PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) adalah suatu terapi berupa aliran listrik
ringan yang dialirkan ke dalam otak untuk menghasilkan suatu serangan yang
serupa dengan serangan epilepsi. Terapi ini kemudian dikenal juga dengan istilah
terapi electroshock. ECT ini amat populer pada tahun 1940 sampai 1960-an,
sebelum obat-obatan anti psikosis dan anti depresi ditemukan. Pada saat ini ECT
hanya digunakan pada penderita depresi berat, jika penderita tidak dapat diobati
dengan terapi obat dan ini adalah terapi yang aman dan efektif.
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.
Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan
dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini
menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan
anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak
merasa nyeri.5
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan,
sebab pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika
serikat. Selama tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik
meluas.
(1) Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal yang
dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang kidal
temporal kanan dan verteks.
(2) Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai
pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal. Aliran
arus dibuat searah yang sinusoidal.
4
dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek
samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama
efektif dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut
listrik yang searah berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang
unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang
memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak
pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang
maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada
tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan
menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat
otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT
tersebut. Kemudian diperkenalkan suxamethonium (succinylcholine) zat yang
sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan
secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi
ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan
menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat
antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai
dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970.
Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT dari
film yang berjudul For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoos nest. Ini
adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung
citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia
bila penggunaan yang berlebihan.
5
Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya dengan
menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi efek
samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih
menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980
penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat,
karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada menggunakan
ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan National Institutes of
Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi pada pengobatan
psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa
masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of
Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT.
Namun baru pada tahun 1990
2.3. Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling umum untuk ECT adalah penyakit depresi, dimana
ECT merupakan terapi yang tercepat dan paling efektif. ECT harus
dipertimbangkan untuk digunakan pada pasien yang telah gagal dengan obat-
obatan, intoleransi obat, yang memiliki gejala psikotik, yang memiliki
kecenderungan bunuh diri, dengan gejala agitasi atau pingsan. Penelitian telah
menunjukkan bahwa 70 persen pasien yang gagal untuk merespon obat
antidepresan dapat merespon positif ECT.
ECT efektif untuk pasien depresi, baik yang mengalami gangguan depresi
mayor maupun gangguan bipolar I. Depresi delusional atau depresi psikotik telah
lama dianggap responsif terhadap ECT, tetapi studi terbaru menunjukkan bahwa
episode depresi mayor dengan psikotik sudah tidak menunjukan respon terhadap
6
ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun demikian, karena
episode depresi mayor dengan psikotik merespon buruk pada pemberian
antidepresan, maka ECT harus dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama.
Gangguan depresi mayor dengan gejala melankolik (misalnya, retardasi
psikomotor, bangun dipagi hari, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan
agitasi) dapat merespon baik dengan ECT. ECT terutama diindikasikan untuk
orang-orang yang mengalami depresi berat, yang memiliki gejala psikotik, yang
menunjukkan niat bunuh diri, atau yang menolak untuk makan. Pasien depresi
yang kurang merespon terhadap ECT adalah pasien dengan gangguan somatik.
Pasien lanjut usia cenderung merespon lebih lambat daripada pasien muda. ECT
adalah perawatan untuk episode depresi mayor dan tidak memberikan profilaksis
kecuali diberikan atas dasar pemeliharaan jangka panjang.
Tabel 1. Persamaan dan perbedaan antara ECT dan antidepresan:
kapasitas untuk menginduksi mania dan down-regulation/regulasi bawah
dari -reseptor
Antidepresan ECT
Down regulation dari -reseptor Down regulation dari -reseptor
memerlukan system serotonin yang tidak tergantung pada sistem serotonin
utuh yang utuh
Tidak efektif untuk depresi efektif untuk depresi psikosis
psikosis
Tidak memiliki efektifitas untuk Efektif sebagai antimanik
manik
Tak berguna untuk katatonia, efektif untuk beberapa pasien
skiofrenia dan delirium katatonia, skizofrenia dan delirium
Kurang efektif untuk efektif untuk penanganan
penanganan depresi yang resisten depresi yang resisten
Down regulation terhadap Up regulation terhadap reseptor
reseptor 5-HT2 5-HT2
2. Mania
7
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan
lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa
pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan
unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode
manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga
pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah
obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
kelelahan fisik yang mengancam jiwa
resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan
pilihan).
ECT sehatusnya tidak digunakan untuk pasien yang menerima lithium,
karena lithium karena dapat menurunkan ambang batas kejang dan menyebabkan
kejang berkepanjangan.
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak
untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap
paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1 Pada beberapa pasien,
efektivitas ECT sama dengan pemberian antipsikotik, namun perbaikan dapat
terjadi lebih cepat.
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
Katatonia
Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi lain
Studi lain telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia,
suatu gejala yang berhubungan dengan gangguan mood, skizofrenia, dan
gangguan medis serta neurologis.
Katatonia
8
Katatonia merupakan suatu gejala yang berkaitan dengan gangguan mood,
skizofrenia, dan gangguan medis dan neurologis yang efektif diberikan
terapi ECT.1,6
Penyakit Parkinson
ECT dapat bermanfaat bagi penyakit parkinson, khususnya berkaitan
dengan on-off phenomenon atau fenomena nyala-mati.1,6
Sindrom Neuroleptik Maligna
ECT dapat bermanfaat pada sindrom neuroleptik maligna dengan
mengehntikan semua obat anti psikosis yang diberikan dan pasien harus
dalam keadaan tenang sebelum dilakukan ECT pada pasien tersebut.1,6
Delirium
Pemberian ECT juga bermanfaat bagi pasien dengan delirium.
ECT juga dilaporkan berguna untuk mengobati psikosis episodik, psikosis
atipikal, obsesif-kompulsif, dan delirium serta kondisi medis seperti sindrom
neuroleptik ganas, hypopituitarism, intractable seizure disorders dan fenomena
on-off dari penyakit Parkinson. ECT juga dapat menjadi pilihan terapi untuk ibu
hamil yang depresi dan ingin bunuh diri yang memerlukan perawatan dan tidak
bisa minum obat, pasien geriatri dan pasien dengan kondisi medis yang tidak
memungkinkan untuk minum obat anti depresan, dan untuk anak-anak dan remaja
penderita depresi yang ingin bunuh diri merespon lebih buruk terhadap terapi
antidepresan dibandingkan dengan pasien dewasa. ECT tidak efektif dalam
gangguan somatisasi (kecuali disertai dengan depresi), gangguan kepribadian, dan
gangguan kecemasan.
2.4. Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang
pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan
ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan
janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit.
Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan risiko untuk
edema dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan
9
dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang
dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang
mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak
(misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada
pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang.
Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan
darah pasien selama perawatan.
Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain,
meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih
jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus
distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT diberikan. Propranolol
(Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan untuk melindungi
pasien tersebut selama pengobatan.1
Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi :1,4
- Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
- Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
10
- Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
- Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
- Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.
Persiapan Alat :4
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis elektrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
- Tempat tidur datar dengan alas papan
Pelaksanaan :4
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasang
- Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang
ditempelkan dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti
kejang klonik dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat
sebelum akhirnya bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat
penting diperhatikan tidak boleh terlalu lama.
11
Gambar 2.6 ECT
12
posisi elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di mana jarak elektroda hanya
sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung.
Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda diterapkan lebih lanjut selain
telah diteliti karena para peneliti menyarankan bahwa berkhasiat sebagai ECT
bilateral tradisional, tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari efek samping
kognitif. Inggris ECT Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan yang
signifikan antara ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam kemanjuran klinis
atau efek samping kognitif.
Gambar 2.7 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elias
positioning (B)
ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti
dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan
parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting,
tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk mengurangi arus
listrik dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat diterapkan dengan
tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya diaplikasikan di
atas belahan non-dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan
orang . Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah
menjadi standar, dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru
dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya.
13
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit
untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian.
Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.7-1
(B). Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head.
ECT unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama
dari tim klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk
mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota
staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.
14
Fase Laten : 2-5 detik ditandai dengan tremor cepat.
Fase Tonik : Kurang lebih 10 detik seluruh sistem otot kerangka
mengalami kejang tonik.
Fase Klonik : Kurang lebih 30 detik kejang klonik (berdenyut) menyeluruh
makin lama makin berkurang.
Fase Apneu dan belum sadar : beberapa detik (bervariasi).
Fase bernafas spontan : makin lama makin teratur dalam beberapa menit.
Fase sadar kembali : biasanya 5 menit setelah kejang berhenti, tetapi masih
disorientasi dan binggung selama beberapa menit.
Fase tidur : 30 menit sampai dengan 1 jam sesudah pasien menguasai lagi
orientasinya.
15
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv
atau 0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine
memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood
brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efek antisialagogue.
Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak
menyadari adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot
dan perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi
permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung
anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat
menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan
amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran
yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti
antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada
obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi
banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan
etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang.
Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan
resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus
ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes
16
reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolaris asi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6
mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus
dimonitor oleh stimulator saraf.
17
mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang terburuk.
Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak lanjut data menunjukkan
bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6
bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori . Contohnya,
pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan
kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat
kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali
ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama
pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang
telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori,
yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi
pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan
bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan
epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30
menit tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia: Wolters Kluwer,
2015: 982 8
2. Yongki. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai Terapi Alternatif Medis
Pada Pasien Psikotik(2012).317:22-7
3. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry) Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 4
4. Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang Psikiatri. Buku Ajar
Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013;387 8.
5. Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy About You Rights.
Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari https://www2.health.vic.gov.au/.pdf,
pada tanggal 28 Desember 2015.
6. Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all. The Place of ECT in
Contemporary Psychiatric Practice. London: The Royal Collage of Pschyatrists, 2004:3-8
7. Scott A. Practical administration of ECT. London: The Royal Collage of Pschyatrists,
2004:144-158.
8. http://www.rcpsych.ac.uk/mentalhealthinfo/treatments/ect.aspx
9. http://www.nimh.nih.gov/health/topics/brain-stimulation-therapies/brain-stimulation-
therapies.shtml
20