Anda di halaman 1dari 28

Fisiologi Jalur lintasan udara :

1. Rongga hidung : terdiri dari tonjolan seperti rak, yaitu turbinta yang bekerja seperti
kisi kis radiator untuk menghangatkan dan melembabkan udara.
2. Konka : pada kelainan cavum nasi seperti deformitas septum nasi
umumnya dapat dikompensasi oleh konka dengan cara memperbesar ukuran pada
sisi yangkonkaf dan mengecil pada sisi yang lainnya. Sehingga dapat
mempertahankan levar rongga udara optimum.
3. Mulut : normalnya hanya digunakan bila oksigen tambahan
dibituhkan.
4. Palatum mole (palatum lunak) : dapat menutup mulut dari pharinx dan hidung serta
memungkinkan pernafasan saat mengunyah.
5. Laring : katup yang rumit pada persimpangan antara lintasan makanan dan lintasan
udara. Laring terangkat di bawah lidah saat menelan dan karenanya mencegah
makanan masuk ke trakhea.
6. Trakhea : dipertahankan terbuka oleh cincin kartilago berbentuk huruf C. Trakhea
dibagi menjadi satu pasang bronkus utama yang terus bercabang lagi. Cabang-cabang
trakhea dilapisi dengan silia yaitu epitel yang menghasilkan lendir. Debu-debu
tertangkap mukosa kemudian disapu ke laring oleh silia dan dibatukan keluar.
7. Bronkus : bercabang-cabang lagi dan selanjutnya menjadi senakin kecil, yang
membentuk bronkiolus yang tidak memiliki penyokong kartilago tetapi memiliki
dinding otot polos yang mampu berkontraksi.
8. Bronkiolus : Ujung dari bronkiolus akhirnya terbuka kedalam lintasan berdinding tipis
dan pendek, yaitu bronkiolus respiratorius.
9. Alveoli : dibungkus oleh anyaman kapiler yang sangat ghalus yang mengandung
darah. Udara dan darah berhubungan lewat dinding tipis. Disinilah satu-satunya
tempat terjadi pertukaran gas melalui proses difusi.
Suatu protein yang dinamakan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan
lapisan cairan di alveoli dan karenanya mencegah alveoli menjadi kempes. Bila tidak
ada surfaktan jaringan paru akan menjadi cepat padat dan tidak mengandiung udara.
Luas permukaan total dari alveoli adalah 50 m2.

Anatomi Sistem Respirasi :


Gambar Anatomi Pernafasan bagian bawah :
Saluran pernapasan dibagi 2 menurut anatominya,yaitu :
1. saluran napas atas yang berfungsi sebagai area konduksi
2. saluran napas bawah yang berfungsi sebagai area pertukaran gas

Anatomi dan Mekanisme Jalan Udara

Udara Inspirasi

Hidung

Faring

Trakhea
Bercabang 23 kali

16 Cabang Pertama Sisa 7 Cabang

Zona Konduksi Zona Zona


Peralihan Pernafasan

Bronki,Bronkiolus, Bronkiolus Bronkiolus Respiratorius, duktus


Terminalis alveolaris, Sakus Alvelarois
H

Hipotesis-hipotesis yang mungkin:


Sesak Nafas
Sesak nafas adalah adanya penyumbatan atau penyempitan pada saluran pernafasan bagian
atas dan pernafasan bagian bawah.
NO Beda Sesak Nafas Atas Sesak Nafas Bawah
1 Retraksi (+) (-)
2. Strigor Inspirasi Ekspirasi
3. Akibat Sianosis / tidak Sianosis / tidak
4. Keadaan Kadar Oksigen Sedikit Kadar Oksigen Normal

alveoli
5. Thearpy Perlu Jika Diperlukan

Oksigen

Retraksi
Retraksi adalah cekungan otot-otot dinding dada sewaktu melakukan inspirasi.
1. Pada Sesak Nafas Atas Terjadi sumbatan di pernafasan bagian atas lalu masuk ke
alveolus, terjadi usaha bernafas semaksimal mungkin, otot-otot dinding dada retraksi.
2. Pada Sesak Nafas Bawah Tidak terjadi retraksi karena pernafasan bagian bawah hanya
berfungsi untuk difusi. Contoh pada kasus bronkopneumoni dimana terjadi udema yang
mengakibatkan gangguan difusi.
Penatalaksaan : a. Perbaikan difusi
b. Perbaikan cordis
c. Posisi pasien setengah duduk
Sianosis
Sianosis dapat terlihat dari akibat yang ditimbulkan tersumbatnya saluran napas atas atau
bawah karena kedua jenis sumbatan tersebut akan menimbulkan sianosis (kekurangan O2
dalam jaringan) tergantung pada beratnya dan lamanya sumbatan terjadi.
Therapy oksigen
Terapi oksigen adalah suatu usaha pemberian O2 secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan
tubuh,
1. Pada Sesak Nafas Atas Terjadi sumbatan di pernafasan bagian atas lalu masuk ke
alveolus, sehingga diperlukan asupan o2 yang adekuat untuk mencapai alveolus dan
memenuhi kebutuhan tubuh
2. Pada Sesak Nafas Bawah therapy o2 tidak begitu diperlukan karena pernafasan
bagian bawah hanya berfungsi untuk difusi, sehingga walaupun kadar O2 begitu tinggi
di alveolus tidak akan memperbaiki keadaan pasien karena gangguan terjadi pada
proses pertukaran gas. Contoh pada kasus bronkopneumoni dimana terjadi udema
yang mengakibatkan gangguan difusi.

Gelisah
Pada informasi 1 tertera pasien merasakan rasa gelisah yang merupakan salah satu gejala
yang disebabkan adanya penurunan kesadaran atau GCS,
Pada kasus kekurangan Oksigen pada difusi

Karbondioksida di paru-paru berlebihan

Asidosis Respiratorik
Karbondioksida kelur lewat nafas

Hiperventilasi

Karbondioksida pada darah banyak

pH darah turun

Penurunan Kesadaran

Asidosis Respiratorik
a. Hipoventilasi retensi CO2 kadar H2CO3 (Asam karbonat) naik
b. HCO3 tetap ratio < 20 : 1 pH < 7,4
H2CO3 naik
c. Kompensasi: peningkatan reabsorbsi bikarbonat oleh ginjal.
Mekanisme Pernafasan Normal

Inspirasi ( aktif ) Ekspirasi ( Pasif )

Kontraksi Otot inspirasi Otot menurunkan vol.inratoraks

Meningkatkan Vol.Intratoraks Pasif

Penurunan tekanan intraplura Pada permulaan ekspirasi

Paru-paru mengembang Beberapa otot ekspirasi kontraksi

Tekanan jalan udara menurun udara mudah keluar karena tekanan diluar tubuh lebih
rendah

Udara mengalir ke paru-paru Untuk mengerem kekuatan recoil

Akhir inspirasi Melambatkan ekspirasi


Recoil paru-paru menarik dada kembali

Posisi ekspirasi

Tekanan Recoil dan Dada seimbang

Asma

Mekanisme Pernafasan pada Asma

Asma

Pada saat inspirasi cabang dari trakheobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi

Penderita kerja keras dalam mengambil udara ke paru-paru

Udara tidak mudah keluar saat ekspirasi karena ada penyempitan dan sumbatan

Hiperinflasi progresif Paru

Udara tertangkap dibagian distal dari penyempitan dan sumbatan

Perpanjangan Ekspirasi dan menimbulkan suara

Mengi atau whezing


Macam Ronki :
Ronki basah (suara terputus) lebih sering terdengar pada Inspirasi
1. RB kasar (sekret banyak di saluran napas besar)
2. RB sedang (sekret di saluran napas kecil/sedang)
3. RB halus/krepitasi (terbukanya mendadak alveoli yang kolaps/terisi eksudat)
Ronki kering ( tidak terputus) Ekspirasi
1. Nada rendah (sonourous) obstruksi saluran napas besar
2. Nada tinggi (sibilan = wheeze) obstruksi sal napas kecil

ASMA
Faktor pencetus Asma

Pencetus : Pelepasan
Allergen Imun mediator Bronkospasme
Olahraga respon humoral Edema mukosa
Cuaca menjadi Histamine Sekresi
aktif SRS-A meningkat
Emosi
Serotonin inflamasi
Kinin

Penghambat
kortikosteroid

Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana
trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah
suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American
Thoracic Society ).
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik.

Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma :
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahuibagaimana cara
penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/ gangguanemosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja dilaboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
5. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Klasifikasi asma
1. ASMA INTERMITEN
a. Gejala < 1 kali seminggu
b. Gejala asma malam < 2 kali sebulan
c. Serangan singkat tidak mengganggu aktiviti
d. Nilai VEP1 atau APE > 80% nilai prediksi
e. Variabiliti < 20%
2. ASMA PERSISTEN RINGAN
a. Gejala > 1 kali serangan tapi < 1 kali sehari
b. Eksaserbasi dapat mengganggu aktiviti & tidur
c. Gejala asma malam > 2 kali sebulan
d. Nilai APE / VEP1 > 80% nilai prediksi
e. Variabiliti 20 30%
3. ASMA PERSISTEN SEDANG
a. Gejala tiap hari
b. Gejala asma malam > 1 kali seminggu
c. Eksaserbasi mengganggu aktiviti dan tidur
d. Nilai VEP1 atau APE > 60% tetapi < 80% nilai prediksi
e. Variabiliti > 30%
4. ASMA PERSISTEN BERAT
a. Gejala berkepanjangan
b. Gejala asma malam sering
c. Aktiviti fisik terbatas
d. Nilai APE / VEP1 < 60% nilai prediksi
e. Variabiliti > 30%
Klasifikasi derajat serangan asma
1. SERANGAN ASMA RINGAN
a. Sesak napas : Waktu berjalan, bisa berbaring
b. Berbicara : Kalimat
c. Kesadaran : Mungkin agitasi
d. Frekuensi napas : < 20 x
e. Pemakaian otot bantu napas : Biasanya tidak
f. Mengi : akhir ekspirasi paksa
g. Nadi : < 100 kali/menit
h. Pulsus paradoksus : tidak ada
i. APE sesudah terapi awal : > 80 %
j. Pa O2 : Normal
k. Pa CO2 : < 45 mmHg
l. Saturasi O2 : > 95 % (udara biasa)
2. SERANGAN ASMA SEDANG
a. Sesak napas : waktu bicara, > suka duduk
b. Berbicara : Kata-kata
c. Kesadaran : Biasanya agitasi
d. Frekuensi napas : 20 30 x
e. Pemakaian otot bantu napas : ada
f. Mengi : akhir ekspirasi
g. Nadi : 100 - 120 kali/menit
h. Pulsus paradoksus : mungkin ada 10 - 25 mmHg
i. APE sesudah terapi awal : 60 - 80 %
j. Pa O2 : > 60 mmHg
k. Pa CO2 : < 45 mmHg
l. Saturasi O2 : 91 - 95 % (udara biasa)
3. SERANGAN ASMA BERAT
a. Sesak napas : saat istirahat, duduk membungkuk
b. Berbicara : kata demi kata
c. Kesadaran : biasanya agitasi
d. Frekuensi napas : > 30 x / menit
e. Pemakaian otot bantu napas : biasanya ada
f. Nadi : > 120 kali/menit
g. Mengi : ekspirasi & inspirasi
h. Pulsus paradoksus : sering ada > 25 mmHg
i. APE : < 60 % < 100 L/menit
j. Pa O2 : < 60 mmHg
k. Pa CO2 : > 45 mmHg
l. Saturasi O2 : < 90 % (udara biasa)
4. SERANGAN ASMA MENGANCAM JIWA
a. Kesadaran : Tidak begitu sadar
b. Pemakaian otot bantu napas : Pergerakan torakoabdominal yang
paradoksal
c. Mengi : Tidak ada
d. Nadi : Bradikardi
e. Pulsus paradoksus : Tidak ada karena kelelahan otot napas

Tabel Klasifikasi derajat beratnya asma


RINGAN SEDANG BERAT
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan suka
dan berbaring lebih suka membungkuk ke
duduk depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat Kata demi kata
terbatas
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya terganggu
terganggu terganggu
Frekuensi nafas Meningkat Meningkat Sering >30 permenit
Retraksi Umumnya tidak Kadang ada Ada
ada
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Nadi <100 100-120 >120
Pulsus Tak ada Mungkin ada Sering ada
parokdoksus
APE post >80% 60-80% <60%
bronkodilator
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%
Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma,
baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti
tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang
merawatnnya.

Berdasarkan patogenesis terjadinya asma maka pengobatan memakai perspektif yang berbeda
yaitu :
1. Mencegah ikatan alergen-IgE
a) Minghindari paparan alergen
b) Hiposensitisasi dengan menyuntikkan alergen dengan dosis tertentu sehinnga tubuh
memproduksi IgG (Blocking antibodi) sehihingga mencegah ikatan alergen dengan
Ig E pada sel mast.
2. Mencegah pelepasan mediator radang
Natrium kromolin sering digunakan dengan tujuan mencegah spasme bronkus yang
dicentuskan alergen. Fungsi kromolin adalah stabilisasi membran sel mast digunakan
untuk terapi profilaksis.
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator
1) Simpatomimetik
a) Agonis beta 2 (salbutamol), terbutalin, fenoterol, prokaterol merupakan obat
pilihan yang diberikan secara inhaler.
b) Efinefrin dapat digunakan pada serangan asma berat sebagai pengganti beta 2
agonis
2) Aminofilin
Derivat Xantin yang dipakai pada serangan asma akut mempunyai efek
bronkodilator.
3) Kortikosteroid
Bukan termasuk bronkodilator tetapi berperan dalam mekanisme patofisiologi
asama.
4) Anticholinergik
Ipatropin Bromida dipakai sebagai suplemen beta 2 agonis.
4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas.
Kesimpulan histopatologis para ahli membuktikan bahwa terdapat proses infiltrasi sel
radang dan mediator sehingga memerlukan peredam menggunakan Natrium kromolin dan
kortikosteroid.

Pengobatan Asma berdasarkan konsensus internasional (Global Initiative for Asthma)


Para ahli asma seluruh dunia melakukan lokakarya bersama untuk membuat protokol
bersama dalam menterapi penderita asma. Konsensus ini mulai diperkenalkan sejak tahun
1995 melibatkan 6 komponen utama yaitu.
A. Penyuluhan pada pasien
Pengobatan asma merupakan pengobatan waktu lama sehingga memerlukan kerjasama
penuh dari penderita dan keluarga penderita. Bisa tercapai bila mereka memahami tentang
asma itu sendiri dan semua obat-obat yang berkaitan.
B. Penilaian derajat asma
Tujuan utama adalah untuk menilai kegawatan asma yang mungkin terjadi dan untuk
menilai perbaikan farmakologis yang telah dilakukan.
C. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus
Tujuannya untuk menghindari paparan alergen sehingga serangan asma dapat dikurangi.
D. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Dalam melakukan terapi asma ada tiga pertimbangan dasar yang menjadi acuan yaitu :
1. Obat-obatan anti asma
Merupakan obat-obatan yang dipakai sehari-hari untuk mengendalikan asma. Termasuk
didalamnya obat anti inflamasi, dan bronkodilator. Saat ini mulai terus dicoba untuk
profilaksis terapi agar kualitas hidup penderita meningkat dengan menggunakan
kortikosteroid inhaler, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil,
teofilin lepas lambat, agoni beta 2 inhaler dan oral.
Pada asma kita juga menggunakan terapi simtomatis atau penghilang gejala dengan
menggunakan bronkodilator dan gejala lain yang mungkin muncul.
2. Pengobatan farmakologis dengan sistem anak tangga
Sampai dengan saat ini masih belum ada obat-obatan yang dapat 100% menghilangkan
gejala asma, terapi yang dilakukan hanya untuk mengendalikan serangan. Asam
dikatakan telah terkendali bila :
a. gejala asma kronik minimal
b. eksaserbasi aku minimal
c. kebutuhan agonis beta 2 minimal
d. tak ada keterbatasan aktivitas.
e. variasi APE < 20%
f. Nilai APE normal atau mendekati normal.
g. Efek samping obat minimal
h. tidak memerlukan pertolongan gawat darurat

Pemeriksaan selama terapi dan monitoring (evaluasi)


1. Pemeriksaan fisik lengkap
2. Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral
3. Pemeriksaan EKG
4. Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC
5. Analisa gas darah
6. Pemeriksaan elektrolit
7. Pemeriksaan darah lengkap , urine lengkap, feses lengkap
8. Pemeriksaan kimia darah
9. Pemeriksaan berat jenis plasma
10. Pemeriksaan sputum
11. Biakan darah bila perlu
12. Kadar aminofillin dalam darah ( 12 jam setelah terapi bolus )

Tindak lanjut bila terjadi hasil evaluasi yang buruk


Bila terjadi kegagalan terapi
1. Asidosis respiratorik
a) Ventilasi diperbaiki
b) Pemberian Nabic
2. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask
3. Gagal napas akut
alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat :
a) apneu
b) kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis .
respiratorik akut
c) Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis .
respiratorik akut
d) Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2

Komplikasi asma akut


Pneumotoraks
Pneumomediastinum
Emfisema Subkutan
Pneumoperikardium
Miokard Infark
Mucus Plug
Atelektasis
Keracunan Teofilin
Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Miopati
Asidosis Asam Laktat
Anoksia otak

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)


Penyakit paru obstruktif kronik adalah kelainan yang ditandai oleh uji arus ekspirasi
yang abnormal dan tidak mengalami perubahan secara nyata pada observasi selama beberapa
bulan. PPOK merupakan penyakit yang memburuk secara lambat, dan obstruksi saluran
napas yang terjadi bersifat ireversibel.
Dahulu yang termasuk dalam PPOK adalah bronchitis kronis,asma bronkiale,
emfisema paru dan bronkiektasis. Saat ini disepakati PPOK hanya mencakup bronkitis kronis
dan emfisema, sedangkan asma bronkiale dan bronkiektasis dianggap sebagai penyakit
tersendiri.
Secara klinis terdapat 2 macam perangai yang klasik dari PPOM, yaitu :
1. Jenis Bronkitik atau "Blue Bloater" atau tipe B.
2. Jenis Emfisematus atau "Pink Puffer" atau tipe A.
Stadium akhir PPOK didahului oleh suatu disability (ketidakmampuan) yang
progresif yaitu penurunan kapasiti latihan dan berbagai gejala yang tidak hanya terbatas
masalah pemapasan saja misalnya cepat lelah, sukar tidur, cepat marah dan putus asa.
Akhimya penderita akan masuk ke dalam lingkaran masalah yang berkelanjutan yang
berakibat handicap (kacacatan) menetap, mulai dari sesak berkepanjangan, inaktiviti sampai
dekondisi yang berat, keterbatasan dalam aktiviti psikososial yang diikuti oleh depresi.
Faktor resiko PPOK
1. Merokok
2. Polusi udara
3. Hiperresponsif saluran nafas
4. Jenis kelamin : laki-laki > perempuan
5. Ras : kematian pada kulit putih >
6. Status sosila ekonomi
7. Faktor pekerjaan
8. Defisiensi alpha-1 antitripsin

Daftar Pustaka
1. Majel Arnold, R.R.T., M.S.-H.S.A. Guidelines for the Management of Asthma in
California Schools. Copyright at 2004, assessed 16 April 2008. available at
http://www.caasthma.org/files/dhsASTHMAguidelinesFINAL.pdf
2. Amin, Muhammad dkk., 1998 : Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University
Pers, Surabaya hal 1:13
3. Braunwald, Eugene., et.al. 2002 : Harrisons Manual of Medicine Ed 15. Mc Graw
Hill, Boston p 620:623
4. Karjito, Thomas. Kabat. Plilingan, JF. 1994 : Asma Bronkial : Pedoman Diagnosa dan
Terapi Ilmu Penyakit Paru. RSUD Dr Soetomo, Surabaya p 3 : 8 Kabat. 2001 : Asma
Bronkial : Bahan Kuliah Ilmu Penyakit Paru FKUA semester VII-VIII. RSUD Dr
Soetomo, Surabaya p 1 : 38
5. New Zealand Health Technology Assessment. Effectiveness of therapeutic agents in the
treatment of asthma. Copyright at 2004, assessed 16 April 2008. available at
http://nzhta.chmeds.ac.nz/publications/asthma-treatment.pdf
1. Sesak Napas (Dispnea)
Sesak nafas atau dispneu adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan gejala utama
dari penyakit kardiopulmonar. Seseorang yang mengalami dispnea sering mengeluh
bahwa napasnya menjadi pendek, atau merasa tercekik, merasa kurang mendapatkan
udara. Dispnu adalah penderitaan mental yang berkaitan dengan keinginan tidak
terpuaskan untuk mendapat ventilasi yang lebih memadai. Dispnu tidak berkaitan
secara langsung dengan peningkatan kronik PCO2 atau reduksi PO2. Perasaan subjektif
akan kekurangan udara dapat terjadi walaupun ventilasi alveolus dan gas-gas darah
normal. (Price&Wilson, 2006;Sherwood,2001)
Gejala objektif sesak napas yaitu :
a. pengunaan otot-otot pernapasan tambahan seperti m. Sternocleidomastoideus,
m.Scalenus, m. Trapezius, m.Pectoralis mayor
b. pernapasan cuping hidung
c. Tachypnea
d. Hiperventilasi
Sesak napas tidak selalu menunjukkan adanya penyakit, orang normal juga akan
mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkatan yang
berbeda. (Price&Wilson, 2006)
Sumber penyebab dispnea termasuk:
a. Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada.
Dalam teori tegangan-panjang, gelondong otot berperan penting dalam
membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya. Dispnea
terjadi apabila tegangan otot yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot.
Karena pak Paijo mengalami jatuh dari pohon kelapa, kemudian membentur tanah
di bawah pohon itu, kemungkinan benturan tersebut mengakibatkan kerusakan
otot-otot dinding dada. Beberapa otot di dinding dada berperan dalam proses
pernapasan, baik itu inspirasi maupun ekspirasi. Dengan adanya kerusakan otot-
otot tersebut mungkin juga proses pernapasan terhambat, salah satu
manifestasinya adalah sesak napas. (Price&Wilson, 2006)
b. Ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.
Trauma, shock, serta infeksi pada paru dapat mengakibatkan edema paru. Edema
paru dapat mengakibatkan pengeluaran vasoaktif, kaku, menurunnya difusi, serta
sesak napas. (Price&Wilson, 2006)
c. Kemoreseptor untuk tegangan O2 dan CO2 (Price&Wilson, 2006)
d. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa
sesak napas.
2. Edema Pulmo, ARDS
a. Definisi
Edema paru adalah penumpukan cairan serosa atau serosanguinosa yang
berlebihan dalam ruang interstitial dan alveolus paru. Jika edema timbul secara
akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. (Price&Wilson,
2006)
b. Etiologi
Edema paru dapat terjadi karena:
1) Peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru
2) Penurunan tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis
3) Kerusakan dinding kapiler, dapat disebabkan:
a) Inhalasi gas-gas yang berbahaya
b) Peradangan, seperti pada pneumonia
c) Gangguan lokal proses oksigenasi
4) Penyebab tersering adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung
arteriosklerotik atau stenosis mitral.
(Price&Wilson, 2006)
Edema paru dapat terjadi akibat transudasi cairan dari kapiler paru ke dalam ruang
alveolus dan bronkiolus. Biasanya disertai dengan kolaps sirkulasi atau
neurosirkulasi dan sering merupakan kejadian terminal pada berbagai penyakit.
(Behrman,2000)
c. Patofisiologi
Gagal jantung kiri jantung kanan tetap memompa darah tekanan kapiler
paru edema paru
Stadium pembentukan edema:
1) Edema interstitial : pelebaran ruang perivaskular dan ruang peribronkial,
peningkatan aliran getah bening
2) Edema alveolar sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam aveoli.
Plasma mengalir ke alveoli lebih cepat daripada kemampuan pembersihan
oleh batuk atau oleh kelenjar getah bening paru plasma mengganggu difusi
O2 hipoksia jaringan menambah kecenderungan terjadinya edema
asfiksia bila tidak segera diambil tindakan untuk menghilangkan edema paru.
(Price&Wilson, 2006)
d. Gejala dan Tanda
1) Kesulitan bernapas
2) Nyeri dada
3) Batuk
4) Sputum berbusa, berbercak merah muda
5) Takipnea
6) Napas cuping hidung
7) Nadi cepat dan lemah
8) Pucat, mungkin sianosis
9) Perkusi redup, krepitasi basah-bergelembung pada bagian bawah dada
10) Mengi karena edema peribronkilus
11) Roentgenorgam dada:infiltrat per hilus difus (Behrman,2000)
e. Penatalaksanaan
Pengobatan darurat pada edema paru akut berupa tindakan-tindakan untuk
mengurangi tekanan hidrostatik paru:
Menempatkan pasien pada posisi Fowler dengan kaki menggantung
Torniket yang berpindah-pindah
Flebotomi (pembuangan darah sebanyak 0,5 L)
Pemberian diuretik, misalnya furosemid 1mg/kg
Pemberian O2 meredakan dispnea dan nyeri dada.
Dispnea sering dapat diatasi dengan Morfin sulfat 0,1 mg/kg
Pemerian digitalis untuk memperbaiki kontraktilitas miokardium.
Pemberian bronkodilator (Price&Wilson, 2006;Behrman,2000)
3. Hematotoraks
a. Definisi
Hematotoraks adalah perdarahan sejati ke dalam rongga pleura dan tidak
dimaksudkan untuk menyatakan efusi pleura yang berdarah. (Price&Wilson,
2006)
b. Etiologi
Trauma merupakan penyebab tersering dari hematotoraks. Klasifikasi trauma:
1) Trauma tembus, misalnya luak tusuk
2) Trauma tumpul, misalnya fraktur iga yang selanjutnya menyebabkan laserasi
paru atau pembuluh darah interkostal. (Price&Wilson, 2006)
c. Diagnosis hematotoraks hanya dapat dibuat dengan torakosentesis.
(Danusantoro,2000)
d. Klasifikasi Hematotoraks
Besarnya
Ukuran Bayangan Foto Penanganan
Pemeriksaan Fisik
Rntgen
Kecil 0-15 % Perkusi pekak Gerakan aktif
sampai SIC IX (fisioterapi)
Sedang 15-35 % Perkusi pekak Aspirasi dan
sampai SIC VI Transfusi
Besar > 35 % Perkusi pekak Penyalir sekat air di
sampai kranial, SIC ruang antar iga,
IV transfusi
(Sjamsuhidajat, 2004)
e. Gejala dan Tanda
1) Nyeri
2) Sesak nafas progesif
3) Inspeksi : biasanya tidak tampak keluhan, mungkin gerak nafas tertinggal
mungkin pucat karena perdarahan
4) Palpasi : fremitus mungkin lebih keras dari sisi yang lain
5) Perkusi : Pekak dengan batas seperti garis miring atau mungkin tidak jelas
tergantung pada jumlah darah yang ada di rongga toraks
6) Auskultasi : Bising nafas mungkin tidak terdengan atau menghilang
(Rachmad;1995)
f. Penatalaksanaan
Intervensi bedeah mungkin dipelrukan untuk mengendalikan perdarahan aktif:
WSD
Transfusi mungkin diperlukan jika kehilangan darah berlebihan
Pengeluaran darah yang tidak cukup pada hematotoraks yang luas dapat
menyebabkan penyakit restriktif berat akibat pengendapan dan organisasi fibrin.
(Behrman,2000;Rachmad;1995)
4. Pneumotoraks
a. Definisi
Adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura disebut pneumotoraks.
(Price&Wilson, 2006)
Akumulasi udara ekstrapulmonal dalam dada. (Behrman,2000)
b. Klasifikasi dan Etiologi
Berdasarkan penyebabnya :
1) Pneumotoraks Traumatik:
Adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi
maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada, maupun
paru. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur iga atau luka
penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding rongga
juga dapat menyebabkan pneumotoraks. Trauma tumpul atau tembus dada luar
atau perut dapat merobek bronkus atau visera perut, dengan kebocoran udara
ke dalam pleura. Penyebab trauma penetrasi diantaranya luka tusuk, luka
tembak, akibat tusukan jarum maupun saat dilakukan kanulasi vena sentral.
Berdasarkan kejadiannya pneumotoraks dibedakan:
Iatrogenik, adalah pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan
medis. Pneumotoraks iatrogenik dapat mengkomplikasi trakeotomi,
pemindahan garis subklavia, torakosentesis, biopsi trans-bronkus, atau
prosedur diagnostik atau terapeutik lainnya. Pneumotoraks juga dapat terjadi
setelah pengobatan akupunktur dan diklasifikasi sebagai traumatik atau
iatrogenik.
Non-iatrogenik, pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya
jejas pada dinding dada baik tertutup maupun terbuka, barotrauma.
2) Pneumotoraks Spontan
Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab. Pneumotoraks spontan adalah istilah yang dipakai
untuk menggambarkan pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba dan tak
terduga dengan atau tanpa penyakit paru yang mendasarinya. Penyakit paru
yang sering mengakibatkan pneumotoraks sekunder spontan;
1) Emfisema (Pecahnya bleb atau bula)
2) Pneumonia
3) Neoplasma
Pneumotoraks spontan dapat juga dialami oleh orang muda antara 20-40
tahun, dan disebut pneumotoraks spontan idiopatik atau primer.Biasanya
penyebabnya adalah pecahnya bleb subpleura pada permukaan paru atau
penyakit bula lokal. (Price&Wilson, 2006)
Dibagi menjadi 2 yaitu:
Primer : penyebabnya tidak diketahui, tanpa penyakit paru sebelumnya,
umumnya pada individu sehat,dewasa muda, tidak berhubungan dengan
aktivitas fisik yang berat.
Sekunder : terdapat latar belakang penyakit paru (TBC, PPOK, asma
bronkial, pneumonia, tumor paru, dan sebagainya). Pasien dengan defek
sintesis kolagen seperti Ehler-Danlos dan Sindrom Marfan trkadang
cenderung menderita pneumotoraks.
Berdasarkan urutan peristiwa yang merupakan kelanjutan dari adanya robekan
pleura:
1) Pneumotoraks Terbuka
Pneumotoraks terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga
saat inspirasi udara dapat keluar masuk melalui luka tersebut. Saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka.
2) Pneumotoraks Tertutup
Pneumotoraks tertutup yaitu suatu pneumotoraks dengan tekanan udara di
rongga pleura sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi
hemitoraks kontralateral, tetapi lebih rendah dari tekanan atmsofer. Tidak
didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada.
3) Pneumotoraks Tekanan (Tension Pneumotoraks)
Terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk
ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura
tidak dapat keluar. Semakin lama, tekanan dala rongga pleura semakin
meningkat sampai melebihi tekanan atmosfer. Udara dalam rongga pleura ini
dapat menekan paru sehingga menimbulkan gagal napas.
(Price&Wilson,2006;Hisyam&Budiono,2006;Behrman,2000;Sjamsuhidajat, 2004)
Pneumotoraks katamenial, keadaan yang tidak biasa yang menurut definisi terkait
dengan menstruasi, akibat dari lepasnya udara intra-abdomen melalui defek
diafragmatika. Bila dilakukan torakotomi karena pneumotoraks berulang yang
penyebabnya tidak dikteahui pada wanita muda, pemeriksaan diafragma mungkin
tepat dilakukan. (Behrman,2000)
Berdasarkan Volume udara yang mengisi rongga pleura:
1) Pneumotoraks partialis, udara yang sudah terlanjur masuk rongga pleura hanya
menyita sebagian rongga toraks saja, artinya masih ada paru yang
mengembang, walau sudah tak sepenuhnya lagi.
2) Pneumotoraks totalis, paru sudah mengalami kolaps total karena terdesak
udara dalam rongga pleura yang cukup banyak dengan tekanan yang cukup
besar.
3) Pneumotoraks lokalisata, udara hanya mengisi atau mengambil tempat di
sebagian rongga pleura, tidak mengisi rongga pleura sepenuhnya.
(Danusantoro,2000)
Kalau ditinjau dari frekuensi serangan pneumotoraks dibagai menjadi:
1) Pneumotoraks residif, bila serangan pneumotoraks sudah terjadi beberapa kali
di tempat yang sama
2) Pneumotoraks habitual, bila pneumotoraks terjadi di tempat-tempat yang
berbeda. (Danusantoro,2000)
c. Patofisiologi
Luka tembus dada udara masuk rongga pleura paru kolaps sampai batas
tertentu
Pneumotoraks terbuka : Terbentuk saluran terbuka kolaps masif terjadi sampai
tekanan dalam rongga pleura=tekanan atmosfir
Mediastinum bergeser ke arah paru yang kolaps dan dapat berpindah bolak-balik
selama siklus pernapasan, sewaktu udara keluar masuk rongga pleura.
Pneumotoraks tertutup: cacat yang menyebabkan terbentuknya hubungan antara
rongga pleura dan atmosfir dapat menutup sendiri. Kebocoran hnay terjadi
sekejap/hanya satu kali itu saja udara masuk rongga pleura paru kolaps,
dapat sampai kolaps total sesak napas gerak napas hemitoraks ketinggalan,
fremitus vokal atau menghilang. (Danusantoro,2000)
Pneumotoraks tekanan : cacat yang menyebabkan terbentuknya hubungan antara
rongga pleura dan atmosfer tetap terbuka selama inspirasi dan menutup selama
ekspirasi (efek katup searah) banyak udara tertimbun dalam rongga pleura
tekanan rongga pleura > tekanan atmosfer paru kolaps total penderita dai
menit ke menit bertambah sesak, takipneu, takikardi, syok kardiovaskuler
hiperkapnia akut kuku dan bibir sianosis kesadaran, bahkan sampai tidak
sadar (CO2 narcosis)
(Price&Wilson, 2006)
d. Gejala dan Tanda
1) Dispnea (jika luas)
2) Nyeri pleuritik hebat
3) Batuk-batuk
4) Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks
5) Takikardia
6) Takipneu, tapi napas dangkal
7) Sianosis (jika luas)
8) Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
9) Perkusi hipersonor di atas pneumotoraks
10) Perkusi meredup di atas paru yang kolaps
11) Suara napas berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena
12) Fremitus vokal dan raba berkurang
13) Ekstremitas dingin
14) Pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi sehat (iktus kordis bergeser ke
sisi sehat, begitu pula dengan batas-batas jantung)
(Price&Wilson,2006;Hisyam&Budiono,2006;Danusantoro,2000;Rachmad,1995)
e. Pemeriksaan penunjang
Foto dada : garis pleura viseralis tampak putih, lurus, atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara keda garis
pleura tampal lusen karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan
vaskuler pada daerah tersebut. (Behrman,2000)
f. Penatalaksanaan
Pengobatan darurat pada luka tembus dada : pemasangan perekat tak tembus
udara di atas luka. Pasien harus diobservasi untuk menemukan tanda-tanda
tekanan pneumotoraks, dan bila timbul tanda-tanda pneumotoraks tekanan,
perekat yang telah terpasang di atas luka harus dilepas.
Pneumotoraks mula-mula diatasi dengan pengamatan konservatif bila kolaps paru
20% udara sedikit demi sedikit diabsorpsi melalui permukaan pleura
Jika pneumotoraks berat dan dispnea berat dipasang selang torakotomi yang
dihubungkan dengan Water Sealed Drainage untuk membantu pengembangan
paru kembali. Jika efusi berdarah disebabkan oleh pneumotoraks maka harus
dilakukan pengeluaran dengan drainase karena bekuan dan organisasi dapat
menyebabkan fibrosis pleura yang luas. (Price&Wilson, 2006)
Indikasi pemasangan WSD pada pneumotoraks karena trauma tajam atau trauma
tembus toraks;
Sesak nafas atau gangguan nafas
Bila gambaran udara pada foto toraks lebih dari rongga toraks sebelah luar
Bila penderita memerlukan anestesia umum oleh karena sebab lain
Bila ada tension pneumotoraks setelah dipunksi
Bila ada hematotoraks setelah dipunksi
Bila pneumotoraks yang tadinya konservatif pada pemantauan selanjutnya ada
perburukan
Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks.
British Thoracic Society dan American Collegeof Chest Physician
merekomendasikan prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks:
Observasi dan pemberian tambahan oksigen, dilakukan bila luas
pneumotoraks < 15 % dari hemitoraks.
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan
atau tanpa pleurodesis, pada pneumotoraks luas > 15%. Tujuannya untuk
,emgeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi
dapat dilakukan dengan cara:
o Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura,
sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
o Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil.
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau
bulla. Tindakan ini dilakukan apabila :
o Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
o Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
o Terjadinya fistula bronkopleura
o Timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodesis
o Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah
kambuh kembali.
Torakotomi
Indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Dilakukan jika dengan
torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru.
(Hisyam&Budiono,2006)
h. Komplikasi
Pneumotoraks dapat menyebabkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumotoraks,
hidro-pneumotoraks,hemo-pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat
jarang terjadi).
Timbulnya infeksi sekunder pada pungsi toraks darurat maupun sebagai akibat
pemasangan WSD. Infeksi dapat berupa empiema atau abses paru.
Pneumomediatinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi
pneumotoraks spontan, biasanya karena pecahnya esofagus atau bronkus.
(Hisyam&Budiono,2006)
i. Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
torakostomi. Pasien yang penatalaksanaannya cukup biak. Umumnya tidak
dijumpai komplikasi. (Hisyam&Budiono,2006)
Dengan drainase adekuat, bahkan bila ada penyulit paru, hampir selalu bisa terjadi
resolusi. Setelah pneumotoraks spontan primer, 30 % pasien mengalami episode
kedua dalam waktu 5 tahun. Setelah episode kedua, tingkat rekurensi meningkat
di atas 50 % karena itu penderita disarankan untuk menjalani pleurodesis. Setelah
pleurodesis jarang terjadi rekurensi. (Davey,2005)
Pneumotoraks pada orang dewasa muda prognosisnya sangat baik. Hal ini karena
jaringan paru masih cukup baik, kecuali daerah tempat terjadinya kebocoran.
Dengan terapi tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna d kemungkinan
kambuh kecil sekali, kecuali bila penderita di kemudian hari menjadi seorang
perokok.
Pneumotoraks pada orang dewasa setengah tua, apalagi seorang perokok maka
sering sudah ada emfisema paru dengan tekanan udara intrapulmonal yang tinggi,
maka pada keadaan seperti itu kesembuhan dapat disusul dengan kekambuhan
yang bahkan dapat sampai berkali-kali.

Anda mungkin juga menyukai