PROPOSAL MAGANG
Oleh :
NUR AISAH
NPM. 0310060312
Oleh :
NUR AISAH
NPM. 0310060312
2014
HALAMAN PENGESAHAN MAGANG
Fakultas : Perikanan
Disetujui :
Alhamdulilah puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
petunjuknya penulis dapat menyelesaikan proposal usulan magang dengan judul TEKNIK
PEMBENIHAN BOTIA (Chromobotia macracanthus Bleeker) DI BALAI PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN HIAS (BPPBIH) DEPOK, JAWA BARAT. Usulan magang
ini dibuat sebagai pedoman untuk melakukan praktek magang di Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok, Jawa Barat .
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ir. Hadi Pranggono, M.Pi selaku Dekan
Fakultas Perikanan, Universitas Pekalongan, Ibu Tri Yususfi Mardiana, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program
Studi dan pembimbing yang telah membimbing dalam penyusunan proposal magang ini, kepada segenap
dosen Fakultas Perikanan, serta kepada Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias
(BPPBIH) Depok. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak dan rekan-rekan yang telah
banyak membantu dalam penyusunan usulan praktek magang ini.
Di samping itu, penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan penyusunan proposal usulan magang ini ke arah yang lebih baik. Harapan penulis
semoga proposal ini memberi manfaat kepada penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENJELASAN
HALAMAN PENGESAHAN MAGANG
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan Botia (Chromobotia macracanthus Bleeker)
2.2. Teknik Pembenihan Ikan Botia
BAB III MATERI DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
3.2. Bahan dan Alat
3.3. Metode Kerja
3.4. Metode Pengumpulan Data
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Sektor perikanan yang mengalami penaikan setiap tahunnya adalah budidaya ikan hias. Menurut Soni
Wibowo (2010), rata rata pertumbuhan permintaaan negara pengimpor ikan hias mencapai 15 % per
tahun. Negara negara yang dikenal sebagai negara pengimpor ikan hias utama didunia antara lain
Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Kanada, Jepang, Taiwan, dan juga
beberapa negara dikawasan timur tengah. AS merupakan negara pengimpor terbesar, dengan sekitar 70
% persediaan ikan hias dipasar dunia diserap negara ini. Di sisi lain, negara negara di Asia Tenggara
merupakan negara pemasok terbesar ikan hias, mampu memasok sekitar 60% kebutuhan ikan hias dunia.
Indonesia, yang merupakan produsen ikan hias utama, memasok sekitar 15 % pasokan ikan hias
dunia. Singapura tercatat sebagai pengekspor terbesar. Konon ikan ikan yang di ekspor singapura
merupakan ikan ekspor dari Indonesia, Filipina, dan Malaysia.
Ikan botia (Chromobotia macracanthus Bleeker) adalah komoditas ikan ekspor andalan dengan nilai
ekonomis tinggi. Ikan tersebut merupakan spesies ikan hias air tawar yang banyak ditemukan diperairan
umum Sumatera dan Kalimantan. Ikan ini adalah ikan endemik Indonesia yang hanya dapat dijumpai di
perairan Indonesia sehingga banyak diminati oleh pecinta ikan hias. Selain berpeluang pada pasar ekspor,
ikan botia juga diminati oleh masyarat dalam negeri untuk dipelihara.
Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan salah satu jenis ikan hias ini menimbulkan tingkat
kebutuhan benih ikan botia yang terus bertambah. Hambatan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat
akan ikan botia adalah ketersediaan stok benih yang masih mengandalkan tangkapan dari alam. Hasil
tangkapan di alam pun tidak selalu terpenuhi dikarenakan ketersediaannya masih bergantung pada musim
dan kondisi alam yang berpengaruh. Jika ekspliotasi ikan botia dilakukan secara terus-menerus akan
mengakibatkan penurunan ketersediaan ikan botia di alam bahkan terjadinya kepunahan maka dari itu
perlu adanya suatu peraturan dalam penangkapan ikan berekonomis tinggi ini guna mencegah terjadinya
penangkapan berlebihan dan menjaga keberlanjutan ketersediaanya dialam. Selain itu juga harus
didukung dengan usaha pengembangbiakkan agar masyarakat tidak hanya bergantung pada fluktuasi
ketersediaan di alam.
Pemenuhan kebutuhan ikan botia tersebut diantaranya dengan penerapan teknologi pembenihan
yang baik dan benar sebagai upaya untuk menyediakan benih ikan botia yang selanjutnya dapat
dibudidayakan kembali sehingga kelestarian ikan botia terus berlanjut dan tetap terjaga. Dalam hal
demikian, mahasiswa khususnya dibidang perikanan perlu mengetahui teknologi-teknologi dalam menjaga
dan membudidayakan ikan baik secara pendidikan formal maupun non folmal, salah satunya yaitu melalui
kegiatan Magang guna menambah wawasan dan informasi mengenai teknik pembenihan ikan Botia sesuai
cara budidaya ikan yang baik dn benar (CBIB) sehingga dapat diaplikasikan kepada masyarakat guna
menjaga kelangsungan hidup ikan botia, menjaga ketersediaannya dialam, mengebangbiakkan dan
memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketersediaan ikan botia.
1.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya kegiatan magang ini adalah :
A. Mengetahui dan mempelajari secara langsung tentang teknik pembenihan, pemeliharaan, permasalahan
serta solusinya dalam usaha pembenihan Ikan Botia (Chromobotia macracanthus Bleeker).
B. Mengetahui dan memahami cara budidaya ikan hias Botia yang baik dan benar serta mampu
mengaplikasikannya.
1.3. Manfaat
Manfaat dari kegiatan magang ini adalah sebagai berikut :
Untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tentang teknik pembenihan Ikan Botia (Chromobotia
macracanthus Bleeker) yang dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias
(BPPBIH), Depok.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Kottelat (1992) dan Mill (1993), Penyebaran Ikan hias botia di Sumatera dan
Kalimantan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Cobitidae
Genus : Botia
Saanin (1984) menyebutkan bahwa genus botia memiliki 2 spesies, yaitu Botia macracanthus dan B.
hymenophysa. Sedangkan Kottelat, dkk (1993), dalam buku Freshwater Fishes of Western Indonesia and
Sulawesi, mencatat adanya tiga spesies. Selain kedua spesies tersebut, satu spesies lainnya adalah B.
reversa (Rangga Wiryawan,2012).
Adapun perbedaan dari ketiga spesies ikan botia ini menurut Ghufran dan Kordi (2009) diantaranya :
1. Botia Macracanthus
Spesies yang mempunyai warna paling indah dengan warna dasar kuning keemasan atau sawo
matang yang dibalut warna hitam atau pita hitam di tiga tempat. Pita hitam ini mirip selendang, yang
menyebabkan botia disebut sebagai ratu ikan air tawar. Pita hitam pertama memotong diatas kepala,
melintas persis di mata. Pita yang dibagian tengah tubuh agak lebar, dan yang melintas di pangkal ekor
merambat sampai sirip punggung. Spesies ini hanya terdapat di Indonesia, terutama Sumatera dan
Kalimantan.
2. Botia Hymenophysa
Spesies jenis ini mempunyai ciri warna dasar abu abu atau kecoklatan dan bagian perut berwarna
keperakan. Bentuk tubuhnya mirip spesies Botia macracanthus, hanya saja ukurannya lebih
panjang. Pada tubuhnya terdapat 12 -14 pita tegak berwarna kebiru biruan bertepi hitam. Yang berwarna
pucat lebih lebar. Pada sirip punggung terdapat 12 13 jari jari bercabang, dan terdapat bercak dan garis
warna pada ujung sirip punggung. Spesies ini terdapat di Sumatra, Kalimantan, dan Malaysia.
3. Botia Reversa
Spesies ini memiliki warna dasar abu abu atau kecoklatan. Bentuk tubuh dan kepala mirip
spesies Botia hymenophsa. Pada tubuhnya terdapat 12 pita tegak berwarna hitam. Pita yang berwarna
gelap lebih lebar dari pada yang pucat. Pada sirip punggung terdapat 9 11 jari jari bercabang. Spesies
ini ditemukan di sungai sungai di dataran tinggi. Terdapat di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa.
Soni Wibowo (2010) menyatakan bahwa morfologi ikan botia adalah berbentuk seperti torpedo, agak
bulat memanjang, pipih kesamping, perut nyaris lurus, badan agak melengkung, kepala agak meruncing
pipih kearah mulut, mulut agak kebawah. Diatas mulut memiliki sungut 4 pasang, pada bagian bawah mata
terdapat patil atau duri. Patil tersebut yang akan keluar apabila botia marasa ada bahaya. Sirip dada dan
sirip perut atau anal berpasangan, sirip punggung tunggal dan sirip ekor bercagak agak dalam. Sirip
punggung lebih depan dari serip perut .
Ikan botia (Chromobotia macracanthus Bleeker) juga memiliki warna tubuh kuning keemasan atau
sawo matang dengan 3 garis lebar atau pita hitam lebar yang melingkari tubuhnya. Pita
pertama pada kepala melewati mata, yang kedua dibagian depan sirip punggung dan pita yang ketiga
memotong sirip punggung bagian belakang sampai ke pangkal ekor. Sirip berwarna merah oranye kecuali
sirip punggung yang terpotong garis hitam (Darti dkk. 2007).
Darti dkk. (2007) menyebutkan penyebaran ikan botia sangat luas yaitu di sungai-sungai Sumatera
bagian Selatan dan Kalimantan. Hidup dalam kelompok mulai dari hulu sampai ke muara. Daerah
penangkapan ikan ini adalah diperairan yang tenang yaitu rawa-rawa dan sungai bagian hilir. Anak- anak
botia umumnya ditangkap di nursery ground yaitu ditempat air pasang sampai ke hilir sungai.
2.1.3 Habitat dan Kebiasan Makan
Habitat asli botia adaah sungai atau rawa-rawa yang memiliki perairan jernih. Kondisi daerah
sungai dengan pH air antara 5,0 - 7,0 , suhu 24- 30 C. Perairannyajernih dengan batu-batuan
dasar merupakan tempat botia tinggal. Dari survey yang dilakukan di daerah Sumatera Selatan (sungai
Musi) diketahui anak-anak botia hidup di daerah yang berarus lemah, dasar lumpur dengan kedalaman 5-
10 m. Sementara induknya berada di daerah dengan arus kuat (hulu) yang jernih dan kasar berpasir dan
bebatuan maximum kedalaman adalah sekitar 2 m. Ikan botia hidup di dasar perairan (termasuk ikan
dasar). Termasuk ikan yang pemalu sehingga lindungan atau sembunyian dalam pemeliharaan amat
diperlukan (Fauzan Mustofa, 2010).
Ikan Botia merupakan jenis ikan nocturnal yang aktif pada malam hari. Botia menggunakan sungut
sebagai alat peraba dalam mencari dan mendeteksi makanannya. Ikan tersebut tergolong
karnivora. Sebagai ikan dasar maka pakannya adalah organisme dasar perairan seperti cacing baik cacing
rambut (Tubifex sp)merupakan salah satu pakan yang baik karna mengandung pigmen yang dapat
memperindah warna botia atau larva insekta dasar seperti cacing darah (Chironomus sp.) dan pellet
dengan kandungan protein 30% ( Soni Wibowo, 2010).
Pengembangan usaha pengembangbiakan ikan botia dilakukan secara secara buatan (induced
breeding) dapat diterapkan guna menyediakan benih-benih ikan hasil budidaya. Diluar habitat aslinya,
botia merupakan jenis ikan hias yang masih sulit dipijahkan secara alami maka dalam kegiatan pembenihan
ikan tersebut menggunakan pembenihan sisten intensif atau cara buatan dengan teknologi stimulasi
hormon untuk merangsang pemijahan dan pembuahan (Lisnawati, 2012).
Sebelum memulai kegiatan pembenihan, hal yang perlu diperhatikan adalah persiapan perlengkapan
prasarana dan saranayang menunjang keberhasilan kegiatan pembenihan botia. Perlengkapan tersebut
diantaranya adalah media yaitu air bersih bebas dari polusi dan kualitas air baik. Sebelum digunakan air
tersebut terlebih dahulu diendapkan 24 jam untuk mengendapkan kotoran dan zat yang merugikan.
Perlengkapan lain yaitu wadah pembenihan seperti kolam atau bak perawatan dan pemeliharaan induk,
bak pemijahan, bak penetasan telur, bak perawatan larva serta bak perawatan benih. Mempersiapkan
peralatan pendukung diantaranya seser, mangkok atau baskom plastik, aerasi, spuit, timbangan elektrik,
dan selang sipon.
Hal tersebut juga dijelaskan oleh Soni Wibowo (2010), bahwa Persiapan wadah pemeliharaan induk
diawali dengan setting peralatan, penempatan alat, pengisian air dan desinfeksi media. Sistem
pemeliharaan dengan metode resirkulasi menggunakan 4 (empat) komponen yang terdiri dari wadah
pemeliharaan ikan, fiter biologi besar dan filter biologis kecil serta bak penampunga air. Setelah
penempatan yang tepat, bak dibiarkan selama 2 hari agar bahan-bahan kimia seperti lem dapat
mengering dan bau lem hilang. Wadah induk botia diisi menggunakan air sumur yang telah diendapakan
dan diresirkulasi di tandon yang berukuran 2x2x2 m. Sebelum air dimasukkan ke dalam wadah
pemeliharaan induk, wadah sebelumnya didesinfeksi menggunakan formalin 20 ppm untuk mencegah
penyakit yang bersumber dari wadah pemeliharaan yang baru. Kemudian diisi air dan diresirkulasi selama
6 7 hari. Pengisian air pada wadah pemeliharaan induk botia diisi sebanyak 7000-8000 liter (Soni
Wibowo, 2010).
Pembenihan ikan botia dilakukan secara buatan. Wadah yang digunakan untuk menampung telur dan
sperma menggunakan wadah yang licin dan bebas air seperti mangkok dan petri untuk menghindari
terjadinya kerusakan pada telur dan mempermudah dalam peroses pembuahan. Persiapan lain adalah
spuit 1,0 ml yang sudah diambil jarumnya untuk menyedot sperma yang keluar. Larutan garam fisiologis
atau NaCl 0,9 % juga dipersiapkan untuk mengencerkan sperma dan untuk mempertahankan
sperma. Selain itu untuk mempertahankan sperma disiapkan juga cool box yang diisi es untuk
penyimpanan sperma sementara. (Darti dkk. 2007).
Melakukan sanitasi terhadap semua peralatan dicuci bersih dan dikeringkan sebelum digunakan agar
terhindar dari sumber penyakit dan kegagalan kegiatan pembenihan.
B. Pemeliharaan Induk
Wadah pemeliharaan induk botia di tempatkan di sebuah ruang khusus, berukuran 10x5 m dinamai
Sirkulasi Bak Bundar (SBB). Dengan kondisi ruangan yang gelap dan hanya menggunakan lampu dengan
daya 5 watt dan dilengkapi dengan pendingin ruangan (air condisioner,AC) dengan suhu air 25 - 260C(
Soni Wibowo, 2010) .
Pemeliharaan induk botia dilakukan pada wadah akuarium atau fiberglas dengan kepadatan 6 8
ekor /m2 dan ketinggian air 40 cm. Kualitas air dalam media pemeliharaan induk botia antara lain suhu
dengan kisaran 26 30C, pH 6,5 7,0 dan oksigen terlarut >5 ppm. Wadah ditutup atau dinaungi dengan
bahan gelap dan pada dalan wadah diberi tempat persembunyian berupa genting dan paralon (Lisnawati,
2012).
Menurut Soni Wibowo (2010), indukan yang digunakan dalam pembenihan biasanya menggunakan
indukan yang berasal dari alam sehingga perlu dilakukan adaptasi indukan ke lingkungan baru. Adaptasi
calon induk menggunakan akuarium atau bak yang ditempatkan pada ruang karantina yang
tenang agar tidak terganggu. karena Akuarium untuk karantina ditutup plastik hitam dan bagian atas
akuarium juga ditutup untuk menghindari ikan loncat keluar. Adaptasi ikan dilakukan sekitar 3 minggu,
kemudian ikan dapat dipindahkan dalam bak pemeliharaan induk. Untuk menghindari terjadinya
penyakit akibat stres dapat diberi larutan formalin 20 ppm selama 24 jam dan dilanjutkan dengan
Oxytetracyclin (OTC) 10 ppm selama 8 hari. Lakukan penyiponan dan pergantian air untuk menjaga
kualitas air tetap optimal dan sesaui dengan habitat asli ikan botia. Induk diberi pakan bernutrisi tinggi.
Pakan yang diberikan berupa cacing tanah (Lumbricus sp) yang telah dibersihkan terlebih dahuludan pelet
untuk mempercepat kematangan gonad induk.
Gambar 2. Tempat Pematangan Induk
C. Seleksi Induk
Seleksi induk dilakukan untuk memilih induk matang gonad yang siap untuk dipijahkan dengan kriteria
tertentu agar benih yang dihasilkan berkualitas. Tahapan dalam menyeleksi induk betina matang
gonad menurut Rangga Wirywan (2012), yaitu :
a. Induk Betina
Ciri-ciri bagian gendut, jika diraba lembut, bentuk badan yang agak melebar dan pendek, bentuk lubang
genital agak membulat dan pada sekitar lobang genital agak kemerahan, bobot lebih dari 80 gram.
b. induk jantan
a. Perut lebih langsing, ujung genital papilla (penis) yang berwarna agak merah dan menonjol, bobot lebih dari
40 gram. Jika dlakukan pengurutan keluar sperma yaitu cairan putih susu berarti Induk betina
dibius dengan phenoxy ethanol sebanyak 0,3 mL/L hingga induk diam atau pinsan.
b. Masukkan karterer kedalam lubang genital induk betina sedalam 5-7 cm, sementara ujung yang lain dapat
disedot dengan mulut hati-hati. Telur tersebut akan masuk kedalam selang kateter.
induk tersebut matang gonad. Induk yang baik minimum berbobot 80 gram, optimum 100 gram.
Warna abu-abu agak kehijauan menandakan telur sudah mulai matang. Ukuran telur dapat diperiksa
dibawah mikroskop binokuler dengan menambahkan larutan garam fisiologis (larutan NaCl 0,9 %) dalam
cawan petri. Telur yang sudah matang akan berukuran diameter antara 1,2-1,4 mm dan sudah homogen.
Stadium telur diperiksa untuk melihat kedudukan intinya dengan mikroskop binokuler. Untuk keperluan ini
digunakan larutan serra yang dapat dibuat dari campuran antara asam asetat,formalin 40% dan etanol
70% dengan perbandingan 1:1:1 . dapat pula dengan etanol 60% ,formalin 30% dan asam asetat
10% . Larutan Serra dapat melisiskan atau melunturkan isi telur sehingga isi telur yang lisis paling akhir
akan kelihatan letaknya, oleh karena itu untuk melihat telur dalam larutan serra ini harus cepat. Telur yang
sudah matang inti telur terletak dipinggir. Telur yang sudah siap ovulasi inti sudah berada dipinggir dan
pecah (dekomposisi) yang disebut stadium Germinal Vesicle Break Down atau SVBD (Fauzan Mustofa,
2010).
Penyuntikan hormon dilakukan untuk merangsang ovulasi atau spermiasi pada induk yang sudah
matang gonad, salain itu juga untuk menyempunakan kematangan gonad induk sehingga telur yang
dihasilan lebih optimal. Rangsangan hormon tersebut menggunaan hormon gonadrotropin yaitu ovaprim.
Ovaprim merupakan hormon GNrH serta domperidon. Dosisi yang digunakan dalam penyuntikan adalah 1
ml/kg dari berat induk. Penyuntikan dilakukan dua kali, penyuntikan pertama untuk pematangan sel telur
dengan dosis 0,4 ml/kg. Sedangkan yang kedu untuk sistem pemijahan dengan dosis 0.6 ml/kg. Induk
betina disuntik dua kali (0,4 dan 0,6 ml/kg) sekitar jam 16.00-17.00 , sedangkan induk jantan dilakukan
penyuntikan satu kali (1 ml/kg) dengan interval 6 jam (Fauzan Mustofa, 2010).
Soni Wibowo (2010) juga menyatakan bahwa tempat suntikan dibawah sirip punggung kira-kira 1
cm. Arah jarum adalah 300 ke arah kepala agar ikan tidak berontak maka penggunaan bius seperti saat
kanulasi dapat dilakukan. Sesudah disuntik ikan dapat dimasukkan kembali ke tempat pemeliharaan yang
sudah diamati.
Gambar 5. Penyuntikan Hormon pada Induk
E. Stripping
Stripping yaitu sistem pengeluaran telur dan sperma dari induk jantan maupun betina lewat cara
mengurut sisi genital induk.
Tahapan dalam stripping menurut Darti dkk. (2007) adalah sebagai berikut :
1) Stripping pada induk jantan dilakukan bila induk sudah tampak gelisah dan berenang dengan mengibas -
ngibaskan ekornya.
2) lap tubuh induk jantan hingga kering agar sperma yang diambil tidak bercampur air, kemudian bius
menggunakan MS22 atau phenoxy ethanol 0,3 ml/l air.
3) Sedot sperma menggunakan spuit berisi garam fisiologis, kemudian tampung ke dalam wadah berupa
mangkuk kecil.
4) Encerkan sperma dengan menambahkan larutan garam fisiologis perbandingan 1 : 3. Simpan dalam suhu
dingin seperti kulkas atau ice box. Sperma ini dapat tahan sampai 4-6 jam.
Pada stripping induk betina dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut ini, yaitu:
2) Setelah dibius, lakukan pengurutan hingga telur keluar. Tampung telur dalam wadah berupa mangkuk atau
piring yang permukaannya halus.
3) Bila ketika diurut masih terasa berat, tunggu sejenak hingga terasa ringan kembali.
F. Penetasan Telur
Penetasan telur dilakukan dalam bak berbentuk corong yang dilengkapi dengan sirkulasi (air
mengalir). Setelah telur menetas (sekitar 18 jam pada suhu 26-270C.larva dapat dipindahkan ke akuarium
dan dapat diberi pakan tetasan artemia, setelah 3 - 4 hari ( Aan Spuriatna, 2014).
Total telur
Hatching Rate
Hatching Rate merupakan suatu parameter yang digunakan untuk melihat derajat penetasan telur
(Sumandinata 1981). Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas. Untuk
mendapatkan HR sebelumnya dilakukan sampling larva untuk mendapatkan jumlah larva. Menurut Murtidjo
(2001), HR dapat dihitung menggunakan rumus berikut ini :
Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur yang dikeluarkan dalam sekali pemijahan. Jumlah telur botia sangat
dipengaruhi oleh ukuran induk, diameter telur dan faktor nutrisi . Fekunditas adalah jumlah telur yang
dihasilkan oleh induk betina per ekor, sedangkan fekunditas nisbi adalah jumlah telur yang dihasilkan induk
betina per satuan berat badan (Muhammad Zainudin, 2013).
Menurut Murtidjo (2001) fekunditas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
F= W x n
Keterangan :
F = Fekunditas.
G. Pemeliharaan Larva
Daya tetasnya masih rendah sekitar 40%. Hal ini karena umumnya induk botia susah
beradaptasi. Jika dirawat dengan baik, peluang hidup larva dapat mencapai 80-90%. Larva yang menetas
akan lebih baik dipelihara dalam corong sampai 4 hari yaitu sampai makan artemia. Baru sesudah itu larva
dapat dipindahkan ke tempat pemeliharaan larva seperti akuarium atau bak. Pakan larva botia adalah
pakan alami. Mulut botia akan membuka pada hari ke-4. Ukuran bukaan mulut sudah sekitar 0,2 0,3 mm
sehingga nauplii Artemia tetasan 24 36 jam yang berukuran 0,1 0,15 mm sudah dapat ditelan (Fauzan
Mustofa, 2010).
Gambar 8. Pemeliharaan Larva Ikan Botia
H. Perawatan Benih
Setelah larva menetas, larva tidk perlu diberi pakan sampai umur 3-4 hari pasca menetas dikarenakan
larva masih mempunyai yolk sack atau kuning telur sebagai cadangan makanan. Setelah larva berumur 4
dapat diberi pakanmenyesuaikan bukaan mulut. Bukaan mulut larva botia cukup besar sehingga nauplii
Artemia tetasan 2436 jam sudah tertelan. Hari ke-5 larva sudah dapat makan dengan baik dan hari ke-6
kuning telur sudah habis sama sekali (Soni Wibowo, 2010).
Sirip-sirip mulai tumbuh dan semua anggota badan lengkap pada hari ke-13 (Legendre et al.,
2005). Benih ukuran 2,5 cm (1 inchi ) akan dicapai dalam waktu 30 hari pemeliharaan. Pakan benih biasa
diberikan cacing atau pellet halus. (Darti dkk. 2007)
Pakan yang diberikan pada kegiatan pembenihan adalah pakan yang megandung nutrisi dan gizi
tinggi untuk mempercepat kematangan gonad pada induk, pertumbuhan, energi, serta untuk menjaga daya
tahan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit. Induk diberi pakan alami berupa cacing tanah serta
pelet, suplemen juga perlu diperhatikan tuntuk menghasilkan benih yang baik seperti vitamin E dalam
kematangan gonad serta vitamin C guna kekebalan tubuh.
Menurut Lisnawati (2012) Jenis pakan induk ikan botia berupa cacing sutera (Tubifex sp) dan pelet
dengan kadar protein >35% diperkaya dengan vitamin E 500 mg/kg pakan. Frekuensi pemberian 2 kali
sehari dengan jumlah pemberian dengan metode adlibitum (sekenyangnya).
Pemberian pakan pada larva disesuaikan dengan bukan mulut larva. Larva botia memiliki bukaan
mulut yang lebar sehingga dapat diberi pakan alami berupa artemia. Larva memiliki yolk sack sehingga
selama 3-4 hari setelah menetas tidak perlu diberi pakan. Yolk sac akan habis setelah hari ke 5-6, nmun
untuk antisipasi beberapa kuning telur larva habis lebih awal maka perlu diberi pakan alami. Setelah 15
hari, benih dapat diberi pakan berupa cacing sutra ( Rangga Wiryawan, 2012).
Pakan yang diberikan dalam keadaan bersih. Pakan diberikan secukupnya agar tidak menyisakan
sisa pakan yang akan berpengaruh pada kemunduran kualitas air, frekuensi pemberian 2x sehari dn
dengan waktu yang sama setiap harinya.
Kualitas air sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup botia. Menjaga kualitas air optimum seperti
habitat asli ikan botia tersebut dengan cara melakukan pengukuran kualitas air setiap hari, penyiponan
terhadap akuarium atau bak yang kotor serta pergantian air baru yang rutin dilakukan.
Kualitas air optimal tersebut meliputi suhu 26 - 360 C, pH 5,5 - 7,0 , DO 5 8 ppm ( > 5 ppm), amoniak
< 1,0 ppm, salinitas 0 ppm (Soni Wibowo, 2012).
Parasit adalah organisme yang menjadikan inangnya sebagai sumber makanan. Sedangkan penyakit
adalah segala sesuatu yang menimbulkan perubahan atau gangguan fungsi atau morfologi yang terjadi
pada tubuh ikan botia baik secara langsung maupun tidak. Kesehatan ikan bergantung pada nutrisi pakan
yang diberikan, kualitas air dan lingkungan, serta pada sumber parasit itu sendiri (Nur Aisah, 2014).
Parasi dan penyakit yang biasa menyerang pada ikan umumya adalah sebagai berikut :
Bakteri Aeromonas
Menurut Fahrur razi (2013), Penyakit yang menyerang botia salah satunya adalah bakteri Aeromonas
sp. yang menyerang bagian tubuh ikan mulai dari sisik, sirip, insang sehingga mengakibatkan terjadinya
infeksi dan pendarahan pada tubuh ikan. Ikan yang sakit biasanya berenang ke permukaan dan
menggosok-gosokan badannya kedinding aquarium karena gatal. Gerakan tutup insang akan terlihat lebih
cepat karena pertukaran gas oksigen, karbodioksida dan amoniak terganggu fungsinya serta ikan
cenderung bergerombol. Pengobatan botia terjangkit dengan merendam ikan botia yang sakit selama 5-10
menit dalam larutan garam yang berkadar 0,1-0,3 ppm setelah itu ikan yang telah direndam cuci kembali
dalam air tawar yang bersih.
Bacterial Finn rot / Rusak sirip
Gejala ikan terserang penyakit ini adalah sirip rusak parah terutama ujung ujungnya. Untuk pengobatan
penyakit ini adalah ikan direndam dengan Chloramphenicol dosis 50 ppm selama 2
jam atau Sulphonamidedengan dosis 50 ppm selama 4 jam (Dunia Perikanan, 2013).
Botia merupkan ikan tidak bersisik sehingga rentan terhadap penyakit ick dan boleh hampir dikatakan
tidak memiliki perlindungan terhadap bahan-bahan beracun dalam akuarium. Oleh karena itu hindarkan
dari segala jenis kondisi lingkungan yang dapat memicu berjangkitnya ick atau keracunan
Penyakit yang sering menyerang ikan botia adalah Ichthyopthirius multifilis ditandai adanya bintik putih
pada seluruh bagian tubuh terutama penyerangan tubuh bagian luar ikan (kulit, sirip dan insang) dan
akibatnya dapat menyebabkan kematian (Lisnawati,2012).
Gejalanya adalah ikan terserang berbentuk bintik bintik dengan diaeter 0.5 1 mm. Penyakit ini Sering
menyerang pada kulit, sirip dan insang dan dapat merusak fungsi insang , ciri lain adalah terjadi
pendarahan di sirip dan tubuh ikan mengalami iritasi. Tindakan pencegahan adalah dengan menjaga
kualitas air antara 27 30C dan pemberian imunostimulan vitamin C dosis 500 mg/kg ikan atau glukan
dosis 400 mg/kg ikan yang dicampur pada pakan dengan lama pemberian 5 7 hari berturut-turut.
Sedangkan tindakan pengobatan menggunakan Methilien blue 3 ppm melalui perendaman selama 24 jam
(Lisnawati,2012) .
Untuk cara pengobatan penyakit tersebut dengan perendaman dengan larutan NaCl dosis 10-15
gram/l selama 20 menit, Malachite green oxalat dosis 15 gram / meter kubik, Methylen blue dosis 2-4 cc
dalam 4 liter air rendam 24 jam, Chloramine 1 gram/liter direndam selama beberapa hari, dapat pula
dengan Formalin dosis 200 ppm selama 15 menit diulang selama 14 hari (Nur Aisah, 2014).
BAB III
Timbangan elektrik.
Seser.
Aerasi.
Selang sipon.
A. Observasi
Observasi atau pengamatan secara langsung adalah pengambilan data dengan menggunakan indera
mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir. 1988). Observasi dilakukan
terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan kegiatan pembenihan meliputi Persiapan Prasarana dan
sarana, pemeliharaan induk, seleksi innduk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva dan benih.
B. Wawancara
Wawancara merupakan cara mengumpulkan data dengan cara tanya jawab sepihak yang dikerjakan
secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Wawancara memerlukan komunikasi yang baik
dan lancar antara peneliti dengan subjek sehingga pada akhirnya bisa didapatkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan secara keseluruhan (Nazir. 1988). Wawancara di BPPBIH Depok dilakukan
dengan cara tanya jawab dengan teknisi mengenai segala hal yang berhubungan dengan
teknik pembeihan ikan botia dan permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan kegiatan.
C. Partisipatif
Partisipatif adalah keterlibatan dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara langsung di lapangan
(Nazir, 1998). Kegiatan yang dilakukan adalah memilih dan menyiapkan induk, proses pemijahan,
pemberian pakan, pengelolaan kualitas air.
Pengumpulan data tersebut meliputi data Fertilization Rate (FR) jmlah telur yang dibuahi sperma pada
pemijahan ikan botia, Hatching Rate (HR) untuk mengetahui derajat penetasan telur pada kegiatan
pembenihan, serta (F) guna mengetahui jumlah telur yang dikeluarkan induk pada saat pemijahan.
Langkah dalam penghitungan yaitu dengan menghitung jumlah telur yang dibuahi pada sampling
kemudian dibandingkan dengan jumlah total telur yang ada di toples sampling. Perhitungan Hatching rate
(HR) atau daya tetas telur dengan melakukan sampling larva untuk mendapatkan jumlah larva yang
menetas kemudian bandingkan dengan jumlah larva total sampling. Sedangkan pada Fekunditas telur
dengan mengitung berat total telur, berat telur pada sampling dan jumlah total telur pada sampling. (
Muhammad Zainudin, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Bagaimana Gejalanya ?
Apakah ada rencana pengembangan usaha pembenihan ini, kalau ada bagaimana ?