b. Penatalaksanaan
1) Pre operasi
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan
lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah
dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia
dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada
pagi hari berikutnya.
2) Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi endotrakeal.
Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan otot, transversal,
insisi kuadran kanan atas.
Teknik operasi
Duodenoduodenostomy
Dibuat lubang di sisi duodenum atas dan di bawah stenosis diikuti
dengan penjahitan dinding duodenum di lubang bersama untuk
membentuk bypass (sisi untuk memotong sisi).
Duodenojejunostomy
Gastrojejunostomy
Gastroduodenostomy
Dapat juga dilakukan dengan teknik duodenoplasty
3) Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum, pemberian
makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi parenteral via
central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif untuk menjaga
nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak cukup atau tidak
dapat ditoleransi oleh tubuh pasien.
c. Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah
terjadidehidrasi,terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah
pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum
(megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.
Penelitian Laura K et al (1998) yang dilakukan terhadap 92 neonatus dengan
atresia duodenal (Tipe I 64%, Tipe II 17%, Tipe III 18%) dengan melakukan
tindakan pembedahan duodenoduodenostomy (86%), duodenotomy with web
excision (7%) and duodenojejunostomy (5%), didapatkan komplikasi
postoperatif (postoperative complications), yaitu 4 neonatus (3%) dengan
obstruksi, gagal jantung kongestif (9%), ileus paralitik yang berkepanjangan
(4%), pneumonia (5%), infeksi luka superfisialis (3%). Komplikasi lanjut
termasuk perlekatan obtruksi usus (9%), dismotilitas duodenal lanjut yang
menghasilkan megaduodenum yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan
gastroesophageal refluks disease yang tidak respon dengan pengobatan dan
membutuhkan pembedahan antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat
obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang mematikan,
hasil-hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus yang
mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan menggeluarkan
materi tersebut ke dalam rongga peritoneum. Tetapi meskipun usus tidak
mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus yang permeabel tersebut dan
masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan
mengakibatkan syok septik.
BAB II
ANALISIS KASUS
Gejala klinik berupa muntah muncul setelah pemberian minum pada hari-
hari pertama kelahiran (pada pasien pada kasus ini keluhan mulai di usia 15 hari).
Isi yang dimuntahkan adalah makanan dan mnuman yang dikonsumsi.
Pada kasus ini, anak berumur 1 tahun 2 bulan masuk rumah sakit dengan
keluhan utama muntah, tidak menyemprot, sejak lahir dan beberapa saat setelah
diberi minum susu. Tidak ada demam, tidak ada kejang. BAK tidak ada kelainan,
BAK lunak. Riwayat mondok yang pertama pada usia 15 hari karena muntah,
kemudian 11 kali mondok dan dilakukan BNO dengan hasil distensi gaster et
causa stenosis pylorus diagnosis banding hipertrofi. Riwayat kehamilan dalam
batas normal. Diagnosis klinis dicurigai suatu stenosis duodenum diagnosis
banding stenosis pylorus. Lalu dilakukan pemeriksaan oesophagusgraphy (OMD).
Muntah yang terjadi pada stenosis duodenum dapat dengan bilus ataupun tidak.
Apabila isi muntah dengan bilus, kemungkinan defek terjadi setelah ampula
Vateri (paling sering terjadi), apabila tanpa bilus kemungkinan defek ada di
proksimal ampul Vateri.