi suatu zat antimikroba dalam

laruran yang diuji dan kepekaan suatu mikroba terhadap konsentrasi antibakteri.

Antibakteri obat atau senyawa kimia yang digunakan untuk membasmi bakteri,

khususnya bakteri yang merugikan manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada

antibakteri selektif, ada antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri,

dikenal aktivitas bakteriostatik. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri atau membunuhnya, masing-masing dikenal dengan Kadar

Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Antibakteri tertentu

aktivitasnya dapat meningkatkan kemampuan bakterisida. Aktivitas antibakteri dibagi

dalam lima kelompok :

1. Antibakteri yang menghambat metabolisme sel bakteri

Pada mekanisme ini diperoleh efek bakteriostatik. Antibakteri yang

termasuk dalam golongan ini adalah sulfonamide, trimetoprim, asam p-

aminosalisilat dan sulfon. Kerja antibakteri ini adalah menghambat

pembentukan asam folat, bakteri membutuhkan asam folat untuk


13

kelangsungan hidupnya dan bakteri memperoleh asam folat dengan

mensintesis sendiri dari asam para amino benzoat (PABA). Sulfonamid dan

sulfon bekerja bersaing dengan PABA dalam pembentukan asamfolat.

Sedang trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat

reduktase (Syarif dkk., 2011).

2. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel bakteri

Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan, sintesis peptidoglikan

akan dihalangi oleh adanya antibiotik seperti penisilin, sefalosporin,

basitrasin, vankomisin, sikloserin. Sikloserin akan menghambat reaksi paling

dini dalam proses sintesis dinding sel sedang yang lainnya menghambat di

akhir sintesis peptidoglikan, sehingga mengakibatkan dinding sel menjadi

tidak sempurna dan tidak mempertahankan pertumbuhan sel secara normal,

sehingga tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi daripada tekanan di

luar sel maka kerusakan dinding sel bakteri akan menyebabkan lisis, yang

merupakan dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka (Syarif dkk.,

2011).

3. Antibakteri yang mengganggu membran sel bakteri

Menurut Pelczar dan Chan dalam Widyarto (2009), sitoplasma dibatasi

oleh membran sitoplasma yang merupakan penghalang dengan

permeabilitas yang selektif. Membran sitoplasma akan mempertahankan

bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur aliran keluar-masuknya


14

bahan-bahan lain. Jika terjadi kerusakan pada membran ini akan

mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel.

4. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel bakteri

Kehidupan sel bakteri tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul

protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiah. Jika kondisi atau substansi

yang dapat mengakibatkan terdenaturasinya protein dan asam nukleat dapat

merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi

pekat beberapa zat kimia dapat mengakibatkan koagulasi (denaturasi) yang

bersifat irreversible terhadap komponen-komponen seluler yang vital ini

(Pelczar dan Chan, 1986, cit. Widyanto, 2009).

5. Antibakteri yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel

bakteri

Protein, DNA (deoxyribonucleic acid), dan RNA (ribonucleic acid)

berperan penting dalam proses kehidupan normal sel bakteri. Apabila terjadi

gangguan pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat

mengakibatkan kerusakan total pada sel (Widyarto, 2009).


15

2.3.c Tetrasiklin

Gambar 3. Struktrur Kimia Tetrasiklin

Tetrasiklin adalah sekelompok obat yang memiliki karakteristik fisik dan

farmakologis yang berbeda, tetapi memiliki sifat antimikroba yang nyaris identik dan

anggota-anggotanya memilki resistensi-silang sempurna. Semua tetrasiklin mudah

diserap dari saluran cerna dan didistribusikan secara luas ke jaringan-jaringan, tetapi

sulit memasuki cairan serebrospinal. Sebagian juga dapat diberikan secara intravena

atau intramuscular. Mereka diekskresikan dalam feses dan ke dalam empedu dan urin

dalam laju yang bervariasi. Pada pemberian tetrasiklin hidroklorida 2g/hari per oral,

kadar dalam darah akan mencapai 8 g/mL (Brooks et al, 2012;362).

2.3.c.1 Aktivitas Antimikroba

Tetrasiklin dikonsentrasikan oleh bakteri yang sensitif, kemudian

menghambat sintesis protein dengan menghambat pengikatan aminoasil-tRNA ke

unit 30S ribosom bakteri. Bakteri yang resisten tidak mengonsentrasikan obat.

Mekanisme resisten tadi dikendalikan oleh plasmid yang dapat ditransfer (Brooks et

al, 2012;362).
16

Tetrasiklin merupakan agen yang terutama bersifat bakteriostatik. Mereka

menghambat pertumbuhan baktteri gram-positif dan gram-negatif yang sensitive

(dihambat pada konsentrasi 0,1-10 g/mL) dan merupakan obat pilihan pada infeksi

yang disebabkan oleh riketsia, Chlamydia, dan Mycoplasma pneumonia. Tertrasiklin

digunakan pada kolera untu mempersingkat durasi eksresi vibrio. Tetrasiklin

hidroklorida atau doksisiklin yang diberikan per oral selama 7 hari efektif untuk

infeksi genitalia yang disebabkan Chlamydia. Tetrasiklin terkadang diberian dalam

kombinasi bersama dengan streptomisin untuk terapi infeksi Brucella , Yersinia, dan

Francisella. Minoksilin sering kali aktif terhadap Nocardia dan dapat mengeradikasi

status karier meningokok. Dosis rendah tetrasiklin selama berbulan-bulan diberikan

uuntuk terapi akne guna menekan bakeri kulit sekaligus lipase mereka; lipase tadi

memacu perubahan inflamatorik (Brooks et al, 2012;362).

Tetrasiklin tidak menghambat fungus. Mereka dapat menekan sebagian flora

normal usus secara temporer, tetapi dapat terjadi superinfeksi, khususnya oleh

pseudomonas, proteus, stafilokok, dan ragi yang resisten-tetrasiklin (Brooks et al,

2012;362).

2.4 Taksonomi tumbuhan

Melakukan identifikasi tumbuhan berarti mengungkapkan atau menetapkan

identitas suatu tumbuhan, yaitu menentukan namanya yang benar dan tempatnya yang

tepat dalam sistem klasifikasi. Istilah identifikasi sering disamakan dengan

determinasi.
17

Identitas botani tumbuhan pada analisis fitokimia harus dibuktikan dan harus

dilakukan oleh ahli yang diakui. Penentuan identitas tumbuhan perlu dilakukan bila

ingin melaporkan adanya senyawa baru dalam tumbuhan tersebut atau adanya

senyawa yang sudah dikenal tetapi dari sumber tumbuhan baru. Identitas bahan harus

tidak dapat diragukan lagi atau dengan kata lain harus ada seorang ahli taksonomi

yang dapat menentukan identitasnya. Identitas dalam hal ini adalah kedudukannya

dalam taksonomi. Karena alasan tersebut, sekarang sudah menjadi kebiasaan umum

pada penelitian fitokimia untuk menyimpan contoh tumbuhan sebagai herbarium

sehingga bila diperlukan dapat dilihat kembali (Kristanti dkk, 2008).

Determinasi atau identifikasi terutama ditujukan untuk mengetahui takson pada

tingkat familia, genus, spesies dan varietas. Cara determinasi suatu tumbuhan yang

belum dikenal taksonnya biasanya dilakukan dengan menggunakan Kunci

Determinasi dalam buku-buku tentang flora (misal Flora Indonesia karya van

Steenis). Jika determinasi dilakukan dengan Kunci Determinasi, perlu diambil sampel

yang lengkap dari tumbuhan yang akan diidentifikasi/dideterminasi. Perlu juga

diperhatikan lingkungan hidup dari mana tumbuhan itu dikumpulkan.Kunci

Determinasi yang umum dipakai adalah Kunci Determinasi Sistem Dikotomi. Kunci

ini terdiri atas 3 (tiga) bagian yaitu:

1. Kunci untuk mencari familia

2. Kunci untuk mencari genus

3. Kunci untuk mencari spesies dan varietas


18

Dasar determinasi/identifikasi adalah:

1. Struktur/ciri morfologis

2. Struktur/ciri anatomis

3. Kandungan kimia

4. Kombinasi antara cara-cara di atas

Selain dengan Kunci Determinasi, determinasi dapat juga dilakukan dengan

membandingkan contoh (sampel) tumbuhan yang belum dikenal itu dengan contoh

tumbuhan yang sudah dikenal identitasnya (spesimen determinasi) atau herbarium

tumbuhan yang sudah diketahui identitasnya (spesimen herbarium). Bila contoh

tumbuhan dan herbarium sebagai bahan pembanding tidak tersedia, maka sampel

dapat dikirim ke Bogor (Herbarium Bogoriense). Determinasi juga dapat dilakukan

dengan membandingkan contoh tumbuhan dengan foto dari tumbuhan pembanding

yang dilengkapi dengan deskripsi yang jelas. Cara lain yang dapat digunakan untuk

determinasi atau identifikasi tumbuhan adalah dengan bantuan komputer (analisis

komputer) atau dengan analisis kimiawi /kromatografi. (Kristanti dkk. 2008).

2.5 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000).

Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan

mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan

kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna


19

dari obat. Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus

dipertimbangkan dalam metode ekstraksi (Ansel, 1989).

Adapun metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, terdiri dari :

2.5.a Metode ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:

1. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen

POM, 1986 cit. Meilisa, 2009).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang

umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh

perkolat yang jumlahnya 1-5 kali jumlah bahan (Ditjen POM, 1986 cit.

Meilisa, 2009).
20

2. Cara panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

residu pertama sampai 5-3 kali hingga proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, secara umum

dilakukan pada temperature 40-50C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature 96-98C

selama waktu 15-20 menit di penangas air, dapat berupa bejana infus

tercelup dalam penangas air mendidih.


21

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000 cit. Meilisa, 2009).

2.5.b Maserasi

Maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi padat-cair bertahap yang

dilakukan dengan jalan membiarkan padatan terendam dalam suatu pelarut. Proses

perendaman dalam usaha mengekstraksi suatu substansi dari bahan alam ini bisa

dilakukan tanpa pemanasan (pada temperatur kamar), dengan pemanasan atau bahkan

pada suhu pendidihan. Sesudah disaring, residu dapat diesktraksi kembali

menggunakan pelarut yang baru. Pelarut yang baru dalam hal ini bukan mesti berarti

berbeda zat dengan pelarut yang terdahulu tetapi bisa pelarut dari zat yang sama.

Proses ini bisa diulang beberapa kali menurut kebutuhan (Kristanti dkk., 2008).

Jika maserasi dilakukan dengan pelarut air, maka diperlukan proses ekstraksi

lebih lanjut, yaitu ekstraksi fase air yang diperoleh dengan pelarut organik. Jika

maserasi langsung dilakukan dengan pelarut organik maka filtrat hasil ekstraksi

dikumpulkan menjadi satu, kemudian dievaporasi atau didistilasi. Selanjutnya dapat

dilakukan proses pemisahan dengan kromatografi atau rekristalisasi langsung

(Kristanti dkk., 2008).

Salah satu keuntungan metode maserasi adalah cepat, terutama jika maserasi

dilakukan pada suhu didih pelarut. Meskipun demikian, metode ini tidak selalu

efektif dan efisien. Waktu rendam bahan dalam pelarut bervariasi antara 15-30 menit
22

tetapi kadang-kadang bisa sampai 24 jam. Jumlah pelarut yang diperlukan juga cukup

besar, berkisar antara 10-20 kali jumlah sampel (Kristanti dkk., 2008).

2.6 Senyawa Metabolit Sekunder

Polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama

makhluk hidup, karena itu disebut metabolit primer. Keseluruhan proses sintesis dan

perombakan zat-zat yang dilakukan oleh organisme untuk kelangsungan hidupnya

disebut proses metabolisme primer. Metabolisme primer semua organisme sama

meskipun sangat berbeda genetiknya (Kristanti dkk, 2008).

Proses kimia jenis lain terjadi hanya pada spesies tertentu sehingga memberikan

produk yang berlainan sesuai dengan spesiesnya. Reaksi yang demikian nampaknya

tidak merupakan proses yang terpenting bagi eksistensi suatu organisme, karena itu

disebut proses metabolisme sekunder. Produk-produk metabolisme sekunder ini

disebut metabolit sekunder, misalnya senyawa terpen, alkaloid, senyawa fenolik dan

lain-lain. Meskipun tidak sangat penting bagi eksistensi suatu individu, metabolit

sekunder sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan

menghadapi spesies-spesies lain, misalnya sebagai zat pertahanan dan zat penarik

bagi lawan jenisnya (Kristanti dkk, 2008).

Tujuan pembentukan metabolit sekunder tetap merupakan misteri. Beberapa ahli

percaya bahwa senyawa metabolit sekunder adalah produk detoksifikasi dari

timbunan metabolit beracun yang tidak dapat dibuang oleh organisme tersebut.

Pendapat ini sesuai dengan kenyataan bahwa tumbuhan lebih banyak memproduksi

metabolit sekunder daripada binatang karena binatang mempunyai sistem yang


23

canggih untuk proses pembuangan metabolit beracun mereka, misalnya melalui liver

dan ginjal. Tumbuhan terpaksa melakukan perubahan atau perombakan agar menjadi

senyawa lain yang dapat disimpan dalam ruang-ruang dalam sel. Beberapa ahli yang

lain berpendapat bahwa metabolit sekunder merupakan timbunan energi dan makanan

dalam tumbuhan dan dapat digunakan bila dibutuhkan. (Kristanti dkk., 2008)

2.6.a Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan

di alam. Banyaknya senyawa flavonoid ini bukan disebabkan karena banyaknya

variasi struktur, akan tetapi lebih disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi,

alkoksilasi atau glikosilasi pada struktur tersebut. Flavonoid di alam juga sering

dijumpai dalam bentuk glikosidanya (Kristanti dkk, 2008).

Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat

warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Sebagai pigmen bunga, flavonoid jelas

berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan. Beberapa

kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah sebagai zat pengatur

tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus dan

antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan oleh jaringan tumbuhan

sebagai respons terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat

fungi menyerangnya (Kristanti dkk, 2008).

Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek fisiologis tertentu.

Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalam
24

pengobatan tradisional. Penelitian masih terus dilakukan untuk mengetahui berbagai

manfaat yang bisa diperoleh dari senyawa flavonoid (Kristanti dkk, 2008).

Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon

yang membentuk susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat manghasilkan tiga jenis

struktur, yaitu 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid dan

1,1-diarilpropan atau neoflavonoid.

Biosintesis flavonoid melibatkan dua jalur biosintesis yang utama untuk cincin

aromatik, yaitu jalur shikimat dan jalur asetat-malonat. Cincin A pada struktur

flavonoid berasal dari jalur poliketida, yakni kondensasi dari tiga unit asetat atau

malonat sedangkan cincin B dan rantai propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur

shikimat). Selanjutnya, sebagai akibat dari berbagai perubahan, ketiga atom karbon

dari rantai propan dapat menghasilkan berbagai gugus fungsi seperti ikatan rangkap

dua, gugus hidroksil, gugus karbonil dan sebagainya (Kristanti dkk, 2008).

2.6.b Saponin

Saponin merupakan glukosida yang larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut

dalam eter. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas

membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis, jadi mekanisme kerja

saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang mengganggu permeabilitas

membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan

keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri yaitu protein, asam

nukleat dan nukleotida (Ganiswarna, 1995 cit Darsana dkk, 2012).


25

2.6.c Tanin

Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termaksuk ke dalam golongan

polifenol. Senyawa tanin ini banyak dijumpai pada tumbuhan. Tanin dahulu

digunakan untuk menyamakan kulit hewan karna sifatnya yang mengikat protein.

Selain itu juga tanin dapat mengikat alkaloid dan glatin. Tanin secara umum

didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi

(lebih dari 1000) dan dapat membetuk kompleks dengan protein. Berdasarkan

strukturnya, Tanin dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin terkondensasi

(Condensed tanins) dan tanin terhidrolisiskan (Hydrolysable tanins) (Harbone, 1996

cit Fauzi, 2011).

Gambar 4. Stuktur Kimia Tanin

Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin

yang sangat kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Maka

dari itu efek yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin juga dapat berfungsi

sebagai antioksi dan biologis. Oleh karna itu, semua penelitian tentang berbagai jenis
26

senyawa tanin mulai dilirik para penelitian sekarang (Hagerman, 2002 cit Fauzi,

2011)

Senyawa tanin terdapat luas di dalam tumbuhan berpembuluh. Senyawa ini

merupakan penghambat enzim yang kuat bila terkait dengan protein. Kopolimer

mantap yang tidak larut di dalam air. Di dalam tumbuhan letak tannin terpisah dari

protein dan sitoplasma tetapi apabila jaringan rusak, misalnya jaringan yang dimakan

oleh hewan maka bisa terjadi reaksi penyamakan. Tanin merupakan senyawa

bakteriostatik terdapat gram positif dan gram negative (Pramono, 1989 cit Fauzi,

2011).

2.6.d Kurkumin

Kurkumin adalah senyawa aktif yang ditemukan pada kunir, berupa polifenol

dengan rumus kimia C21H20O6. Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa

metabolit sekunder dari tanaman kunyit dan temulawak. Senyawa ini merupakan

golongan karotenoid yaitu pigmen (zat warna) yang larut dalam lemak berwarna

kuning sampai merah. Kurkumin termasuk golongan senyawa polifenol dengan

struktur kimia 1,7- bis (4hidroksi-3-metoksifenil)-1,6 heptadien 3,5-dion. Kurkumin

dapat memiliki dua tautomer yaitu keton dan enol. Struktur keton lebih dominan

dalam bentuk padat sedangkan struktur enol ditemukan dalam bentuk cairan. Pada

struktur kurkumin terdapat ikatan rangkap terkonjugasi dan pasangan electron bebas

sehingga berpotensi sebagai ligan. Kurkumin juga termasuk senyawa -ketoenolat

yang dapat membentuk kompleks khelat cincin enam yang sangat stabil. Kurkumin

mempunyai sifat sebagai antioksidan (Sudarsono dkk., 1996 cit Fauzi, 2011)
27

2.6.e Minyak Atsiri

Istilah minyak atsiri pada awalnya adalah istilah yang digunakan untuk minyak

yang mudah menguap dan diperoleh dari tanaman dengan penyulingan uap. Definisi

ini dimaksudkan untuk membedakan minyal/lemak minyak atsiri yang berbeda

tanaman penghasilnya (Guenther, 1987 cit Fauzi, 2011).

Minyak atsiri yang bersifat mudah menguap ini terdiri dari campuran zat

menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap substansi yang

bisa menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu dan hal ini dipengaruhi

oleh suhu. Pada umumnya tekanan uap ini sangat mudah untuk persenyawaan yang

memiliki titik didih yang sangat tinggi. Selanjutnya intensitas suatu bau (harum yang

dihasilkan dengan beberapa pengecualian pada kondisi tertentu) merupakan

manifestasi dari sifat mudah menguap yang menghasilkan bau harum tersebut

(Guenther, 1987 cit Fauzi, 2011).

Minyak atsiri yang mudah menguap terdapat di dalam kelenjar minyak khusus

di dalam kantung minyak atau di dalam ruang antar sel dalam jaringan tanaman.

Minyak atsiri tersebut harus dibebaskan sebelum disuling yaitu dengan

merajang/memotong jaringan tanaman dan memuka kelenjar minyak sebanyak

mungkin, sehingga minyak dapat dengan mudah diuapkan (Guenther, 1987 cit Fauzi,

2011).
28

Minyak atsiri yang bagian utamanya terpenoid terdapat pada fraksi atsiri yang

tersuling uap. Zat inilah penyebab harum, wangi dan bau yang khas pada banyak

tumbuhan (Harborne, 1996 cit Fauzi, 2011).

Kegunaan minyak atsiri sebagai bahan antiseptik internal atau eksternal, bahan

analgesik, haemolitik, atau sebagai entienzimatik, sedatif dan stimulan untuk sakit

perut. Minyak atsiri mempunyai sifat membius, merangsang dan memuakkan.

Disamping itu beberapa jenis minyak atsiri dapat digunakan sebagai obat cacing dan

sebagai fungisida maupun bakterisida (Guenther, 1987 cit Fauzi, 2011).

2.7 Uji Anti Mikroba

Analisis aktivitas agen antimikroba terbagi dua yaitu seara invitro dan invivo.

Aktivitas antimikroba diukur secara invitro untuk menentukan potensi suatu agen

antimikroba dalam larutan, konsentrasinya dalam cairan tubuh atau jaringan, dan

densitivitas suatu mikroorganisme terhadap konsentrasi tertentu obat tadi (Brooks et

al, 2012;361). Analisis aktivitas agen antimikroba invivo jauh lebih komples

dibandingkan pada kondisi invitro. Aktivitas invivo tidak hanya melibatkan obat dan

organisme, tetapi juga faktor ketiga, penjamu (Brooks et al, 2012;362).

Penentuan kerentanan suatu patogen bakteri terhadap obat antimikroba dapat

dilakukan dengan salah satu diantara dua metode utama yaitu:

1. Metode Dilusi

Substansi antimikroba dalam kadar bertingkat dicampurkan ke dalam medium

bakteriologis solid atau cair. Medium kemudian diinokulasi dengan bakteri penguji

dan diinkubasi. Titik akhir yang diambil adalah jumlah substansi antimikroba yang
29

diperlukan untuk menghambat atau membunuh bakteri penguji. Uji sensitifitas

dilusi agar memakan banyak waktu, dan penggunaan mereka dibatasi hanya pada

kondisi khusus. Uji dilusi kaldu tidak praktis dan hanya digunakan jika dilusi

dilakukan dalam tabung uji, tetapi tersedianya rangkaian dilusi kaldu yang sudah

jadi untuk berbagai macam obat dalam lempeng mikrodilusi telah sangat

memperbaiki sekaligus menyederhanakan metode terdebut. Keuntungan dari dilusi

microbroth adalah mereka memungkinkan dilaporannnya hasil kuantitatif yang

menunjukkan jumlah obat tertentu yang diperlukan untuk menghambat (atau

membunuh) mikroorganisme yang di uji (Brooks et al, 2012;362).

2. Metode Difusi

Metode yang paling banyak digunakan adalah tes difusi lempeng. Suatu

lempeng kertas saring yang mengandung obat dalam jumlah tertentu ditempatkan

pada permukaan medium yang solit yang telah diinokulasi dengan organisme

penguji di permukaannya. Setelah diinkubasi, diameter zona inhibisi jernih yang

mengelilingi lempeng diukur sebagai nilai kekuatan inhibitorik obat terhadap

organisme penguji tersebut. Metode tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor fisik

dan kimiawi disamping interaksi sederhana antara obat dan organisme (yaitu sifat

medium dan difusibilitas, ukuran molekuler dan ketabilan obat). Bagaimanapun

juga standardisasi kondisi tetap memungkinkan penentuan kerentanan organisme.

Interpretasi hasil tes difusi harus didasarkan perbandingan antara model dilusi

dan difusi. Perbandingan demikian telah menghasilkan nilai standar rujukan.


30

Garis-garis refresi linier dapat memperlihatkan hubungan antara log konsentrasi

inhibitorik minimum dalam tes dilusi dan diameter zona inhibisi dalam tes difusi.

Penggunaan lempeng tunggal untuk tiap antibiotik disertai standardisasi kondisi

tes secara cermat memungkinkan pelaporan bahwa suatu mikroorganisme resisten

atau senitif dengan membandingkan ukuran zona inhibisi terhadap suatu standar

untuk obat yang sama. Penghambatan disekeliling lempeng yang mengandung

obat antimikroba dalam jumlah tertentu tidak menandakan sensivitas terhadap obat

dalam konentrasi yang sama permiliter medium, darah, atau urin (Brooks et al,

2012;362).

2.8 Hipotesis

Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan Meilisa (2009) yang

membuktikan bahwa ekstrak etanol temulawak memiliki daya hambat terhadap

pertumbuhan S. aureus, maka peneliti melakukan pendekatan kemotaksonomi yakni

sama-sama berasal dari genus Curcuma sehingga dimungkinkan ekstrak etanol

rimpang temu giring juga memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan S. aureus.

H0: Tidak ada aktivitas antibakteri ekstrak rimpang temu giring terhadap

bakteri S. aureus.

H1: Ada aktivitas antibakteri ekstrak rimpang temu giring terhadap bakteri S.

aureus.
31

2.9 Kerangka Berpikir

Rimpang temu giring

Ekstrak etanol rimpang temu giring

Skrining Fitokimia Uji aktivitas antibakteri


terhadap S.aureus

Ya
Flavonoid Kurkumin
Minyak
Tumbuh Selesai
Atsiri

Tidak
Tanin Saponin

Diameter zona
hambat

Keberadaan? Tidak

Ada

Gambar 5. Kerangka Berfikir

Anda mungkin juga menyukai