Anda di halaman 1dari 8

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berdasarkan kurikulum 2006, pembelajaran matematika dilaksanakan untuk
membekali peserta didik berupa kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta membentuk kemandirian dan kemampuan bekerja sama.
Kemampuan tersebut diperlukan agar peserta didik dapat mengelola dan
memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya untuk bertahan hidup pada keadaan
yang dinamis, tidak pasti dan kompetitif. Oleh karena itu, fokus pembelajaran
matematika sekolah dari tingkat sekolah dasar maupun menengah adalah pendekatan
pemecahan masalah.
Namun, pembelajaran matematika di sekolah belum sepenuhnya
memberikan kontribusi kepada siswa untuk mengembangkan pemecahan masalah.
Proses pembelajaran matematika masih dipahami sebagai hasil aktivitas kognitif
saja. Menurut Lester (dalam Gartman dan Freiberg, 1993) pembelajaran matematika
jika hanya menggunakan analisis kognitif saja kurang memadai karena kurang
memperhatikan prosedur yang berkaitan dengan metakognitif. Itulah sebabnya, salah
satu kelebihan kurikulum 2013 yaitu memberikan tekanan pada prosedur
penyelesaian masalah dan kemampuan metakognitif.
Salah satu kompetensi inti kurikulum 2013 dalam pembelajaran matematika
yaitu siswa dapat memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena
dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
(Permendikbud, 2013:65).
Livingston (1997) menyatakan bahwa strategi kognitif digunakan untuk
membantu individu mencapai tujuan tertentu, sedangkan strategi metakognisi
digunakan untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan
commit
pembelajaran yang berlaku. Salah satuto definisi
user tentang metakognisi yang

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

berkembang dalam bidang psikologi kognitif yaitu definisi menurut Flavell.


Berdasarkan definisi Flavell, metakognisi sebagai kemampuan untuk memahami dan
memantau berpikir diri sendiri dan asumsi serta implikasi kegiatan seseorang (Lee
dan Baylor, 2006). Definisi lain yaitu menurut Brown (dalam Lee dan Baylor, 2006)
yang menyatakan bahwa metakognisi sebagai suatu kesadaran terhadap aktivitas
kognisi diri sendiri, metode yang digunakan untuk mengatur proses kognisi diri
sendiri dan suatu penguasaan terhadap bagaimana mengarahkan, merencanakan, dan
memantau aktivitas kognitif. Definisi metakognisi yang berbeda dikemukakan oleh
Taylor (dalam Pierce, 2003). Metakognisi merupakan suatu penilaian tentang apa
yang telah seseorang ketahui, bersamaan dengan suatu pengertian yang benar
terhadap tugas belajar dan pengetahuan serta keterampilan apa yang dibutuhkan,
dikombinasikan dengan kelincahan membuat perhitungan yang benar tentang
bagaimana menerapkan pengetahuan strategis seseorang pada situasi tertentu, dan
melakukannya secara efisien dan reliabel. Berdasarkan beberapa pengertian
metakognisi tersebut dapat disimpulkan bahwa metakognisi adalah kemampuan
untuk menyadari kognisinya sendiri dan mengatur sendiri proses kognisinya.
Seseorang dapat mengontrol pikirannya dengan merancang, memantau dan menilai
apa yang dipelajari apabila memiliki kesadaran.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metakognisi memiliki peranan
penting dalam pemecahan masalah. Hasil penelitian Chamot et al. (1992)
menunjukkan bahwa siswa yang mampu menyerap pelajaran matematika pada
tingkatan paling tinggi dan memperoleh informasi tentang latihan dalam strategi
metakognitif (yaitu perencanaan, pemantauan, dan evaluasi belajar sendiri) memiliki
kemampuan lebih baik dalam memecahkan masalah. Panaoura dan Philippou (2004)
menunjukkan suatu hasil penelitian bahwa siswa yang terampil dalam mengetahui
dan mengatur kognisinya (menilai metakognisinya) dan menyadari kemampuannya
menunjukkan kemampuan berpikir lebih strategis dalam memecahkan masalah
daripada mereka yang tidak menyadari cara kerja sistem kognisinya. Hal ini
menunjukkan bahwa antara metakognisi dan pemecahan masalah mempunyai
keterkaitan yang cukup kuat. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Lester
(dalam Gartman dan Freiberg, 1993) bahwa tujuan utama mengajarkan pemecahan
commit
masalah dalam matematika tidak hanya to melengkapi
untuk user siswa dengan sekumpulan
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

keterampilan atau proses, tetapi lebih kepada memungkinkan siswa berpikir tentang
apa yang dipikirkannya. Oleh karena itu, penulis memandang bahwa aktivitas
metakognisi siswa dalam memecahkan masalah perlu untuk dianalisis.
Masalah dalam penelitian ini adalah pemrograman linear (linear
programming). Program linear merupakan pencarian solusi optimal dari sebuah
masalah dengan cara membuat model matematika dari masalah tersebut dalam
bentuk pertidaksamaan linear (Husein Tampomas, 2007:83). Oleh karena itu, materi
program linear merupakan salah satu materi yang membutuhkan pemahaman
masalah yang baik untuk mencari penyelesaiannya.
Pemecahan masalah matematika khususnya tentang materi program linear
dapat diperoleh apabila siswa terbiasa melaksanakan pemecahan masalah
berdasarkan prosedur dan strategi yang tepat. Hasil penelitian Dwiani Listya Kartika
(2015) di SMA Negeri Banyumas menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan pada
proses metakognisi siswa dengan kemampuan akademik tinggi, sedang dan rendah
ketika menyelesaikan masalah program linear. Hal ini terjadi karena sebagian besar
siswa masih memandang pemecahan masalah program linear sebagai proses
menghitung tanpa menggunakan proses pemikiran yang logis. Kenyataan tersebut
juga dialami oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Surakarta. Berdasarkan wawancara
dengan guru kelas XI, guru tersebut menyatakan bahwa sebagian besar siswa masih
kesulitan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan soal program linear.
Sejalan dengan hal tersebut, penulis melakukan observasi pembelajaran
materi program linear yang dilakukan oleh salah satu guru di kelas XI SMA Negeri 8
Surakarta. Hasil observasi pembelajaran menunjukkan bahwa pada awal
pembelajaran guru membimbing siswa untuk mengingat kembali pengetahuan yang
telah dipelajari sebelumnya, kemudian menjelaskan materi dan memberikan soal
latihan. Beberapa siswa diminta untuk mengerjakan soal di papan tulis, sementara
guru berkeliling untuk memeriksa pekerjaan siswa. Setelah beberapa siswa selesai
menuliskan jawaban pemecahan masalah di papan tulis, guru membimbing siswa
untuk mengomentari jawaban tersebut. Guru menanyakan kepada semua siswa di
kelas tersebut tentang kebenaran jawaban yang tertulis di papan tulis dan apabila
jawaban salah, guru memberi kesempatan kepada siswa lain untuk menuliskan
commit
jawaban yang benar. Guru hanya to user
terpaku pada kebenaran jawaban, tanpa
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

menunjukkan langkah yang seharusnya dilakukan. Berdasarkan fakta tersebut,


tampak bahwa guru belum membimbing siswa untuk merefleksikan langkah yang
dilakukan. Selain itu, guru juga belum memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menentukan alternatif lain dari langkah pemecahan masalah. Hal tersebut
menunjukkan bahwa guru mengabaikan aktivitas metakognisi siswa dan belum
memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan metakognisinya. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi kemampuan metakognisi siswa
SMA Negeri 8 Surakarta dalam pemecahan masalah program linear.
Berdasarkan pendapat Santrock (2009:391), para remaja (usia SMP-
SMA/SMK) memiliki pemahaman strategi tingkat metakognitif yang baik yaitu
mengetahui strategi yang harus digunakan dalam mengerjakan tugas pembelajaran.
Salah satu karakteristik siswa yang perlu dikaji dan dipertimbangkan dalam
pembelajaran adalah gaya kognitif siswa karena proses pembelajaran tidak akan
mencapai hasil yang maksimal jika guru tidak memperhatikan gaya kognitif masing-
masing siswanya (Santrock, 2009:391).
Setiap siswa, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai gaya kognitif
yang berbeda. Banyak ahli yang telah mendefinisikan pengertian gaya kognitif,
misalnya Good (1990:610) menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara
seseorang memproses informasi dan merespon suatu masalah. Saracho (1997)
menyatakan bahwa gaya kognitif mengacu kepada kecenderungan karakteristik
konsistensi individu. Berdasarkan pengertian gaya kognitif ini terlihat bahwa antara
gaya kognitif dan pemecahan masalah memiliki keterkaitan. Oleh sebab itu,
pembelajaran pemecahan masalah perlu memperhatikan gaya kognitif siswa.
Kagan (dalam Liew-On dan Simons, 2015) mengemukakan bahwa anak
yang memiliki karakteristik cepat dalam menjawab masalah, tetapi tidak cermat
sehingga jawaban masalah cenderung salah, disebut anak yang bergaya kognitif
impulsif. Anak yang memiliki karakteristik lambat dalam menjawab masalah tetapi
cermat sehingga jawaban masalah cenderung benar, disebut anak yang bergaya
kognitif reflektif. Berdasarkan karakteristik gaya kognitif impulsif dan gaya kognitif
reflektif yang dikemukakan di atas terlihat bahwa gaya kognitif impulsif dan gaya
kognitif reflektif terkait dengan waktu pengerjaan dan keakuratan jawaban dalam
commitdibedakan
memecahkan masalah. Jika aspek waktu to user menjadi dua yaitu cepat dan
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

lambat, sedangkan aspek keakuratan jawaban dibedakan menjadi dua yaitu cermat
dan tidak cermat, maka siswa dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
kelompok siswa cepat dalam menjawab dan jawaban yang diberikan cermat/
benar, kelompok siswa yang menggunakan waktu cepat dalam menjawab namun
tidak cermat (impulsif), kelompok siswa yang menggunakan waktu lama
(lambat) dalam menjawab tetapi jawaban yang diberikan cermat (reflektif), dan
kelompok siswa yang menggunakan waktu lama dalam menjawab dan jawaban
yang diberikan tidak cermat (Rozencwajg dan Corroyer, 2005: 451). Proporsi
kelompok siswa reflektif dan impulsif 70% sedangkan kelompok siswa cepat dan
cermat serta siswa lambat dan tidak cermat 30% (Liew-On dan Simons, 2015:96).
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Warli (2010) yang menyatakan bahwa
proporsi kelompok siswa reflektif dan impulsif 73% dan kelompok yang lainnya
27%. Berdasarkan hasil tes gaya kognitif, proporsi kelompok siswa reflektif di kelas
XI MIA 4 juga mendekati 70%. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif sehingga penelitian difokuskan
pada siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif.
Hasil penelitian McKinney (1975) menjelaskan bahwa individu yang
impulsif atau reflektif mempengaruhi efisiensi dan perilaku strategi pemecahan
masalah anak-anak. Wardinah (2011) menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang
memiliki tipe gaya kognitif reflektif lebih baik daripada siswa yang memiliki gaya
kognitif impulsif. Siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif melakukan aktivitas
metakognisi secara lengkap, sedangkan siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif
belum memenuhi indikator pada beberapa aktivitas metakognisi (Yuly Dwi Lestari,
2012). Namun, pada penelitian tersebut belum dilakukan analisis aktivitas
metakognisi untuk setiap tahap pemecahan masalah. Hasil penelitian Muhammad
Sudia et al. (2014) yang menganalisis aktivitas metakognisi pada setiap langkah
pemecahan masalah Polya menyatakan bahwa beberapa aktivitas yang belum
lengkap yaitu pada tahap membuat rencana, melaksanakan rencana dan memeriksa
kembali hasil pemecahan masalah.
Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa gaya kognitif impulsif dan gaya
kognitif reflektif mempunyai kontribusi yang penting dalam pemecahan masalah.
commit
Oleh karena itu, siswa perlu mengetahui to user
jenis gaya kognitif yang dimilikinya untuk
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

membantu siswa agar lebih cermat dalam pemecahan masalah. Begitu juga dalam
memecahkan masalah program linear sangat dibutuhkan kecermatan dan ketelitian
yang tinggi dalam memilih konsep, prinsip dan cara yang tepat agar diperoleh solusi
yang tepat pula.
Selain itu, beberapa peneliti berpendapat bahwa faktor jenis kelamin
mempengaruhi pembelajaran matematika karena adanya perbedaan biologis dalam
otak anak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi. Menurut Eti
Nurhayati (2012:155), anak perempuan cenderung mempunyai kemampuan verbal
yang lebih baik, sedangkan anak laki-laki lebih unggul dalam bidang matematika
karena kemampuan-kemampuan spatial yang lebih baik. Perbedaan karakteristik
berpikir laki-laki dan perempuan seperti yang disampaikan Kartini Kartono (2006),
menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih rasional dalam menghadapi masalah
dibanding perempuan. Laki-laki pada umumnya mempunyai kemampuan berpikir
abstrak dan menyeluruh, sedangkan perempuan cenderung berpikir nyata dan praktis.
Hal ini sesuai dengan penelitian Zhu (2007) yang menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan kemampuan memecahkan masalah matematika antara siswa laki-laki dan
perempuan. Kamid (2013) menyatakan bahwa perbedaaan kemampuan siswa laki
laki terletak pada kemampuan memahami dan melaksanakan pemecahkan soal,
sedangkan menurut Muhammad Sudia (2014) terletak pada tahap pemeriksaan
kembali hasil pemecahan masalah. Perbedaan cara berpikir tersebut tentu akan
mempengaruhi penggunaan kognisi atau metakognisi yang dimiliki untuk
memecahkan masalah. Hal ini terjadi karena aktivitas metakognisi siswa perempuan
dalam menyelesaikan masalah cenderung lebih lengkap daripada siswa laki-laki
(Retnosari, 2015).
Berdasarkan uraian yang sudah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa
kemampuan metakognisi sangat penting untuk dimiliki oleh semua siswa. Pendidik
dalam hal ini harus mendorong siswa untuk memiliki kemampuan tersebut dan
mendorong siswa untuk memahami proses metakognisi dalam pemecahan masalah.
Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana aktivitas metakognisi siswa dalam
pemecahan masalah program linear jika ditinjau dari gaya kognitif.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan yang
akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana aktivitas metakognisi siswa laki-laki kelas XI MIA 4 SMA Negeri 8
Surakarta yang bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah program
linear?
2. Bagaimana aktivitas metakognisi siswa perempuan kelas XI MIA 4 SMA
Negeri 8 Surakarta yang bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah
program linear?
3. Bagaimana aktivitas metakognisi siswa laki-laki kelas XI MIA 4 SMA Negeri 8
Surakarta yang bergaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah program
linear?
4. Bagaimana aktivitas metakognisi siswa perempuan kelas XI MIA 4 SMA
Negeri 8 Surakarta yang bergaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah
program linear?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. untuk mendeskripsikan aktivitas metakognisi siswa laki-laki kelas XI SMA
Negeri 8 Surakarta yang bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah
program linear,
2. untuk mendeskripsikan aktivitas metakognisi siswa perempuan kelas XI SMA
Negeri 8 Surakarta yang bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah
program linear,
3. untuk mendeskripsikan aktivitas metakognisi siswa laki-laki kelas XI SMA
Negeri 8 Surakarta yang bergaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah
program linear,
4. untuk mendeskripsikan aktivitas metakognisi siswa perempuan kelas XI SMA
Negeri 8 Surakarta yang bergaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah
program linear.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu:
1. sebagai informasi bagi siswa mengenai pengetahuan metakognisi dan jenis
gaya kognitif yang dimiliki sehingga dapat memotivasi untuk lebih mengenal
dirinya sendiri dan lebih dapat mengoptimalkan kemampuannya,
2. sebagai bahan pertimbangan bagi guru untuk memasukkan aspek metakognisi
siswa dalam menyusun strategi pembelajarannya,
3. untuk menambah wawasan pembaca mengenai metakognisi dan gaya kognitif.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai