Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asfiksia perinatal adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami


kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke
berbagai organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan
biokimia sehingga dalam jaringan timbul asidosis laktat. Pengaruh hipoksia dan
iskemia tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat salingtumpang tindih.
Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia. Asfiksia dapat terjadi pada waktu
pre, peri dan postnatal.1

HIE merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada


susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa
palsi serebral atau retardasi mental. Angka kejadian HIE berkisar antara 0,3-1,8 %
di negara-negara maju, sementara di Indonesia belum ada catatan yang cukup
valid. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pad masa neonatal, 25-
30 % yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental (palsi
serebral, keterbelakangan mental). Di Indonesia belum ada catatan yang valid
mengenai kematian dan kecacatannya, tetapi diyakini lebih tinggi dari angka-
angka di atas.4

1.2 Tujuan
Mengetahui dan memahami tentang Hipoksik Iskhemik Ensefalopati (HIE)

1.3 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai Hipoksik Iskhemik
Ensefalopati (HIE)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipoksik Iskhemik Ensefalopati


2.1.1 Defenisi
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi
oksigen dalam darah arteri. Iskemia adalah istilah yang menggambarkan
penurunan aliran darah ke sel atau organ (perfusi) yang menyebabkan insufisiensi
fungsi pemeliharaan organ tersebut.1 Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana
fetus atau neonatus mengalami hipoksia dan atau iskemia ke berbagai macam
organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia
sehingga dalam jaringan timbul asidosis. Pengaruh hipoksia dan iskemia tidak
sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih. Kedua faktor
tersebut menyebabkan asfiksia. Asfiksia dapat terjadi pada waktu pre, peri dan
postnatal.2-8
Ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana
bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.10
Hipoksik iskemik Ensefalopati perinatal (HIE) adalah suatu sindroma yang
ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena
adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.1-6 Hipoksik
iskemik Ensefalopati merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel
pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan
berupa palsi cerebral atau defisiensi mental.

2.1.2 Etiologi

Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu :


- Faktor Maternal : hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug abuse,
penyakit jantung, paru dan susunan saraf pusat, hipotensi, infeksi rupture uteri
dan panggul sempit
- Faktor Kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio
plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah
umbilikus.

2
- Faktor Kelainan fetus dan neonatus: anemia, perdarahan, hidrops,
infeksi, pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth retardation),
serotinus.

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan oleh:


1. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.
2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan
oleh infeksi berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau
adrenal.
3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan
sebab defek serebral, narkosis atau cedera.
4. Kegagalan oksigenasi karena CHD berat atau penyakit paru.

2.1.3 Patogenesis
Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia,
hipotensi, turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis
respiratorius. Respon sistim sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan
aliran pintas melalui duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan
tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung dan adrenal, hati, ginjal dan usus
secara sementara.
Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat-
ringan hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler
karena peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel
endotel merupakan tanda nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan
petekie tampak pada perikardium, pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen.
Hipoksia intrauterin yang memanjang dapat menyebabkan Periventicular
leukomalacia (PVL) dan hiperplasia otot polos arteriole pada paru yang
merupakan predesposisi untuk terjadi hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas
yang ditandai dengan gasping, dapat terjadi akibat aspirasi bahan asing dalam
cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo dan skuama).
Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut
setelah lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut

3
tergantung pada usia kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis
neuronal korteks (lebih lanjut akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik
parasagital. Pada bayi kurang bulan akan terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi
spastik diplegia), status marmoratus basal ganglia dan IVH. Pada bayi cukup
bulan lebih sering terjadi infark fokal atau multifokal pada korteks yang
menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi kurang
bulan.

2.1.4 Diagnosa
Manifestasi Klinis
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga
beberapa hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan
peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Asidosis
terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama pada bayi
menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk memberikan
oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera mengakhiri
kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP.
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung
mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya
terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa
jam kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat
atau tonus tampak normal.
American Medical Association pada tahun 1976 menerbitkan modifikasi
pembagian ensefalopati hipoksik iskemik menurut Sarnat dan Sarnat pada bayi
aterm (>36 minggu) yang sampai sekarang masih dipergunakan. 6

Tabel 1 :Pembagian Ensefalopati Hipoksik Iskemik pada bayi aterm9


Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3
Tingkat Iritabel Lateragi Stupor, Coma
Kesadaran
Tonus Otot Normal Hipotonus Flaksid
Postur Normal Fleksi Decerebrate

4
Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Tendon/
Klonus
Myoclonus Tampak Tampak Tidak tampak
Refleks Moro Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis Tidak
beraturan,
refleks cahaya
lemah
Kejang Tidak ada Sering terjadi Decerebrate
EEG Normal Voltage rendah Burst
yang berubah suppesion to
dengan kejang isoelektrik
Durasi <24 jam 24 jam -14 hari Beberapa hari
hingga minggu
Hasil Akhir Baik Bervariasi Kematian

Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan


angka rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%
2.Kelainan sedang (slow wave activity) : 64%
3.Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap


stimulasi juga merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral
edema dapat berkembang dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi
batang otak. Selama fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat
dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar obat antikonvulsan.

5
1-7, 13, 14
Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ginjal
Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Waspadailah kemungkinan
timbul acute tubular necrosis (ATN), dan gagal ginjal akut.
2. Sistem kardiovaskuler
Hipotensi, tricuspid insufficiency, nekrosis, iskemik miokardial, disfungsi
ventrikuler, syok, gagal jantung congesif
3. Paru
Edema paru-paru, pendarahan paru-paru (shock lung), respiratory
distress syndrome, meconeal aspiration syndrome, dan persistent
pulmonary hypertension.
4. Sistem saluran cerna
Fungsional intestinal obstruction, paralytic ileus, ulkus, perforasi
atau necrotizing enterocolitis.
5. Metabolik
Asidosis, hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremi, syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone (SIADH),
6. Hepar
Gangguan fungsi liver, pembekuan darah, metabolisme bilirubin, albumin
dan shock liver.
7. Hematologi
Pendarahan-pendarahan, disseminated intravascular coagulation (DIC).
8. Kematian otak (brain death).

2.1.5 Pemeriksaan penunjang

Tidak ada satu tes darah yang spesifik untuk mendiagnosis asfiksia
perinatal.5 Pada pH<7.0 secara klinis menimbulkan asidosis, tetapi belum pasti
cedera hipoksik telah terjadi. Nilai apgar menurut AAP/ACOG tidak bisa
digunakan sebagai bukti bahwa kerusakan neurologi karena hipoksia yang
diakibatkan cedera saraf atau penatalaksanaan intrapartum yang tidak optimal
tetapi dapat membantu menentukan tingkat asfiksia.9

6
Tabel 2. Skor Apgar.12
Tanda 0 1 2
Frekuensi Tidak ada <100 x/menit >100 x/menit
jantung
Usaha Tidak ada Lambat, tidak Menangis kuat
Bernafas teratur
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas fleksi Gerakan aktif
sedikit
Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Reaksi melawan
Warna Seluruh Tubuh kemerahan, Seluruh tubuh
tubuh ekstremitas biru kemerahan
biru/pucat

Diagnosis durante/postpartum ditegakkan berdasarkan nilai skor Apgar pada


menit 1, 5, dan 10.

Kriteria :

1. Asfiksia berat : skor Apgar 0-3


2. Asfiksia ringan-sedang : skor Apgar 4-6
3. Tidak asfiksia : skor Apgar 7-10

Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada
fase lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan penunjang untuk HIE, sebagai berikut :

1. EEG : dapat memprediksi keadan klinis termasuk kemungkinan untuk hidup


dan sekuele neurologis jangka panjang, seperti kuadriplegia spastik atau
diplegia.

7
2. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk
mendeteksi kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi
kelainan.
3. CTScan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko
terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang
memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat. Pemerikasaan ini
kurang sensitive karena pada parenkim otak bayi terdapat kandungan cairan
dan kandungan protein yang tinggi.
4. Magnetic resonance imaging: Dapat memperlihatkan struktur otak dan
fungsinya dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.Pada MRI
HIE pada substansia grisea pada korteks akan memperlihatkan karakteristik
hipersensitifitas T1 dan intensitas T2 tergantung pada saat diambilnya
gambaran MRI dan patologi yang dominan menyertai. Lesi iskemia pasa
susbstansia alba menghasilkan hiposensiti T1 dan hipersensiti T2 terutama
pada kapsula interna bagian posterior yang menyebabkan edema. Pemeriksaan
ini bisa dilakukan antara 24 jam hingga 8 hari paska edema.
5. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir
dengan SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang
normal pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4
hari akan mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.

2.1.6 Penatalaksanaan

a. Upaya yang optimal adalah pencegahan.1-7 Tujuan utama, yaitu


mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai resiko
mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga persalinannya.
b. Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan atau

ensefalopati hipoksik iskemik.1-7


1. Ventilasi yang adekuat.
2. Oksigenasi yang adekuat.
3. Perfusi yang adekuat.
4. Koreksi asidosis metabolik.
5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL,

8
untuk menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak.
6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
7. Atasi kejang. Bila ada kejang maka phenobarbital adalah obat pilihan.
Dosis awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg
hingga 40-50mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg
atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat
refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam
setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis
5mg/kg/hari.
8. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah
timbulnya edema cerebri dengan cara mencegah overload dari cairan.
Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah
bayi kemungkinan timbul SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Deuretic
Hormon).
c. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat
(delayed neural death).1-7
d. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan serta neuroprotektor
dengan memberikan allopurinol.1-5, 7
e. Pengobatan supportive untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan.

2.1.7 Prognosis

Penderita yang mengalami HIE, prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh total,
cacat atau meninggal dunia. Pada stadium ringan umumnya sembuh total, pada
stadium sedang 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya tetap ada
lebih dari 5-7 hari. Prognosisnya buruk apabila1,8 :

1. Asfiksia berat berkepanjangan


2. HIE stadium berat50% meninggal dunia, sisanya timbul gejala sisa yang
berat
3. Kejang sulit diatasi, muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan
multiorgan

9
4. Kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat dipulangkan, 51
% akan timbul epilepsi
5. Adanya oligouria persisten
6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir
7. Adanya kelainan EEG sedang sampai berat
8. Adanya kelainan CT Scan berupa perdarahan berat, leukomalasia
periventrikuler (PVL) atau nekrosis
9. Kelainan MRI yang timbul 24-72 jam pertama setelah lahir.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan


adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada
otak akut yang disebabkan karena asfiksia dan merupakan penyebab penting
kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP).

Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di


negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
Kesadaran letargik, tonus otot flaksid, adanya mioklonus, sering kejang, dan
lemahnya refleks moro merupakan tanda utama ensefalopati hipoksik iskemik.
Selain itu pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap
stimulasi juga merupakan tanda lain terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik.
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi
kelainan sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif
untuk mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah
dilakukan.

Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan


kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat
ensefalopati hipoksik iskemik.

11

Anda mungkin juga menyukai