Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Kedokteran

Disusun Oleh :

Friska Jliarty koedoeboen

102008183

BAB I
PENDAHULUAN

Etika profesionalisme dokter meliputi 4 prinsip moral, yaitu beneficence (prinsip


moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien); non-maleficence
(prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien); autonomi
(prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien); justice
(prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber
daya).
Pada setiap kasus, harus diperhatikan ke-empat prinsip moral ini, demikian pula pada
kasus penanganan penyakit menular seksual dengan risiko ditularkannya penyakit ini kepada
pasangannya serta adanya bahaya dalam perpecahan rumah tangga pasien. Harus
dipertimbangkan dari sisi beneficence pengobatan GO dengan sisi autonomy pasien yang
menginginkan istrinya tidak mengetahui mengenai penyakit yang dideritanya.
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran membuat
etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang berkaitan
dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran
saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman sejawat.
Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau yang disebut
jugadengan etika biomedis.
BAB II
PEMBAHASAN ISI

KASUS :
Seorang Pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah
pasien lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan
keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan
mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia
masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat
kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita
GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran di antara
keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit,
tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga
sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.
PENGEMBANGAN KASUS :
Pasien laki-laki bernama Budi, dan istrinya bernama Mawar. Pak Budi melakukan
hubungan dengan Ibu Mawar 3 hari yang lalu, dimana alat kemaluan Pak Budi masih belum
terasa sakit dan mengeluarkan nanah. Pak Budi bersedia mengajak istrinya untuk datang ke
dokter untuk melakukan konsultasi dengan dokter setelah diberi penjelasan mengenai
diagnose, tindakan pengobatan, perjalanan penyakit dan risiko penularan pada istrinya.
Prinsip Etika Kedokteran
Pada kasus penyimpanan rahasia kedokteran ini berlaku etika otonomi yang berarti
menghormati hak-hak pasien. Hak pasien tercantum dalam UU praktik kedokteran pasal 45
ayat 3. Hal konkrit yang dilakukan seorang dokter adalah memberikan informed consent yang
meliputi memberitahukan tentang penyakitnya pada pasien bahwa penyakitnya itu merupakan
penyakit akibat hubungan seksual dan bahwa penyakit tersebut bisa disembuhkan. Dokter
juga perlu mengatakan bahwa kemungkinan istrinya tertular cukup besar, sehingga dalam
pengobatan kedua pasangan harus berobat sehingga tidak terjadi fenomena bola ping pong.
Dokter perlu menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah jika pasien sembuh dan kemudian
berhubungan seksual lagi dengan istrinya maka pasien tersebut akan tertular lagi dan terus
menerus begitu. Dokter juga perlu menyarankan pada pasien untuk membawa istrinya untuk
berobat juga. Dalam hal ini kita tetap memberikan hak bebas pada pasien untuk memilih
memberitahukan tentang penyakitnya kepada istrinya atau tidak sebagai tanda bahwa kita
membiarkan pasien mengambil keputusan sendiri. Dan bila pasien tetap dalam keputusan
untuk meminta dokter menjaga rahasianya, maka sebagai dokter kita harus menjaga rahasia
pasien sesuai dengan sumpah jabatan dokter yang berbunyi saya tidak akan menyebarkan
segala sesuatu yang mungkin saya dengar atau yang mungkin saya lihat dalam kehidupan
pasien-pasien saya, baik waktu menjalankan tugas jabatan saya maupun diluar waktu
menjalankan tugas jabatan itu. Semua itu akan saya pelihara sebagai rahasia.
Pada kasus ini juga mengandung prinsip justice atau keadilan dimana si istri
mempunyai hak yang sama untuk mengetahui tentang keadaannya dan memiliki hak untuk
sehat. Oleh karena itu sesuai dengan etika kedokteran maka kita perlu memberitahukan juga
tentang penyakit yang diderita wanita tersebut dan bagaimana cara penularannya serta
pengobatannya. Namun dalam hal ini kita tidak boleh mengatakan secara langsung mengenai
rahasia suaminya karena itu bertentangan dengan etika autonomi dan hukum yang tercantum
dalam pasal 12 yang berisi setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal
dunia.1
Informed Consent
Dalam skenario, informed consent diberikan oleh pihak yang berkompeten, dalam
kasus ini adalah seorang dokter. Dimana informed consent merupakan suatu proses yang
menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya
pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien tersebut
Informed consent biasanya berisikan hasil pemeriksaan, resiko terapi, alternative terapi,
rujukan, dan prognosis. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi
yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan.
Pada skenario, hendaknya dokter memberikan informed consent kepada sang suami.
Informed consent yang diberikan berupa pemberitahuan bahwa akan dilakukan pemeriksaan
pada alat kelamin pasien untuk membantu dokter menegakkan diagnosis terhadap
penyakitnya. Perlu dijelaskan juga prosedur apa saja yang akan dilakukan, misalnya:
membuka celana, palpasi alat kelamin, dll. Apabila pasien menolaknya, maka dokter tidak
boleh melanjutkan pemeriksaan tersebut karena apabila melanjutkan, bisa terjerat dalam
pidana sesuai dalam Pasal 13 Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989, yang berbunyi:
terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.
Setelah dokter menentukan diagnosis dokter wajib memberikan informed consent
tentang penjelasan mengenai penyakit apa yang sedang diderita sang suami. Sebaiknya
penjelasan tentang penyakit ini dengan menggunakan bahasa yang awam dan dapat dipahami
oleh masyarakat biasa. Selanjutnya perlu dijelaskan juga terapi medis apa saja yang menjadi
pilihan pengobatan pasien berserta keuntungan dan kerugian dari terapi tersebut. Pasien
diberi kewenangan sepenuhnya untuk memilih terapi yang akan dijalaninya.
Demikian juga informed consent juga diberikan pada pasien Ibu Tina (istrinya).
Informed consent diberikan berupa pemberitahuan bahwa akan dilakukan pemeriksaan pada
alat kelamin pasien untuk membantu dokter menegakkan diagnosis terhadap penyakitnya.
Selanjutnya dokter juga wajib memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita
pasien. Tetapi karena suami meminta dokter untuk merahasiakan tentang penyakit yang
diderita suaminya, maka dokter harus menjaga rahasia jabatan dokter sesuai dengan Kode
Etik Kedokteran Pasal 12, yang berbunyi: setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia. Dokter di sini dapat memberitahukan kepada isterinya kalau penyakitnya adalah
infeksi alat kelamin yang bisa berasal dari berbagai penyebab. Untuk langkah pengobatan,
diperlukan juga persetujuan dari pasien apakah bersedia untuk melakukan pengobatan
tertentu. Dokter juga perlu menjelaskan kepada pasien prognosis dari penyakit, dimana pada
kasus ini apabila dilakukan pengobatan yang teratur, penyakit ini dapat semnuh total.1
Rahasia Kedokteran
Dokter mempunyai serangkaian kewajiban yang salah satunya merupakan menjaga
rahasian pasien. Di mana seorang dokter dilarang mengungkapkan data-data pasiennya secara
terbuka kepada orang lain, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Berkaitan dengan
pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 Tentang Rekam Medis sebagai berikut:
Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan dapat dibuka dalam hal :
a. untuk kepentingan kesehatan pasien;
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
atas perintah pengadilan;
c. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.
Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi
persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu
sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien
(consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.2,3
Dampak Hukum
Pada kasus skenario, seorang laki-laki yang sudah menikah tetapi mengaku bahwa
sudah pernah berhubungan dengan wanita lain ingin melakukan pemeriskaan dengan keluhan
kencing nanah, setelah diperiksa hasilnya positif menderita GO dan ia tidak ingin istrinya
tahu, tetapi karena telah berhubungan intim dengan istrinya, dia curiga bahwa istrinya juga
telah terkena. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 seorang dokter wajib
menyimpan rahasia kedokteran tersebut terhadap orang lain bahkan isterinya, kecuali: karena
daya paksa, diatur dalam pasal 48 KUHP :Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena
pengaruh daya paksa,tidak dapat dipidana, karena menjalankan perintah UU: diatur dalam
pasal 50 KUHP: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang, tidak dipidana, dan karena menjalankan perintah jabatan, diatur dalam pasal 51
KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana. Tetapi apabila dokter membuka
rahasia kedokteran tersebut, dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama sembilan bulan
berdasarkan pasal 322 KUHP.
Berdasarkan PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 21, setiap tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga
kesehatan. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (tenaga kesehatan yang berhubungan
langsung dengan pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk : menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan
data kesehatan pribadi pasien, memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan
tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan,
membuat dan memelihara rekam medis. Dalam pasal 33, dalam rangka pengawasan, Menteri
dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan berupa teguran atau
pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut pasal 24 UU yang sama, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
(Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya,
perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau
jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia).4
Peran Dokter
Dalam setiap menghadapi suatu kasus yang berhubungan dengan masalah etika, peran
dokter yang perlu diperhatikan adalah kembali kepada empat prinsip utama moral profesi
kedokteran yaitu autonomy , beneficence, non maleficence, dan justice serta prinsip-prinsip
turunannya yaitu veracity, fidelity, privacy, dan confidentiality.
Dengan berlandaskan ke-empat prinsip utama tersebut seorang dokter seharusnya
dapat membangun suatu hubungan dokter pasien yang baik, dimana bukan hanya seorang
dokter wajib menunaikan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya tetapi juga memperhatikan
pasien sebagai seorang manusia dengan cara berempati, memberikan perhatian, bersikap
ramah, serta menunjukkan itikad baik.
Hubungan dokter pasien juga dapat diibaratkan sebagai suatu hubungan kontrak
seorang professional dengan kliennya, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajibannya masing-masing. Hak-hak pasien antara lain, seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan. Pada kasus ini, sebagai
seorang dokter kita harus dapat menyadari bahwa permintaan sang suami untuk merahasiakan
penyakitnya kepada istrinya merupakan hak seorang pasien, akan tetapi sang istri yang akan
diobati juga adalah seorang pasien, sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan
informasi yang lengkap tentang penyakit yang sedang dideritanya serta tujuan dan prosedur
pengobatan yang akan dilakukan pada dirinya.
Seorang dokter juga mempunyai kewajiban untuk menjelaskan penyakit yang sedang
diderita oleh pasiennya, termasuk di dalamnya adalah perjalanan penyakitnya,
pengobatannya, risiko penularan serta pencegahannya. Dengan menjelaskan kepada sang
suami mengenai cara dan risiko penularan penyaki Gonnorhoea (GO), melalui hubungan
seksual, diharapkan sang suami dapat datang kembali membawa serta istrinya yang
kemungkinan besar sudah tertular penyakit GO ini. Apabila sang suami tetap menolak untuk
membawa istrinya coba jelaskan kepada sang suami tentang perjalanan penyakit yang akan
dialami oleh istrinya serta risiko penularan kembali penyakit GO pada dirinya apabila hanya
dia sendiri saja yang diobati.
Sang istri yang datang kepada dokter juga merupakan seorang pasien yang
mempunyai hak yang sama besarnya dengan sang suami. Oleh karena itu, dokter wajib
memberikan informasi lengkap mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk bagaimana
cara ia bisa mendapat penyakit tersebut. Kita tentu akan terguncang apabila mengetahui
bahwa orang yang kita cintai telah mengkhianati kita, oleh karena itu sebagai seorang dokter
yang menerapkan prinsip-prinsip dasar etika profesi kedokteran, kita harus bisa menjelaskan
masalah ini kepada sang istri dengan berempati. Luangkan waktu untuk menjelaskan masalah
seperti ini secara pribadi. Cari waktu dimana pasien sedang tidak banyak sehingga dapat
dengan lebih nyaman menjelaskan masalah-masalah seperti ini.1,5
Istri
Istri sebagai pasien juga berhak mengetahui tentang penyakit yang dideritanya serta
bagaimana cara pengobatan serta penularannya. Selain itu juga merupakan kewajiban seorang
dokter untuk dapat menjelaskan kepada pasiennya tentang penyakit yang dideritanya dengan
atau tanpa pertanyaan dari pasien tersebut.
Dalam memberitahukan kabar yang kurang menyenangkan, seorang dokter juga harus
mengingat bahwa pasien juga adalah manusia yang mempunyai perasaan dan bukanlah
sebuah robot tanpa hati. Oleh karena itu, dokter harus dapat menyampaikan berita ini dengan
rasa berempati dan menjaga perasaan pasien.
Peran dokter dalam kasus HIV
Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah
melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga
kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan
adalah privacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak
privacy pasien, confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai
rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan
kejujuran.
Pada pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa pemaparan isi rekam medis hanya
boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien jadi kita harus
menjaga kerahasiaan pasien tentang penyakitnya.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan
jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena
terbongkarnya status kesehatan.
Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA
memuat hak pasien terhadap kerahasiaan adalah Semua informasi yang teridentifikasi
mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis, diagnosis, prognosis, dan tindakan medis
serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah
kematian.
Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit
atau memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain
hanya sebatas apa yang harus diketahui kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit.
Namun dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informasi kepada pasangan atau
partner seksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien
tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia
(mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar:
- partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi
- pasien menolak memberi tahu pasangan seksnya
- pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah mengatakan
kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.
Dokter harus mengungkapkan status penderita HIV pada anak, orangtua, pengasuh
atau pasien itu sendiri. Perlu dilakukan konseling untuk mengatasi efek psikologis dan efek
medis dari penyakit, termasuk didalamnya diskusi antara pasien dan konselor. Pasien harus
melaporkan dan mengungkapkan mengenai penyakitnya baik kepada keluarga, teman, dan
lainnya.
Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi HIV AIDS terdapat 3 masalah etik, yaitu ;
1. Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui ( need-to-know principle ).
2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu ( blanket
authorization).
3. Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan sekunder (
secondary release ).
Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV
AIDS dapat diberikan dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan
informasi tersebut. Hal ini sesuai dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004
memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal
48 ayat (2):
- untuk kepentingan kesehatan pasien
- untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum
- permintaan pasien sendiri
- berdasarkan ketentuan undang-undang
Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah :
1. Keadaan memaksa
Hal ini diatur di dalam pasal 48 KUHP : Siapapun tak terpidana jika melakukan tindakan
karena didorong oleh keadaan terpaksa.Keadaan ini dapat pula disebut overmatch yang
terdapat dua pengertian :
Absolute Overmatch
Seseorang dikatakan di dalam keadaan terpaksa apabila ia dihadapkan kepada kekerasan
untuk tekanan jasmani atau rohani sedemikian, hingga ia kehilangan kehendak untuk
melakukan suatu hal lain daripada satu-satunya tindak pidana yang merupakan pelanggaran
hukum.
Nisbi Overmatch
Keadaan memaksa timbul karena adanya tekanan rohani sehingga yang bersangkutan berbuat
suatu hal yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika keadaan terpaksa atau darurat tersebut tidak
ada.
Sementara itu dokter dan petugas medis diperkenankan membuka rahasia pasiennya secara
terbatas kepada pihak tertentu asal memenuhi 3 syarat :
- Syarat keterbatasan pada pihak yang relevan saja : Misalnya kepada suami / Istri,
pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut.
- Syarat keterbatasan informasi : yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan saja.
- Syarat keterbatasan persyaratan : yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan-
persyaratan tertentu saja seperti misalnya :
Ada resiko penularan penyakit
Secara medis informasi tersebut layak dibuka 1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip Etika Kedokteran


Kewajiban Moral Dokter
Di dalam menetukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial
dan kreatif, spiritual, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak asasi pasien.
Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di
atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan perbuatan seseorang atau institusi dilihat dari moralnya. Penilaian baik buruknya
dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya.
Terdapat 2 teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontoloogi dan teleologi.
Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatannya itu sendiri. Sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik buruknya
tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran
agama, tradisi dan budaya. Sedangkan teleologi mendasarkan pada penalaran dan
pembenaran kepada azas manfaat.
Empat kaidah dasar moral untuk mencapai suatu keputusan etik :
1. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan
kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya
terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah
atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya.
Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:
Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter
Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya
Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang
Menjamin kehidupan baik
Pembatasan goal based
Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien
Minimalisasi akibat buruk
Kewajiban menolong pasien gawat darurat
Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
Tidak menarik honorarium di luar kepantasan
Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
Mengembangkan profesi secara terus-menerus
Memberikan obat berkhasiat namun murah
Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain
seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain
2. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do
no harm. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:
Menolong pasien emergensi
Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
Mengobati secara tidak proporsional
Mencegah pasien dari bahaya
Menghindari misinterpretasi dari pasien
Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
Memberiksan semangat hidup
Melindungi pasien dari serangan
Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang
merugikan pihak pasien/ keluarganya
3. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to
self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk
hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).
Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:
Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri
Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)
Berterus terang
Menghargai privasi
Menjaga rahasi pasien
Menghargai rasionalitas pasien
Melaksanakan informed consent
Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri
Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi
Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien
Menjaga hubungan
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan
semua pasien sama dalam kondisi yang sama.
Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi:
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,
quality)
Menghargai hak hukum pasien
Menghargai hak orang lain
Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)
Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll
Tidak melakukan penyalahgunaan
Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat
Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan
Bijak dalam makroalokasi 1
Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum lebih ke
arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Pengecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Hal-hal yang diinformasikan kepada pasien seperti:1
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan
kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada
pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan
terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada
pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu
prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib
memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia
harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari
beberapa pilihan tersebut.
4. Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan
pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya
dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau
tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan
dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian
beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan
merupakan bagian dari informed consent.
Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran diatur dalam beberapa peraturan/ketetapan yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966
2. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter juga
disebutkan dalam lafal sumpahnya bahwa dokter harus merahasiakan segala
sesuatu yang ia ketahui karena pekerjaaan dan karena keilmuannya sebagai
dokter.
3. Pasal 22 ayat (1) b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan diatur bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan
tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas dan data
kesehatan pribadi pasien.
4. Kode Etik Kedokteran dalam pasal 12 menetapkan: setiap dokter wajib
merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga
setelah penderita itu meninggal dunia.
Sesuai dengan ketentuan pasal 48 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran ditetapkan sebagai berikut:
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Dan pasal 51 huruf c Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 adanya kewajiban
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia. Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur
dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008
Tentang Rekam Medis sebagai berikut: Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal :
f. untuk kepentingan kesehatan pasien;
g. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
atas perintah pengadilan;
h. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
i. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
j. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.
Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi
persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu
sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien
(consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.
Hak Akses
a. Hak akses pasien terhadap rahasia kedokteran didasarkan pada:
Data-data medik yang tercantum dalam berkas rekam medis . Rekam medis adalah data-
data pribadi pasien yang merupakan tindak lanjut dari pengungkapan penyakit yang di
derita oleh pasien kepada dokternya. Maka ia pun berhak untuk memperoleh informasi
untuk mengetahui apa saja yang dilakukan terhadap dirinya dalam rangka
penyembuhannya.
Hal ini sudah dijabarkan dalam Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut
pengaturan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam melakukan tindakan kedokteran
dokter harus memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
6. Perkiraan pembiayaan.
b. Hubungan hukum antara dokter- pasien untuk berdaya upaya menyembuhkan pasien
(inspanning verbintenis ). Hak akses terhadap rahasia kedokteran bisa disimpulkan
sebagai kelanjutan dari hak atas informasi. Atau berdasarkan itikad baik dari pihak
dokternya untuk memberikan akses terhadap rekam mediknya yang di dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diberikan dalam bentuk ringkasan
rekam medis.
c. Hak akses terhadap rekam medis adalah sebagai kelanjutan dari kewajiban dokter untuk
memberikan informasi kepada pasien.
Hak Atas Privacy
Hak privacy ini bersifat umum dan berlaku untuk setiap orang. Inti dari hak ini adalah suatu
hak atau kewenangan untuk tidak diganggu. Setiap orang berhak untuk tidak dicampuri
urusan pribadinya oleh lain orang tanpa persetujuannya. Hak atas privacy disini berkaitan
dengan hubungan terapeutik antara dokter-pasien ( fiduciary relationship ). Hubungan ini di
dasarkan atas kepercayaan bahwa dokter itu akan berupaya semaksimal mungkin untuk
memberikan pelayanan pengobatan. Pula kepercayaan bahwa penyakit yang di derita tidak
akan diungkapkan lebih lanjut kepada orang lain tanpa persetujuannya. Dalam pasal 11
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diatur bahwa penjelasan
tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat
pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Hak Tolak Ungkap
Hak tolak ungkap adalah tejemahan terhadap istilah bahasa Belanda verschoningsrecht
yang diatur dalam berbagai peraturan yang menyangkut kewajiban menyimpan rahasia
kedokteran. Artinya bagi si pemegang rahasia (orang yang dipercayakan suatu rahasia)
diwajibkan untuk menyimpan dan tidak sembarangan mengungkapkan rahasia tersebut
kepada orang lain tanpa izin pemilik. Ketentuan pidana yang berkaitan dengan pengungkapan
rahasia kedokteran selain diatur dalam pasal 79 Undang Udang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran juga diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana sebagai
berikut:
1. Pasal 224 KUHP Barang siapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang denagn sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut
undang undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman:
a. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
b. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
2. Pasal 322 KUHP Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling
banyak enam ratus rupiah.
Sementara itu menurut Prof Eck mengemukakan justifikasi pengungkapan rahasia
kedokteran dapat didasarkan kerena:
a. Izin dari yang berhak ( pasien);
b. Keadaan mendesak atau terpaksa.
c. Peraturan Perundang-undangan;
d. Perintah jabatan yang sah.2
Alasan penghapus pidana: pasal 48, 50,52 KUHP. Berkaitan dengan rahasia
kedokteran ini memang tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga sarat dengan
masalah etik, bagaimana jika suami datang ke praktik dokter diantar oleh isterinya sedang
ternyata suami tersebut mengidap penyakit menular seksual, rahasia ini jika diungkapkan di
depan isterinya dampaknya mungkin akan menimbulkan perpecahan rumah tangga. Dalam
hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk
mengungkapkan, karena mereka datang berdua. ( Leenen, 177) . Namun dalam hal ini
sebaiknya dokter membicarakan terlebih dahulu dengan pasiennya ( suami ), apakah isterinya
boleh mengetahui rahasia kedokteran tersebut. Secara teori sebenarnya dokter dapat tidak
menjawab pertanyaan pasien tentang penyakitnya , dalam hal:
a. pada pemberian terapi placebo;
b. jika informasi yang diberikan bahkan akan merugikan atau memperburuk keadaan
pasien itu sendiri;
c. apabila pasien belum dewasa;
d. pasien berada di bawah pengampuan . ( Leenen).
Juga persoalan lain misalnya seseorang menderita penyakit menular yang berpotensi
wabah, ada pengecualian melalui kewajiban pelaporan penyakit wabah yang diatur sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun prinsip privacy pasien tetap harus dijaga.
Juga bagaimana jika rahasia kedokteran pasien sudah diungkapkan kepada media massa oleh
pasien sendiri sehingga menyudutkan dokternya, seharusnya dokter mempunyai hak jawab
karena rahasia kedokteran itu sudah diungkap oleh pasien itu sendiri.3
Dampak Hukum
Dasar hukum
pasal 322 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu
pasal 170 KUHP
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
pasal 48 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 22
(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan tertentu
dalam ayat ini adalah tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien
misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk :
a. menghormati hak pasien;
b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
c. memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan;
d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. membuat dan memelihara rekam medis. ,
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 24
(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan (Perlindungan hukum di sini misalnya rasa
aman dalam melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan
membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau jiwa baik karena alam
maupun perbuatan manusia)
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri
Pasal 33
(1) Dalarn rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga
kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. teguran;
b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran
Pasal 1 PP No. 10/1966
Yang dimaksud engan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-
orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam
lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No. 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal
3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini
menentukan lain
Pasal 3 PP No. 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang Tenaga Kesehatan
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang diterapkan oleh menteri
kesehatan.
Pasal 4 PP No. 10/1966
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau
tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat
melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal UU tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 5 PP No. 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut
dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan
berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.4
Peran Dokter
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-
rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip
moral profesi, yaitu autonomy (menghormati), beneficence (berorientasi kepada kebaikan
pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan justice
(meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity (kebenaran =
truthful information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan)
sebagai prinsip turunannya.
Sebagaimana layaknya hubungan antara professional dengan klien pada umumnya,
maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternative jenis hubungan yang
sama. Pada awalnya hubungan dokter pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistic,
dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistic ini kemudian
dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan
kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori
social contract di bidang politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah
pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat
keputusan tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala
keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama
yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan
terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga
memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada
dokter (Im confused by all these facts, doctor. What do you think I ought to do?).
Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai
hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan
yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien.
Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter pasien menjadi peraturan dan kewajiban
saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan
peraturan (followed the rules). Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy,
compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dan
lain lain yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasarkan nilai
kebajikan/keutamaan). Pada hubungan dokter pasien yang virtue based dirumuskan bahwa
hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian tupa sehingga tidak ada satupun
ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter
maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka
mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik
tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal
dari prinsip autonomy.
Berdasarkan hubungan kontrak di atas munculah hak-hak pasien yang pada dasarnya
terdiri dari dua hak, yaitu: (1) the rights to helath care dan (2) the right to self determination.
Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of
Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak
dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk
dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima
atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.
Di sisi lain para pasien juga memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga memilik
hak. Namun yang lebih utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang dimilikinya sejak ia
mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah (a) kewajiban profesi sebagimana
terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode etik kedokteran, standar perilaku profesi (SOP)
dan standar pelayanan medis (SPM), serta (b) kewajiban yang lahir oleh karena adanya
hubungan dokter pasien.
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban
dokter dan pasien di dalam pasal 50-53. Dokter dan dokter gigi memiliki hak untuk
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, hak untuk memberikan layanan medis menurut
standar profesi dan standar prosedur operasional, hak memperoleh informasi yang lengkap
dan jujur dari pasien atau keluarganya dan hak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan
dokter gigi berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
Sementara itu, berdasarkan UU praktik kedokteran pasien memiliki hak untuk
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 ayat (3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Adapun pasal 45 ayat (3) menyatakan tentang penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya
meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan,
alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. Di sisi lain pasien berkewajiban
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Istri.
Istri sebagai pasien juga memiliki hak-hak yang sama besarnya dengan sang suami,
dimana hak-hak terserbut antara lain, hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh
dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau
menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati
kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau
menolak dukungan spiritual atau moral.
UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.1

BAB IV
KESIMPULAN
Pasien laki-laki menderita Gonore (GO) yaitu suatu penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Pasien laki-laki ini sudah terkena GO yang mungkin
tertular dari hubungan yang dia lakukan dengan wanita lain seminggu yang lalu dan dia juga
telah berhubungan dengan istrinya. Maka berkemungkinan besar istrinya telah tertular GO.
Maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah si istri positif menghidap GO atau
tidak.
Dokter harus merahasiakan penyakit si suami karena si suami tidak ingin istrinya tahu
dan terjadinya permasalahan rumah tangga yang besar. Dokter harus menjelaskan komplikasi
yang mungkin timbul jika istrinya tidak diobati. Maka, pasangan ini harus diobati dengan
segera. Pada kasus ini, si suami harus berterus terang kepada istrinya atas kekilafan yang
telah dia lakukan dan mengajak istrinya berobat jika memang benar istrinya turut menderita
GO.
Kesimpulannya, dokter haruslah menjalankan tugas dalam bidang kedokteran dengan
menjaga rahasia pasien dan menjalankan tugasnya untuk mengobati penyakit GO si suami
dan istri.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Departemen Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.h.30-2, 77-85.
2. Kusnadi, Dwijarti LR, Mustofa, Suprana, Setiawan S, Niti S, et al. Informed Consent :
Pelaksanaan share desicion making dalam pelayanan kesehata. Diunduh dari
: http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf. 2008.
3. Yuni Ahdiana. Aspek hukum kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Diunduh
dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2403131141.pdf
4. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi I.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1994.h.20-3.
5. Budiyanto A, Widiatmika W, Sudiono S, Winardi AM, et all. Ilmu kedokteran
forensik. Edisi I. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1997.h.25-33,
44-7.

Anda mungkin juga menyukai