Profil Indonesia
Indonesia adalah negara terpadat ke-empat di dunia. Profil demografis negeri ini relatif muda,
kendati demikian pertumbuhan penduduk juga relatif tinggi yang semakin meningkatkan tekanan
finansial pada sumber daya kesehatan. Meskipun memiliki populasi yang besar, nilai pasar
farmasi Indonesia saat ini masih sangat rendah.
Populasi penduduk usia 65 tahun ke atas tercatat hanya di atas 5% dari total penduduk. Indikator
kesehatan yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir menjadi pertanda yang baik bagi
pembangunan ekonomi sebagai suatu sumber kesehatan yang makin menguat.
Dari model belanja Business Monitor International (BMI) yang dilaporkan pada Mei 2010,
menunjukkan bahwa pasar farmasi di Indonesia akan bernilai Rp 81,03 triliun pada 2019. Dipicu
oleh adanya ledakan ekonomi, inflasi yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang signifikan, dan
meningkatnya anggaran kesehatan pemerintah. Namun angka ini bisa bergeser secara signifikan
apabila Sistem Jaminan Sosial Nasional diterapkan.
Situasi ini menjadi peluang bagi industri farmasi untuk memanfaatkan pasar lokal. Namun bagi
perusahaan asing, mereka agak terbentur oleh policy di lingkungan bisnis yang 'proteksionis',
prevalensi dari obat palsu dan penetapan harga tidak transparan dan pembayaran kembali.
Ekonomi Indonesia kian meningkat dengan pertumbuhan riil PDB rata rata 5,7% per tahun.
Pendorong utama dari pertumbuhan pasar domestik di masa mendatang terkait dengan demografi
Indonesia; meningkatnya rata-rata harapan hidup, memicu peningkatan penyakit degeneratif dan
meningkatkan permintaan untuk obat-obatan gaya Barat. Di sisi lain, Indonesia masih
mengalami masalah karena penyakit menular (terutama demam berdarah dan malaria), situasi
diperparah oleh akses terbatas pada obat-obatan.
Kondisi ini juga telah mendorong pertumbuhan obat-obatan herbal baik dalam penggunaan dan
popularitas. Obat herbal berpotensi menjadi pesaing bagi obat bebas (OCT) pada tahun-tahun
mendatang.
Selain itu, meskipun Indonesia merupakan salah satu pasar obat terbesar, belanja kesehatan
pemerintah Indonesia yang lebih kecil dari negara-negara tetangga, memaksa pasien untuk
membayar sendiri biaya kesehatannya. Konsekuensinya, obat resep akan rentan terhadap
kemerosotan ekonomi, serta meningkatkan gelombang obat palsu dan rendahnya daya beli
penduduk.
Prioritas pemerintah termasuk regulasi restrukturisasi peraturan dan mendorong FDI, dengan
rencana mengurangi lamanya waktu persetujuan lisensi produksi atau perdagangan dari 150 hari
untuk 30 hari. Meskipun, banyak dari restrukturisasi yang saat ini masih di atas kertas, belum
semuanya terealisasi akan menunda setiap peningkatan dalam investasi asing, ditandai di sektor
ini dalam jangka pendek. Selain itu, pemberlakuan Undang-Undang Investasi yang diwarnai
kontroversi akan membatasi FDI.
Beberapa produsen lokal senang bahwa mereka akan mendapat sumber bahan baku lebih murah,
meskipun yang lainnya merasa khawatir bahwa pasar domestik akan semakin terkena dampak
persaingan.
Pemerintah telah mengumumkan bahwa mereka menawarkan insentif pajak kepada sejumlah
investor baru dan sektor industri. Fasilitas ini akan ditawarkan kepada perusahaan untuk
membangun pabrik baru atau perluasan usaha di sektor kimia, petrokimia dan industri farmasi.
Pemerintah yakin bahwa ini selanjutnya dapat mendorong investasi asing, dengan rencana
lainnya yang bertujuan menarik modal asing termasuk usulan penghapusan industri farmasi dari
daftar 'investasi negatif'.
Nilai impor farmasi Indonesia mencapai US$ 1,17 milyar pada tahun 2012, sebagian besar
perusahaan asing mencapai pasar melalui produk impor. Selain itu, sekitar 95% dari 1.300 bahan
baku (API) yang digunakan untuk pembuatan obat di Indonesia adalah impor. Harga bahan baku
merupakan masalah karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang fluktuatif.
Untuk mengamankan pasokan biaya rendah API, industri farmasi milik pemerintah Kimia Farma
dan Indofarma menandatangani kontrak dengan pemasok API asal Cina secara aktif memberikan
antibiotik masal. Industri farmasi India juga tertarik untuk memperluas pasarnya di Indonesia,
dimana mereka sudah eksis melalui produk yang masuk sebagai re-export dari Singapura.
Mayoritas ekspor India ke Indonesia untuk bahan baku adalah penting, karena Indonesia
memiliki ketergantungan hampir sepenuhnya.
Ekspor Obat
Terutama obat generik, secara historis tercatat merupakan bagian kecil dari penjualan industri
domestik.Indonesia mengekspor berbagai jenis obat, walaupun secara umum murah seperti
produk berbasis OTC, analgesik dan vitamin.
Namun ekspor saat ini terhambat oleh kurangnya investasi R&D, walaupun usaha patungan
dengan perusahaan multinasional berpotensi meningkat secara signifikan untuk memperbaiki
situasi.
Pasar obat-obatan herbal tradisional juga bisa membuktikan jalan untuk pertumbuhan ekspor,
dengan perdagangan telah menjadi senilai Rp 2 trilyun pertahun dan kebanyakan mencapai
Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong, serta Timur Tengah dan Rusia.
Analisas Potensi Pasar Industri Farmasi untuk Obat ethical di Indonesia
Ukuran Pasar
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara saat ini mengalami
perubahan yang berarti. Dalam kacamata kesehatan, pola hidup dan kesadaran masyarakat
Indonesia terhadap kesehatan secara umum semakin membaik.Hal tersebut merupakan dampak
positif dari membaiknya situasi perekonomian Negara dan daya beli masyarakat.
Selain itu dukungan program kesehatan pemerintah yang makin gencar untuk akses kesehatan
masyarakat semakin mempercepat meningkatnya pola hidup sehat di masyarakat dari tahun ke
tahun. Kondisi ini menjadi pendorong utama bagi pengembangan industri farmasi nasional. Masa
depan industri farmasi Indonesia memiliki potensi sangat besar, mengingat total belanja
kesehatan dan obat-obatan di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di
ASEAN
Menurut data Business Monitor Internasional (BMI) Proporsi Belanja Kesehatan dan PDB
Indonesia pada 2011 hanya sebesar 2,7%. Total Belanja Kesehatan Indonesia sejak tahun 2008
berkisar pada 2,7% - 2,9%
Mengacu data tersebut, proporsi belanja kesehatan terhadap PDB Indonesia pada 2011 adalah
2,1%, lebih rendah dari Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Total belanja kesehatan
Indonesia pada 2011 mencapai Rp 200 triliun dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 247
triliun pada 2015. Dalam data BMI tercatat Belanja Obat Indonesia per kapita pada 2011 sebesar
US$ 11,4, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Hal hal yang perlu diperhatikan terkait ukuran pasar farmasi di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Topografi penduduk
Kelompok masyarakat yang menjadi target pasar dari produk farmasi di Indonesia saat ini
adalah penduduk yang bekerja, dengan asumsi kelompok masyarakat ini memiliki daya beli
tinggi dan jaminan atau asuransi kesehatan yang memadai (jamsostek). Namun di masa
mendatang, ketika system jaminan sosial di bidang kesehatan mulai dilaksanakan secara
nasional (saat ini sedang dibuat pilot project di DKI Jakarta), maka semua penduduk di
Indonesia dapat menjadi target pasar produk farmasi.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 227.345.082 jiwa dengan total penduduk yang
berada pada usia kerja adalah 171.756.077 jiwa, sedangkan yang bekerja sekitar 109.670.399
jiwa.
Sulit menentukan secara pasti jumlah obat yang dikonsumsi oleh Indonesia dalam satu tahun.
Namun merujuk pada angka penjualan dan beberapa riset serta survey diperkirakan nilai
pasar farmasi Indonesia sebesar 43,7 triliun pada akhir tahun 2012 dengan potensi
pertumbuhan pasar sebesar 12% - 15% per tahun.(http://indonesia-
pharmacommunity.blogspot.com).
Berdasarkan jenis obat, Obat ethical masih menjadi kontributor terbesar untuk pasar farmasi
Indonesia yakni sebesar 58,1% dengan nilai Rp 25,39 triliun pada 2012 dan pertumbuhan rata-
rata sebesar 13,9% per tahun
Sementara itu, dalam periode yang sama, Obat OTC tumbuh rata-rata 11,8% per tahun dengan
nilai mencapai Rp 18,31 triliun, dan pangsa pasar mencapai 41,9%.
Tingkat pertumbuhan pasar farmasi untuk obat ethical di Indonesia dipengaruhi oleh hal hal
berikut :
Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012 tumbuh sebesar 6,23 persen dibandingkan dengan
tahun 2011.Besaran PDB Indonesia tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai Rp8.241,9
triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp2.618,1 triliun.PDB per
kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2012 mencapai Rp33,3 juta (US$3.562,6),
meningkat dibandingkan PDB per kapita pada tahun 2011 yang mencapai Rp30,4 juta
(US$3.498,2). (sumber BPS)
b. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2012 tercatat sebesar 6,23 persen.
Kinerja Investasi pada tahun 2012 terus membaik mencapai 10,7%,
dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya sebesar 8,8%.
c. Petumbuhan penduduk
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun
mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada
tahun 2025. Walaupun demikian, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia
selama periode 2000-2025 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-
2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 persen per tahun, kemudian
antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun menjadi 1,34 persen dan 0,92 persen per
tahun. Turunnya laju pertumbuhan ini ditentukan oleh turunnya tingkat kelahiran dan
kematian, namun penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan karena
kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari sekitar 21 per 1000 penduduk pada awal
proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude
Death Rate (CDR) tetap sebesar 7 per 1000 penduduk dalam kurun waktu yang sama.
Pertumbuhan nilai pasar obat ethical di Indonesia diyakini akan tumbuh lebih cepat apabila
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diterapkan sepenuhnya di seluruh Indonesia.
Penerapan Kartu Jakarta Sehat di Provinsi DKI Jakarta sejak awal 2013 sebagai pilot project
implementasi SJSN di Indonesia telah membuat jumlah pasien meningkat hingga 3 kali lipat.
Hal ini merupakan indikasi akan adanya lonjakan percepatan pertumbuhan pasar obat ethical
di Indonesia ketika SJSN dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Keberadaan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam industri farmasi adalah penting, mengingat
setiap perusahaan obat dalam mendistribusikan produk obat harus menggunakan jalur Pedagang
Besar Farmasi.
Dari Pedagang Besar Farmasi, produk obat selanjutnya dipasarkan melalui sub-distributor atau
langsung ke pengecer seperti apotek, rumah sakit, toko obat, dokter, dan toko-toko umum
lainnya dengan menggunakan layanan medical representative.
Pada 2010 terdapat sekitar 2.855 Pedagang Besar Farmasi dengan apotek sebanyak 16.603 gerai
dan toko obat 8.447 gerai. Di jalur ritel, persentase obat yang dipasarkan melalui apotek sekitar
43%, melalui toko-toko umum sebesar 18%, melalui toko obat 14%, melalui dokter 13%, dan
melalui rumah sakit sebesar 12%.
Beberapa hal yang mempengaruhi omset penjualan apotek adalah lokasi, kehadiran dokter yang
membuka praktek pribadi dalam lokasi farmasi dan persepsi publik tentang kelengkapan obat
yang disediakan oleh apotek. Secara umum, marjin keuntungan yang diperoleh oleh apotek dari
penjualan obat rata-rata sekitar 10% untuk Obat OTC, sedangkan untuk Obat ethical sebesar
20% - 30%.
Data yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan 2011, mencatat
bahwa Pertumbuhan industri farmasi juga didukung oleh pengembangan fasilitas distribusi
farmasi, seperti Pedagang Besar Farmasi sebagai grosir, apotek dan toko obat sebagai pengecer.
Selama tahun 2007-2010, apotek tumbuh rata-rata 35% per tahun, ini merupakan kenaikan
tertinggi di antara jalur distribusi lainnya. Pada tahun 2010 tercatat jumlah apotek di Indonesia
mencapai 16.603 gerai.
Provider layanan yang melakukan distribusi produk farmasi di Indonesia
1. Rumah Sakit
4. Toko Obat
Menurut data Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan 2011, jumlah
produsen farmasi di Indonesia pada 2010 tercatat 251 perusahaan. Dari seluruh produsen, sebesar
38% atau sebanyak 95 perusahaan yang berlokasi di Jawa Barat (jumlah tertinggi), diikuti oleh
Jakarta dari sebanyak 46 perusahaan dan Jawa Timur sebanyak 45 perusahaan.
Secara keseluruhan, Grup Kalbe memiliki pasar farmasi terbesar di Indonesia (13%), diikuti oleh
Grup Dexa Medica (5%), Sanbe (5%), Grup Soho (5%), Grup Pharos (4%), Grup Tempo (3 %),
dan Grup GlaxosmithKline (3%).
Bila dilihat secara lebih rinci berdasarkan jenis obat, para pemain utama di segmen Obat ethical
adalah Grup Kalbe (13%), Grup Dexa Medica (7%), Sanbe (6%), Grup Sanofi Aventis (4%),
Grup Novartis (4%), Fahrenheit (4%), dan Interbat (3%). Sementara itu, pemain utama di
segmen OTC meliputi Grup Kalbe (14%), Grup Soho (8%), Grup Pharos (7%), Grup Tempo
(7%), Grup Abbott (5%), Konimex (5%) , dan Grup GlaxosmithKline (4%).
Grup Kalbe menguasai pangsa pasar terbesar, baik untuk Obat ethical dan OTC. Ada nama-nama
besar beberapa pemain asing seperti Grup Sanofi Aventis asal Perancis dan Grup Novartis dari
Swiss di pasar Obat ethical. Adapun pasar Obat OTC lebih dikuasai oleh pemain lokal.
Pada 2012 persaingan bisnis semakin ketat dalam industri farmasi, dimana diversifikasi produk
yang semakin banyak dihasilkan oleh perusahaan farmasi besar. Persaingan di segmen consumer
health (OTC, minuman energi, nutrisi) diperkirakan akan lebih ketat di masa mendatang.
Di sisi lain, peraturan pemerintah yang melarang perusahaan farmasi asing untuk memasarkan
produknya di Indonesia tanpa memiliki fasilitas produksi di Indonesia, peraturan pemerintah
ketat mengenai standar kualitas dan keamanan produk, dan regulasi harga obat menjadi
hambatan untuk masuk ke industri farmasi.
Kebebasan ekonomi
Farmasi merupakan industri yang secara ketat diatur dengan pertimbangan perannya yang tidak
dapat dipisahkan dari fungsi kesehatan.
Berikut adalah beberapa peraturan pemerintah dalam industri farmasi yang terkait dengan:
1. Kualitas Produk dan Keamanan
Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa semua produsen
farmasi, importir dan distributor di Indonesia harus memiliki lisensi.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.949/MENKES/PER/VI/2000 Tentang Registrasi
Obat Jadi yang pada intinya menyatakan bahwa semua produk jadi dari industri farmasi
harus memiliki registrasi dari Kementerian Kesehatan untuk memberikan perlindungan
bagi konsumen
Penerapan GMP yang memaksa industri farmasi Indonesia untuk dapat menerapkan
standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
2. Harga Aturan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 092/MENKES/SK/II/2012 tentang Harga
Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun 2012
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman
Harga Eceran Tertinggi di Label Obat
Resiko
Dari total struktur biaya produksi obat, komponen bahan baku obat mendominasi sekitar 70%
sampai 80% . Sementara itu, sebagian besar (90%) dari bahan baku dari industri farmasi masih
diimpor yang terutama didatangkan dari China (75%), India (20%), dan sisanya adalah dari
Eropa dan Amerika Serikat
Di pertengahan November 2011 lalu, Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 174/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor, yang mengatur pembebasan bea masuk untuk
beberapa bahan baku farmasi.
Dengan peraturan ini, tingkat bea masuk untuk beberapa bahan baku farmasi turun menjadi 0%
dari tingkat sebelumnya 5%, peraturan ini berlaku sejak 17 November 2011.
Menurut Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), impor bahan baku farmasi di
Indonesia pada 2011 mencapai Rp 10,7 triliun dan meningkat dikisaran Rp 11,9 triliun - Rp 12,3
triliun pada 2012 sejalan dengan perkembangan pasar farmasi nasional.
Terkait dengan bahan baku farmasi, fluktuasi dalam nilai tukar rupiah merupakan faktor penting
mengingat kandungan impor sangat besar dalam industri farmasi. Nilai tukar rupiah (pada rata-
rata) pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 9.084 / USD dan naik ke level Rp 8.780 / USD pada
tahun 2011. Untuk 2012, nilai tukar rupiah (pada rata-rata) relatif stabil pada kisaran Rp 8.900 /
USD menjadi Rp 9.100 / USD.
Tingkat nilai tukar rupiah relatif stabil cukup kondusif untuk industri farmasi, mengingat sekitar
90% bahan baku farmasi masih diimpor. Bahan baku berkontribusi sebesar 70% sampai 80% dari
struktur biaya produksi obat.
Dalam Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan pada tahun 2012 disebutkan bahwa ketersediaan obat dan vaksin baru mencapai 87%
dari kebutuhan. Mengingat pada tahun 2012 perkiraan nilai produk farmasi yang beredar sekitar
43,7 triliun maka diperkirakan pada tahun 2012 ada kebutuhan terhadap produk farmasi senilai
6,5 triliun yang masih belum dapat disediakan oleh produsen maupun importir farmasi di
Indonesia dan terus tumbuh dengan presentase rata-rata 12% - 13% setiap tahunnya.
Selain itu implementasi SJSN di seluruh Indonesia diperkirakan rampung dalam 5 tahun ke
depan. Implementasi SJSN ini berdampak pada meningkatnya jumlah pasien yang mengajukan
pengobatan karena mendapat jaminan dari pemerintah. Pasien SJSN mayoritas akan
mengkonsumsi obat ethical karena apabila terdapat konsumsi obat OCT, biayanya tidak
ditanggung oleh pemerintah. Hal ini mengakibatkan permintaan obat ethical sangat berpotensi
mengalami peningkatan yang signifikan (diperkirakan mencapai 25% per tahun).
Kami menyarankan investor investor asing terutama Cina dan India yang memiliki hubungan
erat dengan produsen, importir dan regulator farmasi Indonesia, memasuki indutri farmasi dengn
berfokus pada kelompok obat ethical karena permintaan obat OCT setiap tahunnya hanya
pertumbuhan sekitar 11,8%. Selain itu regulasi obat OCT di Indonesia cukup ketat sehingga
cukup sulit mendapatkan margin laba yang besar dari pangsa pasar ini.
Melihat benchmark diatas, dengan nilai investasi satu triliun rupiah, industri farmasi di Indonesia
dapat mengharapkan ROI lebih dari 9% per tahun. Nilai investasi dengan nilai ROI diatas nilai
inflasi dianggap layak (nlai inflasi Indonesia 6%-7% per tahun).
Entry Strategy
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan No.245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, untuk memperoleh izin usaha farmasi diperlukan tahap
persetujuan prinsip. Persetujuan prinsip diberikan kepada pemohon untuk dapat langsung
melakukan persiapan-persiapan, usaha pembangunan, pengadaan pemasangan instalasi, dan
produksi percobaan. Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap
berproduksi sesuai persyaratan CPOB.
Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri
Kesehatan No.43/Menkes/SK/II/1998. Industri farmasi wajib mempekerjakan sekurang-
kurangnya dua orang apoteker warga negara Indonesia, satu sebagai sebagai penangung jawab
produksi dan lainnyasebagai penangung jawab mutu. Industri farmasi yang telah memenuhi
persyaratan CPOB diberikan sertifikat CPOB
1. Entry barrier
a. Tidak diperlukan skala industry yang cukup besar untuk suatu pendatang baru yang akan
memasuki bisnis ethical. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pemain-pemain
dengan revenue dibawah Rp.50 milyar per tahun seperti Yamanouchi, Medifarma,
Transfarma, Organon dan lain-lain.
b. Bila dibutuhkan modal kerja yang tinggi lebih dikarenakan kebutuhan untuk melakukan
promosi ke dokter, seminar, dan lain-lain yang dapat dipenuhi melalui opsi untuk aliansi
dengan perusahaan farmasi lain (baik asing maupun lokal).
c. BPOM mengatur bahwa perusahaan pabrik obat mesti dipisahkan dengan perusahaan
distribusinya.
d. Adanya klasifikasi dari pemerintah untuk kategori produk obat yang bermacam-macam.
e. Tidak diperkenankan beriklan.
Referensi :