Anda di halaman 1dari 17

Wawasan Pendidikan Islam

~ Belajar dan Berkarya


Search Go
Search:

METODOLOGI PENELITIAN
ANTROPOLOGI
CLIFFORD GEERTZ

23 ThursdayJUL 2015
POSTED BY PUSPO NUGROHO IN UNCATEGORIZED
LEAVE A COMMENT
METODOLOGI PENELITIAN ANTROPOLOGI
Puspo Nugroho

A. PENDAHULUAN
Di negara kita di mana terdapat beragam golongan etnis, yang dalam bahasa
sehari-hari lebih dikenal sebagai suku bangsa, hidup sebagai warga dari sebuah
masyarakat yang luas dengan corak multi etnik, semakin disadari bahwa
pemahaman mengenai latar belakang budaya serta agama yang beragam itu
sangatlah penting. Disinilah letak pentingnya pemahaman antropologi sebagai
salah satu cabang ilmu yang mempelajari serta memahami sifat sifat semua
jenis manusia
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana berusaha meneliti manusia pada
tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara
tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya
yang menekankan pada perbandingan atau perbedaan budaya antar manusia.
Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi
sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan
penelitan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.
Antropologi terbagi menjadi dua bidang yaitu antropologi fisik dan antropologi
budaya. Secara lebih spesifik bisa dilihat pada bagan di bawah ini :

Penjelasan
kedua bidang tersebut sebagaimana diterangkan oleh Mahjunir (1967:24)
yaitu:
1. Antropologi fisik yaitu mempelajari seluk beluk jasmani umat manusia dan
pertumbuhannya sejak lahir ke dunia sampai kepada ras-ras manusia
sekarang
2. Antropologi budaya yaitu mempelajari bangsa bangsa /etnis sedunia
terutama yang terdapat diluar eropa barat dalam keadaan sekarang
Dalam antropologi fisik yang diteliti adalah pertanyaan-pertanyaan
mengenai asal usul manusia sebagai mahluk biologis, bagaimana proses
perkembangannya, perbedaan perbedaan lahiriyah yang terlihat pada
manusia. Ihromi (2006:5) menjelaskan bahwa dalam antropologi fisik ini
mempelajari manusia sebagai makhluq fisik yang berkembang, dan hendak
ditentukannya bagaimana dan apa sebabnya bangsa bangsa berbeda
menurut keadaan fisiknya. Haviland (1999:12) menambahkan salah satu
hal yang menjadi perhatiannya ialah evolusi manusia. Adapun antropologi
budaya memberikan jawaban mengenai munculnya pertanyaan yang
berhubungan dengan manusia sebagai makhluq sosial atau sebagai
manusia yang hidup dalam kelompok masyarakat (Ihromi:2006.x).
Haviland (1999:12) menambahkan sebagai cabang antropologi yang
mengkhususkan diri pada pola-pola kehidupan masyarakat.

Dalam antropologi budaya didalamnya mencakup 4 empat bagian


sebagaimana dijelaskan pada bagan diatas. Melalui penelaahan berbagai
kebudayaan tersebut diharapkan akan memperoleh ilmu pengetahuan akan
keanekaragaman budaya manusia, memperoleh pandangan mengenai nilai-
nilai budaya yang berbeda serta diharapkan juga akan diketahuinya hal-hal
umum yang berlaku bagi kehidupan manusia dan memperoleh gambaran
mengenai hal hal yang mempengaruhi adanya sifat keanekaragaman
budaya manusia tersebut. Karena tidak ada budaya tanpa manusia, maka
pekerjaan ahli antropologi fisik merupakan kerangka yang diperlukan oleh
ahli antropologi budaya. Adapun manfaat daripada mempelajari ilmu
antropologi khususnya antropologi budaya dijelaskan oleh Mahjunir
(1967:17) ialah untuk menambah pengetahuan umum dan untuk
kepentingan praktis, memperoleh gambaran tentang hubungan
kebudayaan antar bangsa sepanjang riwayat mereka, disamping mengenal
pula keanekaragaman budaya dan kepribadian masing-masing. Pada
pembahasan makalah ini pemakalah mengerucutkan pembahasan pada
bidang kajian antropologi menurut Clifford Geertz yang mengacu pada
antropologi budaya dan agama.

B. Pengertian Antropologi secara umum


Secara harfiah definisi anntripologi dalam bahasa yunani sebagaimana
dijelaskan oleh Ihromi (Ihromi:2006:1) bahwa antropologi berasal dari bahasa
yunani Antropos yang berarti manusia dan logos yang berarti Studi/ilmu. Bisa
diartikan antropologi merupakan suatu disiplin yang berdasarkan rasa ingin
tahu yang tiada henti-hentinya tentang umat manusia.
Definisi Antropologi menurut para ahli :
William A. Haviland (1999:7) : Antropologi adalah studi tentang umat manusia,
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
Mahjunir (1967:24) : Antropologi adalah salah satu ilmu pengetahuan yang
sasaran studinya manusia dan kebudayaannya sepanjang riwayatnya.
Zakiyuddin Baidhawy (2011:271) : Antropologi adalah suatu cabang keilmuan
yang peduli dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubungan hubungan
sosial dan pola pola praktik kebudayaan ditempat-tempat tertentu, dan
mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan
keserupaan dan perbedaan perbedaan, lebih penting dari itu ialah keuikan
dalam kehidupan manusia.
Dari definisi tersebut dapat dirumuskan pengertian antropologi secara
sederhana, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi
keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi,
nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia satu dengan yang lain yang
memiliki keragaman yang berbeda-beda.
Antropologi mempelajari manusia dan budayanya. Tujuan dari pendekatan
antropologi ialah untuk memahami objek yang dikaji secara totalitas. Dari masa
lalu yang lebih awal dari kehidupan manusia sampai sekarang, memahami
manusia sebagai eksistensi biologis dan kultural. Dalam pendekatannya
berusaha menyibak asal usul perkembangan, perubahan, saling hubungan
fungsi dan arti dari fenomena manusia. Dalam kajiannya bersifat holistik dan
berwawasan budaya.
Mahjunir menjelaskan (1967:25), Antropologi dalam langkahnya sebelum
diadakan uraian secara terperinci (mendalam) mengenai salah satu atau bidang
khusus kajian, biasanya dijabarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang seluk beluk antropologi, sasaran studinya, metode metode
ilmiahnya,
2. Tentang kelahiran dan riwayat perkembangan selanjutnya,
3. Tentang guna/manfaat, tugas-tugas dan masalah yang dihadapinya,
4. Tentang bibliografi,
5. Tentang segi tertentu dari objek yang diselidiki.
Dalam konteks Studi Islam, Baidhawy menjelaskan (2011:272) dalam
pengertian yang lebih teoritis, para antropolog berusaha menilai seberapa
besar kemungkinan untuk menggenerelasikan tentang masyarakat-masyarakat
dan kebudayaan-kebudayaan muslim dalam tempat dan rentang waktu. El
Enzin (1997) dalam Baidhawy (2011:272) menambahkan bagaimana
hubungan tersebut antara satu dan yang jamak, yang universal dan yang
partikular, islam dan keragaman empirik dari islam yang majemuk.
Dalam pelaksanaanya, pendekatan ini dimulai dari kasus per kasus dengan
memakai metode kualitatif grounded reaserch. Penelitian grounded research
sebagaimana Dr. Zaky menjelaskan dalam perkuliahannya (25/11/11) adalah
penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan melihat dan bergulat
langsung dengan subjek yang diteliti, dimana peneliti membekali diri dengan
teori-teori yang berkaitan bukan untuk membingkai subjek yang diamati,
namun sebagai bekal untuk mempertajam pengamatan lapangan. Ihromi
(2006:3) menjelaskan dalam pendekatannya dilakukan secara menyeluruh
(holistic approach) terhadap manusia. Dengan pendekatan antropologi ingin
berusaha menyelami makna dari simbol, aturan, sistem dan norma yang
berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Mempelajari semua aspek dari
pengalaman-pengalaman manusia. Karena sasaran yang dituju dalam
penelitian antropologi adalah manusia dan budaya, maka muncullah
penggolongan bidang antropologi sebagaimana diterangkan tersebut di atas.
Dalam pendekatannya menurut pandangan Clifford Geertz, dalam kajian
antropologi juga mencakup kehidupan beragama yang sangat kompleksitas.
Kehidupan agama dikaji dan ditelusuri dari zaman prasejarah sampai zaman
modern yang membahas tentang kehidupan agama. Bisa disimpulkan bahwa
Antropologi agama merupakan bidang kajian antropologi budaya. Antropologi
budaya sebagaimana Mahjunir menjelaskan dalam bukunya serta dalam buku-
buku lainnya bahwa antropologi budaya disebut juga Etnologi. Pengertiannya
(1967:40) adalah suau pendekatan yang mempelajari bangsa sedunia dengan
sasarannya adalah bangsa diluar Eropa Barat terutama dalam keadaan
sekarang. Yang dipelajari ialah seluk beluk kebudayaan mereka dewasa ini,
segala segi yang menyangkut kehidupan mereka dilihat dari sudut pandang
perkembangannya serta hubungan antar kelompok kelompok etnik disepanjang
sejarah mereka.
C. Makna Penelitian Antropologi Agama
Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi
sebagai basis pendekatannya. Berbagai pendekatan dalam memahami agama
yang selama ini digunakan dipandang harus dilengkapi dengan pendekatan
antropologi tersebut. Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang ada
selama ini antara lain pendekatan teologis, normatif, filosofis, dan historis.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada tataran empirik
akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama
tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara
hubungan agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.
Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan beberapa teori
yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan
penelitian antropologi, golongan masyarakat kurang mampu dan golongan
miskin lain pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang
bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan
pihaknya.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pendekatan antropologi, dengan jelas
dapat mendukung menjelaskan bagaimana suatu fenomena agama itu terjadi.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas
dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan
ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi
atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala
keagamaan.
Berbicara tentang pendekatan antropologi terhadap agama, Anthony F.C
Wallace dalam (Haviland:1993:195) mendefinisikan agama sebagai
seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos dan yang menggerakkan
kekuatan supranatural dengan maksud untuk mencapai atau menghindari
suatu perubahan keadaan pada alam atau manusia. Maksudnya hal tersebut
mengandung suatu pengakuan bahwa manusia tidak mampu mengatasi
masalah yang menimbulkan kegelisahan sehingga dengan ritual upacara
keagamaan tersebut sebagai usaha mengatasinya.
Dalam hubungan ini, sebagaimana Haviland menjelaskan (1993:214) ada
beberapa fungsi agama bagi kehidupan masyarakat :
Pertama, agama dapat menyediakan model alam semesta secara lebih teratur,
yang peranannya untuk keteraturan perilaku manusia. Memenuhi kebutuhan
kebutuhan tertentu dari manusia yang tidak dapat dipenuhi oleh lainnya.
Kedua, agama dapat memberikan sanksi kepada sejumlah besar tata kelakuan,
berperan memaksa orang untuk menepati janji-janjinya. Keharusan orang-
orang menepati janji-janji tersebut diperintahkan dalam ajaran agama.
Diketahui bahwa beberapa jenis persetujuan bersama atau consensus
mengenai kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai
adanya kekuatan yang memaksa orang-orang dan pihak-pihak yang
bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, minimal
diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Ketiga, bahwa agama dapat membebaskan setiap anggota masyarakat dari
beban tanggung jawab dalam pengambilan keputusan setidak-tidaknya dalam
situasi yang penting Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan
sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.
Keempat, agama berperan dalam memelihara solidaritas sosial, membantu
merumuskan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh manusia dan diperlukan
untuk menyatukan pandangannya.
Kelima, agama pada umumnya mempunyai fungsi sosial alam bidang
pendidikan. menerangkan fakta-fakta bahwa nilai-nilai yang ada hampir semua
masyarakat bukan sekedar nilai yang bercampur aduk tetapi membentuk
tingkatan (hirarki). Dalam hirarki ini agama nilai-nilai yang tertinggi. Nilai-nilai
yang tertinggi, berikut implikasinya dalam bentuk tingkah laku, memperoleh
arti dalam agama.
Keenam, dari sumber yang sama (Haviland:1993:196) agama berfungsi
mengurangi kegelisahan dan memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri
serta untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap untuk menghadapi
realitas.
Salah satu peneliti ahli antropologi agama dan budaya adalah Clifford Geertz.
Adapun pendekatannya akan dibahas pada bab di bawah ini :

D. Model Penelitian Antropologi Clifford Geertz


1. Biografi Clifford Geertz
Clifford Geertz adalah seorang peneliti Antropologi budaya serta seorang
penulis yang terkenal dengan The Religion Of Java sebagai hasil disertasinya,
ia dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23
Agustus 1926. Karir akademiknya diawali ketika dia menerima gelar sarjana
dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950. Dari Antioch
ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard University dengan gelar P.hd. Pada
tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau
Jawa dan tinggal selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat multi
agama, multiras yang sangat kompleks di sebuah kota kecil di Mojokuto,
Mojokuto tepatnya di kota Pare kediri Jawa Timur. Setelah kembali ke Harvard,
Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard Departement
of Social Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.
Sebelum bergabung di Institute for Advanced Study, yang juga tempat
menimba ilmu para pemikir besar seperti Albert Einstein, Geertz menjadi
pengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian
perbandingan negara-negara baru, menjadi profesor tamu di Universitas
Oxford ,dan sejak 1975 sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas
Princeton. Tahun 2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study.
(http://www.indiana.edu/htm)
Oleh kalangan ahli ilmu sosial Geertz dikenal sekurang-kurangnya dalam dua
kedudukan. Oleh Ignas Kleden (1998:ix) menjelaskan Pertama, dia adalah
seorang ahli Indonesia-seorang Indonesianis, menurut istilah akademisnya
yang karya karyanya menjadi bacaan wajib bagi peneliti atau calon peneliti
Indonesia. Kedua, ia juga dikenal sebagai seorang ahli antropologis yang
memberi perhatian besar kepada pembentukan teori, baik mengenai hal-hal
yang menyangkut kebudayaan maupun mengenai kehidupan masyarakat.
2. Latar Belakang Pemikiran

Pemikirannya bisa dirujuk mengenai hasil karyanya yang monumental pada


buku The Religion of Java. Untuk memahaminya kita harus mengetahui terlebih
dahulu latar belakang antropologi Geertz. semua itu akan bisa dipahami apabila
kita mengetahui latar belakang pendidikan antropologinya di Harvard University.
Melihat latar belakang pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, gagasan
dalam pendekatannya geertz dipengaruhi oleh dua sumber yaitu tradisi
antroplogi Amerika dan pemahamannya tentang ilmu sosial yang ia dapatkan
pada saat belajar di Departemen Hubungan Sosial Harvard University bersama
gurunya Sosiolog besar asal Jerman Talcott Parsons yang juga seorang ketua
American sociological Association. (Geertz:1998:151)
Tidak cukup hanya dengan hal itu, pada saat mahasiswa tentu saja Geertz telah
menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis antropologi Amerika.
Adapun dalam perspektif ilmu sosial, tampaknya bisa disimpulkan bahwa
Talcott Parsons gurunya di Harvard bertindak sebagai penyampai ide-ide Weber
kepada Geertz. Talcott Parson merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika
yang menjabat sebagai ketua American sociological Association waktu itu dan
sangat terpengaruh oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Dari situ bisa
ditarik benang putih bahwa Geertz oleh Parson salah satu guru besarnya di
Harvard University diperkenalkan dengan ide-ide tentang pandangan
MaxWeber. Geertz (1992:5) mengatakan konsep kebudayaan yang ia dukung
pada hakikatnya adalah sebuah konsep semiotis, dengan percaya pada Max
Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jejaring-
jejaring makna yang ditenunnya sendiri, saya (geertz) menganggap
kebudayaan sebagai jejaring tersebut dan analisisnya bukan merupakan ilmu
eksperimental untuk mencari hukum akan tetapi merupakan ilmu yang
interpretatif untuk mencari makna. Definisi kebudayaan ala antropologi Gertz
menurut Dr. Zaky dalam perkuliahannya (25/11/11) mendefinisikan
Kebudayaan merupakan sistem simbol yang tersedia dalam kehidupan umum
sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan sistem makna (system
of meaning) bagaimana para warga masyarakat yang bersangkutan:
1. Melihat, merasa, berpikir tentang dunia (sistem gagasan);
2. Bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai (sistem tindakan); dan
3. Akhirnya memanifestasikan diri dalam bentuk benda-benda kebudayaan.
Geertz (1999:2-3) menambahkan dalam pelaksanaan penelitiannya bukan
meninggalkan tradisi-tradisi para antropolog yang telah mapan, melainkan
memperluasnya. Ia mendapatkan empat sumbangan pemikiran diantaranya
Durkheim tentang hakikat yang khudus, metodologi Verstehen dari Weber,
paralel antara ritus pribadi dan ritus kolektif yang dikemukakan Freud. Dan
eksplorasi Malinowski tentang perbedaan agama dan akal sehat. Semuanya itu
hanya sebagai titik tolaknya untuk bergerak melampauinya.
Dibawah pengaruh pemikiran MaxWeber dan juga tradisi antropologi Amerika,
Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi simbol-simbol yang
diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan masyarakat. Konsep yang
ia ikuti itu suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang
terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep-konsep yang diwariskan
yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia
berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka
tentang kehidupan dan sikap sikap terhadap kehidupan (Geertz:1992:3). Tidak
puas dengan hanya berkiblat pada teori pendahulunya, ia berusaha membut
jalur tersendiri dengan memberikan perhatian bagaimana aspek-aspek
kehidupan yang berbeda dan bercampur dalam suatu kesatuan budaya yang
detail dan sistematis tentang bangsa diluar eropa barat.
Awal mula karier ilmiahnya saat ia mulai terjun sebagai peneliti di Indonesia
tepatnya di dua daerah yaitu Bali dan Jawa. Di Jawa dipilihlah daerah Mojokuto
nama samaran yang lebih dikenal dengan kota Pare, suatu kota kecil di Kediri,
Jawa Timur. Apabila dilihat sekilas satu daerah itu tak bisa mewakili
kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Akan tetapi dalam pandangan Geertz,
alasan mengapa memilih kota kecil tersebut karena kota tersebut merupakan
pusat daerah kekuasaan Hindu-Jawa, awal sejak berdiriya kerajaan Daha
hingga Singosari selain itu juga adanya hubungan historis dengan kerajaan
Majapahit yang berpusat di Mojokerto. Selain hal tersebut yang membuat Gertz
tertarik mengkaji daerah tersebut sebagai miniatur Indonesia dikarenakan
Kediri juga merupakan salah satu daerah santri (hijau) dan sekaligus nasionalis
(merah). Ia menjelaskan Mojokuto adalah suatu tempat dimana makna
kejawaan itu sangat kental dirasakan. Mojokuto yang sarat kompleksitas akibat
adanya benturan budaya, adanya intergrasi yang berimbang antara unsur-
unsur Animisme, Hindu, Islam, suatu Sinkritisme utama orang jawa yang yang
merupakan tradisi utama rakyat yang sebenarnya dipulau itu (Geertz:1983:6).
Bisa disimpulkan bahwa di Mojokuto dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi
animisme pribumi berbaur dalam satu sistem sosial.
Dalam usahanya untuk mengetahui adanya sebuah fenomena yang berkenaan
dengan masyarakat khususnya di Mojokuto akan adanya sebuah tatanan sistem
sosial yang ber akulturasi antara agama dengan kebudayaan jawa. Geertz
dalam bukunya (1983:6) memberikan pengklasifikasian masyarakat menjadi
tiga subtradisi. Ketiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi.
Tipe subtradisi kebudayaan sosial yang dimaksud Abangan dicirikan yang
intinya orang yang berpusat di pedesaan corak keberagamaannya kejawen,
pekerjaan cenderung kasar dan rendahan serta tinggal didaerah pinggiran
seperti halnya petani, yang seringnya adanya upacara slametan, tingkeban,
mitoni serta kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap mahluk halus
(memedi, lelembut, tuyul, demit, dll), dan seluruh rangkaian teori dan praktek
pengobatan magis, sihir. Dalam golongan orang islam kejawen meskipun tidak
menjalankan ritual ibadah sholat, puasa, haji tetapi juga masih percaya kepada
ajaran ketuhanan agama Islam (Koentjoroningrat: 2004:347). Adapun Santri
dicirikan yang intinya orang yang berpusat di tempat perdagangan atau pasar,
corak keberagamaannya cenderung taat dalam beribadah, pekerjaannya
pedagang, saudagar dan tinggalnya biasa disekitar pasar dan Priyayi, yang
intinya dicirikan orang yang berpusat di kantor pemerintahan di kota, seorang
aristokrasi, corak keberagamaannya Hindhu-Budha, pekerjaan didominasi para
pegawai dan tinggalnya didekat pusat pemerintahan. Namun demikian, ketiga
inti struktur sosial di Jawa, desa, pasar,dan birokrasi pemerintah pada masa itu
oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang cukup luas. Maksudnya ada
kemunginan pengklasifikasian itu bukan menjadi pemeluk subvarian golongan
tertentu atas dasar ciri-ciri tersebut. Misalnya santri yang harusnya seorang
pedagang akan tetapi justru bercirikan seorang petani, hal itu dikarenakan
seorang petani yang taat agama. Bisa juga seorang abangan akan tetapi
kehidupannya berada di pasar dan lain sebagainya. Ini hanyalah penggolongan
menurut pandangan Geertz pada masa itu.
Clifford Geertz mengolaborasi kenyataan ini, bahwa terdapat adanya fenomena
persinggungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu
sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh eksistensi Islam di Jawa.
Akan tetapi masih ada kekuatan lain selain abangan dan santri dalam
kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok priyayi. Kelompok
ini dalam keseharian, memiliki sejumlah karakter yang berbeda seperti apa
yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.
Parsudi suparlan dalam pengantar The Religion of Java Geertz (1983)
menambahkan meskipun oleh geertz masyarakat dipetakkan menjadi tiga
varian antara abangan, santri, priyai dengan masing-masing sistem struktur
yang berlainan, akan tetapi masing-masing saling melengkapi satu sama
lainnya dalam mewujudkan adanya sistem sosial jawa di Mojokuto. Supardi
menjelaskan dalam penelitian geertz bahwa agama bukan hanya memainkan
peran bagi terwujudnya integrasi akan tetapi juga memainkan pemecah belah
bagi masyarakat.

3. Tahapan Pelaksanaan Penelitian


Penelitian di bidang antropologi agama antara lain salah satunya dilakukan oleh
seorang antropolog bernama Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Hasil
penelitiannya itu telah dituliskan dalam buku berjudul The Religion Of Java.
Model penelitian yang dilakukan Geertz adalah penelitian lapangan dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang
dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, survey, dan penelitian
Grounded Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat langsung dalam
kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Penelitiang rounded research:
penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan melihat dan bergulat
langsung dengan subjek yang diteliti, dimana peneliti membekali diri dengan
teori-teori yang berkaitan bukan untuk membingkai subjek yang diamati,
namun sebagai bekal untuk mempertajam pengamatan lapangan dengan
pendekatan interpretatif dengan berusaha mencari pemahaman makna dari
ekspresi kebudayaan, dari pada sekadar mencari hubungan sebab-akibat
(Dr.Zaky dalam sebuah perkuliahan). Hal itu dikuatkan pemaparan Geertz
(1988;1998) dalam Abdullah (2009:13) menjelaskan peneliti antropolog masuk
ke mojokuto (pare), dengan penuh semangat mendatangi kota dan desa-desa
sekitarnya, berbicara dengan penduduk, dan mengamati berbagai gejala yang
menarik dalam berbagai ukuran.
Dalam pelaksanaan penelitiannya ditinjau dari segi waktu yang digunakan
untuk penelitian tersebut selama tiga tahap, dalam bukunya The Religion Of
Java (Geertz:1964:383) dijelaskan :
Tahap pertama
from September 1951 to July 1952, intensive preparation in the indonesian
language (I.e,.Malay) was undertaken ta Havard, first under professor Isadora
Dyen and then under Mr. Rufus Hendon, leter director of the project, with the
native speaker. Juli to October 1952 was spent in the Netherlands interviewing
Dutch scholars on Indonesian and making use of the unparalleled library
resourch on Indonesia at the University of Leiden and the Tropical Institute in
Amsterdam
Maksudnya antara September 1951 sampai 1952, persiapan dilakukan oleh
Clifford secara intensif dalam bahasa Indonesia yakni bahasa melayu, dilakukan
di Universitas Havard, mula-mula di bawah bimbingan dan arahan gurunya
Professor Isadora Dyen dan kemudian di bawah Tuan Rufus Hendon, yang
setelah itu menjadi direktur proyek, dengan bantuan orang-orang Indonesia.
Waktu antara bulan Juli sampai Oktober 1952 dipergunakan oleh Geertz di
Negeri Belanda, yang ia lakukan disana ialah berusaha mewawancarai sarjana-
sarjana Belanda yang ahli tentang Indonesia, ia fokuskan di Universitas leiden
dan di Tropical Institut di Amsterdam.
Dalam tahapan pertama ini dijelaskan pula oleh Kladen (1998:III) bahwa dalam
tahapan studi empiris ini Geertz menggunakan dan menerapkan berbagai teori,
konsep dan metode antropolog serta ilmu sosial lainnya, tanpa terlalu banyak
mempersoalkan susunan dan konstruksi teori, konsep dan metode yang
digunakan.
Tahap kedua (Geertz:1964:383):
The second phase, from October 2952 to may 1953, was spent mainly in
Jogjakarta, a central javanese court town, where a study of javanese language,
using students from Gadjah Mada University, was undertaken, and a certain
amount of general familiarity with javanese cultur and urban life gained. A
month and a half was also spent, durring this period, in djakarta, the capital of
the country, interviewing religious and political leaders collection statistics, and
investigating the organization of the government bureaucracy in general and
ministry of religioun in particular.
Maksudnya penelitian Geertz pada tahap ke dua ini dimulai dari bulan Oktober
1952 sampai Mei 1953 ia gunakan waktu tersebut di Yogyakarta, tempat ia
mempelajari bahasa Jawa, dengan mempergunakan mahasiswa-mahasiswa
Universitas Gajah Mada, dan memperoleh sejumlah pengetahuan umum
mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Selama masa ini, satu
setengah bulan lamanya dihabiskan juga untuk mewawancarai pemimpin-
pemimpin agama dan politik di ibu kota Negara, Jakarta, sambil
mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi pemerintah pada
umumnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Dalam tahapan kedua ini Kladen menjelaskan yang juga bisa dinamakan studi
teoretis, maka teori, konsep dan metode tidak lagi menjadi sekedar sarana
dan peralatan dalam penelitian, tapi justru menjadi titik pusat perhatian dan
bahan pengkajian. Disini geertz mencoba mencari tahu apa itu kebudayaan,
simbol, pandangan dunia, etos, ideologi, kesenian, bahkan konsep manusia
itu sendiri.

Dan pada tahap ketiga (Geertz:1964:383),


The third phase, from May 1953 to september 1954, comprised the field
work period proper, and was spent in modjokuto. My wife and I lived durring
this whole period with the familly of a railroad worker at the northern edge of
the town, the house actually being located not in the village of Modjokuto
itself, but in a neighboring one which was only urban in ist southeastern
quarter.

Maksudnya ialah antara Mei 1953 sampai September 1954, merupakan masa
penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Ia dan
istrinya sepanjang masa itu tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung
kota, rumah itu sebenarnya tidak terletak di desa Mojokuto, tetapi di desa
sebelahnya, yang hanya bersifat kota di bagian tenggaranya.
Semua kegiatan, temasuk wawancara dengan para informan, ia lakukan
dengan menggunakan bahasa jawa, kecuali beberapa pelajar yang sangat
nasionalistik dan lebih senang berbahasa Indonesia (Melayu). Selanjutnya, dari
segi informan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitiannya itu, Geertz
megatakan bahwa ia melakukan banyak kegiatan sistematis dan lama dengan
informan-informan tertentu mengenai suatu topik, baik dirumah mereka sendiri
maupun di kantor. Sedangkan pendekatan analisisnya sebagaimana tersebut
di atas adalah dengan menggunakan kerangka teori yang terdapat dalam ilmu
antropologi. Dengan pendekatan ini, fenomena keagamaan yang terjadi di
daerah Jawa dapat di jelaskan dengan baik.
Kladen (1998:xix-xx) menambahkan pada tahap ketiga ini analisisnya lebih dari
menggunakan kerangka teori antropologi, akan tetapi juga mempertanyakan
dan mempersoalkan kedudukan, fungsi dan peranan ilmu antropologi tersebut.
Dalam tahap tiga ini pertanyaan yang muncul tidak hanya bersifat teoretis dan
metodologis, akan tetapi menjadi pertanyaan epistemologis sehingga oleh
kladen masa ini ia sebut dengan tahapan studi epistemologis.

4. Pandangan Clifford Geertz terhadap Agama Masyarakat Jawa


Ada beberapa hal menarik untuk dibahas pasca penelitian lapangan di Mojokuto
dari bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan
sebagai disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java
diantaranya :
Pembagian agama menjadi tiga varian atau bisa dibahasakan Trikotomi budaya
dan agama Jawa. Trikotomi agama Jawa ini justru menjadikan referensi awal
para ilmuwan sosial setelah geertz yang ingin meneliti tentang Jawa. Dalam
buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, ia menyajikan
fenomena agama Jawa menjadi tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi.
Agama dimaknai sebagai sebuah kebudayaan, bisa dijelskan bahwa agama
menyesuaikan tindakan-tindakan manusia dengan sebuah tatanan sosial
dengan sistem simbol simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya yang berlaku
untuk menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, adanya sistem simbol
itu merupakan sumber informasi bagi sorak kehidupan masyarakan dalam
menentukan kesehariannya yang berbeda-beda.
Adapun hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa bisa dilihat pada
dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik.
Sinkretisitas tersebut nampak pada aktivitas orang Jawa yang cenderung tidak
hanya percaya terhadap hal mistis dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan
tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya
dan manusia selalu terlibat di dalamnya. Sebagai contoh seperti upacara
slametan atau kenduri, hal itu melambangkan kesatuan mistis dan sosial yang
juga didalamnya terkandung makna agama dengan adanya pembacaan doa
Islam didalamnya. Selain itu juga harus didukung dengan adanya konsepsi
numerologi atau dalam bahasa jawanya petungan atau hitungan.

E. Kesimpulan
Selanjutnya dalam kesimpulan ini, secara sederhana pengertian antropologi
yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik
serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang
dihasilkan sehingga setiap manusia satu dengan yang lain yang memiliki
keragaman yang berbeda-beda. Dalam penelitiannya dilihat dari segi informan
yang digunakan sebagai sampel dalam penelitiannya itu, Geertz megatakan
bahwa ia melakukan banyak kegiatan sistematis dan lama dengan informan-
informan tertentu mengenai suatu topik, baik dirumah mereka sendiri maupun
di kantor tempat ia bekerja, dilingkungan pasar, sawah dll. Sedangkan
pendekatan analisisnya sebagaimana tersebut di atas adalah dengan
menggunakan kerangka teori yang terdapat dalam ilmu antropologi. Dengan
pendekatan ini, fenomena keagamaan yang terjadi di daerah Jawa dapat di
jelaskan dengan baik.
Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, dapat kiranya disimpulkan
bahwa model penelitian antropologi agama yang dilakukan Geertz dapat di
jadikan model atau bahan perbandingan bagi para peneliti selanjutnya. Hal ini,
karena secara metodologi penelitian yang dilakukan Geertz tergolong penelitian
yang lengkap dan memenuhi prosedur penelitian lapangan yang baik. Ia
fokuskan dengan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian
ini didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara,
pengamatan, survey, dan penelitian Grounded Research, yakni penelitian yang
penelitinya terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya.
Secara umum dibulatkan bahwa metode yang digunakan oleh Geertz dalam
penelitiannya ini adalah dengan penguasaan bahasa lokal, pembagian tugas
dengan tim peneliti lain, pemanfaatan banyak informan local, pendalaman
topik-topik tertentu yang membutuhkan penjelasan rinci, dan pengumpulan
data-data empirik-statistik. Dan bagian paling besarnya adalah waktunya
kesemuanya ia fokuskan untuk penelitian secara menyeluruh dengan
pendekatan observasi partisipatif dalam tiga tahapan.
Dalam temuannya pasca penelitian, ia dapat merumuskan beberapa point
sebagai hasil dari penelitian tersebut menghasilkan pengklasifikasian 3 sub
variant agama masyarakat jawa menjadi tiga subtradisi. Ketiga tipe
kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi.
Wallahualamu bishowab..

DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. The Religion of Java. The Free Press of Glencoe. London.
1964
Geertz, Clifford. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. terj. Aswab
Mahasin. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.1981
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 1992
(Terjmh. The Interpretation of Culture. Hutchinson & CO Publisher LTD. London.
1974)
Geertz, Clifford. Kebudayaan & Agama. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 1992
(Terjmh. The Interpretation of Culture: Selected Essays. Hutchinson & CO
Publisher LTD. London. 1974)
Kleden, Ignaz, Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi
Clifford Geertz dalam Tiga Tahap dalam Clifford Geertz, After the Fact. Dua
Negeri Satu Dasawarsa, Satu Antropolog. Clifford Geertz. (Yogyakarta: LKiS,
1998), ix-xxi terjemah dari (Clifford Geertz. After the Fact. Two Countries, Four
Decades, One Antropologist., Harvard University Press.1995)
Ihromi,.T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta. 2006
Soekadijo.R.G. Antropologi edisi Keempat Jilid 1. Penerbit Erlangga. Universitas
Sebelas Maret Surakarta. 1993 Terjmh dari (Haviland.A.William. Antropologi
4th Edition.CBS College Publishing.1985)
Mahjunir. Mengenal pokok-pokok Antropologi dan Kebudayaan. Bratara.
Djakarta. 1967
Baidhawy, Zakiyuddin, Studi Islam Pendekatan dan Metode. Insan
Media,Yogyakarta, 2011
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
2004
Soekadijo.R.G. Antropologi edisi Keempat Jilid 2. Penerbit Erlangga. Universitas
Sebelas Maret Surakarta. 1993 Terjmh dari (Haviland.A.William. Antropologi
4th Edition.CBS College Publishing.1985)
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2009.

Anda mungkin juga menyukai