Daging merupakan seluruh jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dikonsumsi serta tidak menimbulkan ganguan
kesehatan bagi yang memakannya. Komposisi daging terdiri dari air sebesar 75%, protein
sebesar 19%, dan substansi non protein yang larut sebesar 3,5%, dan lemak sebesar 2,5%.
Kandungan gizi yang baik di dalam daging ini sangat mempengaruhi perkembangan
mikroorganisme (Anggraeni, 2012).
Daging sapi adalah salah satu bahan pangan hewani yang dibutuhkan bagi manusia
karena kaya akan protein dan asam amino lengkap yang diperlukan oleh tubuh. Kandungan
mikroba pada penyedian daging sapi tidak melebihi batas maksimum cemaran mikroba.
Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah Esherichia coli, Salmonella
sp, dan Staphylococcus sp (Hernando, dkk. 2015) Menurut Anggraeni (2012) kontaminasi
dari bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau pada daging. Salah satu kegiatan
bidang kesehatan masyarakat veteriner adalah pengambilan sampel daging sapi untuk diuji
TPC (Total Plate Count). Uji TPC ini digunakan untuk menghitung total kandungan mikroba
yang tedapat pada sampel daging.
Uji TPC merupakan cara pengukuran yang paling akurat untuk menghitung jumlah
mikroorganisme yang hidup pada media. Metode TPC merupakan metode yang digunakan
dalam menghitung jumlah bakteri pada asampel yang akan diuji. Jumlah mikroorganisme
pada sampel yang diperoleh dengan metode ini berupa gambaran populasi. Pada cawan petri
yang memiliki ukuran standar mengandung 25 hingga 250 unit koloni (Anggraeni, 2012).
1. Sampel yang dijui dipotong kecil-kecil secara aseptis menggunakan gunting dan
pinset.
2. Daging sapi ditimbang sebanyak 25 gram untuk contoh padat dari semi padat
sehingga untuk cair sebanyak 25 ml sampel, kemudian dimasukkan ke dalam 225 ml
larutan BPW steril, selanjutnya dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit,
ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-2.
Gambar 1.1 Pengujian TPC pada sampel daging sapi
Hasil dari uji TPC menunjukkan bahwa daging masih layak untuk dikonsumsi
masyarakat, karena jumlah bakteri pada sampel daging menunjukkan dibawah
1x108CFU/gram.
Daftar Pustaka
Anggraeni, M. D. 2012. Uji Disinfeksi Bakteri Escherichia coli Menggunakan Kavitas Water
Jet. [Skripsi] Fakultas Teknik, Univesitas Indonesia. Jakarta.
Hernando, D., D. Septinova., K. Adhianto. 2015. Kadar Air dan Total Mikroba pada Daging
Sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Peternakan terpadu Vol. 3 (1) : 61-67, Feb 2015
Kasus BEF
Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika Tengah. Selain
di Afrika, penyakit ini juga ditemukan di Asia dan Australia. Penyakit dilaporkan di Australia
tahun 1936. Pada tahun 1920 di Sumatera pernah dilaporkan kejadian penyakit ini. Pada
tahun 1979 penyakit yang sama muncul kembali di Kabupaten Tuban. Penyakit BEF dapat
ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit bersifat sporadis di beberapa daerah
di Indonesia, seperti Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan (Kementrian Pertanian, 2014).
Bovine Ephemeral Fever merupakan penyakit viral pada sapi yang ditularkan oleh
serangga (arthropod borne viral disease), yang ditandai dengan demam mendadak dan kaku
pada persendian. Penyakit dapat sembuh kembali beberapa hari kemudian. Penyakit ini tidak
memiliki arti penting dari segi mortalitas, tetapi dari segi produksi dan tenaga kerja cukup
berarti karena hewan yang sedang laktasi akan turun produksi susunya dan pada hewan
pekerja menurunkan kemampuan bekerja sekitar 35 hari (Kementrian Pertanian, 2014).
Penyebab BEF merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA) yang memiliki amplop dan
berbentuk peluru dengan ukuran 80 x 120 x 140 nm yang mempunyai tonjolan pada
amplopnya. Virus BEF diklasifikasikan sebagai Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan
masih satu kelompok dengan virus rabies dan vesicular stomatitis. Strain yang berbeda dalam
hal virulensi namun memiliki kesamaan secara antigenik (Kementrian Pertanian, 2014).
Virus BEF peka terhadap pelarut lemak, seperti ethyl ether 20%, kloroform 5% dan
deoxycolate 0,1%. Virus juga dapat diinaktifkan dengan penambahan defco trypsin 1:250
pada konsentrasi 1 % dan 0,5%. Virus BEF tahan selama 8 hari jika berada dalam darah
bersitrat yang disimpan dalam suhu 2 - 4 C. Pada suhu -70 C atau beku kering pada 4C
dapat bertahan dalam beberapa tahun (Kementrian Pertanian, 2014).
Penyakit BEF bersifat sporadik dan memiliki masa inkubasi penyakit berkisar antara
2-10 hari dan kebanyakan penderita menunjukkan gejala dalam waktu 2-4 hari. Angka
morbiditas biasanya tinggi, tetapi angka mortalitas rendah yaitu 2-5%. Gejala klinis
bervariasi dan bahkan tidak semua sapi atau kerbau yang terinfeksi menunjukkan tanda
klinik. Pada daerah endemik BEF dapat menginfeksi sapi-sapi muda setelah antibodi
maternal habis atau hilang, yaitu pada umur 3-6 bulan. Pada daerah non endemik, sapi semua
umur sangat rentan terhadap BEF (Kementrian Pertanian, 2014).
Nyamuk dari golongan Culicoides sp., Aedes sp. dan Culex sp. dapat bertindak
sebagai vektor penyakit. Kejadian penyakit biasanya pada musim hujan, dimana banyak
ditemukan serangga. Penyakit dipindahkan dari sapi sakit ke sapi sehat melalui gigitan
serangga. Penularan secara langsung belum pernah dilaporkan. Secara buatan penyakit dapat
ditularkan dengan menyuntikkan 0,002ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala
demam, secara intravena (Kementrian Pertanian, 2014).
Vektor BEF menularkan virus BEF melalui gigitan secara intra vena dari sapi sakit ke
sapi sehat. Virus BEF tersebut kemudian berkembang didalam sel retikulo endothelial paru-
paru, limpa dan kelenjar limfe sapi. Virus BEF bereplikasi didalam sel endotelial dan
makrofag alveolar. Sel yang rusak akan memproduksi interferon dalam jumlah yang banyak.
Eksudat inflamatori akan menyebabkan penyumbatan pada bronkiole. Penyumbatan
bronkiole membuat rupturnya alveoli dan bronkiole sehingga terjadi peningkatan emfisema
interstitial dan subkutan (Maxie dan Robinson, 2007). Menurut Uren et al. (1992)
perkembangbiakan virus di dalam sel yang memacu faktor-faktor inflamasi menyebabkan
terjadinya demam serta nyeri pada persendian dan otot.
Gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak yaitu berkisar antara
40,5-41C, yang diiringi dengan hilangnya nafsu makan, peningkatan pernafasan dan
kesulitan bernafas (dyspneu), diikuti dengan keluarnya leleran hidung dan mata (lakrimasi)
yang bersifat serous (gambar). Jalan kaku dan pincang karena rasa sakit, kemudian dapat
terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot gemetar serta lemah. Kekakuan mulai dari
satu kaki kekaki yang lain, sehingga hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher
dan punggung mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam. Kadang-
kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya keguguran. Gambaran darah dalam fase
demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofil dan penurunan limfosit. Biasanya
dijumpai lekositosis pada awal penyakit, kemudian diikuti dengan leukopenia (Kementrian
Pertanian, 2014).
Gambar Gejala klinis pada sapi penderita BEF (Bovine Ephemeral Fever)
(Sumber: Kementrian Pertanian, 2014)
Pada persendian sapi yang diserang BEF banyak ditemukan penimbunan cairan keruh
kekuningan yang segera membeku apabila kapsul persendian dibuka. Jumlah cairan yang
berlebih dalam rongga badan dan kantong perikard, bendungan selaput lendir abomasum,
nekrosis fokal pada otot kerangka dan kulit. Seringkali ditemukan pembengkakan
limfoglandula, emfisema pulmonum dan bronkhitis (Kementrian Pertanian, 2014).
Menurut Kementerian Pertanian (2014) diagnosa banding dari penyakit ini adalah
infeksi Septicaemia Epizootica (SE), Surra, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), virus
Parainfluenza-3, virus repiratory syncytial dan bovine adenovirus.
Commitee for Veterinary Medicinal Product. 2003. Metamizole Summery Report. EMEA.
878 (3) : 1-10.
Fatimah, P. S. 2011. Penentuan Kadar Difenhidramin HCl dalam Obat Batuk Sirup dengan
Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kementrian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Cetakan ke-2. Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Maxie, M. G., dan W. F. Robinson. 2007. Cardiovascular system. In: Maxie ME, ed. Jubb,
Kennedy, and Palmers Pathology of Domestic Animals. 5th ed., vol. 3. Elsevier.
Philadelphia.
Plumb, D. C. 2008. Plumbs Veterinary Drug Handbook. Sixth Edition. Blackwell Publishing
Professional. Iowa.
Radostits, O. M. 2000. Veterinary Medicine. A Text book of The Disease of Cattle, Sheep,
Pig, Goat and Horses. 9th ed. W.B.Saunders. Philadelphia
Roberts II, L. J., dan J. D. Marrow. 2001. Analgesic-Antipyretic and Antiinflamatory Agents
and Drugs Employed in The Treatment of Gout. In : Hardman, J. G. dan Limbird L.
E. eds. McGraw-Hill. New York.
Rusdiana. 2004. Vitamin. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Soestisna, A. 2011. Indeks Obat Hewan Indonesia. Gallus Indonesia Utama (GITA Pustaka).
Jakarta.
Uren, M. F., T. D. St George, dan G. M. Murphy. 1992. Studies on the Pathogenesis of
Bovine Ephemeral Fever in Experimental Cattle. III. Virological and Biochemical
Data. Vet Microbiol, 30(4) : 297-307.