Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

PERDARAHAN PASCA-SALIN

Pembimbing :
dr. Febriansyah, Sp.OG

Disusun Oleh :
Elang Rangga Wiguna
1420221114

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT KEPRESIDANAN RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME, atas Rahmat dan Hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas Referat ini. Tugas ini berisi pembahasan mengenai Perdarahan
Pasca-Salin. Dalam penyusunannya kami menggunakan beberapa referensi baik yang
bersumber dari buku ataupun artikel dari internet. Dengan demikian kami berharap tugas ini
dapat memenuhi kebutuhan para pembaca.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam penyusunan makalah ini. terutama kepada pembimbing sekaligus moderator dr.
Febriansyah, Sp.OG yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini terdapat kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan presentasi referat ini. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman dan pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu di
bidang kedokteran.

Jakarta, Februari 2017

Elang Rangga Wiguna

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 2
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan pasca-salin (PPS)/ post partum haemorrhage (PPH) merupakan


penyebab terbesar kematian ibu di seluruh dunia. Salah satu target Millenium
Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga
perempatnya pada tahun 2015. Sayangnya, pada tahun 2012, AKI mengalami kenaikan
menjadi 359 per 100.000 penduduk atau meningkat sekitar 57% dibandingkan dengan
tahun 2007 yang hanya 228 per 100.000 penduduk.1 Pencapaian target MDGs dapat diraih
salah satunya melalui penurunan AKI yang disebabkan oleh PPS. Untuk mendukung target
tersebut, dibutuhkan petugas kesehatan yang terlatih dan pedoman berbasis bukti pada
keamanan, kualitas, dan kegunaan dari berbagai intervensi yang ada. Dengan demikian
dapat dilahirkan suatu kebijakan dan program yang dapat diimplementasikan secara
realistis, strategis dan berkesinambungan.
Penyebab PPS yang paling sering adalah uterus tidak dapat berkontraksi dengan
baik untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), trauma jalan lahir
(trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang
adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah (thrombin). Pada praktiknya, jumlah
PPS jarang sekali diukur secara objektif dan tidak diketahui secara jelas manfaatnya
dalam penatalaksanaan PPS, serta luaran yang dihasilkan. Selain itu, beberapa pasien
mungkin saja membutuhkan intervensi yang lebih walaupun jumlah perdarahan yang
dialaminya lebih sedikit apabila pasien tersebut berada dalam kondisi anemis.
Trias keterlambatan sudah lama diketahui menjadi penyebab terjadinya kematian
maternal yaitu terlambat merujuk, terlambat mencapai tempat rujukan, dan terlambat
mendapat pertolongan yang adekuat di tempat rujukan. Dua faktor yang pertama sering
terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan faktor ketiga bisa terjadi baik di
negara berkembang maupun di negara maju.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 PERDARAHAN POST PARTUM


II.1.1 Definisi

Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefmisikan sebagai kehilangan


darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml
setelah melahirkan secara seksio sesarea. Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-
1000 ml) atau pun mayor (>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang
(1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml).
Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan tonus
uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), robekan jalan
lahir dari perineum, vagina, sampai uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan faktor pembekuan
darah (thrombin).

II.1.2 Klasifikasi dan Faktor Risiko


Perdarahan pasca-salin diklasifikan menjadi PPS primer {primary post partum
haemorrhage) dan PPS sekunder (secondary post partum haemorrhage). Perdarahan
pasca-salin primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin,
sedangkan PPS sekunder merupakan perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jam
tersebut.
Pada umumnya, PPS primer/dini lebih berat dan lebih tinggi tingkat morbiditas dan
mortalitasnya dibandingkan PPS sekunder/lanjut. Faktor risiko PPS meliputi grande
multipara dan gemelli. Meskipun demikian, PPS dapat saja terjadi pada perempuan yang
tidak teridentifikasi memiliki faktor risiko secara riwayat maupun klinis, o1eh karena itu,
manajemen aktif kala III direkomendasikan bagi seluruh perempuan bersalin. Manajemen
aktif kala III meliputi pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir, klem tali pusat
setelah observasi terhadap kontraksi uterus (sekitar 3 menit), dan melahirkan plasenta

5
dengan penegangan tali pusat terkendali, diikuti dengan masase uterus.

II.1.3 Etiologi dan Manifestasi Klinis


Penyebab dari PPS adalah 4T yang merupakan singkatan dari Tone, Trauma,
Tissue dan Thrombin. Tone merupakan masalah pada 70% kasus PPS, yaitu
diakibatkan oleh atonia dari uterus. Sedangkan, 20% kasus PPS disebabkan oleh
trauma. Trauma dapat disebabkan oleh laserasi serviks, vagina dan perineum,
perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri dan trauma non traktus genitalia,
seperti ruptur subkapsular hepar. Sementara itu, 10% kasus lainnya dapat disebabkan
oleh faktor tissue yaitu seperti retensi produk konsepsi, plasenta (kotiledon) selaput
atau bekuan, dan plasenta abnormal. Faktor penyebab dari thrombin diantaranya
abnormalitas koagulasi yang sangat jarang terjadi yaitu sekitar <1% kasus.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Perdarahan Pasca-Salin


Kehilangan Darah Tekanan Darah Tanda dan Gejala Derajat Syok
(Sistolik)

500-1000 ml Normal Palpitasi, pusing, Terkompensasi


(10-15%) takikardi

1000-1500 ml Sedikit menurun Kelemahan, Ringan


(15-25%) (80-100 mmHg) berkeringat, takikardi

1500-2000 ml Menurun Gelisah, Sedang


(25-35%) (70-80 mmHg) pucat, oliguria

2000-3000 ml Sangat menurun Kolaps, air hunger, Bera


(35-45%) (50-70 mmHg) anuria

Referensi: Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, Duncan E. SOGC Clinical Practice


Guideline: Prevention and management of post partum haemorrhage. Journal of Society of
Obstetricians and Gynaecologists of Canada April, 2000: 1-9.

6
II.1.3.1 Tonus
A. Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan pasca salin secara fisiologis di control oleh kontraksi serat-
serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah
yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia
uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat
timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus
dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan pasca salin.

Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :


a. Manipulasi uterus yang berlebihan
b. General anestesi (pada persalinan dengan operasi)
c. Uterus yang teregang berlebihan
d. Kehamilan kembar.
e. Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 5000 gram )
f. Polyhydramnion
g. Kehamilan lewat waktu,
h. Partus lama
i. Grande multipara (fibrosis otot - otot uterus ),
j. Anestesi yang dalam
k. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ),
l. Plasenta previa,
m. Solutio plasenta.

II.1.3.2 Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya

4
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal
itu dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena :
plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas
akan tetapi belum dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan,
tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (
plasenta adhesive.
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis
komalis menembus desidva sampai miometrium sampai
dibawah peritoneum ( plasenta akreta perkreta ).
- Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi
belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk
melahirkan atau karena salah penanganan kala III. Sehingga
terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ). Sisa
plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus
perdarahan pasca salin.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic
mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan
jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late
post partum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong
tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage.

II.1.3.3 Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan pasca salin disebabkan oleh trauma jalan lahir.
a. Ruptur uterus
b. Inversi uterus
c. Perlukaan jalan lahir
d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa

5
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat
operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Repture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea
sebelumnya.
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan
biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan
pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum
atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang
persalinan. darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan
hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi
berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa
menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan
perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery atau vena yang besar,
jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan,
atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi.
Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan
kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi
ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai
penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri,
sehingga tundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.
Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta
keluar.
Inversio uteri dapat dibagi
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar
dari ruang tersebut.
- korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak diluar vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat
crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada
tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.(3,6)

6
Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak
ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan
selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas
servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan
keadaan gawat dengan angka kematian tinggi ( 15 70 % ).
Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk
keselamatan penderita.

II.1.3.4 Thrombin (Kelainan Pembekuan Darah)


Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit
keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
a. Hipofibrinogenemia,
b. Trombositopenia
c. Idiopathic trombocytopenic purpura
d. HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and
low platelet count ),
e. Disseminated Intravaskuler Coagulation,
f. Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari
8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga
komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.
Perdarahan pasca salin akibat gangguan koagulasi dicurigai bila
penyebab yang lain dapat disingkirkan, apalagi disertai riwayat
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya.
Perdarahan pasca salin sekunder disebabkan oleh infeksi uterus, sisa
plasenta, abnormalitas involusi uterus, atau oleh penyebab primer di atas
tetapi terlambat diidentifikasi. Tidak jarang perdarahan pasca salin
sekunder bersifat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan ditangani
segera.

7
II.1.4 Diagnosa Perdarahan Pasca Salin
Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan pasca salin :
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit )
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
perineum

Tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sebanyak definisi (>500 cc pada


persalinan pervaginam atau >1000 cc pada persalinan perabdominal) untuk
memulai penanganan perdarahan pasca salin sebab menghentikan perdarahan
lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik.

Tabel. 2 Tanda dan Gejala PPS Berdasarkan Diagnosis

Gejala dan Tanda Umum Gejala dan Tanda Kemungkinan


Lain Diagnosis
Uterus tidak berkonstraksi Syok Atonia Uteri
lembek
Perdarahan segera setelah
anak lahir
Darah segar yang mengalir Pucat Robekan Jalan lahir
segera setelah bayi lahir Lemah
Uterus Kontraksi baik Menggigil
Plasenta lengkap

Plasenta belum lahir Tali pusat Retensio Plasenta


setelah 30 menit putus akibat
Perdarahan segera traksi
berlebihan
Uterus kontraksi baik
Inversio uteri
akibat tarikan
Perdarahan
lanjutan

8
Gejala dan Tanda Umum Gejala dan Tanda Kemungkinan
Lain Diagnosis
Plasenta atau sebagian Uterus Tertinggalnya
selaput (mengandung berkontraksi sebagian plasenta atau
pembuluh darah) tidak tetapi tinggi ketuban
lengkap fundus tidak
Perdarahan segera berkurang
Uterus tidak teraba Syok Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa neurogenik
Tampak tali pusat (Jika Pucat dan
plasenta belum lahir) limbung
Perdarahan segera
Nyeri ringan atau berat
Subinvolusi uterus Anemia Perdarahan pasca
Nyeri tekan perut bawah Demam persalinan tertunda
endometriosis atau
Perdarahan >24 jam
sisa plasenta
setelah persalinan.
(terinfeksi atau tidak)
Perdarahan bervariasi
(ringan atau berat, terus
menerus atau tidak teratur)
& berbau (jika disertai
infeksi)

Perdarahan pasca salin dapat berupa perdarahan yang hebat sehingga


dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa
perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga
akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam
syok. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok. tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai
terjadi syok.
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah
plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau
trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan
membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi
untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.

9
Perdarahan akibat gangguan koagulasi baru dicurigai bila penyebab yang
lain dapat disingkirkan apalagi disertai riwayat hal yang sama pada persalinan
sebelumnya, tendensi perdarahan pada bekas jahitan, bekas suntikan, atau
timbul hematoma. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil faal hemostasis
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,
trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin
Degradation Product). Predisposisi terjadinya hal ini adalah solusio plasenta,
kematian janin dalam rahim, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis.

II.1.4.1 Langkah-Langkah Sistematik Untuk Mendiagnosa PPS


1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang
pecah.
II.1.4 Penilaian dan Manajemen Risiko Pasca salin
Perdarahan pasca-salin paling sering terjadi dalam 1 jam pertama setelah
melahirkan, terdapat beberapa faktor resiko perdarahan pasca-salin adalah
sebagai berikut :
Tabel 3. Faktor Risiko PPS
FAKTOR RISIKO
Sisa konsepsi (plasenta, kotiledon, selaput atau bekuan darah)
AFE/ DIC
Hipotonia yang diinduksi oleh obat
Distensi kandung kemih yang mencegah kontraksi uterus
Referensi :Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guideline. Primary post partum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2012.

10
Tabel 4. Penurunan Risiko Pascapersalinan
Aspek Klinis Penurunan Risiko
Perawatan rutin Pastikan plasenta lahir lengkap.
Lakukan penjahitan robekan perineum
dan vagina, monitor semua perempuan
pascapersalinan dengan menilai tonus
uterus tiap - jam, dan masase
jika tonus kurang adekuat, serta
ajarkan pasien. Mendukung secara
aktif untuk berkemih segera setelah
melahirkan dan mendukung
pelepasan oksitosin alamiah dengan
menjaga pasien tetap hangat dan
tenang, membantu pemberian ASI
segera, serta memfasilitasi kontak
kulit-kulit ibu dengan bayi (periksa
kondisi bayi, risiko jatuh, dsb)

Seksio sesarea elektif Berikan infus oksitosin 10 IU


dalam 500 cc kristaloid
Pengenalan awal hematom Curiga jika tidak dapat
pascapersalinan mengidentifikasi penyebab utama
dari PPS yaitu tanda khas nyeri
yang berlebihan atau persisten
(tergantung dari lokasi, volume
dan berat hematom). Tanda-tanda
lainnya adalah syok hipovolemik
tidak sesuai dengan perdarahan
yang terlihat, rasa tekanan pada
pelvis atau retensio urin.
Kemudian, resusitasi sesuai
keperluan, lakukan pemeriksaan
vaginal/ rektal untuk menentukan
lokasi dan perluasan dan
pertimbangkan transfer ke ruang
operasi untuk evakuasi bekuan,
repair primer dan/ atau hemostasis
pembuluh darah.
Referensi13:Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guideline. Primary post partum haemorrhage. Queensland:
Queensland Government; 2012.

11
II. 1.5 PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PASCA-SALIN

Terapi PPS yang efektif sering memerlukan intervensi multidisiplin


yang simultan. Tenaga kesehatan harus memulai usaha resusitasi sesegera
mungkin, menetapkan penyebab perdarahan, berusaha mendapatkan bantuan
tenaga kesehatan lain, seperti ahli obstetri, anestesi dan radiologi. Menghindari
keterlambatan dalam diagnosis dan terapi akan memberikan dampak yang
bermakna terhadap sekuele dan prognosis (harapan hidup).
Bila PPS terjadi, harus ditentukan dulu kausa perdarahan, kemudian
penatalaksanaannya dilakukan secara simultan, meliputi perbaikan tonus
uterus, evakuasi jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan
persiapan koreksi faktor pembekuan. Tahapan penatalaksanaan PSS berikut ini
dapat disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS

Perdarahan biasanya disebabkan oleh tonus, tissue, trauma atau thrombin.


Bila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus. Bila kausa
perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa plasenta. Lakukan
penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi faktor pembekuan bila
terdapat gangguan pada thrombin.
Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip HAEMOSTASIS, yaitu:
1. H : Ask for HELP

Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila


persalinan di bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli
anestesi, dan hematologis menjadi sangat penting. Pendekatan
multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian
cairan. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data
yang penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.

2. A : Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate.

Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat


mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih
baik overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif
daripada underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat

12
kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan,
saturasi oksigen harus dimonitor.

Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus


segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil
pembekuan darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta
crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan
umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach).
Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu
hasil crossmatch.

3. E : Establish Etiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics


(Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya
menentukan etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan
bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea,
partus buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk
daripada jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan
plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila
perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat seksio
sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri
hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent
placentae sering terjadi pada kasus plasenta previa pada bekas seksio
sesarea.
Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan
Queen Charlotte Hospital (Labour ward course) menyarankan untuk
tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin
dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada
kasus kehamilan abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta
terjadi setelah persalinan pervaginam, dapat digunakan tamponade
uterus sementara menunggu kesiapan operasi/laparotomi.

13
4. M : Massage the uterus

Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera


ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan
uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual
interna dengan menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan
forniks anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar
melakukan penekanan pada fundus belakang sehingga uterus
terkompresi. Jika uterus berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2
menit. Jika tidak, teruskan kompresi bimanual interna hingga 5 menit.

Gambar 1. Kompresi bimanual interna

Jika kompresi bimanual interna tidak berhasil, minta bantuan orang lain
melakukan kompresi bimanual eksterna sambil melakukan tahap
penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya jika penolong hanya seorang diri.
Kompresi bimanual eksterna dilakukan dengan meletakkan satu tangan
pada dinding perut, sedapat mungkin meraba bagian belakang uterus,
tangan yang lain terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian jepit
uterus di antara kedua tangan tersebut.

Gambar 2. Kompresi bimanual eksterna

14
5. O : Oxytocin infusion/ prostaglandins IV/ per rectal/ IM/
intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc
normal salin dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan
karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang
pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal
ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan
oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan
sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat
diberikan secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg
(secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih
diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih
diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis per hari.
Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu preeklampsia,
vitiumcordis, dan hipertensi. Bila PPS masih tidak berhasil diatasi,
dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug.
Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan
juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk
menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan
pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan
trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan transfusi trombosit.
Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan
kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).
6. S : Shift to theatre exclude retained products and trauma/ bimanual
compression (konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien
ke ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya
sisa plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan,
segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan
selama ibu dibawa ke ruang operasi

15
7. T : Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan
adanya koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter.
Tamponade uterus dapat membantu mengurangi perdarahan.
Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi faktor
pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test dengan menggunakan
Tube Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi positif 87%
untuk menilai keberhasilan penanganan PPS.
Bila pemasangan tube tersebut mampu menghentikan
perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih
lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube, perdarahan masih
tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan bedah. Pemasangan
tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah
dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa menit.
Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan mencegah
koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah.
Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan
terapi medis.
Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri
SOS baloon dan tampon balon kondom kateter. Biasanya
dimasukkan 300-400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup
adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri
dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin sehingga dapat
diupayakan mencapai tekanan mendekati tekanan sistolik untuk
menghentikan perdarahan. Segera libatkan tambahan tenaga dokter
spesialis kebidanan dan hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.
8. A : Apply compression sutures B-Lynch/ modified (pembedahan
konservatif)
Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch
suture) pertama kali diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Metode
B-Lynch, terbukti efektif mengontrol perdarahan pada atonia uteri
dan mengurangi angka histerektomi. Prinsip metode ini adalah

16
kompresi uterus difus. Metode B-Lynch mengkompresi uterus pada
bagian anterior dan posterior dengan dua jahitan jelujur vertikal
menggunakan benang kromik.Benang yang dapat dipakai adalah
kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0
tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan
B-Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai
efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus
secara langsung di meja operasi.
Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk
dilakukan histerektomi.

Gambar 1. B-Lynch suturing


9. S : Systematic pelvic devascularization uterine/ ovarian/ quadruple/
internal iliac (pembedahan konservatif)
Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika. Teknik ligasi

10. I : Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization


(pembedahan konservatif)

11. S : Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)

17
II. 1.5.1 Uterotonika Pilihan untuk Manajemen PPS

REKOMENDASI

A) Untuk manajemen PPS, oksitosin lebih dipilih dibandingkan ergometrin


tunggal, kombinasi oksitosin-ergometrin dan prostaglandin.

B) Jika oksitosin tidak tersedia, atau perdarahan tidak berespon dengan oksitosin dan
metil ergometrin sebaiknya diberikan misoprostol

C) Jika lini kedua tidak tersedia, atau jika perdarahan tidak berespon terhadap lini
kedua, prostaglandin sebaiknya ditawarkan sebagai lini ketiga.

18
II. 1.5.2 Pilihan Terapi Cairan Pengganti atau Resusitasi Penggunaan
Kristaloid sebagai Terapi Pengganti Cairan pada Perempuan yang
Mengalami PPS
Pengganti cairan merupakan komponen yang penting dalam resusitasi
terhadap perempuan yang mengalami PPS, namun pilihan cairan masih
kontroversial. Pengganti cairan intravena dengan kristaloid isotonik
sebaiknya digunakan dibandingkan dengan koloid untuk resusitasi
perempuan yang mengalami PPS. Bukti yang ada menunjukkan
bahwa koloid dosis tinggi menyebabkan efek samping yang lebih
sering daripada penggunaan kristaloid.

II. 1.5.3 Rekomendasi Transfusi Darah


Transfusi produk darah diperlukan bila jumlah darah yang
hilang cukup masif dan masih terus berlanjut, terutama jika tanda
vital tidak stabil. Angka transfusi pascamelahirkan bervariasi dari
0.4% dan 1.6%. Keputusan klinis bersifat penting karena perkiraan
darah yang hilang sering tidak akurat, penentuan menggunakan
konsentrasi hemoglobin atau hematokrit mungkin tidak akurat
dalam merefleksikan status hematologis pasien, sedangkan tanda dan
gejala mungkin belum muncul sampai kehilangan darah melebihi
batas toleransi fisiologis tubuh.

Tujuan dari transfusi produk darah adalah untuk mengganti


faktor koagulasi dan sel darah merah yang berkapasitas membawa
oksigen, bukan sebagai pengganti volume. Rekomendasi Pemberian
transfusi darah dilakukan sesuai dengan indikasi.

II. 1.5.4 Terapi PPS Sekunder


PPS sekunder sering berhubungan dengan endometritis.
Antibiotik terpilih adalah antibiotik empiris sesuai dengan pola kuman
. Pada kasus endomiometritis atau sepsis direkomendasikan
tambahan terapi antibiotik spektrum luas. Terapi pembedahan
dilakukan jika perdarahan masih berlebihan atau tidak dapat
dihentikan atau hasil USG tidak mendukung. Sebuah ulasan

19
Cochrane tahun 2002 (diupdate bulan Januari 2008) ditujukan
untuk terapi PPS sekunder. Belum ditemukan percobaan yang
memenuhi kriteria inklusi kelompok reviewer dan belum ada
rekomendasi yang diputuskan mengenai terapi yang efektif.
Investigasi mengenai PPS sekunder sebaiknya melibatkan swab
vagina rendah dan tinggi, kultur darah jika demam, darah lengkap,
dan C-reactive protein. Pemeriksan USG pelvis dapat membantu
mengeksklusi adanya produk sisa konsepsi, meskipun penampakan
uterus segera setelah postpartum masih belum bisa dinilai baik.
Telah diterima secara umum bahwa PPS sekunder sering
berhubungan dengan infeksi dan terapi konvensional yang
melibatkan antibiotik dan uterotonika. Pada perdarahan yang
berlanjut, insersi balon kateter dapat bersifat efektif. Sebuah ulasan
Cochrane tahun 2004 secara spesifik ditujukan untuk menilai regimen
antibiotik yang digunakan untuk endometritis setelah persalinan.
Kesimpulannya adalah bahwa kombinasi dari klindamisin dan
gentamisin tepat digunakan; dimana regimen gentamisin harian
adalah paling tidak sama efektifnya dengan regimen tiga kali
harian. Ketika endometritis secara klinis perbaikan dengan terapi
intravena, tidak ada keuntungan tambahan untuk memperpanjang
terapi oral. Antibiotik ini tidak dikontraindikasikan pada ibu
menyusui

20
ALGORITMA PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PASCA-SALIN

4T

Gangguan pembekuan darah


(Trombin)
Jaringan (Tissue)

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Perdarahan pasca salin adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih,

sesudah anak lahir. Perdarahan pasca persalinan terbagi menjadi 2, yaitu

PPS dini dan PPS sekunder

2. Perdarahan pasca persalinan primer adalah perdarahan pervaginam 500 ml

atau lebih yang terjadi segera setelah bayi lahir sampai 24 jam kemudian,

Perdarahan pasca salin sekunder adalah Perdarahan yang terjadi pada masa

nifas 500 ml atau lebih setelah 24 jam bayi dan plasenta lahir.

3. Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh

4T yaitu tone (Atonia uteri), trauma (Robekan /laserasi, luka jalan lahir),

tissue (retensio plasenta dan sisa plasenta), dan thrombin (gangguan

pembekuan darah / koagulopati).

4. Gejala klinis yang ditemui adalah Perdarahan pervaginam yang terus-

menerus setelah bayi lahir., Pucat, kemungkinan disertai tanda-tanda syok,

tekanan darah menurun, denyut nadi cepat dan halus, ekstremitas dingin,

gelisah, mual dan lain-lain.

5. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, palpasi uterus ,Inspekulo,

Laboratorium.

6. Prinsip penanganan adalah menghentikan perdarahan, cegah/ atasi syok.,

dan ganti darah yang hilang. Dengan tahapan penatalaksanaan

HAEMOSTASIS

22
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO guidelines for the management of postpartumhaemorrhage


and retained placenta 2009.
2. World Health Organization. Managing complications in pregnancy
and childbirth: a guide for midwives and doctors. Geneva; 2007.
3. Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2012.
4. B-Lynch C, Chez R. B-Lynch for Control of Postpartum
HemmorrhageContemporary Obstetrics and Gynecology. In:Magann EF,
Lanneau GS. Thirdstage of Labour. . ObstetGynecolClin N Am 2005; 32: 323-
32; 1-32.
5. Petersen L, Lindner D, Kleiber C, Zimmerman M, Hinton A,
Yankowitz J. Factors that predict low hematocrit levels in the postpartum
patient after vaginal delivery. Am J Obstet Gynecol 2002; 186: 7374. (Level
II-2).
6. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam
Standar Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit
Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
7. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed),
2002, Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR
POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
8. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage,
http://www.emedicine.com
9. Chandraharan E, Arulkumaran S. Management Algorith for Atonic
Postpartum Haemmorrhage JPOG May/Jun 2005; 31(3): 106-12.
10. Alexander J, Thomas P, Sanghera J. Treatments for secondary
postpartum haemorrhage. Cochrane Database Syst Rev 2002.
11. French L, Smaill F. Antibiotic regimens for endometritis after delivery.
Cochrane Database Syst Rev 2004; ((4)): CD001067.

23

Anda mungkin juga menyukai