Anda di halaman 1dari 39

Case Report

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PNEUMOTORAKS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian/SMF Radiologi RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh

Oleh:

Ashari Zuprin 1507101030224


Ichsan 1507101030225
Ridha Rahmah Sufri 1507101030235
Ulva Yogia Guslaf1507101030213

Supervisor:
Nurhayani Dwi Susanti, dr., Sp.Rad.

BAGIAN/SMF RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal, budi, serta berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Gambaran Radiologi
pada Pneumotoraks. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi
besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Adapun laporan kasus ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam
menjalankan kepaniteraan klinik senior pada bagian/SMF Ilmu Radiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada dr. Nurhayani Dwi Susanti, Sp.Rad yang telah meluangkan waktunya
untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.

Banda Aceh, Juni 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS .................................................................. 2


2.1 Identitas ...................................................................................... 2
2.2 Anamnesis .................................................................................. 2
2.3 Primary Survey ........................................................................... 3
2.4 Secondary Survey ....................................................................... 3
2.5 Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 4
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium ............................................. 4
2.5.2 Pemeriksaan Radiologi ................................................... 5
2.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 15


3.1 Anatomi dan Fisiologi ................................................................ 15
3.2 Definisi........................................................................................ 16
3.3 Klasifikasi ................................................................................... 17
3.4 Diagnosis .................................................................................... 19
3.5 Diagnosis Banding ...................................................................... 27
3.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 28
3.7 Prognosis .................................................................................... 31

BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................ 32

BAB V PENUTUP ................................................................................. 36

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 37

3
BAB I
PENDAHULUAN

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis dan


mengempiskan udara melalui trakea yang dipengaruhi tekanan ruang untuk
mempertahankan keberlangsungan pernafasan. Paru-paru sebenarnya mengapung
dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang
menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan
normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan
menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat
mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernafas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks
spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks
traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik(2).

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : M. Farisi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Alamat : Idi Rayeuk, Aceh Timur
Status Perkawinan : Belum Kawin
No CM : 1-13-20-00
Tanggal Pemeriksaan : 12 Juni 2017

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RSUD Aceh Utara dengan keluhan penurunan kesadaran
sejak 12 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, sepeda motor
yang dikendarai pasien bertabrakan dengan mobil innova. Pasien diketahui
langsung tidak sadarkan diri di tempat. Muntah (-), kejang (-), riwayat
perdarahan dari hidung (-), perdarahan dari telinga (-).
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit serupa sebelumnya.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan serupa.
2.2.5 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien adalah pelajar. Riwayat merokok disangkal.
2.2.6 Riwayat Penggunaan Obat
Tidak ada riwayat penggunaan obat sebelumnya.

2.3 Primary Survey


Airway : Unclear, ETT dan collar neck terpasang
Breathing : 30 kali per menit
Circulation : TD 130/70 mmHg, HR 98 kali per menit
Disability : GCS E1M4V2
Exposure : Tampak jejas di daerah kepala, toraks, abdomen, dan
ekstremitas bawah

2.4 Secondary Sruvey


a. Mata : konjungtiva anemis (-/-), ptosis (-/-), sklera ikterik (-/-)
b. Hidung : dalam batas normal
c. Telinga : dalam batas normal
d. Leher : dalam batas normal

2
3

e. Toraks

Inspeksi : asimetris, sela iga melebar, terpasang WSD di ICS V


midaxilaris sinistra
Palpasi : stem fremitus kanan = stem fremitus kiri
Perkusi : hipersonor/hipersonor
Auskultasi : vesikuler (+/-), ronki (-/-), wheezing (-/-)
f. Jantung

Inspeksi : iktus tidak terlihat


Palpasi : iktus teraba
Perkusi : batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama teratur, bising (-)
g. Abdomen
Inspeksi : Tampak jejas hematom ukuran 4x3 cm ar epigastrium,
distensi (-)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
h. Ekstremitas
Inspeksi : Oedema (-/-), Pucat (-/-)
2.5 Pemeriksaan Penunjang
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 12 Juni 2017

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah Rutin
Hemoglobin 8,0 14,0-17,0 g/dl
Hematokrit 25 45-55 %
Eritrosit 3,3 4,7-6,1 x 106/mm3
Leukosit 11,9 4,5-10,5 x 103/mm3
Trombosit 124 150-450 x 103/mm3
Hati dan Empedu
Bilirubin Total 0,55 0,3-1,2 mg/dL
Bilirubin Direct 0,40 < 0,52 mg/dL
Bilirubin Indirect 0,15
SGOT 427 < 35 U/dL
SGPT 224 < 45 U/dL
Protein Total 4,54 6,4-8,3 g/dL
Albumin 2,91 3,5-5,2 g/dL
Globulin 1,62
Elektrolit
4

Kalsium (Ca) 7,4 8,6-10,3 mg/dL


Magnesium (Mg) 1,5 1,6-2,6 mg/dL
Natrium (Na) 138 132-146 mmol/dL
Kalium (K) 4,5 3,7-5,4 mmol/dL
Klorida (Cl) 115 98-106 mmol/dL

2.5.2 Pemeriksaan Radiologi


5

CT Scan Kepala Tanpa Kontras, hasil:


Sulci dan gyri menyempit
Lesi hiperdens dengan edema perifokal pada lobus frontal kanan volume +/-
3.3 cc dan lobus temporal kanan volume +/- 2 cc
Edema cerebri
Fraktur komplit os mandibula kanan
Kesan:
Perdarahan intra parenkim (ICH) pada lobus frontal kanan volume +/- 3.3 cc
dan lobus temporal kanan volume +/- 2 cc
Edema cerebri
Fraktur komplit os mandibula kanan

Thorax AP:
Tampak area lusen avaskuler disertai pergeseran garis pleura pada
hemithorax bilateral.
Infiltrat di kedua paru.
6

Jantung tidak membesar, aorta normal, sinus kostofrenikus, diagragma,


costae normal.
Kesan: pneumotorak bilateral dan kontusio paru

Pelvis AP:
Fraktur os ischium kiri dan ramus inferior pubis kiri.
Tulang-tulang pelvis lainnya intak.
7

Cervical lateral:
Tidak tampak listhesis, fraktur. Diskus normal.
8

Cruris dextra AP/Lateral:


Fraktur komplit dengan shortening pada 1/3 distal os tibia et fibula kanan
dengan displacement fragment distal ke medial posterior.
9
10

USG Ginjal FAST:


Cairan bebas minimal pada fossa hepatorenal (Morrisons pouch).
11

Kedua ginjal normal.

USG Hepar/GB/Lien FAST:


Cairan bebas pada fossa hepatorenal (Morrisons pouch).
Efusi pleura bilateral. Tidak tampak efusi perikardium.
Hepar, gallbladder, dan lien normal.

USG Pankreas/Sistem bilier FAST:


Tidak tampak cairan bebas di sekitar pankreas dan paraaorta.
Pankreas, aorta, dan paraaorta normal

USG Vesica Urinaria/Prostat FAST:


Tidak tampak cairan bebas di peri vesica urinaria.
Vesica urinaria terpasang kateter.

Thorax AP:
Dibandingkan foto thorax sebelumnya, saat ini ujung WSD setinggi sela iga
3-4 posterior kiri.
12

Saat ini tidak tampak lagi pneumotorax kiri, masih terlihat pneumotorax
kanan. Infiltrat di paru kanan.
Jantung tidak membesar. Aorta normal. Sinus kostofrenikus, diafragma,
costae normal.
Kesan:
Ujung WSD setinggi sela iga 3-4 posterior kiri.
Perbaikan pneumotorax kiri.
Pneumotorax kanan, stqa.
Perbaikan kontusio paru.

2.6 Penatalaksanaan
- Primary survey
- 02 6 liter per menit
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Citicolin 500 mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Novalgin amp/8 jam
- Inj. Ranitidin amp/12 jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi


Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan jantung.(8)
Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks dengan jantung di
antaranya, sedangkan aorta descendens serta oeshophagus terletak di belakang
jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan, yaitu: pleura parietalis dan pleura
visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput tipis dari membrana serosa yang
melapisi rongga pleura. Pada daerah yang menghadap mediastinum, pleura ini
beralih meliputi paru-paru sehingga disebut pleura visceralis atau pleura
pulmonalis. Pleura visceralis ini membungkus paru-paru dan melekat erat pada
permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut cavitas
pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi.(9)
Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi
terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu M. intercostalis dan diafragma yang
menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap masuk melalui
trakea dan bronkus (8). Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang
dan mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada.
Dinding dada yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru mengembang
sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya bila M. Intercostalis
melemas maka dinding dada akan mengecil sehingga udara akan terdorong keluar.
Sementara itu, karena adanya tekanan intra abdominal maka diafragma akan
terdorong ke atas apabila tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu lenturnya
dinding thoraks, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intra abdominal
menyebabkan ekspirasi jika M. Intercostalis dan diafragma kendur dan tidak
mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan demikian ekspirasi merupakan
kegiatan yang pasif. (8).

13
14

3.2 Definisi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam


pleura akibat robeknya pleua atau suatu keadaan dimana udara terkumpul di
dalam kavum pleura sehingga memisahkan rongga viceralis dengan parietalis
yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(5).

3.3

Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (2,3) :

1. Pneumotoraks spontan
15

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe


ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke
dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
16

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga
pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu
terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada
dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan. (4) Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound). (2)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang
bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus
serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel
yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin
tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas. (2)
3.4 Diagnosis

1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang sering muncul
adalah (2,4,5) :
17

1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali


sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri
pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3,4) :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu inspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
18

b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni


negative

3. Gambaran Radiologi
1. Foto Thoraks
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat
ditegakkan dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
- Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang
mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paru
yang mengalami pneumothoraks dengan paru yang kolaps
memberikan gambaran radioopak. Bagian paru yang kolaps dan
yang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps
berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis,
yang biasa dikenal sebagai pleural white line.
19

Gambar 1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line.


(dikutip dari kepustakaan 7)

Gambar 2. Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan


dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps.
(dikutip dari kepustakaan 3)
20

- Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang


dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign. (11)
Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura
menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari hepar dan
lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut kostofrenikus
menjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang
klinisi harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus
yang lebih dalam daripada biasanya atau jika menemukan sudut
kostofrenikus menjadi semakin dalam dan lancip pada foto dada serial.
21

Jika hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto ulang dengan posisi
tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda lain pneumotoraks
berupa tepi jantung yang terlihat lebih tajam. Keadaan ini biasanya
terjadi pada posisi supine di mana udara berkumpul di daerah anterior
tubuh utamanya daerah medial.(11)

Gambar 4. Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri disertai
deviasi mediastinum kanan dan deep sulcus sign (kanan).
(dikutip dari kepustakaan 7)

- Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah


hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.(6,10)
22

Gambar 5. Pneumotoraks kanan (kiri) dan tension pneumotoraks (kanan).


(dikutip dari kepustakaan 3)

- Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang dapat


masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya
reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat
terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
difus di mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps
paru komplit. Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai terjadinya
loculated pneumothorax atau encysted pneumothorax. Keadaan ini
terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya adhesif
pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya daerah
hiperlusen di daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur.
(14)

Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam


posisi tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi
supinasi. Selain itu, foto dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi
penuh. (11)
23

Gambar 3. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan inspirasi


(kanan) dan dalam keadaan ekspirasi (kiri).
(dikutip dari kepustakaan 3)

Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif


menjadi lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstan
sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks utamanya
yang berukuran lebih kecil. Perlu diingat, pneumotoraks yang terdeteksi
pada keadaan ekspirasi penuh akan terlihat lebih besar daripada ukuran
sebenarnya.(11,13)

Emfisema subkutan.
(dikutip dari kepustakaan 16)
24

- Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak


permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa
ditemui pada kasus Hidropneumotoraks.

Gambar 9. Hidropneumothoraks.
(dikutip dari kepustakaan 17)
3.5 Diagnosis Banding
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru,
dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, laki-laki, dan perokok jika setelah
difoto diketahui ada pneumotoraks maka diagnosis umumnya menjurus ke
pneumothoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang
sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla.
(2)

Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai area yang hiperlusen,
dengan dinding bleb atau bulla yang sangat tipis. Dalam beberapa kasus, dimana
bleb atau bulla menyerang 1 lobus paru, dapat memberikan gambaran radiologi
yang mirip dengan pneumotoraks. Untuk membedakannya, dapat dilihat dari
daerah yang hiperlusen apakah pada daerah tersebut terdapat gambaran
vaskularisasi atau tidak. Pada pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat
vaskular sehingga biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bleb atau
bulla terdapat garis-garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bleb atau
bulla. Selain itu, pada bleb atau bulla yang besar, jaringan paru di sekitar bulla
25

akan mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh pendesakan bulla tersebut


kepada jaringan paru. (18)

Gambar 11. Bleb dan bulla paru.

(dikutip dari kepustakaan 18)

Gambar 12. Gambaran foto thoraks bulla paru.


(dikutip dari kepustakaan 18)
26

3.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut:

1. Observasi dan Pemberian O2


Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks
serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari (2). Tindakan ini terutama
ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura
dengan udara luar dengan cara (2) :

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga


pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol (2,4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
27

dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan


dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol (2,4). Pipa water sealed
drainage (WSD). Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan
ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan
klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah
yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada
linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu
dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah
troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga
pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter
toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung
kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan
melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di
botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan
tekanan tersebut (3), (4). Penghisapan dilakukan terus-menerus
apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini
dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm
H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru
telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24
jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif
maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada
saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan
alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
28

a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian


dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
6. Penatalaksanaan tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema (3).
7. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.

3.7 Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang
dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup
29

baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan


sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS
dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran 12 jam SMRS post


KLL. Dari data ini, harus selalu diingat bahwa penanganan yang baik selalu
mempertahankan prinsip ABCDE selayaknya pada setiap kasus kegawatdaruratan.
Makah hal pertama yang dilakukan melakukan primary survey.
Primary survey secara berurutan adalah Airway, Breathing, Circulation,
Pada tahap airway diperhatikan jalan napasnya. Pada pasien ini yang mengalami
sesak napas tidak didapatkan adanya sumbatan jalan napas (airway). Ini
dibuktikan dengan adanya anamnesis dari dokter yang dapat dijawab dengan baik
ditambah pasien masih sadar. Bila mungkin tanyakan kembali pada pasien bila dia
tersedak sesuatu atau tidak.
Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda vital. Dari hasil didapat bahwa
tekanan darah dan nadi pasien tinggi. Tidak terdapat demam yang dapat
menyingkirkan adanya kemungkinan infeksi. Sedangkan dari RR yang tinggi
hanya membuktikan bahwa ada dispnea yang terjadi. Kesimpulannya pasien
membutuhkan evaluasi dan penanganan segera.
Dari anamnesis pasien mengaku sesak napas yang makin berat disertai nyeri
dada yang tajam dan tidak menjalar. Dari sini didapat kesimpulan :

1. Pasien mengalami hipoksemia berat


2. Nyeri dada yang dialami pasien bukanlah nyeri dada akibat penyakit jantung
namun kemungkinan akibat gangguan pada pleura.

Pada pasien, airwaynya aman, maka dokter harus memikirkan adanya


gangguan pada tahap breathing yakni gangguan ventilasi. Gangguan ventilasi
harus dikelola dengan benar. Namun sebelum itu keadaan fisik paru harus
diperiksa. yang pertama inspeksi. Inspeksi pada pasien ditemukan mulut pasien
bernapas seperti ikan koi, artinya pasien berusaha mengalami kesulitan pada
pernapasannya dan berusaha memenuhi kebutuhan oksigen pada tubuhnya. Yang
kedua diperhatikan bahwa paru asimetri, dan dada kiri lebih cembung dan
tertinggal pada pergerakan napas. Karena tidak ada trauma, maka kemungkinan
pada pasien adalah pneumotoraks ataupun efusi pada paru kiri dimana pergerakan
napas tertinggal. Bila setiap inspirasi dada makin membesar artinya terjadi tension

30
31

peneumothorax. Perhatikan pula adanya deviasi trakea ke sisi kanan yang


menandakan adanya dorongan dari dalam rongga dada bagian kiri. Kemudian
gerakan otot-otot dada juga diperhatikan. Pada palpasi didapat fremitus melemah
dan ICS melebar. Ini menandakan bahwa pada pasien kemungkinan pada paru
parunya mengalami pengisian udara, konsolidasi ataupun cairan pada rongga dada
yang memperkuat adanya dugaan pneumotoraks maupun efusi. Pada auskultasi
ditemukan suara napas menghilang dan hipersonor pada perkusi. Hipersonor
artinya ada penambahan udara pada rongga dada dan suara napas yang
menghilang juga sesuai pada pneumotoraks. Dari sisni disimpulkan bahwa ada
udara dengan jumlah melebihi normal yang mengisi rongga dada, dan
kemungkinan rongga dada isi cairan dapat dihindarkan. Kemudian tidak terdengar
rales atau mengi. Yang berarti ini bukan obstruksi pada jalan napas seperti pada
asma. Pada tahap ini maka primary survey sudah dilakukan tanpa adanya tahap D,
E karena tidak ada masalah. Yang mengalami masalah hanyalah A, B, dan C.

Setelah dilakukan pemeriksaan secara cepat maka selanjutnya didapat


kemungkinan terbesar bahwa pasien mengalami pneumothoraks. Untuk
memperkuat dugaan pneumotoraks pada paru kiri adalah pemeriksaan penunjang
rontgen thoraks AP. Pada hasil rontgen didapatkan gambar dibawah ini :
32

Dari sini digambarkan bahwa,

Thorax AP:
Tampak area lusen avaskuler disertai pergeseran garis pleura pada
hemithorax bilateral.
Infiltrat di kedua paru.
Jantung tidak membesar, aorta normal, sinus kostofrenikus, diagragma,
costae normal.
Kesan: pneumotorak bilateral dan kontusio paru

Dari hasil pemeriksaan fisik, penunjang, di tambah anamnesis maka dapat


disimpulkan bahwa diagnosis pasien adalah pneumotoraks sinistra.
Pneumothoraks pada kasus ini membutuhkan penanganan yang efisien dan segera
dengan prinsip sebagai berikut:

1. Observasi dan pemberian oksigen


2. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi (WSD)
3. Pleurodesis bila perlu
4. Torakoskopi
5. Torakotomi

Dibawah ini adalah penatalaksanaan pada pasien yang disertai dengan


urutan tindakan dan alat-alat yang diperlukan:
1. Terapi oksigen
Terapi Oksigen dilakukan bila pasien mengalami hipoksemia berat seperti
pada pasien ini. Tujuannya adalah mempertahankan saturasi oksigen pada
darah pasien. Atau mempertahankan PaO2 sebesar 0-70mmhg dengan
kenaikan minimal pada PaCO2.
2. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
(termasuk didalamnya WSD). Tindakan ini bertujuan untuk mengeluarkan
dada dari rongga pleura (dekompresi). Dalam tokakostomi terlebih dahulu
dilakukan insisi kulit pada ruang antar iga ke 6 pada linea aksilaris media
kemudian dilakukan prosedur Water Seal Drainage ( WSD) Venocath.
Penjelasannya, WSD dengan venocath digunakan dalam keadaan emergency
pada pneumothorax dan efusi leura massif. Bila dalam waktu 24 jam paru
tidak mengembang atau venocath terlipat maka harus diganti dengan WSD
33

mini atau WDS besar. Dari WSD ini diharapkan udara yang terdapat di
rongga pleura dapat dikeluarkan dan paru paru dapat mengembang kembali.
Bila paru sudah mengembang WSD dapat dicabut,untuk memastikannya
dilakukan foto Rotgen seri selama 1-3 hari.Bila dirasa belum cukup dapat
dilakukan Pleurodosis yakni melekatkan kembali pleura sehingga
mengurangi kekambuhan dan pada Pleurodosis dapat ditambahkan derivate
Tetrasiklin untuk mengurangi kekambuhan 25% dari pleurodosis biasa.
BAB V
PENUTUP

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh


udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.

Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan


maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat
terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada hasil
foto rntgen berupa gambaran radio-hiperlusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (deep sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan
serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar


Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru,
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati,
Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. P. 1063-1068.
3. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [26 September 2011]. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 2009. p. 162-
179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed
Lung). Cited : [26 September 2011]. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
7. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [26 September 2011].
Available from www.emedicine.com
8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.
9. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam : Anatomi
Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-220.
10. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam : Radiologi
Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. 1995. P. 63-64.
11. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9 Radiology Second
Edition. China. Elsevier Saunders. 2006. P.172-177.
12. Gaillard, Frank. Loculated pneumothorax. Cited on [28 September 2011].
Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-pneumothorax

35
36

13. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology. Philadelphia :


W. B. Saunders Company. P. 366-372.
14. Sutton, David. Pneumothorax. In : A Textbook of Radiology and Imaging.
Vol. 1. 5th edition. London : Churchill Livingstone. 1992. P. 371-374.
15. Radswiki. Pneumomediastinum. Cited on [28 September 2011]. Available
from http://www.radiopedia.org/cases/pneumomediastinum-4
16. DSouza, Donna. Subcutannous emphysema. Cited on [28 September 2011].
Available from http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema
17. Rao, K, K. Loculated hydropneumothorax. Cited on [28 September 2011].
Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
hydropneumothorax-1
18. Massie, J. Robert. Welchons, George A. Pulmonary blebs and bullae. Cited
on [05 Oktober 2011]. Available from
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC1609584/pdf/annsurg01326-
0101.pdf
19. Dawes, Laughlin. Subpleural bullae. Cited on [05 Oktober 2011]. Available
from http://www.radiopedia.org/articles/pulmonary-bulla

Anda mungkin juga menyukai