Anda di halaman 1dari 8

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien yang atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari
seluruh etnis dan usia. Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rhinitis alergi.
Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan,
sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80%
kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40%
dan menurun sejalan dengan usia. Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung
prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).

Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan
sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4
(LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel
goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea.
Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang
ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper
responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambar 3: Patogenesis Rinitis Alergi

Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet
dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler dan penebalan
membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung.

Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan,
dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus
menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen
ingestan.

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar ingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau
palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan
gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga
bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.

2.6. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini merupakan
gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilkepaskannya histamin. Gejala
lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya
gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau
sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk
mengaitkan awitan gejala.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi.
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut allergig salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).

c. Pemeriksaan Penunjang
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.

Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET dilakukan untuk
allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya.

Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test).

Diagnosis Banding
Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah:
1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis infeksi

Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab dan
eliminasi.
b. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat
menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif1
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

d. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.

e. Edukasi Pasien
Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang merupakan
allergen.

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung.
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal
4. Gangguan fungsi tuba eustachius

Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat
memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin
kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi
bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka
panjang.
Sumber referensi : jurnal program pendidikan profesi dokter

departemen ilmu kesehatan tht-kl fakultas kedokteran universitas sumatera utara rsu pirngadi medan
2011

Anda mungkin juga menyukai