Anda di halaman 1dari 7

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KUNJUNGAN RUMAH PUS TIDAK BER KB

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin berkembang, pertumbuhan penduduk


yang sangat padat pun menjadi pemicunya. Pertumbuhan penduduk dan tingkat
kelahiran bayi yang sangat besar mengakibatkan kedapatan penduduk yang dapat
menimbulkan banyak dampak negatif. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah
mengadakan salah satu program, yaitu Keluarga Berencana (KB). Program ini diadakan
pemerintah untuk membatasi angka kelahiran. Kebanyakan dari masyarakat belum
mengetahui pentingnya program KB. Mereka menganggap bahwa anak adalah sumber
rezeki, sehingga bagi mereka banyak anak maka akan banyak rezeki pula. Tapi, pada
akhir-akhir ini masyarakat sudah mulai mengenal program tersebut. Hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya.

1.2 Rumusan Masalah


Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat. Sekarang ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang
mempunyai kepadatan penduduk yang terbesar. Bagaimana cara pemerintah untuk
mengurangi kepadatan penduduk tersebut? siapa yang harus bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat yang belum tepenuhi tersebut ? apakah program Keluarga
Berencana (KB) mampu untuk mengatasi masalah itu ?tapi bagaimana dengan aspek
budaya yang masih sangat kental dalam masyarakat yang mungkin saja mempengaruhi
program KB dalam masyarakat?
Masalah-masalah tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini. Seiring dengan
program yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut, tidak sedikit faktor-faktor yang
mempengaruhi program tersebut, mulai dari faktor sosial maupun faktor budaya ? apa
saja faktor-faktor tersebut.

1.3 Tujuan
Makalah ini disusun untuk : Menyelesaikan salah satu tugas agar kita
mengetahui aspek budaya yang berpengaruh terhadap program kb.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Keluarga Berencana
Gerakan Keluarga Berencana yang kita kenal sekarang ini bermula dari kepeloporan
beberapa orang tokoh, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada awal abad ke 19, di
Inggris, upaya keluarga berencana mula mula timbul atas prakarsa sekelompok orang
yang menaruh perhatian pada masalah kesehatan ibu. Maria Stopes (1880-1950)
menganjurkan pengaturan kehamilan di kalangan kaum buruh di Inggris. Di Amerika
Serikat dikenal Margareth Sanger (1883-1966) yang dengan program birth controlnya
merupakan pelopor Keluarga Berencana Modern. Pada 1917 didirikan National Birth
Control League dan pada Nopember 1921 diadakan American National Birth Control
Conference yang pertama. Salah satu hasil konferensi tersebut adalah pendirian
American Birth Control League dengan Margareth Sanger sebagai ketuanya. Pada 1925
ia mengorganisasi Konferensi Internasional di New York yang menghasilkan
pembentukan International Federation of Birth Control League. Selanjutnya pada 1927
Margareth Sanger menyelenggarakan World Population Conference di Jenewa yang
melahirkan International Women for Scientific Study on Population dan International
Medical Group for the Investigation of Contraception. Pada 1948 Margareth Sanger ikut
mempelopori pembentukan International Committee on Planned Paranthood yang dalam
konferensinya di New Delhi pada 1952 meresmikan berdirinya International Planned
Parenthood Federation (IPPF). Federasi ini memilih Margareth Sanger dan Rama Ran
dari India sebagai pimpinannya. Sejak saat itu berdirilah perkumpulan perkumpulan
Keluarga Berencana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang mendirikan
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).

2.2 Perkembangan Program KB di Indonesia


Program KB mengalami perkembangan pesat, baik ditinjau dari sudut tujuan, ruang
lingkup geografis, pendekatan, cara operasional, dan dampaknya terhadap pencegahan
kelahiran.
Pada zaman PKBI tahun 1950an dan 1960an, tujuan KB yang utama adalah
menjarangkan kelahiran. Upaya ini dikaitkan dengan kesehatan dan kesejahteraan ibu
dan anak. Juga diusahakan agar pasangan suami istri yang mandul mendapatkan
keturunan yang diinginkan. Masalah pembatasan kelahiran dan pemecahan masalah
kependuduka tidak pernah disinggung.
Jumlah anak yang dianggap ideal disinggung oleh LKBN melalui logo KB dimana
dicantumkan 4 anak, 2 laki laki dan 2 perempuan. Pada masa ini banyak dibahas
hubungan antara agama dengan KB. Pesannya adalah, bahwa semua agama di Indonesia
dapat menerima upaya KB. Di dalam PELITA 1 (1969/70-1973/74) KB disatukan
dengan kesehatan. Target demografis juga cukup sederhana, yaitu mencapai jumlah
akseptor sebanyak 3 juta dalam 5 tahun. Diharapkan tercegah 600.000 700.000
kelahiran. Program ini dikhususkan untuk Pulau Jawa dan Bali yang padat penduduknya.
Dengan berdirinya BKKBN pada 1970 berarti badan itulah yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan KB sejak Pelita I. Pada Pelita II program KB sedah berdiri sendiri. Malah
pada Pelita III dan IV jangkauan dan kaitannya sedah lebih luas lagi sehingga program
tersebut di dalam buku Repelita berada di bawah judul Kependudukan dan Keluarga
Berencana.
Keberhasilan program KB pada Pelita I mendorong pemerintah untuk meluaskan
program ke 10 propinsi lainnya di luar Jawa dan Bali pada Pelita II, yang dikenal sebagai
Luar Jawa Bali I. Pada Pelita III program diperluas ke seluruh Indonesia. Kelompok
propinsi terakhir ini dinamakan Luar Jawa Bali II. Kalau pada mulanya BKKBN
mencanangkan cukup tiga anak atau Pancawarga, maka kemudian digunakan cukup dua
anak atau Caturwarga. Sejak Pelita III dampak demografis dari program KB sangat
diperhatikan. Target penurunan tingkat kelahiran kasar sebanyak 50%, yakni dari 44
pada 1971 menjadi 22 pada 2000, dipercepat 10 tahun menjadi 1990. Dalam rangka
intensifikasi program BKKBN menciptakan strategi dinamakan Panca Karya. Sejak
Pelita V program KB nasional berubah menjadi gerakan KB Nasional. Gerakan KB
Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS
dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Tujuan Gerakan KB
Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi
terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan
penduduk Indonesia.

2.3 Faktor- Sosial Budaya Kependudukan


1. PengertianPenduduk
Penduduk suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
- Orang yang tinggal di daerah tersebut
- Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut.
Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan
bukti warganegara , tetapi memilih tinggal di daerah lain. Dalam sosiologi , penduduk
adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.
Demografi adalah ilmu yang mempelajari kependudukan. Berbagai aspek perilaku
menusia dipelajari dalam sosiologi , ekonomi , dan geografi . Demografi banyak
digunakan dalam pemasaran , yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonomi,
seperti pengecer hingga pelanggan potensial Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas area
dimana mereka tinggal. Beberapa pengamat masyarakat percaya bahwa konsep
kapasitas muat juga berlaku pada penduduk bumi, yakni bahwa penduduk yang tak
terkontrol dapat menyebabkan katastrofi Malthus . Beberapa menyangkal pendapat
ini. Negara-negara kecil biasanya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, di
antaranya: Monako , Singapura , Vatikan , dan Malta . Di antara negara besar yang
memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah Jepang dan Bangladesh .
Piramida penduduk
Distribusi usia dan jenis kelamin penduduk dalam negara atau wilayah tertentu dapat
digambarkan dengan suatu piramida penduduk. Grafik ini berbentuk segitiga, dimana
jumlah penduduk pada Sistem koordinat kartesius, sedang kelompok usia (cohort)
pada Sistem koordinat kartesius. Penduduk lak-laki ditunjukkan pada bagian kiri
sumbu vertikal, sedang penduduk perempuan di bagian kanan. Piramida penduduk
menggambarkan perkembangan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Negara atau
daerah dengan angka kematian bayi yang rendah dan memiliki usia harapan hidup
tinggi, bentuk piramida penduduknya hampir menyerupai kotak, karena mayoritas
penduduknya hidup hingga usia tua. Sebaliknya yang memiliki angka kematian bayi
tinggi dan usia harapan hidup rendah, piramida penduduknya berbentuk menyerupai
genta (lebar di tengah), yang menggambarkan tingginya angka kematian bayi dan
tingginya resiko kematian. Pengendalian jumlah penduduk
Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk,
umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Dokumen dari Yunani Kuno telah
membuktikan adanya upaya pengendalian jumlah penduduk sejak jaman dahulu kala.
Salah satu contoh pengendalian penduduk yang dipaksakan terjadi di Republik Rakyat
Tiongkok yang terkenal dengan kebijakannya 'satu anak cukup'; kebijakan ini diduga
banyak menyebabkan terjadinya aksi pembunuhan bayi, pengguguran kandungan
yang dipaksakan, serta sterilisasi wajib. Indonesia juga menerapkan pengendalian
penduduk, yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), meski program
ini cenderung bersifat persuasif ketimbang dipaksakan. Program ini dinilai berhasil
menekan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia.
Buku berjudul The Population Bomb (Ledakan Penduduk) pada tahun 1968 oleh Paul
R. Ehrlich meramalkan adanya bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya
penduduk dan ledakan penduduk. Karya tersebut menggunakan argumen yang sama
seperti yang dikemukakan Thomas Malthus dalam An Essay on the Principle of
Population (1798), bahwa laju pertumbuhan penduduk mengikuti pertumbuhan
eksponensial dan akan melampaui suplai makanan yang akan mengakibatkan
kelaparan .

2. Masalah Sosial Budaya Kependudukan


Permasalahan pembangunan kependudukan yang perlu mendapat perhatian adalah
jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang masih relatif tinggi
dan persebarannya yang tidak merata, dan kualitasnya masih relatif rendah. Dewasa
ini kualitas penduduk Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara Asia
Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan Human Development
Report 2001, Indonesia menempati urutan ke 102, sedangkan Malaysia dan Thailand
masing-masing menempati urutan ke 56 dan ke 66. Kualitas penduduk tersebut juga
tergambar dari angka harapan hidup waktu melahirkan (AHH) penduduk Indonesia
yang relatif rendah yaitu 65,5 tahun (Inkesra, 1999), sedangkan Malaysia dan
Thailand tercatat masing-masing 72,0 tahun dan 68,8 tahun. Rendahnya angka
harapan hidup tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya angka kematian bayi
dan angka kematian ibu melahirkan.
Dalam dimensi kuantitas, jumlah penduduk Indonesia relatif telah dapat dikendalikan
pertumbuhannya menjadi 1,35 persen per tahun pada periode 1990-2000 sehingga
jumlah penduduk pada Sensus 2000 diperkirakan mencapai 203,4 juta orang, terdiri
dari 101,8 juta perempuan dan 101,6 juta laki-laki. Namun demikian, mengingat
jumlah penduduk Indonesia saat ini masih besar secara absolut, maka pertambahan
jumlah penduduk setiap tahunnya juga masih besar. Salah satu penyebab masih cukup
tingginya laju pertumbuhan penduduk adalah masih relatif tingginya angka kelahiran
total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 2,5
per perempuan, dan cukup bervariasi baik antardaerah maupun antarpropinsi.

2.4 Pemberdayaan Keluarga dan Keluarga Berencana


Permasalahan lain dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga
terutama yang tergolong Pra-Keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS I),
belum berdaya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan
kesehatan termasuk keluarga berencana (KB). Pada tahun 2000, jumlah keluarga Pra-
KS dan KS I, yaitu keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya masih
sekitar 24,6 juta keluarga. Sementara itu, aspek kesehatan reproduksi remaja yang
merupakan salah satu tiang dalam pewujudan keluarga kecil yang berkualitas juga
masih tertinggal. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997
menunjukkan meskipun median usia kawin pertama secara nasional adalah 18,6
tahun, median usia kawin pertama di perdesaan masih relatif muda yaitu 17,9 tahun.
Sebagian masyarakat dan keluarga termasuk orang tua dan remaja sendiri juga belum
sepenuhnya mempersiapkan anggota keluarga yang berusia remaja dalam kehidupan
berkeluarga dan perilaku reproduksi yang bertanggung jawab. Banyak remaja yang
masih kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang
masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan
kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyak remaja yang berperilaku menyimpang
tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi mereka. Selain itu, pusat
atau lembaga advokasi dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja
juga masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan
kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya
berhasil. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi merupakan salah satu beban dalam
pembangunan sosial dan budaya. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi ini
mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan jumlah anggota
keluarga yang relatif besar. Tingginya angka kelahiran dewasa ini berkaitan dengan
penyelenggaraan program Keluarga Berencana (KB) yang belum sepenuhnya
berkualitas dalam memenuhi hak-hak dan kesehatan reproduksi masyarakat.
Pendekatan program KB yang telah diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan
kesehatan reproduksi, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB
yang mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor. Pendekatan target
akseptor mengakibatkan proses dan kualitas penyampaian komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE), serta pelayanan KB lebih ditujukan untuk mencapai target akseptor KB
melebihi perhatian terhadap kecocokan cara KB dan kepuasan akseptor KB. Kualitas
program KB yang belum sepenuhnya memuaskan klien mengakibatkan pemenuhan
hak-hak dan kesehatan reproduksi termasuk KB yang merupakan dasar terwujudnya
keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera belum dapat dirasakan oleh sebagian
masyarakat dan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh data SDKI 1997 yang
menunjukkan bahwa baru 57,4 persen pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber-KB
dapat terpenuhi permintaannya, dan sekitar 9,21 persen PUS yang sebenarnya tidak
ingin anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need).
Permasalahan lainnya dalam program KB adalah partisipasi laki-laki dalam ber-KB
yang masih sangat rendah yaitu sekitar 3 persen (SDKI 1997). Hal ini selain
dikarenakan keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi laki-laki, antara lain juga
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan laki-laki di bidang hak-hak dan kesehatan
reproduksi.
Kelembagaan dan jaringan pelayanan KB juga belum sepenuhnya berkualitas dan
mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan sumber daya program KB. Peran masyarakat dan pihak di
luar Pemerintah juga masih sangat terbatas, walaupun tokoh agama, organisasi profesi
dan Lembaga Swadaya dan Organisasi Masyarakat (LSOM) terbukti sangat
mempengaruhi keberhasilan program KB di beberapa daerah. Pada tahun 1998/99
jumlah lembaga pelayanan KB non-pemerintah masih relatif rendah yaitu berkisar
44.550 yang melayani sekitar 65 persen PUS peserta KB Aktif. Sementara itu,
kemitraan pemerintah dengan masyarakat terutama PUS dan sektor di luar pemerintah
dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dapat
diwujudkan.

2.5 Penerapan Program Keluarga Berencana


Keluarga yang sehat sejahtera dan berkualitas akan terwujud jika angka kelahiran
dapat diatur melalui program KB. Banyak yang diharapkan dari adanya gerakan ini,
tetapi tampaknya banyak pula kendala yang dihadapi oleh para pelaksana di lapangan.
Salah satu kendala itu muncul dari lembaga di daerah yang mengurus soal KB ini di
lebur entah ke unit-unit lain yang mengakibatkan program kegiatannya pun menjadi
tidak jelas. Belum lagi soal dana.
Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah dalam menumbuhkan kembali kesadaran
masyarakat untuk ber-KB. Sejalan denga era otonomi, hubungan pemerintah pusat
dan daerah terjalin berdasarkan prinsip desentralisasi termasuk mekanisme pelayanan
program KB di lapangan. Tetapi, konsekuensinya adalah adanya perubahan kebijakan
dan sistem manajemen sesuai kenyataan di lapangan.
Salah satu dampaknya, adalah menurunnya kemampuan daerah menyelenggarakan
pelayanan KB secara langsung. Tetapi yang pasti, katanya, lembaga pemerintah yang
mengelola KB di daerah perlu didukung dengan kebijakan yang terintegrasi. dengan
mendayagunakan sumber daya manusia yang ada di daerah setempat.
Karena itu, tidak salah bila memang kemudian BKKBN menggandeng PKK yang
selama ini pun dikenal sebagai ujung tombak bagi pelaksanaan peningkatan
kesejahteraan keluarga. Bahkan selama ini pun PKK juga dikenal sebagai gerakan
yang mempunyai tugas utama adalah berupaya memberdayaan kesejahteraan keluarga
di semua aspek kehidupan, seperti di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan
hidup.
Langkah yang diinginkan sebenarnya bukan sekadar mensejahterakan keluarga, tetapi
justru juga ingin membuat manusia-manusia di dalam keluarga itu menjadi lebih
berkualitas. "Jadikanlah keluarga kita berkualitas," tegasnya.
Pembinaan keluarga berkualitas harus dimulai sejak dini, sejak anak di dalam
kandungan. Berilah anak-anak itu makanan bergizi, jangan sampai mereka terlantas.
"Berilah makanan yang bergizi bagi pertumbuhan otak anak-anak.
Yang menjadi salah satu fungsi utama BKKBN adalah mengupayakan pelayanan di
bidang kesehatan kepada masyarakat terutama dalam memperkecil petumbuhan
penduduk dan keluarga sehat. Untuk menjalankan misi yang diemban BKKBN itu,
maka keikutsertaan PKK mempunyai peran penting. Sebab PKK sudah lama eksis di
seluruh aspek kehidupan bahkan di tingkat pemerintahan sudah berada dari tingkat
pusat sampai ke desa-desa.
Dalam kondisi seperti ini diharapkan PKK menjadi jembatan kepentingan pemerintah
dan masyarakat dengan tujuan akhir meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Karena itu, implementasi menciptakan keluarga sehat dan mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk dalam membina generasi dan keluarga yang berkualitas di
masa depan dibebankan kepada PKK. Untuk itu, PKK di semua tingkatan dapat
memberikan peran aktif yang tidak terbatas hanya dalam pelaksanaan Harganas, tetapi
harus dilakukan secara rutin dan terus-menerus.
Sampai kini belum ada rencana untuk menambah jumlah target akseptor itu, yang
pasti para peserta yang sudah ada akan tetap dipelihara sambil mencari peserta
baru Langkah dilakukan ini dirasakan cukup kondusif, dalam menyadarkan keluarga
tentang pentingnya KB. Kebijakan Departemen Dalam Negeri seperti tertuang dalam
Permendagri No 44 tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Dalam Negeri
tahun 2005-2009, diarahkan kepada upaya memperkuat dasar sistem politik dan
pemerintahan khususnya di daerah, menjaga dan memperkokoh NKRI dan
meningkatkan kapasitas pembangunan daerah dan pemberdataan masyarakat.
Untuk itu, fokus dalam pemberdayaan masyarakat memerlukan perhatian dalam
pembinaan sampai ke tingkat daerah dengan aspek utama pada pemberdayaan
masyarakat di bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan lingkungan. Peringatan
Harganas yang jatuh setiap tanggal 29 Juni, pada dasarnya sebagai bukti nyata untuk
lebih meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga dalam seluruh aspek
kehidupan.
Pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan unit
sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan keluarga tentu
saja harus menyentuh setiap individu dalam keluarga itu. Artinya, semua lembaga,
individu, baik pemerintah maupun swasta berkewajiban mengemban tanggungjawab
untuk memberdayakan keluarga.
Sedangkan menurut Dirjen PMD, pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya
pemberdataan masyarakat, antara lain melalui program PNPM sebagai upaya
pengentasan kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan, termasuk perilaku hidup
bersih dan sehat, pengaturan kelahiran melalui program KB, pemenuhan hak-hak
dasar bagi anak. Upaya tesebut diharapkan dapat memberdayakan masyarakat
Indonesia baik kedudukan di dalam kelompok maupun keluarga sebagai pribadi.
Program ini, selain merangsang tumbuh semakin erat PKK dan KB, maka akan
mendorong juga semakin hidup Posyandu.

2.6 Aspek Sosial Dalam Pemasyarakatan Program KB


1. Program KB Sebagai Inovasi SosiaL
Pemasyarakatan ide keluarga berencana adalah suatu proses.Karena pada
dasarnya,Program KB adalah suatu benda inovasi sosial dalam bidang
kependudukan.Sebelum melakukan usaha-usaha pemasyarakatan program KB,perlu
dipahami beberapa nilai lama dalam bidang kependudukan khususnya masyarakat
yang tinggal dipedesaan.
Nilai-nilai lama tersebut antara lain, adanya anggapan bahwa anak adalah jaminan
hari tua Khususnya dalam masyarakat agraris,anak tidak hanya sebagai penurus
keturunan. Bagi masyarakat desa dan sebagian besar masyarakat kota pembicaraan
terbuka mangenai seksualitas adalah sesuatu yang tabu. Kedudukan anak laki-laki
sebagai faktor penerus keturunan masih amat dominan. Adanya pola pikir masyarakat
yang kurang sehat tentang makna keturunan.
2. Bentuk-Bentuk Komunikasi KB
Dengan memahami program KB sebagai salah satu bentuk inovasi sosial, maka dapat
dimengerti bahwa sebenarnya salah satu kunci keberhasilan para petugas KB adalah
penguasaan terhadap komunikasi sosial.
Komunikasi sosial adalah komunikasi yang terjadi antara individu-individu dalam
masyarakat,antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan
kelompok.
Suatu proses komunikasi yang efektif,di butuhkan 5 komponen pokok antara lain:

Komponen komunikator
Komponen pesan
Komponen media
Komponen komunikan
Komponen effek
Komunikasi personal yang dapat menolong para Bidan dalam usahanya
mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti program KB, yaitu:

-Kunjungan rumah para Bidan


-Melibatkan para tokoh masyarakat
-Melibatkan dukun kampung
-Melibatkan akseptor KB

2.7 Aspek Penilaian Etika Moral Dalam Pelaksanaan KB


Dalam praktek secara operasional di lapangan,tidak jarang bahwa para Bidan di
hadapkan dengan masalah yang menyangkut KB,yang harus diputuskan atas dasar
pertimbangan etika dan moral.
Dari sekian pendapat yang di ajukan oleh pasien,dapat diambil beberapa kesimpulan
yang amat berharga bagi para tenaga Bidan yang menangani masalah KB.
Bidan perlu menghormati hati nurani suami istri
Bidan perlu semakin memanusiakan diri sendiri
Bidan harus setia pada suara hatinya sendiri
Bidan berpegang pada tujuan KB yang baik ]
Bidan berpedoman pada perbuatan lahirlah KB yang baik

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Permasalahan dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga terutama
yang tergolong Pra-Keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan SejahteraI (KS I), belum berdaya dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan kesehatan termasuk keluarga
berencana (KB). Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk,
umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Indonesia menerapkan program
pengendalian penduduk, yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), meski
program ini cenderung bersifat persuasif ketimbang dipaksakan. Program ini dinilai berhasil
menekan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia.

B. Saran
Demikian makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas sosiologi tentang Aspek
Sosial Budaya yang Berpengaruh Terhadap Program KB. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penyusun sendiri dan masyarakat pada umumnya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai
banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi
memperbaiki makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai