Anda di halaman 1dari 54

I.

Identitas Pasien

Nama : Ny. S
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : Belum tamat SD
Agama : Islam
Alamat : Bandar Agung - Lahat
Tanggal masuk RS : 9 November 2016

II. Anamnesa : Autoanamnesis, 10 November 2016

Keluhan Utama : Batuk darah

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSU Lahat pada tanggal 9 November 2016 dengan keluhan
batuk darah sejak 7 hari sebelum masuk RS. Batuk berdahak bercampur darah warna merah
segar muncul mendadak, semakin lama semakin sering dan bertambah berat. Saat masuk RS
pasien batuk darah kurang lebih 1 kantung kresek kecil. Pasien mengaku mengalami batuk
lama lebih dari 1 bulan, namun belum pernah berobat. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas
sejak 3 hari sebelum masuk RS. Sesak nafas muncul mendadak dan dirasakan terus menerus
baik saat beraktivitas maupun saat beristirahat. Sesak memberat terutama bila pasien
berbicara dan berbaring terlentang. Pasien mengaku lemas, demam ringan hilang timbul dan
semakin kurus sejak 1 bulan terakhir. Mual, muntah dan keringat malam disangkal.

1
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit paru dan pengobatan TB 6 bulan disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis diakui, sejak kurang lebih 1 tahun, tidak rutin
kontrol dan minum obat. Pasien tidak ingat obat diabetes yang biasa diminum
Riwayat penyakit alergi terhadap makanan dan obat disangkal

Riwayat Keluarga :
Riwayat penyakit paru disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis diakui pada kakak perempuan dan ibu pasien.
Riwayat alergi disangkal

III. Pemeriksaan Fisik

Pada tanggal 10 November 2016

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tanda tanda Vital
o Tekanan darah : 110 / 80 mmHg
o Nadi : 86 kali/menit
o Pernafasan : 28 kali/menit
o Suhu : 36.9 oC
Berat badan : 47 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 19.56 (normoweight)

2
Pemeriksaan Umum
Kepala
- Mata : Palpebra edema (-/-), kelopak mata tertinggal (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/
+), gerak bola mata baik (+/+)
- Hidung : Bentuk normal, simetris, deviasi septum (-), pernafasan cuping
hidung (-), oedem konka (-/-), penciuman baik, sekret (-)
- Telinga : Bentuk normal, simetris, nyeri tekan tragus (-/-), liang lapang (+/
+), serumen (-/-)
- Mulut : Bibir sianosis (-); pucat (-), mukosa basah warna merah jambu,
perdarahan gusi (-), lidah tremor (-), lidah kotor (-), stomatitis
(-), uvula di tengah, arcus faring simetris, faring hiperemis (-),
tonsil T0-T0, tenang, tonsil hiperemis (-)
- Tenggorokan : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T1-T1, faring hiperemis (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, trachea di tengah, pembesaran KGB leher (-) ,
pembesaran tiroid (-)
Thorax
o Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : pulsasi ictus cordis dalam batas normal
Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru-paru
Paru depan
Kanan Kiri
Inspeksi Simetris pada posisi statis dan Simetris pada posisi statis dan
dinamis, retraksi interkostal (-), dinamis, retraksi interkostal (-),
retraksi suprasternal (-), retraksi suprasternal (-), retraksi
retraksi supraklavikula (-) supraklavikula (-)
Palpasi nyeri tekan (-), stem fremitus nyeri tekan (-), stem fremitus
simetris simetris
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler (+) Suara dasar vesikuler (+)

3
Wheezing (-), Wheezing (-),
Ronki (+) seluruh lapang paru Ronki (+) seluruh lapang paru

Paru belakang
Kanan Kiri
Inpeksi Simetris pada posisi statis dan Simetris pada posisi statis dan
dinamis. Retraksi interkostal (-) dinamis. Retraksi interkostal (-)
Palpasi nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
tem fremitus normal stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi suara dasar vesikuler (+) suara dasar vesikuler.
wheezing (-), wheezing(-),
ronchi (+) seluruh lapang paru ronchi (+) seluruh lapang paru

Abdomen
Inspeksi : tampak datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

Ekstermitas : Akral hangat , edema , tremor

4
IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
- Hematologi
Darah Rutin 9-11-2016
Hemoglobin 11.8 g/dL

Hematokrit 44.1 %

Lekosit 5.900 /L
Trombosit 250.000 /L
MCV 83.5 fl

MCH 22.3 pg

MCHC 26.7 g/dL

Kimia Darah GDS


9-11-2016 319 mg/Dl
10-11-2016 297 mg/dL
11-11-2016 148 mg/Dl
12-11-2016 114 mg/dL
13-11-2016 76 mg/dL
14-11-2016 121 mg/dL
15-11-2016 105 mg/dL
16-11-2016 110 mg/dL

5
Sputum BTA SPS 13-11-2016 ++/++/++
11-11-2016 +
DDR
16-11-2016 -

6
Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorax PA (9-11-2016)

Cor : Besar dan bentuk normal

Pulmo : infiltrat kedua lapangan paru

Fibrocavitas suprahiler kiri

Kedua sinus phrenicocostalis tajam

Tulang-tulang dan soft tissue baik

Kesimpulan: KP duplex, Lama aktif

7
V. Resume

Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 55 tahun, dengan keluhan batuk darah
sejak 7 hari sebelum masuk RS. Pasien batuk berdahak bercampur darah merah segar kurang
lebih 1 kantung kresek kecil. Pasien mengaku mengalami batuk lama lebih dari 1 bulan,
namun belum pernah berobat. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas sejak 3 hari SMRS.
Pasien mengakui lemas, demam ringan dan semakin kurus sejak 1 bulan terakhir. Mual,
muntah dan keringat malam disangkal.
Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang dan kesadaran compos mentis.
Tanda-tanda vital: tekanan darah : 110/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernapasan 28 kali
per menit, suhu 36.9 oC. Dari pemeriksaan didapatkan rhonki kasar di paru kanan-kiri,
pemeriksaan umum lainnya dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin (9-11-2016): Hemoglobin 11.8 g/dL,
Hematokrit 44.1 %, Lekosit 5.900 /uL, Trombosit 250.000 /uL. Glukosa darah sewaktu
319 mg/dL (9-11-2016), 297 mg/dL (10-11-2016), 148 mg/dL (11-11-2016), 114 mg/dL (12-
11-2016) dan 121 mg/Dl (14-11-2016). Hasil pemeriksaan sputum BTA (13-11-2016) SPS +
+/++/++, pemeriksaan malaria (DDR) pada 11-11-2016 positif dan pada 16-11-2016 negatif.
Hasil foto thoraks (9-11-2016): KP duplex, lama aktif.

VI. Diagnosa Kerja


Diagnosis utama : TB Paru Komplikasi Hemoptisis Masif
Diagnosis Tambahan : - Diabetes Melitus tipe II
- Malaria Falciparum

8
VII. Penatalaksanaan

Oksigen intranasal
IVFD RL gtt XX
OAT kategori I FDL
Curcuma 3 x 1 tab PO
Asam folat 2 x 1 tab PO
Metformin 3 x 500 mg PO
Glimepirid 1 x 2 mg PO
B comp 2 x 1 tab PO
Cefixime 2 x 200 mg tab PO
Injeksi asam traneksamat 3 x 1 amp IV
Injeksi vitamin K 3 x1 amp IV
Injeksi Artem 1 x 1 amp IM
Injeksi ranitidine 2 x 1 amp IV
Injeksi ceftriaxone 1 x 2 g IM

VIII. Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Tatalaksana


10/11/2016 S : Batuk darah (+), sesak (+) berkurang, Oksigen intranasal
tidak nafsu makan IVFD RL gtt XX
O : Kes : CM Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
TD : 110/80 mmHg IV
RR : 28 kali/menit Injeksi asam traneksamat 3 x
Nadi : 86 kali/menit 1 amp IV
Suhu : 36,9 C Injeksi ceftriaxone 1 x 2 g
Kepala : normocephali, konjungtiva (Skin Test)
anemis -/-, pupil isokor. Metformin 3 x 500 mg tab PO
Leher : trakea ditengah, KGB tidak
Glimepirid 1 x 2 mg tab PO
membesar
Curcuma 3 x 1 tab PO
Thorax : SD Vesikuler +/+,
Asam folat 2 x 1 tab
9
Rh +/+, Wh -/- BJ I, II reg, Cek BTA Sputum SPS
murmur (-), gallop(-)
Abd : datar, BU (+)
Ext : akral hangat, edema -/-
GDS : 297 g/dL
A : Suspek TB Paru + DM tipe II
11/11/2016 S : Batuk darah (+), sesak (+), pusing (+) Oksigen intranasal
O : Kes : CM IVFD RL gtt XX
TD : 110/80 mmHg Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
RR : 25 kali/menit IV
Nadi : 82 kali/menit Injeksi asam traneksamat 3 x
Suhu : 36,9 C 1 amp IV
Kepala : normocephali, konjungtiva Injeksi ceftriaxone 1 x 2 g IV
anemis -/-, pupil isokor. Injeksi Artem 1 x 2 amp IM
Leher : trakea ditengah, KGB tidak
Metformin 3 x 500 mg tab PO
membesar
Glimepirid 1 x 2 mg tab PO
Thorax : SD Vesikuler +/+,
Curcuma 3 x 1 tab PO
Ro +/+, Wh -/- BJ I, II reg,
Asam folat 2 x 1 tab
murmur (-), gallop(-)
Abd : datar, BU (+)
Ext : akral hangat, edema -/-
GDS : 148 mg/dL
DDR : + (positif)
A : Suspek TB Paru + DM tipe II +
Malaria Falciparum
12/11/2016 S : Batuk darah (+), sesak (-) Oksigen intranasal
O : Kes : CM IVFD RL gtt XX
TD : 110/80 mmHg Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
RR : 22 kali/menit IV
Nadi : 78 kali/menit Injeksi asam traneksamat 3 x
Suhu : 36,5 C 1 amp IV
Kepala : normocephali, konjungtiva Injeksi ceftriaxone 1 x 2 g
anemis -/-, pupil isokor.
10
Leher : trakea ditengah, KGB tidak Injeksi Artem 1 x 1 amp IM
membesar Metformin 3 x 500 mg PO
Thorax : SD Vesikuler +/+, Glimepirid 1 x 2 mg PO
Ro +/+, Wh -/- BJ I, II reg, Curcuma 3 x 1 tab PO
murmur (-), gallop(-)
Asam folat 2 x 1 tab PO
Abd : datar, BU (+)
Ext : akral hangat, edema -/-
GDS : 114 mg/dL
A : Suspek TB Paru + DM tipe II +
Malaria Falciparum
13/11/2016 S : Batuk darah (+) Oksigen intranasal
O : Kes : CM IVFD RL gtt XX
TD : 110/80 mmHg Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
RR : 22 kali/menit IV
Nadi : 82 kali/menit Injeksi asam traneksamat 3 x
Suhu : 36,5 C 1 amp IV
Kepala : normocephali, konjungtiva Injeksi ceftriaxone 1 x 2 g
anemis -/-, pupil isokor. Injeksi Artem 1 x 1 amp IM
Leher : trakea ditengah, KGB tidak
Metformin 3 x 500 mg PO
membesar
Glimepirid 1 x 2 mg PO
Thorax : SD Vesikuler +/+,
Curcuma 3 x 1 tab PO
Ro +/+, Wh -/- BJ I, II reg,
Asam folat 2 x 1 tab PO
murmur (-), gallop(-)
B comp 2 x 1 tab PO
Abd : datar, BU (+)
Ext : akral hangat, edema -/-
GDS : 76 mg/dL
A : Suspek TB Paru + DM tipe II +
Malaria Falciparum
14-11-2016 S : Batuk darah (++) Oksigen intranasal (kalau
O : Kes : CM perlu)
TD : 120/80 mmHg IVFD RL gtt XX
RR : 19 kali/menit Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
Nadi : 80 kali/menit IV
11
Suhu : 36,5 C Injeksi asam traneksamat 3 x
Kepala : normocephali, konjungtiva 1 amp IV
anemis -/-, pupil isokor. Injeksi Vitamin K 3 x1 amp
Leher : trakea ditengah, KGB tidak IV
membesar Injeksi ceftriaxone 1 x 2 g IV
Thorax : SD Vesikuler +/+, Injeksi Artem 1 x 1 amp IM
Ro +/+, Wh -/- BJ I, II reg, OAT kategori I FDL sesuai
murmur (-), gallop(-) BB
Abd : datar, BU (+) Curcuma 3 x 1 tab PO
Ext : akral hangat, edema -/-
Asam folat 2 x 1 tab PO
GDS : 121 mg/dL
Metformin 3 x 500 mg PO
BTA : ++ / ++ / ++
Glimepirid 1 x 2 mg PO
A : TB Paru + DM tipe II + Malaria
B comp 2 x 1 tab PO
Falciparum
15-11-2016 S : Batuk darah bekurang Oksigen intranasal (kalau
O : Kes : CM perlu)
TD : 120/80 mmHg IVFD RL gtt XX
RR : 19 kali/menit Injeksi asam traneksamat 3 x
Nadi : 80 kali/menit 1 amp IV
Suhu : 36,5 C Injeksi Vitamin K 3 x1 amp
Kepala : normocephali, konjungtiva IV
anemis -/-, pupil isokor. Injeksi Artem 1 x 1 amp IM
Leher : trakea ditengah, KGB tidak Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
membesar IV
Thorax : SD Vesikuler +/+, Injeksi ceftriaxone stop,
Ro +/+, Wh -/- BJ I, II reg, diganti cefixime 2 x 200 mg
murmur (-), gallop(-) tab PO
Abd : datar, BU (+)
OAT kategori I FDL sesuai
Ext : akral hangat, edema -/-
BB
GDS : 105 mg/dL
Curcuma 3 x 1 tab PO
A : TB Paru + DM tipe II + Malaria
Asam folat 2 x 1 tab PO
Falciparum
Metformin 3 x 500 mg PO

12
Glimepirid 1 x 2 mg PO
B comp 2 x 1 tab PO
Cek DDR ulang, jika (-) maka
ditambah primakuin 1 x 3 tab
PO
16-11-2016 S : Batuk darah bekurang OAT kategori I FDC
O : Kes : CM Asam traneksamat 3 x 500
TD : 120/80 mmHg mg tab PO
RR : 19 kali/menit Metformin 3 x 500 mg tab PO
Nadi : 80 kali/menit Glimepiride 1 x 2 mg
Suhu : 36,5 C Ranitidine 2 x 150 mg tab PO
Kepala : normocephali, konjungtiva Ambroxol 3 x 10 mg tab PO
anemis -/-, pupil isokor.
B6 1 x 10 mg tab PO
Leher : trakea ditengah, KGB tidak
membesar
Thorax : SD Vesikuler +/+,
Ro +/+, Wh -/- BJ I, II reg,
murmur (-), gallop(-)
Abd : datar, BU (+)
Ext : akral hangat, edema -/-
GDS : 110 mg/dL
DDR : (-) Negatif
A : TB Paru Komplikasi Hemoptisis
Massive + DM tipe II + Malaria
Falciparum

13
IX. Analisis Kasus

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex.1 TB masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dunia. 1
Laporan WHO tahun 2016 menyatakan bahwa diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2015, dimana 5.9 juta terdiri dari laki-laki, 3.5 juta perempuan dan
1.0 juta anak-anak. 1.2 juta diantaranya merupakan TB dengan HIV positif, 480.000 kasus
TB-MDR (Multidrug Resistant) dan 100.000 orang dengan TB-RR (Rifampicin-Resistant).
Sepanjang tahun 2014 hingga 2015 terjadi penurunan kasus TB sebesar 1.5%. Namun TB
sendiri masih menempati 10 besar penyakit penyebab kematian di seluruh dunia.2 Antara
tahun 2000 hingga 2015 terjadi penurunan angka kematian akibat TB sebesar 22%.2 Angka
ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 yaitu
penurunan 80% kasus TB dan penurunan angka kematian akibat TB sebesar 90%.2
Indonesia juga termasuk sebagai salah satu dari 30 negara yang memiliki beban TB
yang tinggi (High Burden Countries HBC).2 Dan Indonesia masuk ke dalam enam negara
penyumbang 60% kasus TB, bersama dengan Cina, India, Nigeria, Pakistan dan Afrika
Selatan.2 Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 1.020 per 100.000
penduduk, dengan kasus baru dan kambuh mencapai 328.895.2 (Tabel 1)
Tabel 1. Kasus TB di Indonesia tahun 2015.2

14
A. PATOGENESIS
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
(BTA) yaitu Mycobacterium tuberculosis.2 Kelompok bakteri Mycobacterium selain
M.tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sbegaai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu peneggakkan
diagnosis dan pengobatan TB.3 Kelompok kuman MOTT adalah M. kansasi, M. abium, M.
intracellulare, M. sacrofulaceum, M. malmacerse, M. xenopi. 3 Untuk itu pemeriksaan
bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhdapat Mycobacterium tuberculosis
menjadi sarana ideal untuk TB.2
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan panjang 1-4 m. dan lebar 0.2
0.6 m.1 Sebagian besar dinding kuman terdiri atas lipid (60%), kemudian peptidoglikan
dan araabinomannan.1,3 Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam sehingga disebut
bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.4 Kuman
TB ini memiliki sifat dormant sehingga dapat tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat
bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu 4oC sampai -70 oC.4 Kuman sangat peka
terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. 2 Dalam dahak pada suhu antara 30-37 oC,
M.tuberculosis akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu.4 Kuman TB ini juga memiliki
sifat aerob sehingga tempat bertekanan oksigen yang tinggi seperti bagian apikal paru-paru
merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.3
a. Tuberkulosis Primer
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan
dahak.3 Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer
atau afek primer.1 Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).1 Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). 1 Afek primer bersama
sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.1 Semua proses ini
memakan waktu 3 8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:1
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
15
3. Menyebar dengan cara:
- perkontinuatum (sekitarnya)
- brokogen (penyebaran di paru bersangkutan atau ke paru sebelahnya)
- hematogen dan limfogen (dapat menyebar hingga tulang, ginjal,
genitalia, tuberkulosis milier, meningitis)

b. Tuberkulosis Post Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian


tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. 1 Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.1 Tuberkulosis post-
primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumonik kecil.1

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya
B. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS

16
Gambar 2. Klasifikasi tuberkulosis.1

a. TB Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.1
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam:1
Tuberkulosis Paru BTA (+)
o Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
o Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
o Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
Tuberkulosis Paru BTA (-)
o Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
o Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
o Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita


17
Gambar 3. Skema klasifikasi TB berdasarkan tipe penderita TB paru 1

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada


beberapa tipe penderita yaitu :1

Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).1

Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif.1 Bila hanya menunjukkan
perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif
kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :1
o
Infeksi sekunder
o
Infeksi jamur
o
TB paru kambuh

Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu

18
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.1 Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.1

Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Um

Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.1

Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.1

Kasus bekas TB
o
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap.1 Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung.1
o
Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologicumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.1

b. TB Ekstra Paru
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau
bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan
oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :1
1. TB di luar paru ringan
19
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, ulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB di luar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

C. DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
a. Gejala Klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik

batuk 3 minggu

batuk darah

sesak napas

nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.1 Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala
batuk.1
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala
sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi rongga pleura yang terdapat
cairan.1
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun

b. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
20
paru.1 Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. 1 Pada pemeriksaan jasmani
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.1
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura.1 Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.1
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.1

c. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.1 Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).1 Cara pengambilan dahak
3 . kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:1
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik
dan biakan.1 Pemeriksaan mikroskopik biasa menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan
pewarnaan Kinyoun Gabbett. Untuk pemeriksaan mikroskopik fluoresens biasa
menggunakan pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening).1
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :1

2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali , kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
o bila 3 kali negatf Mikroskopik negative

21
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).1 Interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan


cara :1
Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT).1 Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.1

d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif :1
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif1
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik
22
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal
Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4
atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti.1
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal. 1
e. Pemeriksaan Penunjang Lain1
Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain Enzym linked
immunosorbent assay (ELISA), Mycodot, Uji peroksidase anti peroksidase
(PAP), Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis).
Pemeriksaan BACTEC
Pemeriksaan Cairan Pleura (Analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura)
Pemeriksaan histopatologi jaringan
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan.1
Pemeriksaan darah
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderita , yaitu dalam keadaan supresi / tidak, namun
kurang spesifik.1
Uji tuberculin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah
dengan prevalensi tuberkulosis rendah.1 Uji ini akan mempunyai makna bila

23
didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau
apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula.1
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada
malnutrisi dan infeksi HIV.1 Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi
positif jika diulang 1 bulan kemudian.1 Sebenarnya secara tidak langsung
reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang
analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ
yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila
menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).1

Gambar 4. Alur diagnosis TB (alternatif 1).1

24
Gambar 5. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa (alternatif 2).1

D. PENGOBATAN TUBERKULOSIS

25
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat

26
Tabel 2. Dosis Obat Anti Tuberkulosis.5

Dosis (mg)/ berat


Anjuran Dosis Dosis
Dosis badan (kg)
Obat maks
(mg/KgBB/hari) Harian Intermitten 40-
(mg) <40 >60
mg/KgBB/hari mg/KgBB/hari 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 5 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1500
BB

Tabel 3. Dosis untuk panduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Kategori I.5

BB Fase Intensif Fase Lanjutan


4 bulan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
(RHZE) (RHZ) (RHZ) (RH) (RHZ)
150/75/400/275 150-75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

27
Tabel 4. Efek samping OAT.5

Obat Kontraindikasi Efek Samping dan Tatalaksana


Rifampisin Sirosis, insufisiensi hati, Minor:
(R) pecandu alkohol, kehamilan - Tidak nafsu makan, mual, sakit perut obat
(pada trisemester I bersifat diminum malam sebelum tidur
teratogenik, pada trisemester - Warna kemerahan pada urin beri penjelasan,
3 dapat menyebabkan tidak perlu diberi apa-apa
perdarahan neonatal) Mayor:
Keamanan kehamilan: C - Gatal dan kemerahan antihistamin dan
evaluasi obat
- Ikterik/hepatitis imbas obat hentikan semua
OAT sampai ikterik menghilang. Beri
hepatoprotektor
- Muntah dan confusion hentikan semua OAT
dan lakukan uji fungsi hari
- Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura
hentikan rifampisin
Isoniazid (H) Tidak boleh diberikan Minor:
kepada: - Neuritis perifer/kesemutan, terbakar (paling
- Penderita penyakit hati sering terjadi) diberikan piridoksin 100
akut mg/hari sampai gejala hilang kemudian
- Penderita dengan diberikan profilaksis piridoksin (B6) 10mg/hari
riwayat kerusakan sel Mayor:
hati disebabkan terapi - Reaksi hipersensitivitas berupa demam, urtikaria
isoniazid antihistamin dan dievaluasi ketat
- Penderita yang - Reaksi hematologic (agranulositosis, eosinofilia,
hipersensitif atau trombositopenia dan anemia) hentikan
alergi terhadap - Ikterus dan kerusakan hati yang berat (hepatitis
isoniazid drug-induced) hentikan OAT
Keamanan kehamilan: C Efek samping lain: mulut terasa kering, tertekan pada
ulu hati, retensi urin
Pirazinamid Pasien dengan kelainan Minor:
(Z) fungsi hati - Hiperurisemia (arthritis gout) beri alopurinol
Keamanan kehamilan: C - Nyeri sendi beri analgetik
Mayor:

28
- Peningkatan enzim transaminase sesuai
penatalaksanaan TB keadaan khusus
- Reaksi alergi antihistamin, OAT lanjutkan,
bila masih berlanjut stop semua OAT, kemudian
re-challenge de-challenge
Etambutol Anak-anak, pasien dnegan Mayor:
(E) neuritis optik - Gatal dan kemerahan kulit antihistamin dan
dievaluasi ketat
- Gangguan penglihatan bilateral berupa neuritis
retrobulbar yang ditandai dengan penurunan
visus, menyempitnya lapang pandang, skotoma
sentral maupun lateral hentikan etambutol
Streptomisin Mayor:
(S) - Tuli hentikan streptomisin
- Gangguan keseimbangan (vertigo, nistagmus)
hentikan streptomisisn

b. Panduan Obat Anti Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
o TB paru BTA (+), kasus baru
o TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,
dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada
keadaan:
o TB dengan lesi luas
o Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
o TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
29
o TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
o TB di luar paru kasus ringan
TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
o TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
o TB di luar paru kasus ringan
TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif
( seandainya H resisten, tetap diberikan). 1 Dengan lama pengobatan minimal
selama 1 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2
RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi1
o Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5H3R3E3 (Program P2TB)
o Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal
o Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :1
o Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan
OAT dilanjutkan sesuai jadual
o Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
1. Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,
pengobatan OAT STOP
2. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
3. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama
4. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif,
akan tetapi klinik dan atau radiologic positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
5. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.
TB Paru kasus kronik

30
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan
walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid.1
o Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
o Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
o Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Tabel 5. Ringkasan Panduan OAT1

E. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK


Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.1
1. Penderita rawat jalan1

31
Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan
Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
Indikasi rawat inap :1
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
Batuk darah (profus)
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :1
TB paru milier
Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat.1

F. TERAPI PEMBEDAHAN
Indikasi mutlak :
Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
lndikasi relatif :
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

32
G. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
o
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan1
o
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit1
o
Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.1

Evaluasi Bakteriologik (0 2 6/9 bulan pengobatan)1
Tujuan untuk melihat ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik:
o
Sebelum pengobatan dimulai
o
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
o
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan: pemeriksaan biakan (0 2 6/9)

Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:1
o Sebelum pengobatan
o Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
o Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
o
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap1
o
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan1
o
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid1
o
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan) 1
o
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan) 1
o
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. 1 Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman.1
Evalusi keteraturan berobat

33
o
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.1
o
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.1
Evaluasi Penderita yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh
(bila ada kecurigaan TB kambuh).1

H. KOMPLIKASI TUBERKULOSIS
Pada penderita TB dapat terjadi komplikasi berupa:1
Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura

34
DIABETES MELITUS
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi
insulin yang progresif.6 Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di
Indonesia pada tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007.
Proporsi diabetes melitus di Indonesia sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT)
sebesar 29,9% dan glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%. Proporsi penduduk
di pedesaan yang menderita diabetes melitus hampir sama dengan penduduk di perkotaan.
Prevalensi diabetes melitus meningkat dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).6

A. KLASIFIKASI DM
Tabel 6. Klasifikasi DM6

B. DIAGNOSIS
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah, yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. 6 Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.6
Tabel 7. Kriteria Diagnosis DM.6

35
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu
(TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT).6

Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl.6

Toleransi glukosa terganggu (TGT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl.6

Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c


5,7-6,4%. 6

Tabel 8. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes6

Tabel 9. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dL)6

36
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, seperti:6

Keluhan klasik DM:6
o Poliuria
o Polidipsia
o Polifagia
o Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.6

C. PENATALAKSANAAN DM
Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:6
Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut
Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.6

a. Penatalaksanaan Umum DM
Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:6

Riwayat Penyakit6
o
Gejala yang dialami oleh pasien.

37
o
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
o
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
o
Riwayat penyakit dan pengobatan.
o
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi

Pemeriksaan Fisik
o
Pengukuran tinggi dan berat badan.
o
Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru
dan jantung
o
Pemeriksaan kaki secara komprehensif

Evaluasi Laboratorium
o
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang
mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil.
dan 4 kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan terapi atau
yang tidak mencapai sasaran terapi.6
o
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.6

Penapisan komplikasi, melalui pemeriksaan:6
o Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
o Tes fungsi hati
o Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
o Tes urin rutin
o Albumin urin kuantitatif
o Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
o Elektrokardiogram.
o Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
o Pemeriksaan kaki secara komprehensif.

b. Penatalaksaan Khusus DM

38
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan.
Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.6
Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.6
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang
(50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang.6

39
Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

o Obat Antihiperglikemia Oral


Tabel 10. Profil antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia 6

o Obat Antihiperglikemia Suntik


Insulin diperlukan pada keadaan:6
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan

40
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :6
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)

Tabel 12. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course of
Action)6

Tabel 13. Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik6

D. KOMPLIKASI DM
Berikut komplikasi dari diabetes mellitus:
41
Makroangipoati
o Penyakit jantung koroner
o Penyakit arteri perifer
o Penyakit serebrovaskular
o Kaki diabetes
Mikroangiopati
o Retinopati diabetic
o Nefropati diabetic
o Disfungsi ereksi
Neuropati
o Neuropati perifer
o Neuropati otonom

42
43
Gambar 5. Bagan algoritme pengelolaan DM tipe 2.6
D. KOMPLIKASI DM
Berikut komplikasi dari diabetes mellitus:6
Makroangipoati: Penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, penyakit
serebrovaskular, kaki diabetes
Mikroangiopati: retinopati diabetik, nefropati diabetik, disfungsi ereksi
Neuropati: neuropati perifer, neuropati otonom

44
MALARIA

Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut atau krnik, disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium, ditandai dengan demam, menggigil, anemia, splenomegali.7 Malaria
masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan
kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil.7
Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana hanya sekitar
45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei
komunitas selama 2007 2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 %
(Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu, tingkat kematian akibat
malaria mencapai 1,3%. Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010
adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah Nusa
Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan
Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi
ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan
Nusa Tenggara Timur (4,4%).7
Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini
secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.7
Spesies Plasmodium pada manusia adalah:7
a. Plasmodium falciparum (P. falciparum).
b. Plasmodium vivax (P. vivax)
c. Plasmodium ovale (P. ovale)
d. Plasmodium malariae (P. malariae)
e. Plasmodium knowlesi (P. knowlesi)

Tabel 14. Masa inkubasi penyakit malaria7

45
Gambar 6. Siklus hidup Plasmodium7

A. PATOGENESIS
a. Demam
Demam periodik mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan bermacam-macam antigen.7 Antigen ini akan merangsang selsel
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macamsitokin, antara
lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) dan IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan
dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan
terjadi demam.7 Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu yang
bebeda-beda. Plasmodium falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P. vivax/P. ovale
48 jam, dan P. malariae 72 jam.7 Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari,
P. vivax/P. ovale selang waktu satu hari, dan P. malariae demam timbul selang waktu
2 hari.7
b. Anemia
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang
tidak terinfeksi.7 Plasmodium vivax dan P. ovale hanya menginfeksi sel darah merah
muda yang jumlahnya hanya 2% dari seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan P.
malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel
darah merah.7 Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax , P. ovale dan P.
46
malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis.7 Plasmodium falciparum
menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi
akut dan kronis.7
c. Splenomegali
Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium dihancurkan
oleh sel-sel makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan
limpa membesar.7
d. Malaria berat
Akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang khusus.7 Eritrosit yang
terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses sekuestrasi, yaitu tersebarnya eritrosit
yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh.7 Selain itu pada
permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai
antigen P. falciparum.7 Sitokin (TNF, IL-6 dan lain lain) yang diproduksi oleh sel
makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya reseptor endotel
kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler
terjadilah proses sitoadherensi.7 Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi
(penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia
jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga didukung oleh proses terbentuknya rosette,
yaitu bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah
lainnya. Pada proses sitoaderensi ini juga terjadi proses imunologik yaitu
terbentuknya mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, IL-6 dan lain lain), dimana
mediator tersebut mempunyai peranan dalam gangguan fungsi pada jaringan tertentu.7

B. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot.7
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan:7
riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;
riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
riwayat sakit malaria/riwayat demam;
riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;
riwayat mendapat transfusi darah
47
b. Pemeriksaan Fisik
Demam (>37,5 C aksila)
Konjungtiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa (splenomegali)
Pembesaran hati (hepatomegali)
Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi,
konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin berwarna
coklat kehitaman (Black Water Fever ), kejang dan sangat lemah (prostration).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan
sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut.
Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard diagnosis pasti
malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal
dan tipis. Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah
sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:
o Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
o Spesies dan stadium Plasmodium;
o Kepadatan parasit:
Semi kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11 100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:7
o Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
o Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
o Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
Kuantitatif

48
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal
(leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).7
- Pemeriksaan dengan tes diagnostic cepat (Rapid Diagnostic
Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Saat ini yang
digunakan oleh Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat
mengidentifikasi P. falcifarum dan non P. Falcifarum.7
- Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
Sequensing DNA
Pemeriksaan ini penting untuk membedakan antara re-infeksi dan
rekrudensi pada P. falcifarum.7 Selain itu dapat digunakan untuk
identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau
di bawah batas ambang mikroskopis.7 Pemeriksaan dengan
menggunakan PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria
karena dapat membedakan antara parasit impor atau indigenous.7

Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah:
pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah); dan
urinalisis

49
Gambar 7. Alur penemuan penderita malaria7

50
Gambar 8. Penatalaksanaan Malaria tanpa komplikasi 7

51
X. PEMBAHASAN

Pada kasus ini dari anamnesa didapatkan pasien usia 55 tahun mengeluhkan gejala
respiratorik berupa batuk darah kantong kresek, batuk lebih dari 1 bulan, sesak napas
dan juga disertai gejala sistemik berat badan menurun, lemas, dan demam ringan, riwayat
TB sebelumnya disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan laju pernapasan yang
meningkat 28 kali/menit, konjungtiva tidak pucat, pada auskultasi terdengar ronki basah
kasar pada seluruh lapang paru dextra et sinistra, pemeriksaan lainnya dalam batas
normal. Hemoptisis yang terjadi pada pasien merupakan indikasi rawat inap. Pasien
diberikan terapi oksigen intranasal, IVFD RL 20 tetes per menit, injeksi asam traneksamat
3 x 1 amp IV. Tanggal 14 november, batuk darah masih belum membaik sehingga
ditambahkan injeksi Vit K 3 x 1 amp IV ke dalam terapi.

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien mengarah ke suspek TB paru,


sehingga dilakukan pemeriksaan foto toraks dan sputum BTA SPS. Hasil foto toraks (9-
11-2016): KP duplex, lama aktif, dan hasil sputum BTA SPS ++/++/++ maka disimpulkan
diagnosisnya adalah Tuberkulosis Paru BTA(+). Dan karena pasien belum pernah punya
riwayat pengobatan TB sebelumnya, maka digolongkan dalam kasus baru. 14 November
2016, pasien mulai menjalani pengobatan TB kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3.), fase intensif
RHZE 3 KDT (sesuai dengan BB pasien 47kg).

Pasien memiliki riwayat DM sejak 1 tahun dan tidak rutin kontrol dan minum
obat. Pasien juga mengaku kakak perempuan dan anak pertamanya juga menderita DM.
Dilakukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu dari plasma vena pada 9 november 2016,
dan didapatkan GDS meningkat sebesar 319 mg/dL. Pasien didiagnosis Diabetes Melitus
Tipe 2 dan diberikan metformin 3 x 500 mg tab. 10 November 2016, dilakukan
pemeriksaan GDS kembali dan didapatkan hasil >200 mg/dL, 297 mg/dL, sehingga
diberikan kombinasi OHO yaitu metformin 3 x 500 mg dan glimepiride 1 x 2mg. 11
November 2016, GDS pasien sudah beranjak normal sebesar 148 mg/dL , dan terapi
kombinasi OHO tetap dilanjutkan.

Pada tanggal 11 November 2016, pasien mendapat diagnosa tambahan malaria


falciparum dengan hasil pemeriksaan DDR (DrikeDrupple) positif. Pasien diberikan
injeksi artem 1x1 amp selama 4 hari. tanggal 15 November 2016 dilakukan pemeriksaan

52
DDR kembali, dan hasilnya negatif. Obat anti malaria ditambahkan dengan primakuin 1 x
3 tab PO.

Pasien mengeluhkan pandangan kabur sejak 14 November 2016, untuk


menyingkirkan kemungkinan DD gangguan penglihatan et causa efek samping dari
etambutol atau retionapati diabetikum, maka pasien dianjurkan untuk periksa ke dokter
spesialis mata. Pasien pulang tanggal 16 November 2016, diberikan edukasi mengenai
penularan TB dan etika batuk yang benar. Pasien juga dianjurkan untuk rutin kontrol dan
minum obat DM, mengurangi makanan tinggi gula. Sebaiknya pasien melakukan
pemeriksaan HbA1c atau GD2PP jika memungkinkan.

53
XI. DAFTAR PUSTAKA

1. Tuberkulosis. Dalam : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PEDOMAN DIAGNOSIS &


PENATALAKSANAAN DI INDONESIA : 2011. Available from:
http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf

2. World Health Organization: Global Tuberculosis Report 2016.: 2016. Geneva,


Switzerland: WHO. 2016. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/

3. Rani, Aziz A, et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009

4. Kemenkes RI. PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS. 2014

5. Tanto C., et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2016

6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2015

7. Menkes RI. 2013. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 5 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria

54

Anda mungkin juga menyukai