Anda di halaman 1dari 43

1

LAPORAN KASUS

Disusun Oleh :

Unique Hardiyanti Pratiwi NPM. 110170070

Kelompok 3B

Pembimbing :

dr. Binto A, Sp.M

SMF ILMU MATA


RSUD WALED CIREBON
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2014
2

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Umur : 61 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Kalisari, Kecamatan Losari, Cirebon
Pekerjaan : Buruh Tani
Status marital : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SD
Tanggal pemeriksaan : 10 November 2014, Senin
No. Rekam Medik : 749891

II. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis pada tanggal 10
November 2014.

Keluhan utama : Mata kanan terasa nyeri

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke Poli Mata RSUD Waled dengan keluhan mata kanan terasa
nyeri sejak 2 bulan yang lalu. Mata kanan nyeri disertai tidak dapat melihat
jelas secara tiba-tiba, sakit kepala dan mata terasa kencang yang hilang
timbul sepanjang hari. Pasien mudah merasa silau, dan seperti melihat
pelangi. Keluhan tidak membaik dengan istirahat dan pengobatan. Pasien
tidak mengeluhkan mual dan muntah. Mata pasien tidak merah. Pasien
sudah berobat ke dokter sebelumnya namun keluhan dirasa tidak membaik.

Riwayat penyakit dahulu :


- Riwayat Diabetes mellitus disangkal
- Riwayat Hipertensi ada
- Riwayat trauma disangkal
3

- Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama (nyeri mata,


pengelihatan tidak jelas mendadak, sakit kepala) sebelumnya
- Riwayat mata merah dan sakit mata sebelumnya disangkal
- Pengelihatan sudah tidak jelas sejak setahun, agak buram tapi tidak
menganggu aktivitas

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat Diabetes mellitus dan riwayat hipertensi disangkal.

Riwayat pribadi dan sosial:


- Pasien sering terpapar sinar matahari saat bekerja.
- Pasien sering minum jamu.

III. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan umum : Pasien tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, E4V5M6
Tanda-tanda vital : TD = 150/90 mmHg
N = 92 x/menit, reguler, lemah
FR = 20 x/menit, reguler
S = 37,2 oC

B. Status Lokalis (Pemeriksaan Oftalmologi)

Lensa ODS keruh


4

Okular Dekstra Pemeriksaan Okular Sinistra


/60 Visus 4/5 /60
Hiperemi (-), Edema -), Palpebra Hiperemi (-), Edema -),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
blefarospasme (-), blefarospasme (-),
ekteropion (-), ekteropion (-), enteropion
enteropion (-), (-), lagoftalmos (-), ptosis
lagoftalmos (-), ptosis (-) (-)
DBN Silia DBN
Endoftalmus (-), Bulbus okuli Endoftalmus (-),
eksoftalmus (-), eksoftalmus (-),
strabismus (-), strabismus (-),
orthotropia orthotropia
Injeksi konjunctiva (-), Konjunctiva Injeksi konjunctiva (-),
injeksi siliar (-), injeksi injeksi siliar (-), injeksi
episklera (-), edema (-) episklera (-), edema (-)
Ikterik (-), warna putih Sklera Ikterik (-), warna putih
Jernih, arcus senilis (+), Kornea Jernih, arcus senilis (+),
sikatrik (-) sikatrik (-)
Agak dangkal Camera Oculi Sedang
Anterior
Reguler, warna coklat Iris Reguler, warna coklat
Bulat, letak di pusat Pupil Bulat, letak di pusat mata,
mata, 5 mm RC 3 mm RC (+)/(+)
menurun/(+)
Keruh, Shadow test (+) Lensa Keruh, Shadow test (+)
Tidak terlihat akibat Funduskopi Tidak terlihat akibat
kekeruhan lensa kekeruhan lensa
Negatif Refleks fundus Negatif
Tidak terlihat akibat Corpus vitreum Tidak terlihat akibat
kekeruhan lensa kekeruhan lensa
DBN, nistagmus (-) Gerak Bola Mata DBN, nistagmus (-)
5

Tidak dilakukan Sistem Lakrimal Tidak dilakukan


Menyempit pada daerah Lapang pandang Sesuai dengan pemeriksa
temporal
Mengeras Palpasi TIO Agak keras
35, 0 mmHg Pengukuran TIO 21, 9 mmHg
dengan Tonometer
Sciotz
- Koreksi -
Tidak dilakukan Refraktometer Tidak dilakukan

IV. Resume
Pasien wanita, 61 tahun datang ke Poli Mata RSUD Waled dengan keluhan
OD terasa nyeri sejak 2 bulan yang lalu. OD nyeri disertai tidak dapat
melihat jelas secara tiba-tiba, sakit kepala dan mata terasa kencang yang
hilang timbul sepanjang hari. Pasien mudah merasa silau. Keluhan tidak
membaik dengan istirahat dan pengobatan. Mual dan muntah, mata merah
(-). Pasien memiliki riwayat Hipertensi.Pasien sering terpapar sinar matahari
saat bekerja. Pasien sering minum jamu.
Pada pemeriksaan didapatkan visus OD / 60 dan OS 4/5 / 60, COA OD
dangkal, lensa ODS keruh, Shadow test ODS (+), palpasi TIO ODS keras,
peningkatan TIO OD 35 mmHg, penyempitan lapang pandang ODS, dan
penurunan visus ODS.

V. Diagnosis Banding
Glaukoma sudut tertutup primer ODS dengan Katarak Senilis Imatur ODS
Glaukoma sudut tertutup sekunder ODS et causa Katarak Senilis Imatur
ODS

VI. Diagnosis Kerja


Glaukoma sudut tertutup sekunder ODS et causa Katarak Senilis Imatur
ODS
6

VII. Tatalaksana Yang Diberikan


Timolol maleate 0,5 %
Pilokarpin 2 %
Asetazolamid 500 mg
Catarlent
Cendo lyters
Rencana terapi : Trabekulektomi dan SICS

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad malam
Quo ad sanationam : ad bonam

IX. Edukasi
1. Hindari emosi berlebih, membaca atau melihat dekat
2. Hindari pemakaian obat, obat antihistamin dan antispasme
3. Menggunakan kacamata dan menghindari terkena sinar matahari
langsung
4. Menggunakan kacamata
5. Pola hidup sehat dan pemantauan serta pengobatan hipertensi teratur
6. Mengurangi konsumsi jamu-jamuan
7

PEMBAHASAN TEORI

1. Glaukoma

1.1 Definisi Glaukoma


Glaukoma berasal dari kata glaukos (bahasa Yunani) yang
berarti hijau kebiruan. Hal tersebut berdasarkan kesan warna pada
pupil penderita glaukoma. Glaukoma disebabkan oleh
bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar dan atau
berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata
atau di celah pupil. Glaukoma ditandai dengan peningkatan tekanan
bola mata, atrofi papil saraf optik, dan menciutnya lapang pandang.
Kelemahan fungsi mata pada glaukoma berupa cacat lapang
pandang, kerusakan anatomi berupa ekstravasasi, dan
degenerasipapil saraf optik dapat berakhir pada kebutaan (Ilyas,
2008).

1.2 Epidemiologi Glaukoma


Glaukoma adalah penyebab kebutaan utama kedua di
Indonesia, insiden glaukoma terjadi berkisar dari 0,64%1,6%.
Insiden glaukoma terjadi 1,8% diantara orang-orang berusia 84
tahun atau lebih tua. Glaukoma primer sudut tertutup paling sering
ditemukan dan sebagian besar dengan gejala-gejala dan keluhan
akut (Ilyas, 2008).

1.3 Klasifikasi Glaukoma


1. Glaukoma Sudut Terbuka Primer
Lensa kontak khusus (lensa gonioskopi) yang diletakkan
pada kornea yang mengalami glaukoma dapat membantu
melihat sudut iridokornea dengan bantuan slit lamp. Struktur
jalinan trabekula terlihat normal namun terjadi peningkatan

7
8

tekanan okular pada glaukoma sudut terbuka. Penyebab


obstruksi aliran keluar antara lain (James, 2006):
a. Penebalan lamela trabekula yang mengurangi ukuran pori.
b. Berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas.
c. Peningkatan bahan ekstraseluler pada lipatan jaringan
trabekula.

Terdapat jenis glaukoma yang menyebabkan terjadinya


kehilangan lapang pandang glaukomatosa dan cupping lempeng
optik meski tekanan intraokular tidak meningkat atau disebut
glaukoma tekanan normal atau rendah. Diduga papil saraf optik
pada pasien ini secara tidak biasa rentan terhadap tekanan
intraokular dan atau memiliki aliran darah intrinsik yang
berkurang (James, 2006).

2. Glaukoma Sudut Tertutup Primer


Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan
predisposisi anatomis tanpa disertai kelainan lain. Peningkatan
tekanan intraokuler terjadi karena sumbatan aliran keluar humor
aquous akibat adanya oklusi anyaman trabekular oleh iris
perifer. Keadaan ini dapat bermaniestasi sebagai suatu
kedaruratan oftalmologik atau dapat tetap asimptomatik sampai
timbul penurunan pengelihatan. Diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan segmen anterior dan gonioskopi. Istilah glaukoma
sudut tertutup primer hanya digunakan apabila penutupan sudut
primer telah menimbulkan kerusakan nervus optikus dan
kehilangan lapang pandang. Faktor-faktor risikonya antara lain
bertambahnya usia, jenis kelamin perempuan, riwayat keluarga
glaukoma, dan etnis Asia Tenggara, China, dan Inuit (Riordan-
Eva dan Whitcher, 2010).
9

3. Glaukoma Sekunder
Tekanan intraokular pada glaukoma sekunder biasanya
meningkat karena tersumbatnya jalinan trabekula. Jalinan
trabekula dapat tersumbat oleh (James, 2006):
a. Darah (hifema) setelah trauma tumpul
b. Sel-sel radang (uveitis)
c. Pigmen dari iris (sindrom dispersi pigmen)
d. Deposisi bahan yang dihasilkan oleh epitel lensa, iris, dan
badan siliar, pada jalinan trabekula (glaukoma
pseudoeksfollatif)
e. Obat-obatan yang meningkatkan resistensi jaringan
(glaukoma terinduksi steroid)

Glaukoma sekunder juga dapat disebabkan oleh trauma


tumpul mata yang merusak sudut (resesi sudut). Penutupan
sudut juga dapat menjadi penyebab pada beberapa kasus
glaukoma sekunder (James, 2006):
a. Pembuluh darah iris abnormal dapat mengobstruksi sudut dan
menyebabkan iris melekat pada kornea perifer, sehingga
menutup sudut (rubeosis iriditis). Ini dapat terjadi bersama
dengan retinopati diabetik proliferatif atau oklusi vena retina
sentral akibat difusi ke depan faktor vasoproliferatif dari
retina yang megalami iskemia.
b. Melanoma koroid yang besar dapat mendorong iris ke depan
mendekati kornea perifer sehingga menyebabkan serangan
akut glaukoma tertutup.
c. Katarak dapat membengkak dan mendorong iris ke depan
sehingga menutup sudut drainase.
d. Uveitis dapat menyebabkan iris menempel ke jalinan
trabekula.
10

Peningkatan tekanan vena episklera bukan merupakan


penyebab umum glaukoma namun bisa didapatkan pada fistula
karotiko-sinus kavernosus dimana terdapat hubungan antara
arteri karotis atau cabang meningealnya dan sinus kavernosus
yang menyebabkan peningkatan bermakna tekanan vena orbita.
Selain itu, mekanisme ini juga diduga merupakan penyebab
peningkatan tekanan intraokular pada pasien dengan sindrom
Struge-Weber. Penyebab glaukoma kongenital masih belum
jelas. Sudut iridokornea dapat berkembang secara abnormal dan
tertutup membran (James, 2006).

4. Glaukoma Sudut Terbuka Kronis


Glaukoma sudut terbuka kronis mengenai 1 dari 200 orang
pada populasi 40 tahun, mengenai laki-laki dan perempuan
sama banyak. Prevalensi meningkat sesuai usia 10% pada
populasi berusia 80 tahun. Mungkin terdapat riwayat keluarga
meski cara penurunannya belum jelas (James, 2006).
Keluarga derajat pertama (terdekat) pasien dengan
glaukoma dengan sudut terbuka kronis memiliki kemungkinan
hingga 16% mengalami penyakit ini. Pewarisan keadaan ini
kompleks. Terdapat perkembangan pengetahuan mengenai satu
bentuk penyaikit ini yang timbul pada pasien muda, yaitu
glaukoma sudut terbuka juvenil (timbul antara usia 3 35
tahun). Tidak ada kelainan yang tampak pada segmen anterior
yang membedakannya dari glaukoma kongenital gennya telah
diketahui terletak pada lengan panjang kromosom satu (James,
2006).
11

Tabel 1.1 Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Pada Berkurangnya Absorbsi


Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Pada Berkurangnya Absorbsi
Glaukoma Primer Sudut terbuka (tidak menutup jalinan trabekula) kronis
Sudut tertutup (menutupi jalinan trabekula) akut dan kronis
Glaukoma Kongenital Primer
Rubela
Sekunder akibat kelainan mata turunan lain (misal; aniridia
tidak adanya iris)
Glaukoma Sekunder Trauma
(Penyebab) Pembedahan Mata
Terkait dengan penyakit mata lainnya (misal; uveitis)
Peningkatan tekanan vena episklera
Terinduksi steroid
Dikutip dari: (James, 2006)

1.4 Gejala dan Tanda Glaukoma

Skrining glaukoma biasanya dilakukan melalui anamnesa dan


serangkaian pemeriksaan mata yang lengkap oleh seorang dokter
spesialis mata. Prosedur pemeriksaan glaukoma meliputi dua hal
yakni struktural dan fungsional. Secara struktural bertujuan untuk
mengetahui perubahan-perubahan glukomatous pada anatomi mata,
sedangkan secara fungsional bertujuan untuk mengevaluasi
kelainan fungsi mata yang ditimbulkan oleh glaukoma (Riordan-
Eva dan Whitcher, 2010).

Anamnesa dan gejala klinis (Ilyas, 2008):


a. Glaukoma akut/glaukoma sudut tertutup:
1) Sakit mata yang hebat
2) Penglihatan kabur
3) Penglihatan tidak jelas dan terdapat tanda halo (bulatan
cahaya pada sekeliling cahaya lampu)
4) Mata merah, keras, dan sensitif
5) Pupil membesar
6) Terasa sakit pada dahi atau kepala
12

7) Pusing, mual, dan muntah


b. Glaukoma kronis/glaukoma sudut terbuka
1) Biasanya asimptomatis
2) Penglihatan menurun perlahan-lahan
3) Biasanya pasien sering menukar kacamata namun, tidak
ada yang sesuai
4) Penglihatan berkabut
5) Sakit kepala minimal namun berkepanjangan
6) Melihat warna pelangi di sekeliling sinar lampu

Tes pemeriksaan mata meliputi:

a. Tekanan bola mata. Tonometri ialah istilah untuk mengukur


TIO. Instrumen yang paling luas digunakan adalah tonometer
aplanasi Goldmann. Selain itu, terdapat pula tonometri Schiotz
dan teknik digital. Rentang tekanan intraokular normal adalah
10-21 mmHg (Ilyas, 2008).
b. Penilaian sudut bola mata. Gonioskopi adalah metode
pemeriksaan anatomi angulus iridokornealis sudut kamera
okuli anterior, dengan pemeriksaan binokuler dan sebuah
goniolens khusus. Goniolens memiliki cermin khusus yang
dapat membentuk sudut sedemikian rupa sehingga
menghasilkan garis pandangan pararel dengan permukaan iris
dan diarahkan ke perifer ke arah cerukan sudut kamera okuli
anterior, dimana dapat divisualisasikan struktur cerukan sudut
ini yang dapat bervariasi sesuai anatomi, pigmentasi, dan lebar
muaranya (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).
c. Penilaian Diskus Optikus. Funduskopi untuk menilai
pembesaran cekungan diskus optikus. Pada glaukoma mula-
mula terjadi pembesaran konsentrik cekungan optik yang
diikuti oleh pencekungan superior dan inferior dan disertai
pentakikan fokal tepi diskus optikus. Adanya atrofi
glaukomatosa ditandai oleh peningkatan TIO yang signifikan,
13

rasio cekungan-diskus yang lebih besar dari 0,5 atau adanya


asimetri bermakna antara kedua mata. Hasil akhir proses
pencekungan pada glaukoma adalah yang disebut cekungan
bean-pot dimana tidak didapatkan jaringan saraf di bagian
tepi (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).
d. Pachymetri digunakan untuk mengukur ketebalan kornea.
Selain itu, pachymetri kornea juga dipakai untuk mengkalibrasi
TIO pada pasien dengan kornea yang tebal yang telah tercatat,
karena kornea yang tebal cenderung memberikan hasil
pembacaan TIO yang tinggi (Riordan-Eva dan Whitcher,
2010).
e. Pemeriksaan lapang pandang memakai layar singgung,
perimeter Golmann, Friedmann field analyzer, dan perimeter
otomatis. Gangguan lapangan pandang akbat glaukoma
terutama mengenai 30 derajat lapangan pandang bagian
tengah. Perubahan paling dini adalah semakin nyatanya bintik
buta (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).
f. Pemeriksaan pelengkap lainnya seperti Diurnal Intraocular
Presure Fluctuation, Stereo Photography of Optic Disc,
Confoccal Scanning Laser Opthalmoscopy(Riordan-Eva dan
Whitcher, 2010).

1.5 Tatalaksana Glaukoma


Pembedahan drainase (trabekulektomi) dilakukan dengan
membuat membuat vistula diantara bilik anterior dan ruang
subkonjungtiva. Operasi ini efektif dalam menurunkan intraokular.
Terapi ini banyak dilakukan secara dini sebagai terapi glaukoma.
Komplikasi pembedahan antara lain (James, 2006):
a. Penyempitan bilik anterior dalam masa pascaoperasi dini
berisiko merusak lensa dan kornea.
b. Infeksi intraokular.
c. Percepatan perkembangan katarak.
14

d. Kegagalan mengurangi tekanan intraokular yang adekuat.

Bukti menunjukan bahwa beberapa pengobatan topikal


terutama obat simpatomimetik, dapat meningkatkan pembentukan
parut konjungtiva dan menurunkan kemungkinan keberhasilan
pembedahan bila saluran drainase yang baru mengalami parut dan
menjadi nonfungsional. Pada penderita yang sangat rentan terhadap
pembentukan parut, obat anti metabolit (5-fluorourasil dan
mitomisin) dapat digunakan pada saat pembedahan untuk
mencegah fibrosis (James, 2006).

Tabel 1.2 Terapi obat-obatan


Obat Topikal Kerja Efek Samping
Penyekat Beta Menurunkan Sekresi Eksaserbasi asma dan
(Timolol, Karteolol, Levobunolol, penyakit saluran napas
Metipranolol, selektif-betaksolol) kronis.
Hipotensi dan
bradikardia.
Parasimpatomimetik Meningkatkan Aliran Penglihatan kabur pada
(Pilokarpin) Keluar penderita muda dan
penderita katarak.
Awalnya sakit kepala
karena spasme siliar.
Simpatomimetik Meningkatkan aliran Mata merah dan sakit
(adrenalin, dipiverfin) keluar. kepala.
Menurunkan sekresi.
Agonis alfa-2 Meningkatkan aliran Mata merah, rasa lelah
(Apraklonidin, Brimonidin) keluar melalui jalur dan kantuk.
uveosklera.
Menurunkan sekresi.

Penghambat anhidrase karbonat Menurunkan sekresi Rasa sakit, rasa tidak


(dorzolamid, brinzolamid) enak, dan rasa sakit
kepala.

Analog prostagladin Meningkatkan aliran Meningkatkan


(latanopros, travapros, bimatopros, keluar melalui jalur pigmentasi iris dan kulit
unoproston) uveosklera. periokular.
15

Obat Sistemik Menurunkan sekresi Rasa kesemutan pada


Penghambat anhidrase karbonat ekstremitas.
(asetazolamid) Depresi, rasa kantuk.
Batu ginjal.
Sindrom Stevens-
Johson.

Dikutip dari: (James, 2006)

2. Katarak
2.1 Definisi Katarak

Katarak adalah suatu daerah berkabut atau keruh di dalam


lensa. Pada stadium dini pembentukan katarak, protein dalam
serabut-serabut lensa di bawah kapsul mengalami denaturasi. Lebih
lanjut, protein tadi berkoagulasi membentuk daerah keruh
menggantikan serabut-serabut protein lensa yang dalam keadaan
normal seharusnya transparan (Guyton dan Hall, 2008).
Penuaan merupakan penyebab katarak yang terbanyak, tetapi
banyak juga faktor lain yang mungkin terlibat, antara lain: trauma,
toksin, penyakit sistemik (misalnya diabetes), merokok dan
herediter (Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).
Bila suatu katarak telah menghalangi cahaya dengan hebat
sehingga sangat mengganggu penglihatan, keadaan itu dapat
diperbaiki dengan cara mengangkat lensa melalui operasi. Bila ini
dilakukan, mata kehilangan sebagian besar daya biasnya, dan harus
digantikan dengan lensa konveks yang kuat di depan mata; namun,
biasanya ditanam sebuah lensa plastik buatan di dalam mata pada
tempat lensa dikeluarkan (Guyton dan Hall, 2008).

2.2 Epidemiologi Katarak


Hampir separuh kebutaan di dunia ini diakibatkan oleh
katarak. Diperkirakan jumlah kebutaan katarak di dunia saat ini
sebesar 17 juta orang, dan akan meningkat menjadi 40 juta pada
tahun 2020. Masyarakat Indonesia memiliki kecendrungan
menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di
16

daerah subtropik. Berdasarkan laporan kegiatan operasi katarak


yang dilakukan di 8 propinsi di Indonesia, dijumpai 20% kasus
buta katarak terjadi pada usia 40-54 tahun (Soehardjo, 2004).
Katarak kongenital terjadi pada 1 di antara 2000 kelahiran
hidup. Di Uganda katarak merupakan penyebab kebutaan utama
pada anak. Hal tersebut berkaitan erat dengan adanya kelainan
genetik dan infeksi rubella. Di beberapa Negara misalnya Sri
Lanka, perkawinan antar keluarga berperan meningkatkan angka
kebutaan yang diakibatkan oleh faktor genetik (Soehardjo, 2004).

2.3 Lensa dan Katarak


Lensa adalah struktur bikonveks yang transparan, yang
dibungkus oleh kapsula transparan. Lensa terletak di belakang iris
dan di depan corpus vitreum, serta dikelilingi processus ciliaris.
Lensa terdiri atas (1) capsula elastis, yang membungkus struktur;
(2) epithelium cuboideum, yang terbatas pada permukaan anterior
lensa; dan (3) fibrae lentis, yang dibentuk dari epithelium
cuboideum pada equator lentis. Fibrae lentis menyusun bagian
terbesar lensa (Snell, 2006).
Capsula lentis yang elastis terdapat dalam keadaan tegang,
menyebabkan lensa berada tetap dalam bentuk bulat dan bukan
berbentuk discus. Regio equator lensa dilekatkan pada processus
ciliaris oleh ligamentum suspensorium. Tarikan dari serabut-
serabut ligamentum suspensorium yang tersusun radial cenderung
memipihkan lensa yang elastis ini, sehingga mata dapat difokuskan
pada objek-objek yang jauh (Snell, 2006).
Untuk rnengakomodasikan mata pada objek yang dekat, m.
ciliaris berkontraksi dan menarik corpus ciliaris ke depan dan
dalam, sehingga serabut-serabut radial ligamentum suspensorium
menjadi relaksasi. Keadaan ini memungkinkan lensa yang elastis
menjadi lebih bulat (Snell, 2006).
17

Gambar 2.1 Lensa


(National Eye Institute, 2009)

Dalam keadaan normal lensa tidak bewarna (jernih).


Kekeruhan lensa disebut katarak (Sudoyo dkk, 2009).
Akibat kekeruhan lensa mata, sinar yang masuk ke selaput
jala akan terganggu, dengan demikian terjadilah gangguan tajam
pengelihatan. Gangguan tajam pengelihatan yang terjadi dapat
ringan dengan keluhan silau, terutama jika terkena sinar yang
sangat terang. Hal ini sesuai dengan luas dan letak kekeruhan lensa.
Namun kekeruhan lensa akan meluas dan menimbulkan gangguan
tajam pengelihatan sampai tingkat kebutaan (Soehardjo, 2004).

Gambar 2.2 Katarak


(Mayo Clinic, 2010)

2.4 Etiologi Katarak

Struktur normal lensa tergantung pada keutuhan kapsulanya


yang elastik, viabilitas sel serabut lensa, yang mengandung protein
transparan, dan pasokan motabolit yang penting dalam cairan.
Katarak berasal dari pembentukan protein yang keruh di dalam
18

lensa, yang biasanya menyebabkan elastisitas lensa menghilang. Ini


dapat terjadi dalam (Underwood, 2000):
a. rubela
b. sindroma Down
c. degenerasi senil
d. sobeknya kapsula lensa
e. radiasi uveitis
f. diabetes melitus
g. terapi kortikosteroid

Katarak yang matang dapat mengakibatkan hilangnya


penglihatan, tetapi hal ini dapat diobati dengan operasi
pembuangan lensa yang terkena dan insersi pengganti sintetik dari
plastik. Kadang-kadang katarak menyebabkan terjadinya glaukoma
akibat obstruksi mekanik dari sudut kamar anterior, atau dislokasi
lensa (Underwood, 2000).
Katarak kongenital terjadi sebagai komplikasi rubella, herpes
simpleks, herpes zoster, sifilis, dan penyakit inklusi sitomegalik
intrauterin. Sebagian besar bersifat idiopatik dan atau diturunkan.
Katarak yang didapat akibat trauma, radiasi, obat, gangguan
metabolik, gangguan inflamasi okuler, atau usia tua (katarak
senilis). Katarak timbul lebih dini pada pasien diabetes mellitus
(tipe I dan tipe II) dan pada beberapa pasien dengan riwayat
keluarga pembentukan katarak yang kuat. Gangguan metabolik
yang disertai komplikasi katarak meliputi galaktosemia, keadaan
hiperkalsemia kronik, penyakit Fabry, penyakit Wilson, dan
sindroma Lowe. Lebih dari sepertiga pasien dengan distrofi
miotonik mengalami opasitas kristalin warna majemuk yang
menyebar pada lensa. Katarak juga mungkin disertai dengan
gangguan kromosomal; dengan sindroma Alport, cri-du-chat,
Conradi, Crouzon, dan sindroma Down; dan dengan disgenaesis
gonade. Penyakit inflamasi okuler, dan obat dan bahan toksik
19

seperti haloperidol, glukokortikoid, dan besi juga dapat


menyebabkan katarak. Ekstraksi katarak dilakukan dengan
mengangkat nukleus lensa dan korteks dari dalam kapsul lensa.
Pada sebagian besar orang dewasa, lensa plastik selanjutnya
ditanam dalam kapsul (Isselbacher dkk, 1999).
Zonula yang memegang lensa mungkin robek pada satu
daerah, sehingga lensa bergerak secara eksentrik, seringkali
membiarkan tepinya pada aksis pupil (subluksasi), atau robek
seluruhnya, sehingga lensa bergerak ke ruang anterior atau ke
dalam kavitas vitreus (luksasi). Penyebab paling sering dari
subluksasi atau luksasi adalah trauma. Yang lainnya meliputi
homosistinuria, sindroma Marfan, sferofakia, dan insufisiensi
oksidase sulfit (Isselbacher dkk, 1999).

2.5 Klasifikasi Katarak

Katarak dapat diklasifikasikan sesuai dengan kriteria yang


berbeda (Lang, 2006):
a. Waktu kejadian (diperoleh atau katarak kongenital).
b. Kematangan.
c. Morfologi.
20

Tabel 2.1 Klasifikasi Katarak Menurut Waktu Terjadinya

Katarak didapat a. Katarak Senilis (lebih dari 90% dari katarak)


(Lebih dari 99% dari b. Katarak dengan penyakit sistemik:
katarak) - Diabetes mellitus
- Galaktosemia
- Insufisiensi ginjal
- Mannosidosis
- Penyakit Fabry
- Sindrom Lowe
- Penyakit Wilson
- Distrofi Myotonic
- Tetani
- Gangguan kulit
c. Katarak Sekunder
- Katarak dengan heterokromia
- Katarak dengan iridosiklitis kronis
- Katarak dengan vaskulitis retina
- Katarak dengan retinitis pigmentosa
d. Katarak Pascaoperasi
- Paling sering terjadi pasca vitrektomi
- Setelah operasi filtering
e. Katarak trauma
- Memar atau perforasi
- Radiasi inframerah (katarak Glassblowers)
- Cedera Listrik
- Radiasi ionisasi
f. Katarak toksik
g. Katarak diinduksi Kortikosteroid (paling
sering)
- Kurang sering dari klorpromazin, miotic
agen, atau busulfan
Katarak kongenital a. Herediter katarak
(Kurang dari 1% dari - Autosomal dominan
katarak) - Autosomal resesif
- Sporadis
- Terkait kromosom-X
b. Katarak karena kerusakan embrionik
(transplasental)
- Rubella (40-60%)
- Gondong (10-22%)
- Hepatitis (16%)
- Toksoplasmosis (5%)
(Lang, 2006)
21

Katarak didapat:
a. Katarak Senilis
Katarak senilis adalah bentuk katarak yang paling sering
(90% dari katarak). Sekitar 5% dari umur 70 tahun dan 10% dari
umur 80 tahun menderita katarak yang memerlukan operasi
(Lang, 2006).
b. Katarak Nuklear
Pada dekade keempat kehidupan, tekanan perifer lensa
produksi serat menyebabkan pengerasan seluruh lensa,
khususnya nukleus (Lang, 2006).
Nukleus mengambil warna coklat kekuningan (brunescent
nuklear cataract) dan dapat berubah menjadi warna hitam (black
cataract). Karena peningkatan daya bias lensa, katarak nuklir
menyebabkan lenticularmyopia dan kadang-kadang
menghasilkan kedua fokus titik dalam lensa dengan diplopia
monokular. Nuklir katarak berkembang sangat lambat (Lang,
2006).

Gambar 2.3 Katarak Nuklear


(Lang, 2006)

c. Katarak Kortikal
Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa.
Perubahan hidrasi serat lensa menyebabkan terbentuknya celah-
celah dalam pola radial di sekeliling daerah ekuator. Katarak ini
cenderung bilateral, tetapi sering asimetrik. Derajat gangguan
fungsi pengelihatan bervariasi, tergantung seberapa dekat
22

kekeruhan lensa dengan sumbu pengelihatan (Riordan-Eva dan


Whitcher, 2010).
d. Katarak Traumatik
Insidensi lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita
karena kerja dan cedera olahraga. Berikut jenis katarak
traumatik dibedakan. Katarak traumatik yang sering terjadi
diakibatkan oleh memar. Memar bola mata akan menghasilkan
opasiitas subkapsular berbentuk roset pada permukaan anterior
lensa. Ini biasanya tidak berubah tetapi akan bermigrasi ke
korteks yang lebih dalam dari waktu ke waktu karena aposisi
serat baru. Katarak yang jarang terjadi adalah katarak akibat
radiasi Inframerah (katarak Glassblowers). Jenis katarak ini
terjadi setelah beberapa dekade terkena paparan radiasi
inframerah tanpa pelindung mata. Temuan karakteristik
meliputi pemisahan dari lensa anterior kapsul, yang ujung-
ujungnya akan diamati untuk meringkuk dan mengapung di
ruang anterior. Peraturan keselamatan kerja secara drastis
mengurangi kejadian dari jenis katarak (Lang, 2006).
e. Katarak Subskapular Posterior
Katarak subskapular posterior terdapat pada korteks di
dekat kapsul posterior di bagian sentral. Di awal
perkembangannya, katarak ini cenderung menimbulkan
gangguan pengelihatan karena adanya keterlibatan sumbu
pengelihatan. Gejala-gejala yang umum, antara lain glare dan
penurunan pengelihatan pada kondisi pencahayaan yang terang
(Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).

Katarak kongenital:
Katarak kongenintal adalah suatu keadaan dimana lensa
menjadi keruh selama kehidupan dalam rahim. Sekalipun kelainan
ini biasanya ditentukan secara genetik pada tahun 1941 Gregg
melihat bahwa anak-anak dan ibu yang menderita campak Jerman
23

(rubella) pada kehamilan antara minggu ke-4 dan ke-7 sering


menderita katarak. Akan tetapi, apabila sang ibu dijangkiti setelah
kehamilan minggu ke-7, lensa terhindar dari kerusakan, tetapi
anaknya sering tuli akibat kelainan pada koklea (Sadler, 2000).

Gambar 2.4 Katarak Kongenital


(Lang, 2006)

Katarak kongenital dapat berupa:


a. Katarak Kongenital Binokuler (kekeruhan lensa pada kedua
mata).
Pada penderita ini perlu dilakukan operasi pada salah satu
mata sekitar umur 6 bulan dan mata lainnya pada umur 2 tahun.
Bila tampak tanda 'arching nystagmus', operasi harus segera
dilakukan secepatnya untuk mencegah timbulnya komplikasi
ambliopia (visus buruk yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian kaca-mata) (Hassan dkk, 2007).
b. Katarak Kongenital Monokisler (kekeruhan pada salah satu mata
sedangkan mata lainnya baik).
Pada jenis kelainan ini tindakan operasi dilakukan sekitar
umur 2 tahun dan tidak perlu secepat tindakan operasi pada
katarak kongental binokuler, karena mata lain dapat berfungsi
seperti biasa (Hassan dkk, 2007).
c. Katarak Polaris Anterior
Katarak Polaris anterior terjadi akibat gangguan
perkembangan lensa pada saat mulai terbentuknya plakoda
lensa. Pada saat ibu dengan kehamilan kurang dari 3 bulan
mendapat infeksi virus, maka amnionnya akan mengandung
24

virus. Plakoda lensa akan mendapat infeksi virus hingga virus


rubella masuk ke dalam vesikel akan menjadi lensa. Gambaran
klinis akan terjadi ialah adanya keluhan ibu karena anaknya
mempunyai leukokoria. Pada pemeriksaan objektif akan terlihat
kekeruhan pada kornea dan terdapatnya jaringan fibrosis di
dalam bilik mata depan yang menghubungkan kekeruhan korea
dengan lensa yang keruh (Ilyas, 2008).
d. Katarak Polaris Posterior
Pada janin terdapat a.hialoidea yang bedatan dari papila
nervi optisi menuju bagian sentral posterior mata. Arteri ini akan
diresorpsi pada waktu lahir. Bila tidak diresorpsi, sisanya dapat
melekat di posterior pada papila nervi optisi ataupun di anterior
pada bagian sentral posterior lensa. Biasanya dalam keadaan ini
visus tidak terganggu. Kelainan ini tidak memerlukan tindakan
apa-apa, kecuali bila visus terganggu dapat dilakukan ektraksi
katarak (Hassan dkk, 2007).

Gambar 2.5 Katarak Polaris Posterior


(Birkholz dkk, 2011)

e. Katarak Lamelar atau Zonular


Bila pada permulaan perkembangan serat lensa normal dan
kemudian terjadi gangguan perkembangan serat, maka akan
terlihat kekeruhan serat lensa pada suatu zona serat lensa.
Biasanya perkembangan serat lensa selanjutnya normal kembali
sehingga nyata terlihat adanya gangguan perkembangan serta
25

lensa pada satu lamel daripada pekembangan lensa tersebut.


Katarak lamellar ini bersifat herediter yang diturunkan secara
dominan dan biasanya bilateral (Ilyas, 2008).

Gambar 2.6 Katarak Lamelar


(Ilyas, 2008)

f. Katarak Sentral
Katarak sentral merupakan katarak halus yang terlihat pada
bagian nucleus embrional. Katarak ini terdapat 80% orang
normal dan tidak mengganggu tajam pengelihatan (Ilyas, 2008).

Tabel 2.2 Klasifikasi Katarak Menurut Kematangannya


Kematangan Katarak Gambaran
Katarak matur Seluruh proteinnya telah
mengalami kekeruhan
Katarak imatur Sebagian protein transparan
Katarak hipermatur Protein-protein di bagian korteks
telah mencair, lensa dan kapsul
mengkerut
Katarak morgagni Katarak hipermatur dengan
nukleus mengambang di dalam
kantung kapsulnya
(Riordan-Eva dan Whitcher, 2010)
26

Gambar 2.7 Katarak Imatur


(Robertson, 2011)

Gambar 2.8 Katarak Matur


(Lang, 2006)

Gambar 2.9 Katarak Hipermatur


(Lang, 2006)

Ketika memeriksa lensa dengan lampu celah, berbagai


kekeruhan dapat dilihat dalam bentuk (Tasman dkk, 2011):
a. titik-titik putih,
b. keabu-abuan atau biru ganda,
c. bintik-bintik,
d. batang.
27

2.6 Faktor Risiko Katarak

Lensa sebagian besar terdiri dari air dan protein. Protein


berada dalam komposisi yang tepat sehingga lensa tetap jernih dan
memungkinkan untuk dilalui cahaya. Tetapi seiring bertambahnya
usia, protein menggumpal dan mengaburkan sebagian kecil daerah
lensa. Seiring waktu, katarak dapat tumbuh lebih besar dan
mengaburkan lensa, sehingga sulit untuk melihat. Para peneliti
menduga bahwa ada beberapa penyebab katarak, seperti merokok
dan diabetes (National Eye Institute, 2009).
Seseorang dapat terkena katarak terkait usia pada usia 40-an
dan 50-an. Tapi di usia pertengahan, katarak umumnya kecil dan
tidak mempengaruhi penglihatan. Katarak di umur 60 dapat
menyebabkan kebutaan (National Eye Institute, 2009).
Faktor risiko lain untuk katarak meliputi (National Eye
Institute, 2009):
1. Beberapa penyakit seperti diabetes.
2. Pribadi perilaku seperti merokok dan penggunaan alkohol.
3. Lingkungan seperti paparan sinar matahari berkepanjangan.
Katarak kongenital kadua mata dapat terjadi akibat penyakit
keturunan, atau infeksi ibu hamil akibat rubella, virus sitomegali,
varisela, sifilis, dan toksoplasmosis pada usia kehamilan 1-2 bulan.
Selain itu dapat juga disebabkan oleh cacat mata dan akibat reaksi
toksik misalnya steroid, dan akibat radiasi. Katarak pada satu mata
dapat disebabkan oleh beberapa kelainan mata bawaan, trauma, dan
infeksi rubella (Soehardjo, 2004).

2.7 Patogenesis Katarak


Patogenesis katarak belum sepenuhnya dimengerti. Walaupun
demikian, pada lensa katarak secara karakteristik terdapat agregat-
agregat protein yang menghamburkan berkas cahaya dan
mengurangi transparensinya. Perubahan protein lainnya akan
mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi kuning atau coklat.
28

Temuan tambahan mungkin berupa vesikel di antara serat-serat


lensa atau migrasi sel epitel dan pembesaran sel-sel epitel yang
menyimpang. Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam
terbentuknya katarak, antara lain kerusakan oksidatif (dari proses
radikal bebas), sinar ultraviolet, dan malnutrisi (Riordan-Eva dan
Whitcher, 2010).

2.8 Gejala dan Tanda Katarak

Opasifikasi dari lensa kristalin yang normalnya jernih dan


transparan disebut katarak. Gejala penglihatan adalah pandangan
kabur, silau, persepsi warna berubah, dan diplopia monokuler
(Isselbacher dkk, 1999).
Tajam pengelihatan berkurang terutama bila tes dilakukan
dalam keadaan terang. Hal tersebut diakibatkan oleh rasa silau dan
hilangnya kontras (James, 2006).
Katarak terlihat hitam terhadap reflex fundus ketika mata
diperiksa dengan oftalmoskopi direk. Pemeriksaan slit lamp
memungkinkan pemeriksaan katarak secara rinci dan identifikasi
lokasi opasitas dengan tepat. Katarak terkait usia biasanya terletak
di daerah nucleus, korteks, dan subkapsular posterior. Tampilan
lain yang menandakan penyebab okular katarak dapat ditemukan,
sebagai contoh deposisi pigmen pada lensa menunjukkan inflamasi
sebelumnya atau kerusakan iris menandakan trauma mata
sebelumnya (James, 2006).
29

Gambar 2.10 Gangguan Pengelihatan Pada Katarak


(National Eye Institute, 2009)

2.9 Diagnosis Katarak


Katarak dapat dideteksi melalui pemeriksaan mata yang
komprehensif yang mencakup (National Eye Institute, 2009):
a. Uji ketajaman visual. Tes mata dengan bagan mengukur
seberapa baik pasien melihat di berbagai jarak.
b. Uji mata terdilatasi. Dokter menggunakan lensa pembesar
khusus untuk memeriksa retina dan saraf optik untuk mencari
tanda-tanda kerusakan dan masalah mata lainnya.
c. Tonometri. Sebuah instrumen mengukur tekanan di dalam mata.

Untuk menilai derajat kekeruhan lensa, dapat dilakukan tes


bayangan iris, yaitu dengan cara mengarahkan lampu senter ke arah
pupil dengan sudut 45 dan dilihat bayangan iris pada lensa yang
keruh; letak bayangan jauh dan besar, berarti katarak imatur ;
seangkan bila bayangan kecil dan dekat pupil, berarti katarak matur:
Bila katarak mengalami degenerasi lanjut menjadi keras atau lembek
dan mencair disebut katarak hipermatur (Sudoyo dkk, 2009).
30

2.10 Penanganan Klinis Katarak


Meski telah banyak usaha yang dilakukan untuk
memperlambat progresivitas atau mencegah terjadinya katarak,
tatalaksana masih tetap dengan pembedahan. Tidak perlu
menunggu katarak menjadi matang. Dilakukan tes untuk
menentukan apakah katarak menyebabkan gejala visual sehingga
mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Pasien mungkin
mengalami kesulitan dalam mengenali wajah, membaca, atau
mengemudi. Beberapa pasien sangat terganggu oleh rasa silau.
Pasien diberikan informasi mengenai prognosis visual mereka dan
harus diberitahu pula mengenai semua penyakit mata yang terjadi
bersamaan yang bisa mempengaruhi hasil pembedahan katarak
(James, 2006).
Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar
lensa dan penggantian lensa dengan implant plastic. Saat ini
pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi local
daripada anestesi umum. Anestesi local diinfiltrasikan di sekitar
bola mata dan kelopak mata atau diberikan secara topical. Jika
keadaan social memungkinkan, pasien dapat dirawat sebagai kasus
perawatan sehari dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit
(James, 2006).
Operasi ini dapat dilakukan dengan:
1. Insisi luas pada perifer kornea atau sclera anterior, diikuti oleh
ekstrasi katarak ekstrakapsular (extra-capsular cataract
extraction, ECCE). Insisi harus dijahit (James, 2006).
2. Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang
dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil di kornea atau
sclera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanya tidak dibuthkan
penjahitan. Sekarang metode ini merupakan pilihan di Negara
Barat (James, 2006).
31

Kekuatan implan lensa intraocular yang akan digunakan dalam


operasi dihitung sebelumnya dengan megukur panjang mata secara
ultrasonic dan kelengkungan kornea (maka juga kekuatan optic)
secara optic. Kekuatan lensa umumnya dihitung sehingga pasien
tidak akan membutuhkan kacamata untuk pengelihatan jauh.
Pilihan lensa juga dipengaruhi oleh refraksi mata kontralateral dan
apakah terdapat katarak pada mata tersebut yang membutuhkan
operasi. Jangan biarkan pasien mengalami pembedahan refraktif
pada kedua mata (James, 2006).
Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik
jangka pendek. Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa
minggu, ketika bekas insisi telah sembuh. Rehabilitasi visual dan
peresepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepat dengan
metode fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat berakomodasi
maka pasien akan membutuhkan kacamata untuk pekerjaan jarak
dekat meski tidak dibutuhkan kacamata untuk jarak jauh. Saat ini
digunakan lensa intraocular multifocal. Lensa intraocular yang
dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan (James,
2006).

2.11 Prognosis dan Komplikasi Pasca Operasi Katarak

Prognosis penglihatan pasien katarak anak-anak yang


memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis pasien katarak
terkait usia. Prognosis untuk perbaikan ketajaman pascaoperasi
paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik
pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang progresif lambat
(Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).
Ekstrasi lensa akan memperbaiki ketajaman pengelihatan
pada lebih dari 90% kasus; sisanya mungkin telah disertai dengan
kerusakan retina atau mengalami komplikasi pascabedah yang
serius sehingga mencegah perbaikan visus yang signifikan
(Riordan-Eva dan Whitcher, 2010).
32

Komplikasi pembedahan katarak:


1. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan
selama operasi maka gel vitreous dapat masuk ke dalam bilik
anterior, yang merupakan risiko terjadinya glaukoma atau traksi
pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan dengan
satu instrumen yang mengaspirasi dan mengeksisi gel
(vitrektomi). Pemasangan lensa intraokular sesegera mungkin
tidak bisa dilakukan pada kondisi ini (James, 2006).
2. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah
pada periode bedah pasca operasi dini. Terlihat sebagai daerah
berwarna gelap pada lokasi insisi. Pupil mengalami distorsi.
Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan
pembedahan (James, 2006).
3. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius
namun jarang terjadi (kurang dari 0,3%). Pasien datang dengan
(James, 2006):
a. Mata merah yang terasa nyeri;
b.Penurunan tajam pengelihatan, biasanya dalam beberapa hari
setelah pembedahan;
c. Pengumpulan sel darah putih di bilik anterior (hipopion).
Pasien membutuhkan penilaian mata segera, pengambilan
sampel aakueous dan vitreous untuk analisis mikrobiologi,
dan terapi dengan antibiotik intravitreal, topikal, dan
sistemik.
4. Astigmatisme pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan
jahitan kornea untuk mengurangi astigmatisme kornea. Ini
dilakukan sebelum melakukan pengukuran kacamata baru
namun setelah luka insisi sembuh dan tetes mata steroid
dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih dapat terjadi
pada garis jahitan bila jahitan terlalu erat. Pengangkatan jahitan
biasanya menyelesaikan masalah ini dan bisa dilakukan dengan
mudah di klinik dengan anestesi lokal, dengan pasien duduk di
33

depan slit lamp. Jahitan yang longgar harus diangkat untuk


mencegah infeksi namun mungkin diperlukan penjahitan
kembali jika penyembuhan lokasi insisi tidak sempurna.
Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui insisi yang kecil
menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan luka
memungkinkan koreksi astigmatisme yang telah ada
sebelumnya (James, 2006).
5. Edema makular sistoid. Makula menjadi edema setelah
pembedahan, terutama bila disertai hilangnya vitreous. Dapat
sembuh seiring waktu namun dapat menyebabkan penurunan
tajam pengelihatan yang berat (James, 2006).
6. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak
dihubungkan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat
komplikasi ini bertambah bila terdapat kehilangan vitreous
(James, 2006).
7. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien,
kejernihan kapsul posterior berkurang pada beberapa bulan
setelah pembedahan ketika sel epitel residu bermigrasi melalui
permukaannya. Pengelihatan menjadi kabur dan mungkin
didapatkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada
kapsul dengan laser (neodymium yttrium (ndYAG) laser)
sebagai prosedur klinis rawat jalan. Terdapat risiko kecil edema
makular sistoid atau terlepasnya retina setelah kapsulotomi
YAG. Penelitian yang ditujukan pada pengurangan komplikasi
ini menunjukkan bahwa bahan yang digunakan untuk membuat
lensa, bentuk tepi lensa, dan tumpang tindih lensa intraokular
dengan sebagian kecil cincin kapsul anterior penting dalam
mencegah opasifikasi kapsul posterior (James, 2006).
8. Jika jahitan nilon halus tidak diangkat setelah pembedahan maka
jahitan dapat lepas dalam beberapa bulan atau tahun detelah
pembedahan dan mengakibatkan iritasi atau infeksi. Gejala
hilang dengan pengangkatan jahitan (James, 2006).
34

2.12 Pencegahan Katarak


Saat ini, belum ada cara yang efektif untuk mencegah
terjadinya katarak sehingga dilakukan langkah sekunder dengan
cara mencegah terjadinya penyakit mata lain yang dapat
menyebabkan katarak dan dengan meminimalisir kontak dengan
faktor-faktor yang dapat menyababkan katarak (Paine dan
Randlman, 2008).
1. Menggunakan kacamata hitam saat keluar pada siang hari
mengurangi kemungkinan terkena katarak atau kerusakan retina.
Beberapa kacamata hitam dapat memfilter radiasi UV dan
memperlambat terjadinya katarak (Paine dan Randlman, 2008).
2. Beberapa orang mengkonsumsi vitamin, mineral, dan ekstrak
herbal untuk mengurangi kemungkinan terkena katarak. Tidak
ada data penelitian yang membuktikan hal tersebut. Tidak ada
obat atau suplemen topical maupun oral yang terbukti
memngurangi kemungkinan terjadinya katarak (Paine dan
Randlman, 2008).
3. Pola hidup sehat seperti pola makan yang baik, istirahat yang
cukup, olahraga teratur, dan tidak merokok dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya katarak dan penyakit lainnya (Paine
dan Randlman, 2008).
4. Jika pasien terkena diabetes, kontrol gula darah yang ketat dapat
memperlambat pembentukan katarak (Paine dan Randlman,
2008).
35

ANALISIS KASUS

1.1 Identitas Pasien


Pasien merupakan seorang wanita berusia 61 tahun yang bekerja
sebagai buruh tani. Hal tersebut menjadi faktor risiko bagi terjadinya
glaukoma sudut tertutup dan katarak senilis. Pada glaukoma sudut tertutup,
bertambahnya usia, jenis kelamin perempuan, dan etnis Asia Tenggara
menjadi faktor risiko. Usia tua juga merupakan salah satu penyebab katarak,
yaitu karatak senilis faktor lain yang berperan terhadap terjadinya katarak
adalah pajanan berlebihan terhadap panas (glassblowers catharact).
Penuaan menyebabkan proses degeneratif berupa pembesaran lensa
kristalina akibat terbentuknya vesikel di antara serat-serat lensa dan migrasi
sel epitel dan pembesaran sel-sel epitel yang menyimpang, serta terjadinya
kondensasi dalam nukleus lensa yang menyebabkan sklerosis nuklear.
Patomekanisme tersebut berhubungan dengan terjadinya katarak dan
glaukoma.
Pada perempuan, akan cenderung terjadi hipertensi okuler pada masa
menopausal akibat penurunan hormon progesteron dan estradiol. Hal
tersebut dapat menjadi peningkatan faktor risiko terjadinya glaukoma pada
perempuan.
Pekerjaan pasien sebagai buruh tani berisiko terhadap paparan sinar
ultraviolet dan benda asing pada mata. Pajanan berlebih sinar ultraviolet
dapat menyebabkan kerusakan oksidatif dari proses radikal bebas yang
dapat berpengaruh terhadap struktur protein dalam lensa sehingga timbul
agregat-agregat protein yang menghamburkan berkas cahaya dan
mengurangi transparansinya, menimbulkan kekeruhan pada lensa.

1.2 Anamnesa
Dari anamnesis didapatkan nyeri pada bola mata kanan yang disertai
penglihatan tidak jelas tiba-tiba sejak 2 bulan yang lalu yang disertai nyeri
pada bola mata dan sakit kepala. Data riwayat penyakit sekarang tersebut
menggambarkan perjalanan penyakit yang saat ini dialami oleh pasien.

35
36

Gejala yang dialami dapat mengarahkan pada diagnosis banding yaitu


glaukoma sudut tertutup akut primer, dan glaukoma sudut tertutup sekunder
karena pada masing-masing diagnosis banding tersebut didapatkan gejala
serupa dengan yang dialami oleh pasien, yaitu gejala glaukoma dengan
onset yang terjadi mendadak atau akut. Pada serangan glaukoma sudut
tertutup pada umumnya dapat juga ditemui mata merah, mual, muntah.
Namun pada pasien tidak dijumpai keluhan tersebut yang kemungkinan
disebabkan oleh glaukoma yang bersifat kronis.
Riwayat penyakit keluarga tidak didapatkan anggota keluarga yang
menderita penyakit serupa dengan pasien. Ini berarti kita dapat
menyingkirkan kemungkinan penyakit yang diderita oleh pasien adalah
diturunkan oleh keluarganya. Riwayat penyakit kronis seperti diabetes
melitus dan hipertensi juga negatif dalam keluarga. Penyakit diabetes
melitus dan hipertensi ini juga dapat sebagai faktor resiko terkena penyakit-
penyakit yang berada di mata. Riwayat trauma dan infeksi disangkal yang
berarti menyingkirkan diagnosis banding katarak traumatika dan katarak
komplikata.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Ini
berarti bahwa pasien mengalami keluhan dengan onset akut dan pertama
kalinya. Pasien juga tidak memiliki riwayat memakai kacamata. Pada pasien
dengan kelainan refraksi juga mempunyai faktor yang dapat menyebabkan
munculnya penyakit mata seperti glaukoma. Umumnya dapat terjadi pada
pasien dengan sudut kamera anterior sempit (sering pada hipermetropia).
Pasien menyatakan pandangannya sudah tidak jelas sejak setahun lalu
seperti berkabut tetapi tidak dirasa mengganggu. Keluhan pasien tersebut
kemungkinan mengarahkan kepada diagnosis katarak.
Riwayat kebiasaan pasien menjelaskan bahwa pasien bekerja sebagai
buruh tani yang sering terpapar sinar matahari secara langsung. Pasien juga
sering minum jamu-jamuan. Kedua hal tersebut dapat menjadi faktor
terjadinya katarak.
37

1.3 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik dengan tekanan
darah yang sedikit tinggi yaitu 150/90 mmHg yang termasuk stadium
hipertensi grade I hal ini dapat menjadi faktor risiko terjadinya glaukoma.
Pada pemeriksaan okular didapatkan visus OD / 60, artinya pasien
hanya dapat menghitung jari pada jarak meter yang pada orang dengan
visus normal dapat dilihat dari jarak 60 meter; dan visus OS 4/5 / 60, artinya
pasien hanya dapat menghitung jari pada jarak 4/5 meter yang pada orang
normal dapat dilihat pada jarak 60 meter. COA OD dangkal yang
mengindikasikan kemungkinan adanya glaukoma sudut tertutup, lensa ODS
keruh, Shadow test ODS (+) menunjukkan kemungkinan terdapatnya
katarak imatur, palpasi TIO ODS keras menunjukkan kemungkinan adanya
peningkatan TIO, peningkatan TIO OD 35 mmHg yang dalam hal ini diatas
nilai normal yaitu 10-21 mmHg. Penyempitan lapang pandang ODS,
pemeriksaan lapang pandang dilakukan untuk mendiagnosis dan
menindaklanjuti pasien glaukoma. Kemungkinan hasil yang akan ditemukan
lapang pandang pasien berkurang karena peningkatan TIO yang merusak
papil saraf optikus. Pada pasien, terdapat penyempitan pada lapang pandang
okular dekstra, dan penurunan visus ODS.
Untuk melihat bagian dalam mata atau fundus okuli. Dengan
menggunakan opthalmoskop kita bisa mengukur rasio cekungan-diskus (cup
per disc ratio-CDR). CDR yang perlu diperhatikan jika ternyata melebihi
0,5 karena hal itu menunjukkan peningkatan tekanan intraokular yang
signifikan. Pada pasien, pemeriksaan funduskopi tidak dapat dilakukan
karena terhalang oleh lensa yang keruh sehingga refleks fundus negatif dan
camera okuli posterior tidak tampak.
Umumnya serangan glaukoma sudut tertutup menunjukkan gejala
kongestif dengan kelopak mata bengkak, mata merah, tekanan bola mata
sagat tinggi, pupil lebar, kornea suram dan edem, iris sembab meradang,
papil saraf optik hiperemis, edem, dan lapang pandang menciut. Namun
pada pasien tidak ditemukan tanda tersebut dan hanya ditemukan dilatasi
38

pupil dan penyempitan lapang pandang. Kemungkinan hal tersebut


disebabkan karena glaukoma yang dialami pasien bersifat kronik.
Berdasarkan pemeriksaan oftalmologi yang dilakukan maka pasien ini
dapat didiagnosa sebagai glaukoma. Hasil pemeriksaan COA dengan pen
light menunjukkan bahwa glaukoma ini merupakan glaukoma sudut
tertutup. Pada pasien ini ditemukan kekeruhan pada lensa sehingga dapat
disimpulkan bahwa ini merupakan suatu glaukoma sekunder akibat katarak.

1.4 Diagnosis Banding


Pasien didiagnosis banding dengan Glaukoma sudut tertutup primer ODS
dengan Katarak Senilis Imatur ODS dan Glaukoma sudut tertutup sekunder
ODS et causa Katarak Senilis Imatur ODS. Glaukoma dibangkitkan lensa
merupakan glaukoma akibat katarak intumesen, matur, ataupun hipermatur.
Untuk mengetahui etiologi glaukoma sekunder yang terjadi sangat
diperlukan penggalian riwayat katarak pasien baik perjalanan penyakitnya
(gejala dan tanda yang muncul) maupun riwayat pengobatannya. Jika sudah
digali dengan baik, kita bisa mengetahui apakah glaukoma yang terjadi
adalah karena adanya penyakit (kondisi) yang mendasari (sekunder), atau
tidak ada penyakit sebelumnya yang menyebabkan terjadinya glaukoma
(primer).

1.5 Diagnosis Kerja


Pasien didiagnosis menderita Glaukoma sudut tertutup sekunder ODS akibat
Katarak Senilis Imatur ODS. Hal tersebut didasarkan pada anamnesis
dimana keluhan pengelihatan tidak jelas seperti berkabut sudah terjadi
beberapa saat sebelum akhirnya terjadi buram mendadak. Selain itu pada
pemeriksaan fisik didapatkan kekeruhan pada kedua lensa dan
pendangkalan pada kedua sisi namun paling jelas terlihat pada okular
dekstra. Glaukoma sudut tertutup dibangkitkan lensa merupakan glaukoma
akibat katarak intumesen tang terjadi akibat katarak senilis. Gejalanya sama
dengan gejala glaukoma sudut tertutup primer dengan perbedaan pada
glaukoma sudut tertutup primer terdapat bilik mata yang dangkal pada
39

kedua mata sedangkan pada glaukoma sekunder akibat katarak intumesen,


kelainan sudut hanya terdapat pada satu mata. Pada katarak intumesen
sumbu anteroposterior lensa makin panjang sehingga mengakibatkan
terdjadinya resistensi pupil pada pengaliran humor aquosus yang
mengakibatkan blokade pupil. Akibat blokade ini akan terjadi pendorongan
iris sehingga pangkal iris menutup saluran trabekulum yang menyebabkan
tambahan bendungan humor aquosus sehingga terjadi glaukoma sudut
tertutup.

1.6 Tatalaksana
Pengobatan glaukoma pada pasien ini ditujukan untuk menurunkan
tekanan bola mata dimana peningkatan tekanan ini secara berangsur-angsur
dapat mengakibatkan rusaknya papil nervus optik. Pada pasien ini juga
dianjurkan untuk melakukan trabekulotomi dan Small Incision Catharac
Extraction, sebagai penatalaksanaan glaukoma dan katarak yang dialaminya.
SICS dipilih sebagai tatalaksana atas dasar pertimbangan ketersediaan
sarana dan prasarana dan komplikasi yang minimum. Tujuan
penatalaksanaan glaukoma sekunder adalah untuk menurunkan TIO dan
mengobati kausa penyakit. Terapi berupa ekstraksi lensa apabila TIO telah
terkontrol secara medis.
1. Farmakoterapi
Terapi farmaka dilakukan untuk menurunkan TIO secara cepat untuk
mencegah kerusakan yang lebih jauh pada nervus optikus, untuk
menormalkan kornea, dan mencegah terjadinya pembentukan sinekia.
Reduksi TIO dibutuhkan untuk mempersiapkan pasien untuk iridotomi
laser untuk mengatasi blok pupil yang menyebabkan glaukoma. Tujuan
farmakoterapi adalah untuk menurunkan morbiditas dan untuk mencegah
komplikasi.
a. Inhibitor Karbonik Anhidrase
Karbonik Anhidrase adalah suatu enzim yang ditemukan di
banyak jaringan tubuh, termasuk mata. Katalisasi suatu reaksi
reversibel dimana karbon dioksida menjadi hidrasi dan asam karbonat
40

menjadi dehidrasi. Dengan memperlambat terbentuknya pembentukan


ion bikarbonat dengan reduksi dalam sodium dan transport cairan,
dapat menghambat karbonik anhidrse dalam proses siliaris mata.
Efeknya menurunkan sekresi aqueous humor, sehingga menurunkan
TIO. Asetazolamid digunakan dengan dosis 250-500 mg IV/IM, dapat
diulang dalam 2-4 jam maksimum 1 g/hari. Efek sampingnya
hilangnya kalium tubuh, parastesi, anoreksia, diare, hipokalemia, batu
ginjal, dan miopia sementara. Kontraindikasi pada orang dengan
hipersensitivitas, penyakit hati, penyakit ginjal kronis, insufisiensi
adrenokortikal, obstruksi pulmonar parah.
b. Beta Bloker
Merupakan terapi tambahan yang efektif untuk menangani
serangan sudut tertutup. Beta bloker dapat menurunkan TIO dengan
cara mengurangi produksi humor aqueous. Timolol sebagai beta
bloker nonselektif dalam sediaan tetes mata dapat digunakan sebanyak
2 kali dengan interval setiap 20 menit dan dapat di ulang dalam 4, 8,
dan 12 jam kemudian.
c. Miotik Kuat
Pilokarpin 2% atau 4 % setiap 15 menit sampai 4 kali pemberian
sebagai inisial terapi, diindikasikan untuk menghambat serangan awal
glaukoma akut. Bekerja degan meningkatkan fasilitas pengeluaran
cairan mata dengan membuka sudut bilik mata dengan miosis. Efek
samping yang ditimbulkan adalah sakit pada alis akibat spasme otot
siliaris dan penglihatan malam berkurang.
d. Pasien ini tergolong katarak imatur sehingga diberikan catarlent
dengan harapanakan dapat mempelambat pematangan pada lensa
pasien ini. Catarlent mengandung CaCl2 anhidrat 0,075 gram, Kalium
Iodida 0,075 gram, Natrium Tiosulfat 0,0075 gram, Fenilmerkuri
nitrat 0,3 mg. Dosis diberikan 3 kali sehari 1-2 tetes. Pada pasien ini
juga diberikan cendo lyters, suatu emolien/pelembut dan pengganti air
mata. Cendo lyters ini mengandung ion natriumdan kalium dengan
benzalkonium Cl, diberikan 3-4 kali sehari 1-2 tetes.
41

2. Nonfarmakoterapi (Pembedahan)
Pengobatan glaukoma hanya dengan pembedahan. Tindakan
pembedahan harus dilakukan pada mata dengan sudut sempit karena
serangan akan berulang lagi pada satu saat. Tindakan pembedahan
dilakukan bila TIO sudah terkontrol, mata tenang dan persiapan
pembedahan sudah cukup. Tindakan pembedahannya adalah
trabekulektomi. Trabekulektomi merupakan pilihan yang baik bagi
pasien yang mengalami perburukan meskipun telah menjalani terapi
medis. Ekstraksi lensa merupakan terapi definitif, dilakukan segera
setelah tekanan intraokular terkontrol secara medis dan terapi steroid
topikal telah mengurangi peradangan intraokular.

1.7 Prognosis
Pada pasien, prognosis quo ad vitam ad bonam jika pasien segera
menjalani trabekulektomi untuk menurunkan tekanan intraokulernya.
Trabekulektomi efektif dalam menurunkan tekanan intraokular terlepas dari
efek samping dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan seperti infeksi,
hipotoni, BMD dangkal, kesalahan aliran humor akuos, hifema, katarak,
peningkatan TIO sementara, cystoid macular edema (CME), makulopati
hipotoni, efusi koroid, perdarahan suprakoroid, uveitis persisten, dan
kehilangan penglihatan, kebocoran bleb, katarak, blebitis, edoftalmitis, bleb
simtomatik, hipotoni, ptosis, dan retraksi kelopak mata. Operasi katarak dan
pergantian lensa dengan intraokular lensa juga dapat memberikan koreksi
pengelihatan pada pasien yang sudah mengalami penurunan pengelihatan
meskipun komplikasi seperti infeksi post operasi dan astigmata harus tetap
diperhitungkan.
Prognosis quo ad functionam ad malam dikarenakan fungsi
pengelihatan pasien yang telah menurun karena atrofi papil saraf optik
sebagai akibat dari glaukoma yang dideritanya. Hal tersebut tampak dari
penurunan visus dan penyempitan lapang pandang yang diderita pasien.
Prognosis quo ad sanationam ad bonam. Meskipun hasil trabekulektomi
tergantung pada berbagai faktor dan dapat sangat bervariasi, sebagai aturan
42

umum sekitar 70% dari mata yang dioperasi akan memiliki tekanan mata
yang memuaskan dan tidak ada kebutuhan untuk pengobatan satu tahun
setelah operasi. Jika tetes mata yang ditambahkan, lebih dari 90% mata akan
memiliki penurunan tekanan mata yang memuaskan. Sedangkan
kemungkinan kekambuhan katarak sangat kecil yaitu hanya sekitar 5-10%
dan umumnya terjadi pada penderita katarak usia muda.

1.8 Edukasi
Pada pasien berkaitan dengan glaukoma sudut sempit yang dideritanya
harap diperhatikan:
1. Emosi (bingung dan takut) karena dapat menyebabkan serangan akut.
2. Membaca dekat yang mengakibatkan miosis akan menyebabkan serangan
pada glaukoma, terutama glaukoma akibat blok pupil.
3. Pemakaian sipatomimetik yang dapat melebarkan pupil.
4. Pemakaian obat antihistamin dan antispasme pada glaukoma sudut
sempit dengan hipermetropi dan bilik mata dangkal.
5. Pemantauan dan pengobatan hipertensi teratur untuk mengurangi risiko
terjadinya hipertensi okular.

Pada pasien berkaitan dengan katarak yang dialaminya dapat dilakukan


perlambatan maturitas dengan meminimalisir kontak dengan faktor-faktor
yang dapat menyababkan katarak, seperti:
1. Menggunakan kacamata hitam saat keluar pada siang hari atau
menghindari paparan sinar matahari untuk memperlambat terjadinya
katarak atau kerusakan retinadengan memfilter radiasi UV.
2. menggunakan kacamata sebagai alat bantu pengelihatan sementara.
3. Pola hidup sehat seperti pola makan yang baik, istirahat yang cukup,
olahraga teratur, dan tidak merokok dapat mengurangi faktor risiko dari
penyakit yang dapat menjadi predisposisi kemungkinan timbulnya
katarak.
4. Mengurangi konsumsi jamu-jamuan dan obat-obatan yang dapat
menyebabkan katarak terinduksi steroid.
43

DAFTAR PUSTAKA

Birkholz, E.S, Oetting, T.A, Kitzmann, A.S. 2011. Posterior Polar Cataract.
EyeRounds.org (http://EyeRounds.org/cases/128-Posterior-Polar-
Cataract.htm). Diunduh pada 3 Januari 2012.
Guyton, A. C dan Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Hassan, R dkk. 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Ilyas, S. 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Isselbacher, K.J dkk. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison Vol 1.
Jakarta: EGC.
James, B; Chew, C; dan Bron, A. 2006. Lecture Notes Oftalmologi Ed 9. Jakarta:
Erlangga.
Lang, Gerhard K. 2006. Ophthalmology : A Pocket Textbook Atlas 2nd. English:
Augenheilkunde.
Mayo Clinic. 2010. What a Cataract Looks Like. Mayo Foundation for Medical
Education and Research (MFMER)
http://www.mayoclinic.com/health/medical/IM01228. Diunduh pada 26
Desember 2011.
National Eye Institute. 2009. Facts About Cataract.
http://www.nei.nih.gov/health/cataract/cataract_facts.asp. Diunduh pada 26
Desember 2011.
Paina, D.A dan Randleman, J.B. 2008. Cataracts. eMedicineHealt
(http://www.emedicinehealth.com/cataracts/article_em.htm). diunduh pada 24
Desember 2011.
Robertson, C. 2011. Cataract Eye Drops New Technology to Treat an Old
Condition. Nj Cataract Removal Alternative Cataract Treatments
(http://njcataractremoval.com/cataract-eye-drops-new-technology-to-treat-an-
old-condition). Diunduh pada 3 Januari 2012.
Riordan-Eva, P dan Whitcher, J.P. 2010. Vaughan dan Asbury Oftalmologi
Umum Ed 17. Jakarta: EGC.
Sadler, T. W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman Ed 7. Jakarta: EGC.
Soehardjo. 2004. Kebutaan Katarak: Faktor-faktor Risiko, Penanganan Klinis, dan
Pengendalian. (http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1029_pp0906031.pdf).
Diunduh pada 22 Desember 2011.
Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Ed 6. Jakarta:
EGC.
Sudoyo A.W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed V. Jakarta:
Interna Publishing.
Tasman, William; Jaeger, Edward A. 2011. Wills Eye Hospital Atlas of Clinical
Ophthalmology The 2nd Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Underwood, J. C. E. 2000. Patologi Umum dan Sistemik Vol 2 Ed 2. Jakarta:
EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai