Disusun Oleh :
102008183
BAB I
PENDAHULUAN
KASUS :
Seorang Pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah
pasien lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan
keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan
mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia
masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat
kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita
GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran di antara
keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit,
tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga
sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.
PENGEMBANGAN KASUS :
Pasien laki-laki bernama Budi, dan istrinya bernama Mawar. Pak Budi melakukan
hubungan dengan Ibu Mawar 3 hari yang lalu, dimana alat kemaluan Pak Budi masih belum
terasa sakit dan mengeluarkan nanah. Pak Budi bersedia mengajak istrinya untuk datang ke
dokter untuk melakukan konsultasi dengan dokter setelah diberi penjelasan mengenai
diagnose, tindakan pengobatan, perjalanan penyakit dan risiko penularan pada istrinya.
Prinsip Etika Kedokteran
Pada kasus penyimpanan rahasia kedokteran ini berlaku etika otonomi yang berarti
menghormati hak-hak pasien. Hak pasien tercantum dalam UU praktik kedokteran pasal 45
ayat 3. Hal konkrit yang dilakukan seorang dokter adalah memberikan informed consent yang
meliputi memberitahukan tentang penyakitnya pada pasien bahwa penyakitnya itu merupakan
penyakit akibat hubungan seksual dan bahwa penyakit tersebut bisa disembuhkan. Dokter
juga perlu mengatakan bahwa kemungkinan istrinya tertular cukup besar, sehingga dalam
pengobatan kedua pasangan harus berobat sehingga tidak terjadi fenomena bola ping pong.
Dokter perlu menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah jika pasien sembuh dan kemudian
berhubungan seksual lagi dengan istrinya maka pasien tersebut akan tertular lagi dan terus
menerus begitu. Dokter juga perlu menyarankan pada pasien untuk membawa istrinya untuk
berobat juga. Dalam hal ini kita tetap memberikan hak bebas pada pasien untuk memilih
memberitahukan tentang penyakitnya kepada istrinya atau tidak sebagai tanda bahwa kita
membiarkan pasien mengambil keputusan sendiri. Dan bila pasien tetap dalam keputusan
untuk meminta dokter menjaga rahasianya, maka sebagai dokter kita harus menjaga rahasia
pasien sesuai dengan sumpah jabatan dokter yang berbunyi saya tidak akan menyebarkan
segala sesuatu yang mungkin saya dengar atau yang mungkin saya lihat dalam kehidupan
pasien-pasien saya, baik waktu menjalankan tugas jabatan saya maupun diluar waktu
menjalankan tugas jabatan itu. Semua itu akan saya pelihara sebagai rahasia.
Pada kasus ini juga mengandung prinsip justice atau keadilan dimana si istri
mempunyai hak yang sama untuk mengetahui tentang keadaannya dan memiliki hak untuk
sehat. Oleh karena itu sesuai dengan etika kedokteran maka kita perlu memberitahukan juga
tentang penyakit yang diderita wanita tersebut dan bagaimana cara penularannya serta
pengobatannya. Namun dalam hal ini kita tidak boleh mengatakan secara langsung mengenai
rahasia suaminya karena itu bertentangan dengan etika autonomi dan hukum yang tercantum
dalam pasal 12 yang berisi setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal
dunia.1
Informed Consent
Dalam skenario, informed consent diberikan oleh pihak yang berkompeten, dalam
kasus ini adalah seorang dokter. Dimana informed consent merupakan suatu proses yang
menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya
pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien tersebut
Informed consent biasanya berisikan hasil pemeriksaan, resiko terapi, alternative terapi,
rujukan, dan prognosis. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi
yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan.
Pada skenario, hendaknya dokter memberikan informed consent kepada sang suami.
Informed consent yang diberikan berupa pemberitahuan bahwa akan dilakukan pemeriksaan
pada alat kelamin pasien untuk membantu dokter menegakkan diagnosis terhadap
penyakitnya. Perlu dijelaskan juga prosedur apa saja yang akan dilakukan, misalnya:
membuka celana, palpasi alat kelamin, dll. Apabila pasien menolaknya, maka dokter tidak
boleh melanjutkan pemeriksaan tersebut karena apabila melanjutkan, bisa terjerat dalam
pidana sesuai dalam Pasal 13 Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989, yang berbunyi:
terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.
Setelah dokter menentukan diagnosis dokter wajib memberikan informed consent
tentang penjelasan mengenai penyakit apa yang sedang diderita sang suami. Sebaiknya
penjelasan tentang penyakit ini dengan menggunakan bahasa yang awam dan dapat dipahami
oleh masyarakat biasa. Selanjutnya perlu dijelaskan juga terapi medis apa saja yang menjadi
pilihan pengobatan pasien berserta keuntungan dan kerugian dari terapi tersebut. Pasien
diberi kewenangan sepenuhnya untuk memilih terapi yang akan dijalaninya.
Demikian juga informed consent juga diberikan pada pasien Ibu Tina (istrinya).
Informed consent diberikan berupa pemberitahuan bahwa akan dilakukan pemeriksaan pada
alat kelamin pasien untuk membantu dokter menegakkan diagnosis terhadap penyakitnya.
Selanjutnya dokter juga wajib memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita
pasien. Tetapi karena suami meminta dokter untuk merahasiakan tentang penyakit yang
diderita suaminya, maka dokter harus menjaga rahasia jabatan dokter sesuai dengan Kode
Etik Kedokteran Pasal 12, yang berbunyi: setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia. Dokter di sini dapat memberitahukan kepada isterinya kalau penyakitnya adalah
infeksi alat kelamin yang bisa berasal dari berbagai penyebab. Untuk langkah pengobatan,
diperlukan juga persetujuan dari pasien apakah bersedia untuk melakukan pengobatan
tertentu. Dokter juga perlu menjelaskan kepada pasien prognosis dari penyakit, dimana pada
kasus ini apabila dilakukan pengobatan yang teratur, penyakit ini dapat semnuh total.1
Rahasia Kedokteran
Dokter mempunyai serangkaian kewajiban yang salah satunya merupakan menjaga
rahasian pasien. Di mana seorang dokter dilarang mengungkapkan data-data pasiennya secara
terbuka kepada orang lain, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Berkaitan dengan
pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 Tentang Rekam Medis sebagai berikut:
Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan dapat dibuka dalam hal :
a. untuk kepentingan kesehatan pasien;
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
atas perintah pengadilan;
c. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.
Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi
persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu
sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien
(consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.2,3
Dampak Hukum
Pada kasus skenario, seorang laki-laki yang sudah menikah tetapi mengaku bahwa
sudah pernah berhubungan dengan wanita lain ingin melakukan pemeriskaan dengan keluhan
kencing nanah, setelah diperiksa hasilnya positif menderita GO dan ia tidak ingin istrinya
tahu, tetapi karena telah berhubungan intim dengan istrinya, dia curiga bahwa istrinya juga
telah terkena. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 seorang dokter wajib
menyimpan rahasia kedokteran tersebut terhadap orang lain bahkan isterinya, kecuali: karena
daya paksa, diatur dalam pasal 48 KUHP :Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena
pengaruh daya paksa,tidak dapat dipidana, karena menjalankan perintah UU: diatur dalam
pasal 50 KUHP: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang, tidak dipidana, dan karena menjalankan perintah jabatan, diatur dalam pasal 51
KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana. Tetapi apabila dokter membuka
rahasia kedokteran tersebut, dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama sembilan bulan
berdasarkan pasal 322 KUHP.
Berdasarkan PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 21, setiap tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga
kesehatan. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (tenaga kesehatan yang berhubungan
langsung dengan pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk : menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan
data kesehatan pribadi pasien, memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan
tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan,
membuat dan memelihara rekam medis. Dalam pasal 33, dalam rangka pengawasan, Menteri
dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan berupa teguran atau
pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut pasal 24 UU yang sama, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
(Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya,
perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau
jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia).4
Peran Dokter
Dalam setiap menghadapi suatu kasus yang berhubungan dengan masalah etika, peran
dokter yang perlu diperhatikan adalah kembali kepada empat prinsip utama moral profesi
kedokteran yaitu autonomy , beneficence, non maleficence, dan justice serta prinsip-prinsip
turunannya yaitu veracity, fidelity, privacy, dan confidentiality.
Dengan berlandaskan ke-empat prinsip utama tersebut seorang dokter seharusnya
dapat membangun suatu hubungan dokter pasien yang baik, dimana bukan hanya seorang
dokter wajib menunaikan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya tetapi juga memperhatikan
pasien sebagai seorang manusia dengan cara berempati, memberikan perhatian, bersikap
ramah, serta menunjukkan itikad baik.
Hubungan dokter pasien juga dapat diibaratkan sebagai suatu hubungan kontrak
seorang professional dengan kliennya, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajibannya masing-masing. Hak-hak pasien antara lain, seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan. Pada kasus ini, sebagai
seorang dokter kita harus dapat menyadari bahwa permintaan sang suami untuk merahasiakan
penyakitnya kepada istrinya merupakan hak seorang pasien, akan tetapi sang istri yang akan
diobati juga adalah seorang pasien, sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan
informasi yang lengkap tentang penyakit yang sedang dideritanya serta tujuan dan prosedur
pengobatan yang akan dilakukan pada dirinya.
Seorang dokter juga mempunyai kewajiban untuk menjelaskan penyakit yang sedang
diderita oleh pasiennya, termasuk di dalamnya adalah perjalanan penyakitnya,
pengobatannya, risiko penularan serta pencegahannya. Dengan menjelaskan kepada sang
suami mengenai cara dan risiko penularan penyaki Gonnorhoea (GO), melalui hubungan
seksual, diharapkan sang suami dapat datang kembali membawa serta istrinya yang
kemungkinan besar sudah tertular penyakit GO ini. Apabila sang suami tetap menolak untuk
membawa istrinya coba jelaskan kepada sang suami tentang perjalanan penyakit yang akan
dialami oleh istrinya serta risiko penularan kembali penyakit GO pada dirinya apabila hanya
dia sendiri saja yang diobati.
Sang istri yang datang kepada dokter juga merupakan seorang pasien yang
mempunyai hak yang sama besarnya dengan sang suami. Oleh karena itu, dokter wajib
memberikan informasi lengkap mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk bagaimana
cara ia bisa mendapat penyakit tersebut. Kita tentu akan terguncang apabila mengetahui
bahwa orang yang kita cintai telah mengkhianati kita, oleh karena itu sebagai seorang dokter
yang menerapkan prinsip-prinsip dasar etika profesi kedokteran, kita harus bisa menjelaskan
masalah ini kepada sang istri dengan berempati. Luangkan waktu untuk menjelaskan masalah
seperti ini secara pribadi. Cari waktu dimana pasien sedang tidak banyak sehingga dapat
dengan lebih nyaman menjelaskan masalah-masalah seperti ini.1,5
Istri
Istri sebagai pasien juga berhak mengetahui tentang penyakit yang dideritanya serta
bagaimana cara pengobatan serta penularannya. Selain itu juga merupakan kewajiban seorang
dokter untuk dapat menjelaskan kepada pasiennya tentang penyakit yang dideritanya dengan
atau tanpa pertanyaan dari pasien tersebut.
Dalam memberitahukan kabar yang kurang menyenangkan, seorang dokter juga harus
mengingat bahwa pasien juga adalah manusia yang mempunyai perasaan dan bukanlah
sebuah robot tanpa hati. Oleh karena itu, dokter harus dapat menyampaikan berita ini dengan
rasa berempati dan menjaga perasaan pasien.
Peran dokter dalam kasus HIV
Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah
melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga
kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan
adalah privacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak
privacy pasien, confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai
rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan
kejujuran.
Pada pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa pemaparan isi rekam medis hanya
boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien jadi kita harus
menjaga kerahasiaan pasien tentang penyakitnya.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan
jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena
terbongkarnya status kesehatan.
Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA
memuat hak pasien terhadap kerahasiaan adalah Semua informasi yang teridentifikasi
mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis, diagnosis, prognosis, dan tindakan medis
serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah
kematian.
Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit
atau memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain
hanya sebatas apa yang harus diketahui kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit.
Namun dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informasi kepada pasangan atau
partner seksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien
tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia
(mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar:
- partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi
- pasien menolak memberi tahu pasangan seksnya
- pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah mengatakan
kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.
Dokter harus mengungkapkan status penderita HIV pada anak, orangtua, pengasuh
atau pasien itu sendiri. Perlu dilakukan konseling untuk mengatasi efek psikologis dan efek
medis dari penyakit, termasuk didalamnya diskusi antara pasien dan konselor. Pasien harus
melaporkan dan mengungkapkan mengenai penyakitnya baik kepada keluarga, teman, dan
lainnya.
Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi HIV AIDS terdapat 3 masalah etik, yaitu ;
1. Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui ( need-to-know principle ).
2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu ( blanket
authorization).
3. Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan sekunder (
secondary release ).
Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV
AIDS dapat diberikan dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan
informasi tersebut. Hal ini sesuai dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004
memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal
48 ayat (2):
- untuk kepentingan kesehatan pasien
- untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum
- permintaan pasien sendiri
- berdasarkan ketentuan undang-undang
Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah :
1. Keadaan memaksa
Hal ini diatur di dalam pasal 48 KUHP : Siapapun tak terpidana jika melakukan tindakan
karena didorong oleh keadaan terpaksa.Keadaan ini dapat pula disebut overmatch yang
terdapat dua pengertian :
Absolute Overmatch
Seseorang dikatakan di dalam keadaan terpaksa apabila ia dihadapkan kepada kekerasan
untuk tekanan jasmani atau rohani sedemikian, hingga ia kehilangan kehendak untuk
melakukan suatu hal lain daripada satu-satunya tindak pidana yang merupakan pelanggaran
hukum.
Nisbi Overmatch
Keadaan memaksa timbul karena adanya tekanan rohani sehingga yang bersangkutan berbuat
suatu hal yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika keadaan terpaksa atau darurat tersebut tidak
ada.
Sementara itu dokter dan petugas medis diperkenankan membuka rahasia pasiennya secara
terbatas kepada pihak tertentu asal memenuhi 3 syarat :
- Syarat keterbatasan pada pihak yang relevan saja : Misalnya kepada suami / Istri,
pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut.
- Syarat keterbatasan informasi : yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan saja.
- Syarat keterbatasan persyaratan : yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan-
persyaratan tertentu saja seperti misalnya :
Ada resiko penularan penyakit
Secara medis informasi tersebut layak dibuka 1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran
Pasal 1 PP No. 10/1966
Yang dimaksud engan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-
orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam
lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No. 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal
3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini
menentukan lain
Pasal 3 PP No. 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang Tenaga Kesehatan
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang diterapkan oleh menteri
kesehatan.
Pasal 4 PP No. 10/1966
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau
tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat
melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal UU tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 5 PP No. 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut
dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan
berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.4
Peran Dokter
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-
rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip
moral profesi, yaitu autonomy (menghormati), beneficence (berorientasi kepada kebaikan
pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan justice
(meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity (kebenaran =
truthful information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan)
sebagai prinsip turunannya.
Sebagaimana layaknya hubungan antara professional dengan klien pada umumnya,
maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternative jenis hubungan yang
sama. Pada awalnya hubungan dokter pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistic,
dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistic ini kemudian
dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan
kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori
social contract di bidang politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah
pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat
keputusan tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala
keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama
yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan
terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga
memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada
dokter (Im confused by all these facts, doctor. What do you think I ought to do?).
Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai
hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan
yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien.
Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter pasien menjadi peraturan dan kewajiban
saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan
peraturan (followed the rules). Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy,
compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dan
lain lain yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasarkan nilai
kebajikan/keutamaan). Pada hubungan dokter pasien yang virtue based dirumuskan bahwa
hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian tupa sehingga tidak ada satupun
ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter
maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka
mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik
tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal
dari prinsip autonomy.
Berdasarkan hubungan kontrak di atas munculah hak-hak pasien yang pada dasarnya
terdiri dari dua hak, yaitu: (1) the rights to helath care dan (2) the right to self determination.
Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of
Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak
dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk
dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima
atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.
Di sisi lain para pasien juga memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga memilik
hak. Namun yang lebih utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang dimilikinya sejak ia
mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah (a) kewajiban profesi sebagimana
terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode etik kedokteran, standar perilaku profesi (SOP)
dan standar pelayanan medis (SPM), serta (b) kewajiban yang lahir oleh karena adanya
hubungan dokter pasien.
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban
dokter dan pasien di dalam pasal 50-53. Dokter dan dokter gigi memiliki hak untuk
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, hak untuk memberikan layanan medis menurut
standar profesi dan standar prosedur operasional, hak memperoleh informasi yang lengkap
dan jujur dari pasien atau keluarganya dan hak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan
dokter gigi berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
Sementara itu, berdasarkan UU praktik kedokteran pasien memiliki hak untuk
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 ayat (3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Adapun pasal 45 ayat (3) menyatakan tentang penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya
meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan,
alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. Di sisi lain pasien berkewajiban
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Istri.
Istri sebagai pasien juga memiliki hak-hak yang sama besarnya dengan sang suami,
dimana hak-hak terserbut antara lain, hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh
dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau
menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati
kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau
menolak dukungan spiritual atau moral.
UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.1
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien laki-laki menderita Gonore (GO) yaitu suatu penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Pasien laki-laki ini sudah terkena GO yang mungkin
tertular dari hubungan yang dia lakukan dengan wanita lain seminggu yang lalu dan dia juga
telah berhubungan dengan istrinya. Maka berkemungkinan besar istrinya telah tertular GO.
Maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah si istri positif menghidap GO atau
tidak.
Dokter harus merahasiakan penyakit si suami karena si suami tidak ingin istrinya tahu
dan terjadinya permasalahan rumah tangga yang besar. Dokter harus menjelaskan komplikasi
yang mungkin timbul jika istrinya tidak diobati. Maka, pasangan ini harus diobati dengan
segera. Pada kasus ini, si suami harus berterus terang kepada istrinya atas kekilafan yang
telah dia lakukan dan mengajak istrinya berobat jika memang benar istrinya turut menderita
GO.
Kesimpulannya, dokter haruslah menjalankan tugas dalam bidang kedokteran dengan
menjaga rahasia pasien dan menjalankan tugasnya untuk mengobati penyakit GO si suami
dan istri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Departemen Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.h.30-2, 77-85.
2. Kusnadi, Dwijarti LR, Mustofa, Suprana, Setiawan S, Niti S, et al. Informed Consent :
Pelaksanaan share desicion making dalam pelayanan kesehata. Diunduh dari
: http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf. 2008.
3. Yuni Ahdiana. Aspek hukum kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Diunduh
dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2403131141.pdf
4. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi I.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1994.h.20-3.
5. Budiyanto A, Widiatmika W, Sudiono S, Winardi AM, et all. Ilmu kedokteran
forensik. Edisi I. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1997.h.25-33,
44-7.