KONSEP TEORI
A. DEFINISI
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron yang berarti sendi.
Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi.
Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam
sendi (Gordon, 2002).
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang
etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis
(Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling umum
ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA ini
merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung
kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).
B. KLASIFIKASI
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3
bulan.
C. ETIOLOGI
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, Kejadiannya dikorelasikan dengan
interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009):
a. Genetik
Berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1dan faktor ini memiliki angka kepekaan
dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
b. Hormon Sex
perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin Releasing
Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat
penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron
pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Ada
RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek
yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
c. Faktor Infeksi
Beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
d. semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel sehingga muncul timbulnya
penyakit RA (Suarjana, 2009).
e. Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon Terhadap stres. Protein ini
mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena
kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang limfosit
dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
f. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
D. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan,
ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.
Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari,
khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas juga merupakan faktor resiko
(Symmons, 2006)
E. PATOFISIOLOGI
Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan
tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas
otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti
vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial
menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini
granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke
tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan
pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis
setempat.
F. PATHWAY (TERLAMPIR)
G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan
berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Ketika penyakit ini aktif gejala dapat
termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah,
nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan
biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk
rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada persendian kecil
di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu,
pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular.
Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak,
kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki
adalah hal yang umum.
Jika ditinjau dari stadium pe nyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak
dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada
jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap. Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun
stadium pada penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat
reaksi inflamasi yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas,
membengkak, tidak mudah digerakkan dan pasien cenderung menjaga atau
melindungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama
dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas
dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang
tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang um um ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut
usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan
kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-
jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat,
terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan
demam, dapat terjadi berulang.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, Darah bisa terjadi anemia dan
leukositosis, Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita
2. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak,
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal )
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio.
Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
3. Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium
4. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/
degenerasi tulang pada sendi
5. Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari
normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-
produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan
komplemen ( C3 dan C4 ).
6. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
7. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau
atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan kurang
kental dibanding cairan sendi yang normal.
8. Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris
yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-
kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi
peri-artikuler pada foto rontgen.
Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan diagnosis
Reumatoid arthritis, yaitu nodul Reumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat
palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium
menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor Reumatoid yang positif sekitar
70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4
menurun. Pemeriksaan C- reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat
menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang
keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,
seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X dilakukan
untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto
rongen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang
terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
I. PENATALAKSANAAN
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa
penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai
sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk
dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi
DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (surjana, 2009).
Terapi RA bertujuan untuk:
a. Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
b. Mempertahakan status fungsionalnya
c. Mengurangi inflamasi
d. Mengendalikan keterlibatan sistemik
e. Proteksi sendi dan struktur ekstra articular
f. Mengendalikan progresivitas penyakit
g. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
1. Penatalaksanaan Farmakologik
Artritis Reumatoid Dalam jurnal The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In
The Year 2000, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok,
yaitu (Symmons, 2006):
NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa
nyeri dan kekakuan sendi.
Second - line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan
Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD.
Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit dan
mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan
harus di monitor dengan hati-hati.
Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala
simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki
konsekuensi jangka panjang yang serius.
Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil
untuk pasien dengan penyakit sistemik.
Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin
inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam
terapi RA.
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi
komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan
suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta massase
untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan penyinaran
menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan
herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti, 2009).
Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan
kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan
terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila
destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti.
Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang kehidupan
sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010)
J. KOMPLIKASI
1. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya
prosesgranulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
2. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot.
3. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli. Tromboemboli adalah adanya
sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh adanya darah yang
membeku.
4. Terjadi splenomegali. Splenomegali merupakan pembesaran limfa,jika limfa
membesar kemampuannya untuk menyebabkan berkurangnya jumlah sel
darah putih dan trombosit dalam sirkulasi menangkap dan menyimpan sel-sel
darah akan meningkat.
5. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi
nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease
modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab
morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.
6. Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya
berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan
neuropati iskemik akibat vaskulitis.
simetris.
Saraf VIII : Tidak ditemukan tuli konduktif atau tuli persepsi.
Saraf IX dan X : Kemampuan menelan baik.
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
Saraf XII : Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
B4 (Bladder)
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan.
B5 (bowel)
Umumnya klien arthritis rheumatoid tidak mengalami gangguan eliminasi. Meskipun
demikian, perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses. Frekuensi
berkemih, kepekatan urin, warna, bau, dan jumlah urin juga harus dikaji. Gangguan
gastrointestinal yang sering adalah mual, nyeri lambung, yang menyebabkan klien
tidak nafsu makan, terutama klien yang menggunakan obat reumatik dan NSAID.
Peristaltic yang menurun menyebabkan klien jarang defekasi.
B6 (bone)
Look
Didapatkan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal), deformitas pada
daerah sendi kecil tangan, pergelangan kaki, dan sendi besar lutut, panggul, dan
pergelangan tangan. Adanya degenerasi serabut otot memungkinkan terjadinya
pengecilan, atrofi otot yang disebabkan oleh tidak digunkannya otot akibat
inflamasi sendi. Sering ditemukan nodul subkutan multiple.
Feel
Nyeri tekan pada sendi yang sakit.
Move
Ada gangguan mekanis dan fungsional pada sendi dengan manifestasi nyeri
apabila menggerakkan sendi yang sakit. Klien sering mengalami keluhan fisik
sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi
Pada tahap awal, foto rontgen tidak menunjukan kelainan yang mencolok. Pada tahap
lanjut, terlihat rarefaksi korteks sendi yang difus dan disertai trabekulasi tulang,
obliterasi ruang sendi yang member perubahan degenerative berupa densitas,
iregularitas permukaan sendi, serta spurring marginal. Selanjutnya bila terjadi
dekstruksi tulang rawan, akan terlihat penyempitan tulang sendi dengan erosi pada
beberapa tempat.
Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan peningkatan laju endap darah, anemia normositik hipokrom, reaksi
protein-C positif dan mukoprotein meningkat, faktor rheumatoid positif 80% 9uji
rose-waaler) dan faktor antinuclear positif 80%, tetapi kedua uji ini tidak spesifik.
3.1. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d nekrosis dan kerusakan pada tulang dan sendi; penyempitan sendi
2. Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi
3. Gangguan body image b.d perubahan bentuk tubuh pada tulang dan sendi
4. Defisit perawatan diri b.d terbatasnya gerakan sendi
5. Risiko injury b.d hilangnya kekuatan otot
3.2. Rencana Intervensi
3.3.1. Nyeri b.d nekrosis dan kerusakan pada tulang dan sendi; penyempitan sendi
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan: Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara
nekrosis dan kerusakan pada pain control, komprehensif termasuk lokasi,
tulang dan sendi; comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
penyempitan sendi Setelah dilakukan dan faktor presipitasi
DS: tindakan keperawatan Observasi reaksi nonverbal dari
- Laporan secara verbal selama 3 x 24 jam Pasien ketidaknyamanan
DO: tidak mengalami nyeri, Bantu pasien dan keluarga untuk
- Posisi untuk menahan dengan kriteria hasil: mencari dan menemukan dukungan
nyeri Mampu mengontrol Kontrol lingkungan yang dapat
- Tingkah laku berhati-hati nyeri (tahu penyebab mempengaruhi nyeri seperti suhu
- Gangguan tidur (mata nyeri, mampu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
sayu, tampak capek, sulit menggunakan tehnik Kurangi faktor presipitasi nyeri
atau gerakan kacau, nonfarmakologi untuk Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menyeringai) mengurangi nyeri, menentukan intervensi
- Terfokus pada diri sendiri mencari bantuan) Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
- Fokus menyempit Melaporkan bahwa napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
(penurunan persepsi nyeri berkurang dengan hangat/ dingin
waktu, kerusakan proses menggunakan Berikan analgetik untuk mengurangi
berpikir, penurunan manajemen nyeri nyeri: ...
interaksi dengan orang Mampu mengenali nyeri Tingkatkan istirahat
dan lingkungan) (skala, intensitas, Berikan informasi tentang nyeri seperti
- Tingkah laku distraksi, frekuensi dan tanda penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
contoh : jalan-jalan, nyeri) berkurang dan antisipasi
menemui orang lain Menyatakan rasa ketidaknyamanan dari prosedur
dan/atau aktivitas, nyaman setelah nyeri Monitor vital sign sebelum dan sesudah
aktivitas berulang-ulang) berkurang pemberian analgesik pertama kali
- Respon autonom (seperti Tanda vital dalam
diaphoresis, perubahan rentang normal
tekanan darah, perubahan Tidak mengalami
nafas, nadi dan dilatasi gangguan tidur
pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
3.3.3. Gangguan citra tubuh b.d perubahan bentuk tubuh pada tulang dan sendi