OSTEOPOROSIS
Oleh :
ISRIANA, S.Ked
Pembimbing :
dr. Zakaria Mustari, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
i
LEMBAR PENGESAHAN
i
KATA PENGANTAR
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang sistemik yang
ditandai oleh menurunnya densitas massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks
dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang,
dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecenderungan tulang
mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan
definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. Menurunnya massa tulang
dan memburuknya arsitektur jaringan tulang ini, berhubungan erat dengan proses
remodeling tulang yaitu terjadi abnormalitas bone turnover. Pada osteoporosis akan
terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan atau resorpsi
tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan atau formasi
1-3
tulang (bone formation).
Pembentukan dan penyerapan tulang berada dalam keseimbangan pada
individu berusia sekitar 30 - 40 tahun. Keseimbangan ini mulai terganggu dan lebih
berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause dan pria
mencapai usia 60 tahun. Penelitian Roeshadi di Jawa Timur mendapatkan bahwa
puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa
tulang pasca menopause adalah 1,4% per tahun. Berbagai fraktur yang berhubungan
dengan osteoporosis adalah kompresi vertebral, fraktur colles dan fraktur kolum
femoris. Prevalensi fraktur kompresi vertebral adalah 20% pada wanita kaukasus
pasca menopause, sedangkan fraktur kolum femoris meningkat secara bermakna pada
3,6
wanita diatas 50 tahun atau laki-laki di atas 60 tahun.
Osteoporosis menyebabkan lebih dari 8,9 juta kasus fraktur setiap tahun di dunia,
dimana 4,5 juta kasus terjadi di Amerika dan Eropa. Saat ini diperkirakan ada sekitar
0,3 juta fraktur panggul pertahun di Amerika Serikat dan 1,7 juta di Eropa. Hampir
semua peristiwa ini dikaitkan dengan osteoporosis, baik primer atau sekunder. Rasio
perempuan dan laki-laki pada fraktur pinggul 2:1. Insiden fraktur pergelangan tangan
di Inggris dan Amerika berkisar 400-800 per 100.000 perempuan. Fraktur kompresi
2,5
tulang belakang jauh lebih sulit untuk diperkirakan karena sering tanpa gejala.
3
BAB II
OSTEOPOROSIS
A. Definisi
Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti berlubang atau
dalam istilah populer adalah tulang keropos. Menurut International Consensus
Definition tahun 1993, Osteoporosis adalah penyakit skeletal sistemik yang ditandai
dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang
sehingga terjadi kerapuhan tulang dan peningkatan kerentanan patah tulang. Pada
tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis
sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh Compromised bone strength
sehingga tulang mudah patah. Secara operasional osteoporosis didefinisikan
berdasarkan penilaian bone mineral density (BMD). Berdasarkan kriteria WHO,
osteoporosis adalah nilai BMD berada pada 2,5 standar deviasi (SD) atau di bawah
nilai rata-rata dewasa muda yang sehat (T score < -2,5 SD).
2,8
Tabel 1. Definisi osteoporosis berdasarkan kriteria WHO
Definisi Kriteria
B. Epidemiologi
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama global yang menyebabkan
lebih dari 200 juta patah tulang osteoporosis di seluruh dunia setiap tahun, termasuk
1,6 juta fraktur panggul. Di Amerika Serikat pada tahun 2005, ada sekitar dua juta
patah tulang diperkirakan terkait osteoporosis, termasuk sekitar 547.000 patah tulang
belakang, 297.000 patah tulang pinggul (hip), 397.000 patah tulang pergelangan
4
tangan, 135.000 patah tulang panggul (pelvic), dan 675.000 patah tulang di tempat
lain. Jumlah seluruh patah tulang di Amerika Serikat diproyeksikan mencapai lebih
dari 3 juta tahun 2025. Meskipun hanya sekitar seperempat sampai sepertiga dari
patah tulang belakang yang terbukti secara klinis, ini dapat menyebabkan hilangnya
tinggi badan, kyphosis, penyakit paru restriktif, distensi perut dan meningkatkan
angka kematian. Fraktur pinggul (hip) adalah fraktur paling banyak yang terkait
dengan osteoporosis. Sekitar 50% dari pasien yang patah tulang pinggul kehilangan
kemampuan untuk berjalan secara mandiri, sekitar 24% wanita dan 30% pria
9
meninggal dalam satu tahun pertama.
Diperkirakan 40% wanita dan 13% pria berusia 50 tahun dan lebih tua akan
mengalami patah tulang osteoporosis pada kehidupan mereka. Ada kecenderungan
angka kematian di masa depan akan meningkat menjadi 47% untuk wanita dan 22%
2,5,10
untuk pria.
Tabel 2. Estimasi jumlah lokasi fraktur osteoporosis pada pria dan wanita umur 50
2
tahun pada 2000, menurut regio WHO.
Perkiraan jumlah lokasi fraktur (ribuan) Semua fraktur
osteoporosis
Regio Panggul Vertebra Proksimal Lengan Jumlah %
WHO Humerus Bawah
Afrika 8 12 6 16 75 0,8
Amerika 311 214 111 248 1.406 15,7
Asia 221 253 121 306 1.562 17,4
Tenggara
Erofa 620 490 250 574 3.119 34,8
Mediterania 35 43 21 52 261 12,9
Timur
Pasifik 432 405 197 464 2.536 28,6
a
Barat
Total 1.672 1.416 706 1.660 8.959 100
Sumber : O Johnell & J A Kanis, unpublished data, 2006.
a Termasuk Australia, China, Japan, New Zealand and Republik Korea.
C. Patogenesis Osteoporosis
Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah koordinasi
yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama sistem ini berada
5
dalam keseimbangan, formasi dan resorpsi tulang akan selalu seimbang. Pada usia
reproduksi, di mana fungsi ovarium masih baik, terdapat keseimbangan antara proses
formasi tulang (osteoblas) dan laju proses resorpsi tulang (osteoklas) sehingga tidak
timbul pengeroposan tulang.
Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara proses
resorpsi tulang dan formasi tulang, dimana secara seluler disebabkan oleh karena
jumlah dan aktivitas sel osteoklas (sel resorpsi tulang) melebihi dari jumlah dan
aktivitas sel osteoblas (sel formasi tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan
massa tulang.
Normal bone Osteoporotic bone
13
Gambar. 3. Stuktur mikrografi tulang normal dan osteoporosis.
1,3
Tabel 3. Karakteristik osteoporosis Tipe I dan II
Karakteristik Tipe I Tipe II
Umur (tahun) 50-75 >70
Wanita : pria 6:1 2:1
Tipe kerusakan tulang Terutama trabekular Trabekular dan kortikal
Bone turnover Tinggi Rendah
Lokasi fraktur terbanyak Vertebra, radius distal Vertebra, kolum femoris
6
Fungsi paratiroid Menurun Meningkat
Efek estrogen Terutama skeletal Ekstra skletal
Etiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi estrogen
1. Peran Estrogen
Estrogen manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17
estradiol (E2) dan Estriol (E3). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai
anti estrogen, tetapi pada organ non reproduksi bersifat estrogenik, struktur ini disebut
selective estrogen receptor modulators (SERMs). Estrogen utama yang dihasilkan
oleh ovarium adalah estradiol. Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen
(ER), yaitu reseptor estrogen alfa (ER) dan reseptor estrogen beta (ER). Pada
tulang reseptor estrogen ini didstribusikan di berbagai sel, termasuk osteoblas,
osteosit, osteoklas dan kondrosit. Ekspresi ER dan ER meningkat bersamaan
1
dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas.
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang
penting. Estrogen memegang peran yang sangat penting dalam metabolisme tulang,
mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga
keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut. Efek tak langsung estrogen terhadap
tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi absorpsi kalsium di
usus, modulasi 1,25(OH)2 vitamin D, eksresi kalsium di ginjal dan sekresi hormon
1
paratiroid.
1
Tabel 4. Efek estrogen terhadap berbagai sel tulang.
Osteoblas Osteosit Osteoklas Kondrosit
Proliferasi osteoblas Apoptosis osteosit c-fos, c-jun, Pertumbuhan
Sintesis DNA Ekspresi ER TGF- endokondral
Alkaki fosfatase TRAP, selama pubertas,
Kolagen tipe 1 cathepsin B, D Mempercepat
Mineralisasi tulang Apoptosis penutupan
lempeng epifisis
Sintesis IGF-1 osteoklas
Sintesis TGF- formasi
Sintesis BMP-6 osteoklas
Sintesis TNF-
Sintesis OPG
Aksi PTH
Ekspresi ER
Apoptosis osteoblas
7
2. Patogenesis osteoporosis Tipe I
Setelah menopause, terjadi penurunan produksi estrogen oleh ovarium, maka
resorpsi tulang akan meningkat, terutama dekade awal pasca menopause, sehingga
insiden fraktur meningkat, terutama fraktur vertebra dan fraktur radius distal.
Penurunan densitas tulang, terutama tulang trabekular dapat dicegah dengan terapi
sulih estrogen. Estrogen juga berperan dalam menurunkan produksi berbagai sitokin
oleh bone marraw stromal cells dan sel-sel mononuklear seperti interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-) yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat
menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut, sehingga aktifitas
1
osteoklas meningkat.
Menopause
Estrogen
resopsi tulang
Osteoporosis
8
1
Gambar 4. Patogenesis osteoporosis pasca menopause.
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti : IL-1, IL-6 dan TNF-,
merupakan sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen
meningkatkan sekresi transforming growth factor (TGF-), yang merupakan satu-
satunya faktor pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik
sel osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel
osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa
faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, walaupun secara tidak
14
langsung maupun secara langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas.
Seperti dikemukakan diatas bahwa sel osteoblas memiliki reseptor estrogen
alfa dan beta di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel osteoblas mengekspresikan
15
reseptor beta (ER) 10 kali lipat dari reseptor estrogen alfa (ER).
Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Dengan defisiensi estrogen ini akan
terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF- yang lebih lanjut akan
diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L menginduksi aktivitas JNK1
dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos dan c-Jun. Akan
tetapi dengan pemberian estrogen terjadi pembentukan tulang kembali, dan
didapatkan penurunan produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-, begitu juga selanjutnya
akan terjadi penurunan produksi M-CSF dan RANK-Ligand (RANK-L). Di sisi lain
estrogen akan merangsang ekspresi dari OPG dan TGF- pada sel osteoblas dan sel
stroma, yang lebih lanjut akan menghambat resorpsi tulang dan meningkatkan
12
apoptosis dari sel osteoklas.
Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen
mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas. Dalam
deferensiasi dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L, M-CSF dari sel
stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara RANK-L dan
16,17
RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi dengan RANK.
RANK-L yang merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga: OPG-L, TNF-
9
related activation induced cytokine (TRANCE), ODF dan memiliki reseptor RANK
yang merupakan kunci pengaturan remodeling tulang dan sangat esensial dalam
perkembangan dan aktivasi dari osteoklas. Selanjutnya RANK-L berikatan dengan
RANK pada permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi sel
tersebut. Selain itu sel stroma osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang larut
dan mengambang, yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat juga mengikat RANK-L
yang disebut OPG. OPG dapat beraksi sangat poten sebagai penghambat
pembentukan osteoklas dengan cara berikatan dengan RANK-L, sehingga mencegah
15
interaksi antara RANK-L dengan RANK pada progenitor osteoklas (gambar 6).
DIFFERENTIATION
M-CSF
RANK
RANKL
OPG
RANKL
Osteoblast/Stromal cells
RANKL OPG
decoy receptor INHIBITION
Gambar 6. Peranan RANK dan RANK-Ligand dalam aktivasi sel osteoklas dan peran
16
OPG menghambat proses tersebut.
BONE LOSS
12
Gambar 8. Mekanisme terjadinya osteoporosis akibat glukokortikoid.
Osteoporosis hasil dari ketidakseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas.
BMP-2: bone morphogenic protein-2; Cbfa1: core binding factor a1; Bcl-2: B-cell leukemia/
lymphoma-2 apoptosis regulator; Bax: BCL-2-associated X protein; IGF-I: insulin-like
growth factor-I; IGFBP: IGF binding protein; IGFBP-rPs: IGFBP-related proteins; HGF:
hepatocyte growth factor; RANKL: receptor activator of the nuclear factor-B ligand ; CSF-
1: colony-stimulating factor-1; OPG: osteoprotegerin; PGE2: Prostaglandin E 2; PGHS-2:
15
prostaglandin synthase-2.
Faktor lain yang ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada oarang
tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi
lama). Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh lebih tinggi
1
pada orang tua lebih dibandingkan pada orang muda.
Usia lanjut
reabsorpsi Ca
di ginjal
risiko terjatuh
( kekuatan otot,
Osteoporosis aktifitas otot, medikasi, gangguan
keseimbangan,
gangguan penglihatan,
dan lain-lain.
Fraktur
13
1
Gambar 9. Patogenesis osteoporosis tipe II dan fraktur
BAB III
DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS
Hingga saat ini deteksi dini osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang
tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnosis
penyakit osteoporosis terkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang
punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada
orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30-
3
40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional.
1. Gejala Klinik
Gejala klinik dapat ditemukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pengenalan terhadap faktor risiko osteoporosis akan sangat membantu dalam
pendekatan diagnosis osteoporosis. Adapun faktor risiko terjadinya osteoporosis
dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
1,3
Tabel 5. Faktor risiko osteoporosis.
14
Umur
setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan
risiko 1,4-1,8
Genetik
etnis Kaukasus/oriental > orang hitam/Polinesia, gender perempuan >
laki-laki, riwayat keluarga
Lingkungan
makanan, defisiensi kalsium, aktivitas fisik dan pembebanan mekanik,
obatobatan seperti kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, merokok,
alkohol, jatuh/trauma
Hormon endogen dan penyakit kronik
defisiensi estrogen, defisiendi androgen, gastrektomi, sirosis,
tirotoksikosis, hiperkortisolisme
Sifat fisik tulang
densitas tulang, ukuran dan geometri tulang, mikroarsitektur tulang,
komposisi tulang
15
16
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila
didapatkan : 1) patah tulang akibat trauma yang ringan, 2) tubuh makin pendek,
radiologik yang khas. Evaluasi klinis terhadap penderita osteoporosis diarahkan pada
1,3
identifikasi faktor risiko.
3
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada anamnesis faktor risiko osteoporosis :
1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau peningkatan
kifosis torakal.
2. Penyakit-penyakit yang dapat menjadi predisposisi osteoporosis :
a. Penyakit endokrin, misalnya sindroma cushing, diabetes melitus, penyakit
tiroid, penyakit Adison, hiperparatiroidisme, hipogonadisme, menopause dini
atau operasi ovarium yang menyebabkan menopause dini.
b. Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal, riwayat
urolithiasis (hiperkalsiuria).
c. Penyakit hati, misalnya sirosis bilier primer, transplantasi hati.
d. Kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang jarang
terpajan dengan sinar matahari.
e. Penyakit hematologik, misalnya multiple myeloma, anemia sideroblastik,
talasemia.
f. Penyakit syaraf, dalam hal ini berbagai obat anti epileptik, seperti dilantin dan
fenobarbital, ternyata dalam menurunkan densitas massa tulang.
g. Penyakit gastrointestinal, misalnya sindroma malabsorpsi, penyakit kolon
inflamatif, reseksi usus.
h. Penyakit rematik, misalnya reumatoid arthritis, spondilosis ankilosis, penyakit
Reiter.
3. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menebabkan osteoporosis, seperti
kortikosteroid jangka panjang > 3 bulan, obat anti epilepsi, siklosporin, litium.
4. Riwayat menopause dan riwayat kehamilan.
5. Anamnesis asupan gizi, terutama asupan kalsium.
6. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menjadi faktor risiko osteoporosis, seperti
merokok, minum alkohol, kurang olahraga.
17
7. Riwayat terjatuh dan bagaimana penderita berusaha mengurangi faktor risiko ini.
8. Riwayat kelainan payudara, genitalia dan penyakit vaskules yang mungkin akan
mempengaruhi keputusan pemberian terapi pengganti hormonal.
Pada pemeriksaan fisik, tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap
pasien osteoporosis. Demikian juga dengan gaya berjalan pasien, deformitas tulang,
leg-length inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid).
1,3,4
2. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium berupa penanda biokimiawi tulang
Penentuan massa tulang secara radiologis penting untuk menentukan
diagnosis osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang proses
dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat menunjukkan derajat
kecepatan kehilangan tulang. Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat
memberikan gambaran ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur
yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin, baik untuk uji saring
maupun untuk pemantauan pengobatan. Sehingga satu satunya pilihan untuk
1,3,4
menentukan bone turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi.
19
Wanita perimenopause dengan faktor risiko patah tulang seperti berat badan
rendah, riwayat patah tulang dengan trauma ringan atau obat berisiko tinggi.
Orang dewasa yang memiliki patah tulang setelah usia 50 tahun.
Orang dewasa dengan kondisi (misalnya, rheumatoid arthritis) atau konsumsi obat
(misalnya, glukokortikoid, dosis harian prednisone 5 mg atau setara selama 3
bulan) yang berhubungan dengan massa tulang yang rendah atau keropos tulang.
Siapapun yang dipertimbangkan akan mendapat terapi farmakologis untuk
osteoporosis.
Menghentikan estrogen pada wanita postmenopause harus dipertimbangkan untuk
pengujian kepadatan tulang.
Sebagai monitor terhadap terapi osteoporosis yang diberikan.
DPA (Dual Photon Absorptiometry) dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya
pengukuran vertebral dari anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang
corpus dapat dihindarkan, sehingga presisi pengukuran lebih tajam. Ada dua jenis X-
ray absorptiometry yaitu : SXA (Single X-ray Absorptiometry) dan DEXA (Dual
Energy X-ray Absorptiometry). Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada
digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh
1,3,4
tubuh.
dikelilingi oleh jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh
SPA (Single Photon Absorptiometry) atau SXA, oleh karena dengan system ini tidak
dapat menembus jaringan lunak tersebut, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk
20
tulang yang berada dekat kulit. DEXA atau absorptiometri X-ray energy ganda
memungkinkan kita untuk mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian
1,3,4
yang lebih dalam.
1,3,4
Tabel 7. Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI)
Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI) :
1. Tulang belakang (L1-L4)
2. Panggul
- Femoral neck
- Total femoral neck
- Trokanter
3. Lengan bawah (33% radius), bila:
- Tulang belakang dan/atau panggul tidak dapat diukur
- Hiperparatiroidisme
- Sangat obese
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan untuk
diagnosis osteoporosis
1,3,4
Tabel 8. T-score dan Z-score.
Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas
mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang sama, yang
dinyatakan dalam skore standar deviasi (Z-score atau T-score).
T score hanya digunakan untuk wanita post atau perimenopause dan laki-laki
diatas 50 tahun, sedangkan Z score digunakan pada wanita premenopause dan
21
laki-laki dibawah 50 tahun.
Z-score yang rendah (< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan
osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap
penderita harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada
penyebab oeteoporosis sekunder.
Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-score
1
adalah sebagai berikut :
1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 standar
deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata
orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang
lebih dari 1 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari
2,5 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10-25% di bawah rata-
rata (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 standar
deviasi di bawah nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau
kurang (T-score di bawah -2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5
standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini
atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di
bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).
1,3
Tabel 9. Klasifikasi diagnostik osteoporosis (WHO study group 1994)
Klasifikasi T-score
Normal -1 atau lebih besar
Low bone mass (osteopenia) Antara -1 dan -2,5
Osteoporosis -2,5 atau kurang (tanpa fraktur)
Osteoporosis berat -2,5 atau kurang dan fraktur fragilitas
Setelah menerima diagnosis osteoporosis atau massa tulang yang rendah, kita
harus memonitor massa tulang yang berkurang atau bertambah seiring dengan waktu.
Pengukuran massa tulang ini penting secara klinis untuk mendiagnosis dan
1
mengendalikan/pengobatan osteoporosis.
22
3.3 Diagnosis banding
Beberapa penyakit dapat menyebabkan terjadinya penurunan densitas massa
tulang dan patah tulang. Oleh karena itu, bila terdapat penderita dengan penurunan
densitas massa tulang dan atau patah tulang harus dicari penyakit yang mendasarinya.
Beberapa penyakit yang menyebabkan penurunan densitas massa tulang dapat
dijadikan diagnosis banding. Anamnesis dan pemeriksaan fisik berdasarkan gejala
klinik masih sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, termasuk
penyakit yang mendasari terjadinya osteoporosis (osteoporosis sekunder).
Pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding penyakit/kondisi penyebab sekunder osteoporosis. Adapun
beberapa penyakit atau kondisi kronis yang sering menyebabkan osteoporosis adalah
10,13
sebagai berikut :
1. Sindroma Cushing atau disebut dengan hiperkortisolism.
Sindroma cushing adalah suatu keadaan gangguan hormonal yang disebabkan
kadar hormon kortisol yang tinggi dalam jaringan tubuh untuk waktu yang lama.
Dari anamnesis, pada sindroma cushing didapatkan riwayat pemakaian
glukokortikoid atau steroid dalam jangka waktu lama, seperti pada penderita asma,
reumatoid arthitis, lupus dan penyakit inflamasi lain. Dari pemeriksaan didapatkan
obesitas, muka bulat (moons face), peningkatan lemak pada lingkar leher, striae
pink pada abdomen, paha, panggul, lengan dan dada. Pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan kadar free cortisol urine 24 jam
(sindroma cushing bila kadar kortisol > 50-100 g/hari), pengukuran midnight
plasma cortisol dan late-night salivary cortisol (sindroma cushing bila kadar
kortisol plasma > 50 nmol/L), dexamethasone suppression test, dan pemeriksaan
15
serum ACTH.
2. Multiple myeloma.
Multiple myeloma (MM) ditandai oleh lesi litik tulang, penimbunan sel plasma
dalam sumsum tulang, dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urine.
MM harus difikirkan pada pasien diatas 40 tahun dengan anemia yang sulit
diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya < 2%
pasien berusia < 40 tahun). Pasien MM biasanya datang dengan gejala anemia,
nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi perdarahan, dan atau neuropati perifer.
Kelainan ini akibat dari tekanan massa tumor atau sekresi protein atau sitokin oleh
23
sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor. Diagnostik MM ditegakkan mulai dari
trias klasik (sel plasma, biasanya > 10% + M protein + lesi litik). Pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis MM adalah albumin-globulin,
elektroforesis protein serum, protein Bence-Jones urine, hiperkalsemia,
peningkatan ureum-kreatinin dan sel plasma abnormal tampak dalam film darah
12
pada 15% pasien.
3. Hiperparatiroid
primer adalah karena fungsi yang berlebihan dari kelenjar paratiroid, biasanya
hormon paratiroid tinggi, serum kalsium tinggi, dan serum ion kalsium tinggi.
tulang. Kelainan pada ginjal terutama nefrolitiasis yang rekuren, obstruksi traktus
serum hormon paratiroid, serum kalsium tinggi, fosfat rendah, fosfatase alkali
tinggi, kalsium dan fosfat urin tinggi, 25 hidroksivitamin D rendah, test fungsi
ginjal. Pada rontgen : tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi, cystic-cystic dalam
tulang.
24
BAB IV
PENATALAKSANAAN OSTEOPOROSIS
Dewasa ini telah ada upaya untuk memperluas pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan osteoporosis dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, mencegah
terjadinya komplikasi serta menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat
osteoporosis. Penatalaksanaan osteoporosis meliputi tindakan pencegahan dan
pengobatan yang dilakukan secara dini, dengan demikian akan mencegah komplikasi
fraktur fragilitas tulang. Tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan T-score dapat
1,7
dilihat pada tabel di bawah ini.
1
Tabel 10. Tindakan berdasarkan hasil T-score
Risiko
T-score Tindakan
fraktur
+1 Sangat - Tidak ada terapi
rendah - Ulang densitometri bila ada indikasi.
0 s/d +1 Rendah - Tidak ada terapi
- Ulang densitometri setelah 5 tahun
-1 s/d 0 Rendah - Tidak ada terapi
- Ulang densitometri setelah 2 tahun
-1 s/d -2,5 Sedang - Tindakan pencegahan osteoporosis
- Ulang densitometri setelah 1 tahun
-1 s/d -2,5 Sedang - Tindakan pengobatan osteoporosis
dengan terapi steroid - Tindakan pencegahan dilanjutkan
selama 3 bulan - Ulang densitometri setelah 1 tahun
< -2,5 Tinggi - Tindakan pengobatan osteoporosis
tanpa fraktur - Tindakan pencegahan dilanjutkan
- Ulang densitometri dalam 1-2 tahun
< -2,5 Sangat - Tindakan pengobatan osteoporosis
dengan fraktur tinggi - Tindakan pencegahan dilanjutkan
- Tindakan bedah atas indikasi
- Ulang densitometri dalam 6 bulan - 1 tahun
25
7
penilaian dari efikasi anti-fraktur.
Penggunaan glukokortikoid jangka lama ( 3 bulan) merupakan salah satu
faktor presdiposisi terjadinya osteoporosis yang harus diwaspadai dan ditatalaksana
dengan baik dan tepat. Algoritma managemen osteoporosis akibat glukokortikoid
dapat dilihat di bawah ini (gambar 9).
26
men and
women
M Commitment
a Fragility fracture
or exposure to
oral
n Defined as a fracture glucocorticoid
a occurring on for 3 months
minimal trauma
g after age 40 years
e and includes forarm,
Age < 65 years
spin, hip, ribs and
m pelvis.
e
1) concider
n treatment No previous
t depending
on age and
fragility fracture
fracture
probability
o
f 2) treaments listed in
alphabetical order.
Vitamin D and
g calcium are
generally regarded
l as adjuncts to
T score above 0
u treatment. HRT:
oestrogen in
c postmenopausal
o women and
testosteron in man.
c (L) indicates that Reassure
the agent is
o licensed for
General measures
r glucocorticoid-
induced
t osteporosis
i Repeat BMD not
c indicated unless
DEVELOPED BY
very high dose of
o The Bone and Tooth
Society glucocorticoids
i The National
required
Osteoporosis Society
d Royal College of
- Physicians
o
s
t
e
o
p
o
r
o
s
i
s
i
n
27
Sumber : Compston JE et al. Royal College of Physicians Guidelines, London 2002.
Gambar 9. Algoritma managemen osteoporosis akibat glukokortikoid pada pria dan
wanita.
A. Non Farmakologi
1. Edukasi dan Pencegahan
Osteoporosis dapat menyerang siapa saja, termasuk individu-individu yang
yang sangat hati-hati dengan gaya hidupnya, mereka makan dengan benar,
berolahraga secara teratur, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol atau hanya
dengan jumlah yang sedikit dan tidak memiliki penyakit, kondisi atau menggunakan
obat yang mungkin merupakan predisposisi osteoporosis. Pasien osteoporosis yang
gaya hidup mereka tidak menentu harus konseling tentang semua kegiatan mereka
dalam kehidupan sehari-hari agar memungkinkan untuk memperlambat
7
perkembangan keropos tulang.
Pasien dengan patah tulang belakang sangat membutuhkan petunjuk khusus
mengenai perubahan dalam aktivitas hidup sehari-hari, seperti belajar membungkuk,
mengangkat dan sebagainya sehingga tidak menambah stres dan ketegangan pada
tulang belakang. Saran serupa juga harus diberikan kepada mereka dengan massa
7
tulang yang sangat rendah tetapi belum retak.
3
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan pencegahan, sebagai berikut :
1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem neuromuskular serta
kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat
dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit per hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari
maupun suplementasi.
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron pada laki-laki
dan menopause awal pada perempuan.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis.
7. Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang sudah pasti
osteoporosis. Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh,
28
seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti hipertensi yang dapat
menimbulkan hipotensi orthostatik.
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang kurang terpajan sinar
matahari atau penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE (Systemic Lupus
Erythematosus). Bila di duga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D
serum harus diperiksa. Bila kadar 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi
vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada
penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH)2D harus dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan
natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus
ginjal. Bila ekskresi kalsium > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah
(HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka
panjang, usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin.
11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting
mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan
penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamasi yang aktif.
29
tertentu yang dapat meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari. Jenis olahraga
yang baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihan kekuatan otot yang
disesuaikan dengan usia dan keadaan individu masing-masing. Dosis olahraga harus
tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat, sedangkan terlalu berat pada wanita
dapat menimbulkan gangguan pola haid yang justru akan menurunkan densitas
tulang. Jadi olahraga sebagai bagian dari pola hidup sehat dapat menghambat
kehilangan mineral tulang, membantu mempertahankan postur tubuh dan
3
meningkatkan kebugaran secara umum untuk mengurangi risiko jatuh.
B. Farmakologi
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja
osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat yang
beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat anti resorpsi
misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak
mempunyai efek anti resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk
optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel
3
osteoblas.
1. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang
diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi
tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan
menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
3,10
lisosomal di bawah osteoklas.
Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi di usus halus dan
absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis yang diminum). Absorpsi juga
akan terhambat bila diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya,
dan berbagai minuman lain kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari dalam
keadaan perut kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun
minimal selama 30 menit, dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak
boleh berbaring. Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada
30
permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi
terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada di dalam tulang selama berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak melekat
pada tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam tubuh dan akan diekresikan
dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada
penderita gagal ginjal. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis,
osteonekrosis jaw, hipokalsemia dan atrial fibrilasi. Oleh sebab itu, penderita yang
memperoleh bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya.
Tabel 11. Generasi Bisfosfonat 3
31
terapi osteoporosis dapat diberikan 2,5 mg/hari atau 150 mg sebulan sekali.
Ibandronat juga dapat diberikan intravena dengan dosis 3 mg, 3 bulan sekali.
Kontra indikasi pemberian ibandronat adalah hipokalsemia.
4. Zoledronat, bisfosfonst terkuat yang ada saat ini. Sediaan yang ada adalah sediaan
intravena yang harus diberikan per drip selama 15 menit untuk dosis 5 mg. Untuk
pengobatan osteoporosis cukup diberikan 5 mg setahun sekali, sedangkan untuk
pengobatan hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan 4 mg per drip setiap
3-4 minggu sekali tergantung responnya. Kontra indikasi pemberian zoledronat
adalah hipokalsemia, ibu hamil dan menyusui.
2. Raloksifen
Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai efek seperti
estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan terhadap
endometrium dan payudara. Golongan Raloksifen yang disebut juga selective
estrogen receptor modulators (SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen-
3. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas sel
osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi estrogen
dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon
(TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran
cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan,
peningkatan berat badan, tromboemboli, dan pada pemakaian jangka panjang dapat
meningkatkan risiko kanker payudara. Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen
32
adalah : kanker payudara, kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan
uterus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboemboli, karsinoma ovarium, dan
penyakit hati yang berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya direkomendasikan
untuk gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya dan waktu sesingkatnya. TSH
3,4,28
tidak direkomendasikan lagi sebagai terapi pilihan pertama untuk osteoporosis.
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorpsi,
adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17-estradiol oral 1-2 mg/hari, 17-
estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan.
Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan risiko kanker
endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH, kecuali
4
yang telah menjalani histerektomi.
Pada wanita pasca menopause, dosis estrogen terkonyugasi 0,3125 1,25
mg/hari, dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5 10 mg/hari, setiap hari
secara kontinyu. Pada wanita pra menopause, estrogen terkonyugasi diberikan pada
hari 1 s/d 25 siklus haid sedangkan medroksiprogesteron asetat diberikan hari 15 25
siklus haid, kemudian kedua obat tersebut dihentikan pada hari 26 s/d 28 siklus haid,
sehingga penderita mengalami haid. Hari 29 dianggap sebagai 1 siklus berikutnya dan
3
pemberian obat dapat diulang pemberiannya seperti semula.
4. Kalsitonin
Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan
penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi tulang. Dosis yang dianjurkan untuk
pemberian intra nasal adalah 200 IU pre hari. Kadar puncak dalam plasma akan
tercapai dalam waktu 20-30 menit dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal.
Efek samping kalsitonin berupa kemerahan dan nyeri pada tempat injeksi serta
5. Strontium ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu
meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis strontium
ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan diberikan pada malam hari
sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Efek samping
strontium ranelat adalah dispepsia dan diare. Strontium ranelate harus diberikan
33
3
secara hati-hati pada pasien dengan riwayat tromboemboli vena.
6. Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari
90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada di bawah kulit oleh paparan
sinar ultraviolet. Vitamin D dapat berupa alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan
calcitriol (1,25 (OH)2 Vitamin D3), kedua dapat digunakan untuk pengobatan
8
osteoporosis. Kadar vitamin D dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25
OH vitamin D3. Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500
mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur non spinal
sampai 50% (Dawson-Hughes, 1997). Pada pemberian vitamin D dosis tinggi (50.000
3
IU) dapat berkembang menjadi hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.
7. Kalsitriol
Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat hipokalsemia
yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga
diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat
hipokalsemia maupun gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan
3,12
osteoporosis adalah 0,25g, 1-2 kali per hari.
8. Kalsium
Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur
pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah kalsium karbonat,
karena mengandung kalsium elemental 400 mg/gram, disusul kalsium fosfat yang
mengandung kalsium elemental 230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung
kalsium elemental 211 mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental
130 mg/gram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemental 90
mg/gram. Pemberian kalsium dapat meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu
3,9
ginjal.
9
Tabel 12. Kebutuhan asupan kalsium.
34
Umur Jumlah Calsium*
9 18 tahun
1.300 mg
Wanita menyusui
9 50 tahun 1.000 mg
50 tahun 1.200 mg
*calsium dapat dinaikkan sampai 2.500 mg per hari
9. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik. Ada banyak
senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavin dan lignans. Isoflavon
yang berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan glikosidanya yang banyak
ditemukan pada golongan kacang-kacangan (Leguminosae) seperti soy bean dan red
clover. Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun semanggi. Sampai
saat ini belum ada uji klinis bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati
22
osteoporosis (Alekel, 2000; Potter 1998). Dosis efektif isoflavon 20-60 mg/hari,
dengan lama terapi 6 sampai 24 bulan. Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan
3
pemberiannya bersama kalsium dan vitamin D.
11. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik. Ada banyak
senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavin dan lignans. Isoflavon
yang berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan glikosidanya yang banyak
ditemukan pada golongan kacang-kacangan (Leguminosae) seperti soy bean dan red
clover. Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun semanggi. Sampai
saat ini belum ada uji klinis bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati
22
osteoporosis (Alekel, 2000; Potter 1998). Dosis efektif isoflavon 20-60 mg/hari,
dengan lama terapi 6 sampai 24 bulan. Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan
3
pemberiannya bersama kalsium dan vitamin D.
36
reaksi tersebut digunakanlah monoklonal antibodi (MAbs) dari RANK-L yang
dikenal dengan : denosumab. Besarnya dosis yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis pada wanita pascamenopause adalah 60 mg subkutan setiap 6 bulan
sekali. Kontra indikasi denosumab adalah pada wanita dengan hipokalemia atau
hipersensitif terhadap formula denosumab. Obat ini tidak direkomendasikan untuk
wanita hamil dan anak usia 18 tahun. Efek samping, termasuk infeksi kulit,
3,28
sellulitis dan hipokalsemia.
Table 13. Efikasi anti fraktur dari beberapa agen terapeutik.30
Efikasi anti fraktur
Peningkatan BMD dalam persen
No. dalam persen
Agen terapeutik Dosis per hari
Non Total Non
Vertebra Vertebra
vertebra tubuh vertebra
1. Latihan fisik > 5 jam/mgg 2,3 (P) 5,3 (P) 1-3 TS TS
1-3 (D)
2. Calsium dan 1-1,5 g 1-5 1-5 1-5 TS 30
vitamin D 800 IU
3. Estrogen (TSH) 0,625 mg 2-4 - - 75 50
4. Kalsitonin 100-200 IU 1,2 - - 36 TS
5. Kalsitriol 0,25 g 1-2 - - TS TS
6. Etidronat 400 mg 4,8 2 - 30-40 30-40
7. Alendronat 10mg/hari 10 5 - 50-59 27-63
70mg/minggu
8. Residronat 2,5 mg /5 mg 10 5 - 60 30
9. Raloksifen 60 mg 2,4 2,4 2 50 40
10. PTH 20-40g 13 3 8 65-69 54
11. Flouride 50-75mg 10,8 - 8 TE TE
P : pre pubertas atau pubertas, D : Dewasa, TS : tidak signifikan, TE : Tidak efektif.
3 Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama
fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah
3
penderita osteoporosis adalah
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan bedah,
sebaiknya segera dlakukan. Sehingga dapat menghindari imobilisasi lama dan
komplikasi fraktur yang lebih lanjut.
2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga
mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin.
37
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan pada penderita yang menjalani tindakan
bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna.
4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa
osteoporosis dengan bisfosfonst atau raloksifen atau terapi pengganti hormonal,
maupun kalsitonin tetap harus diberikan.
BAB V
38
RINGKASAN
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, Edisi
IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006; 1259-73.
6. Manolagas SC, Kousteni S, Jilka RL. Sex steroids and bone. The Endocrine
Society 2002.
9. Ackerman KE, and Meryl S. LeBoff MS. Chapter 13: Osteoporosis: Prevention
and treatment. In: Arnold A. editor. Disease of bone and mineral metabolisme.
Updated November 2008. Available from: http://www.endotext.org/parathyroid/
parathyroid13/parathyroidframe13.htm
10. Stevenson JC and Marsh MS. An atlas of osteoporosis. Third Edition. Informa
UK Ltd, 2007.
40
11. Roland Baron R. Chapter 1: Anatomy and ultrasturcture of bone histologenesis,
growth and remodelling. In: Arnold A. editor. Disease of bone and mineral
metabolisme. Updated May 2008. Available from: http://www.endotext.org/
parathyroid/parathyroid1/parathyroidframe1.htm
14. Waters KM, Rickard DJ, Gebhart JB, et al. Potential roles of estrogen reseptor-
and - in the regulation of human oteoblast functions and gene expression. The
menopause at the millenium. The Proceding of the 9th International Menopause
Society World Congress on Menopause. 1999 October 17-21; Yokohama, Japan.
15. Monroe DG, Secreto FJ, Spelsberg TC. Overview of estrogen action in
osteoblasts: Role of the ligand the receptor and the co-regulators. J Musculoskel
Neuron Interact 2003; 3(4):357-62.
41
42