Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan demam. Selain itu dari anamnesis didapatkan
riwayat batuk berlendir kurang lebih 1 bulan, sering demam, menggigil dan berkeringat malam
hari, nafsu makan juga menurun disertai dengan penurunan berat badan. Berdasarkan dari
keluhan pasien, gejala-gejala yang ada merupakan gejala pada infeksi TB paru sehingga dapat
didiagnosis pasien ini mengalami infeksi TB paru.

Gejala lain yang ada demam. Menurut teori Demam merupakan salah satu tanda
inflamasi. Demam pada penyakit tuberculosis biasanya hilang timbul. Mekanisme demam sendiri
yaitu mikroorganisme yang masuk ke dalam jaringan atau darah akan difagositosis oleh leukosit
darah, makrofag, dan sel mast. Setelah memfagositosis, sel ini akan mengeluarkan IL-1 ke dalam
cairan tubuh disebut sebagai pirogen endogen. IL-1 menginduksi pembentukan prostaglandin
akan menstimulus hipotalamus sebagai pusat termoregulator untuk meningkatkan temperatur
tubuh dan terjadi demam atau panas. Sedangkan menggigil didapatkan terjadi saat suhu tubuh
dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapa
terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat.

Pasien juga mengalami keringat pada malam hari, berdasarkan teori Keringat malam ini
kemungkinan disebabkan oleh karena kuman yang menginfeksi penderita, misalnya kuman
Mycobacterium Tuberculosis, mengadakan metabolisme seperti pembelahan didalam tubuh
penderita sehingga terjadilah manifestasi keringat.

Nafsu makan menurun adanya gangguan pada reflex vagal yang menyebabkan
peningkatan hormone leptin sehingga pasien merasa selalu kenyang. Penurunan berat badan
disebabkan oleh peningkatan metabolisme pada infeksi TB, sehingga terjadi pemecahan pada
cadangan makanan yang ada pada tubuh dikarenakan kebutuhan sel yang meningkat dan nutrisi
yang kurang dari tubuh sehingga didiagnosis malnutrisi untuk itu diperlukan pemeriksaan
laboratorium Albumin untuk menunjang diagnosis pada pasien ini.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien pasien juga didiagnosis Pneumonia
karena memiliki gejala yang serupa dengan TBC. Berdasarkan teori yang ada TBC memang juga
merupakan pneumonia karena pada TBC juga terjadi peradangan paru. Namun dalam prakteknya
sehari-hari, diagnosis TBC paru dibedakan dengan pneumonia walau keduanya sama sama dapat
ditandai dengan gejala batuk berdahak, demam dan sesak nafas. Pada umumnya gejala yang
tampak pada pneumonia lebih cepat dan singkat yaitu kurang dari dua minggu. Sedangkan pada
TBC gejalanya lebih dari tiga minggu. Selain itu pada TBC dapat terjadi keringat malam,
penurunan berat badan, dan anemia. Oleh karena itu, memang pengobatanya berbeda jenis dan
lamanya. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri dapat diobati dengan antibiotik, sedangkan
pneumonia yang disebabkan oleh virus biasanya hanya disarankan untuk beristirahat, makan
yang cukup dan banyak minum vitamin.

Evaluasi klinis yang perlu dilakukan meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan
fisik. Evaluasi bakteriologis sputum (BTA) bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak. Pemeriksaan BTA ini dilakukan pada 3 waktu yaitu, padai akhir bulan ke tiga, pada satu
bulan sebelum pengobatan berakhir dan pada akhir pengobatan. Jika pada akhir bulan kedua fase
intensif belum ada konversi dahak, maka diberikan fase sisipan selama 1 bulan pemberian
RHZE.
Evaluasi efek samping obat juga penting dilakukan selama pasien menjalani pengobatan.
Hal ini disebabkan obat-obat yang termasuk dalam OAT memiliki banyak efek samping. Apabila
memungkinkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati , fungsi ginjal dan darah lengkap sejak awal
pengobatan agar dapat digunakan sebagai data dasar untuk melihat penyakit penyerta dan efek
samping pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Bila efek samping ringan dan dapat
diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. Efek samping ringan
yang sering dikeluhkan adalah rasa terbakar dan nyeri otot pada pemakaian isoniazid, yang
dapat dikurangi dengan pemberian vitamin B kompleks, sindrom flu, sindrom pada abdomen,
serta sindrom pada kulit akibat pemakaian rifampisin, serta nyeri sendi pada pemberian
pirazinamid, . Efek samping berat yang sering terjadi adalah penurunan fungsi hati diakibatkan
pirazinamid atau isonoazid dan penurunan visus diakibatkan etambutol. Pasien juga harus
diberitahukan bahwa rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan pada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu
khawatir. Pemberian antibiotik ceftrianxone (chepalosporin golongan ketiga) dimaksudkan
sebagai antibiotik spektrum luas untuk mengatasi infeksi sekunder yang terjadi pada pasien,
pemberian ini juga didasari adanya infeksi pneumonia yang mendapat perawatan di rumah sakit.
Pemberian ceftriaxone juga dianjurkan melihat etiologi terbanyak penyebab dari pneumonia,
khususnya pneumonia komunitas yaitu H. influenza dan S. pneumonia.
Pengobatan simptomatis dapat diberikan untuk mengatasi gejala ringan yang muncul.
Evaluasi yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum/ tidaknya
obat tersebut. Ketidakteraturan dalam pengobatan akan menyebabkan timbulnya resistensi.
Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan obat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkunganya
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat
(PMO). Syarat-syarat PMO antara lain :
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,
Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK,
atau tokoh masyarakat lainnya.
PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa
tugas penting yaitu:
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan (6
bulan)
b. Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat nasehat
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan
ataupun bila terdapat indikasi lain
d. Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB dan
mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB agar
melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
a. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
b. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan
ke pelayanan kesehatan.

Selain itu, perlu diperhatikan pula kemungkinan penularan bakteri tuberkulosis ini.
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya, kemungkinan penularan pada keluarga pasien sangat
besar sehingga perlu dilakukan skrining TB paru terhadap mereka.
TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan brittle
diabetes. Di Negara-negara Barat insiden TB sudah menurun walaupun insidensinya masih tinggi
pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS. Didaerah dimana TB masih endemik
maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis
dibanding DM saja. Hal ini disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien
DM, reaktifasi fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur
sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda tanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga
tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada keadaan hiperglikemia
pemberian obat kemoterapi tidak efektif.
Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan
terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang
meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan selain
untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal.

Anda mungkin juga menyukai