Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri gram positif yang tumbuh
bergerombol seperti buah anggur dengan ukuran diameter sekitar 0,5-1,5 m
berbentuk bulat (cocci) dan tidak bergerak (non motil). Staphylococcus aureus
memiliki warna keemasan saat dibiakkan dalam agar solid. Staphylococcus
aureus merupakan salah satu kuman flora normal yang ditemukan pada kulit,
hidung dan saluran pencernaan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan diudara
dan lingkungan sekitar Staphylococcus aureus yang patogen bersifat invasif,
menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol
(Warsa, 1994 )
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab paling umum dari
infeksi setelah terjadinya cedera atau pembedahan pasien di rumah sakit. Dimana
sekitar 500.000 pasien terinfeksi oleh bakteri ini setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Staphylococcus aureus atau S. Aureus di temukan di Aberdeen, skotlandia
pada tahun 1880 oleh ahli bedah Sir Alexander Ogston dalam nanah dari abses
bedah.
Infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus ditandai dengan kerusakan
jaringan yang disertai dengan abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang
disebabkan oleh S. Aureus adalah bisul, jerawat, impetigo dan infeksi luka.
Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis,
ISK, osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus aureus juga merupakan
penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok
toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994)
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri
Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis
metisilin. MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan
oleh paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah
dari satu pasien ke pasien lainnya melalui alat medis yang tidak diperhatikan
sterilitasnya, transmisinya dapat pula melalui udara maupun fasilitas ruangan,
seperti selimut dan alas tempat tidur (Narkusuma, 2009).
MRSA telah menjadi suatu masalah yang besar bagi para klinisi di rumah
sakit selama bertahun-tahun, sebagai penyebab infeksi nosokomial yang angka
kejadiannya meningkat 10-29% selama 30 tahun terakir ini, dimana banyak kasus
infeksi MRSA yang dilaporkan diwilayah Amerika, Eropa, Afrika, Asia Tengah,
Malaysia, Singapura dan Australia. Insiden tesebut ditunjang dengan
ditemukannya isolat MRSA saat pemeriksaan laboratorium. Penelitian multisenter
menunjukkan angka tertinggi di jepang yaitu 57% pada tahun 1989 dan korea
selatan 50% pada tahun 1994.
Faktor-faktor resiko terjadinya MRSA antara lain lingkungan, populasi,
kontak, olahraga, kebersihan individu, riwayat perawatan, riwayat operasi, riwayat
infeksi dan penyakit, riwayat pengobatan, serta kondisi medis (Biantoro, 2008).
MRSA dikalisfikasikan menjadi dua jenis yaitu Helathcare Associated
Methicillin-Resistent Staphylococcus Aureus (HA-MRSA) dan Community
Aquired Methicillin-Resistent Staphylococcus Aureus (CAMRSA).
Pada tahun 2005 berdasarkan pada Pusat Kontrol Penyakit dan Pencegahan
Penyakit sebanyak 59,9% penyebab infeksi yang terkait dengan bakteri
Staphylococcus aureus di pusat-pusat kesehatan disebabkan oleh MRSA. Data
dari Pusat Program Survailans Antimikroba juga menunjukkan terjadinya
peningkatan MRSA diantara Staphylococcus Aureusyang diisolasikan dari pasien
Intensive Care Unit (ICU) di seluruh dunia (Narkusuma, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Staphylococcus Aureus
Sistematika bakteri Sthapylococcus aureus (Breed, et al, 1957):
Divis (Dvisio) : Eukariota
Kelas (Classis) : Schizomycetes
Bangsa (ordo) : Eubacteriales
Suku (Familia) : Micrococcaceae
Marga (Genus) : Staphylococcus
Jenis (Spesies) : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat
dengan diameter 0,7-1,2m, tersusun berkelompok tidak teratur seperti buah
anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini
tumbuh pada suhu optimum 370C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada
suhu kamar (20-250C). Bila dibiakkan pada media agar padat berwarna abu-abu
sampai dengan kunimh keemasan, berbentuk bundar, halus menonjol, dan
berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. Aureus yang mempunyai
kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri
(Jawetz et al., 1995; Novick et al., 2000)

Gambar 1. Gambar mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan Gram, terlihat


bakteri berbentuk bulat/coccus (sumber: Yuwono, 2010)

2.2 Patogenesis
Staphylococcus aureus merupakan flora normal yang banyak ditemukan di
saluran cerna, pernafasan, dan kulit manusia. Bakteri ini juga banyak ditemukan
diudara dan lingkungan sekitar. S. Aureus yang patogen bersifat invasif,
menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol
(Warsa, 1994).
Infeksi Staphylococcus aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang
disertai abses bernanah. Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok
merupakan infeksi kulit didaerah folikel rambut, kelenjer sabasea, atau kelenjer
keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi
fibrin disekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang
membatasi proses nekrosis. Infeksi ini dapat menyebar kebagian tubuh lain
melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan
pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan
terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis dan infeksi
paru-paru (Warsa, 1994; Jawtz et al., 1995).
Kontaminasi langsung S. Aureus pada luka terbuka (luka pasca bedah) atau
infeksi setelah trauma dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan
penyebab infeksi nosokomial (Jawetz et al., 1995).
Entero toksin yag dihasilkan oleh S. Aureus dpat menyebabkan kerucanan
makanan. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung
pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Biasanya jumlah
toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0g/gr makanan. Gejala
keracunan ditandai dengan rasa mual, muntah-muntah dan diare yang hebat tanpa
disertai dengan demam (Ryan et al., 1994 ; Jawetz et al., 1995).
2.3 Faktor Virulensi S. Aureus
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannnya tersebar
luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstra seluler.
Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein,
termasuk enzim dan toksin, seperti :
Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus
Staphilococcus dengan Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al.,
1995)
Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena
adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktifitas
penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel
bakteri yang dapat menghambat terjadinya fagositosis (Warsa, 1994)
Hemolisin
Hemosilin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis
disekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. Aureus terdiri dari alfa
hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. lfa hemolisin adalah
toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis
disekitar koloni S. Aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat
menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin
adalah toksin yang terutama dihasilkan oleh staphilococcus yang diisolasi
dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi.
Sedangkan dekta hemolisisn adalah toksin yang dapat melisiskan seldarah
merah manusia dan kelinci, akan tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel
darah merah domba (Warsa, 1994)
Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena
staphilococcus patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia
dan dapat difagositosis (Jawetz., 1995)
Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan
intraepitelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif
merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syindrome, yang
ditandai dengan melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
Toksin Syindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar S. Aureus yang diisolasi dari penderita syok toksik
menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini
menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multi sistem organ
yang ada dalam tubuh (Ryan et al., 1994; Jawetz et al., 1995)
Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang dihasilkan oleh S. Aureus tahan terhadap
panas dan tahan terhadap suasana basa didalam usus. Enzim ini merupakan
penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada makanan yang
mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995)
2.4 Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi S. Aureus dapat dilakukan melalui pemberian
antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sngat dibutuhkan untuk menangani
furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan
pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin, metisilin,
safalosporin, eritromisin, linkomisin dan sebagainya. Sebagian kuman
staphylococcus sudah resisten terhadap beberapa antibiotik tersebut sehingga
perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti kloramfenikol, amoksilin,
dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawets, 1995)
2.5 Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bentuk dari
infeksi bakteri yang tahan terhadap berbagai antibiotik, termasuk methicillin,
amoxicillin, penicillin, dan oxacillin, sehingga menyulitkan dalam pengobatannya
Pada awalnya MRSA hanya resisten terhadap antimikroba bercincin -laktam,
namun dalam perkembangannya muncul kekebalan juga terhadap golongan
quinolone, aminoglikosida, tetracycline, bahkan vancomycin
MRSA pertama kali dicatat pada tahun 1961, sekitar dua tahun setelah
antibiotik methicillin awalnya digunakan untuk mengobati S. aureus dan bakteri
menular lainnya. Resistensi terhadap methicillin adalah karena protein penisilin-
mengikat disandikan oleh unsur genetik bergerak disebut gen resisten methicillin
(mecA).
MRSA mengalami resistensi karena adanya perubahan genetik yang
disebabkan paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. MRSA yang
sesungguhnya (true MRSA) dapat didiagnosis dengan pemeriksaan Polymerase
Chain Reaction (PCR) atau kultur dengan CHROM agar MRSA
Meskipun sebagian besar infeksi MRSA tidak serius, tetapi beberapa dapat
mengancam jiwa. Dan karena sulitnya mengobati infeksi MRSA dikarenakan
resistensi terhadap beberapa antibiotik, MRSA kadang disebut sebagai super
bug
MRSA adalah Staphylococcus aureus (S. aureus) bakteri methicillin-
resistant. Organisme ini dikenal untuk menyebabkan infeksi kulit di samping
berbagai jenis infeksi. Ada sebutan lainnya dalam literatur ilmiah untuk bakteri ini
sesuai dengan dimana bakteri diperoleh oleh pasien, seperti komunitas-MRSA
(juga disebut CA-MRSA atau CMRSA), didapat di rumah sakit atau layanan
kesehatan MRSA (juga disebut HA-MRSA atau HMRSA), atau epidemi MRSA
(EMRSA).
HA-MRSA disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemakaian antibiotik
yang tidak rasional (dari segi ketidak sesuaian, indikasi, dosis tinggi maupun
durasinya yang lama), tranmisi penyakit dan tindakan invasif (seperti pemasangan
infus, selang nasogastrik, CVP, dll) tindakan invasif akan lebih memberikan efek
ke arah bakterimia, bukan infeksi luka pasca operasi.
CA-MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat inap rumah sakit
maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan tempat yang
penduduknya padat. Abses, luka bakar ataupun luka gigitan serangga dapat
dijadikan tempat berkembangnya CA-MRSA. Sekitar 75% infeksinya terjadi di
kulit dan jaringan lunak.
Toksin yang dihasilkan oleh CA-MRSA ialah PVL (Panton-Valentine
Leukocidin) yang merupakan salah satu dari golongan -pore forming toxin.
Toksin ini dapat menyebabkan destruksi leukosit dan necrotizing pneumonia.
Toksin lainnya adalah PSM (phenol-solublemodulin) yang berhubungan erat
dengan peningkatan virulensi kuman.
Data statistik menunjukkan bahwa sebanyak 19.000 orang per tahun
meninggal akibat MRSA di AS, data yang diberikan oleh CDC pada tahun 2010
menunjukkan jumlah ini telah menurun sekitar 28% dari tahun 2005 hingga 2008,
sebagian, karena praktek pencegahan di rumah sakit dan perawatan di rumah.
Dalam beberapa tahun terakhir, gen terus berkembang sehingga banyak
strain MRSA saat ini resisten terhadap beberapa antibiotik yang berbeda seperti
penisilin, oksasilin, dan amoksisilin (Amoxil, Dispermox, Trimox). HA-MRSA
sering juga tahan terhadap tetrasiklin (Sumycin), eritromisin (E-Mycin, Eryc, Ery-
Tab, PCE, Pediazole, Ilosone), dan klindamisin (Cleocin). Pada tahun 2009,
penelitian menunjukkan bahwa banyak gen resisten antibiotik dan racun yang
dibundel bersama-sama dan ditransfer ke bakteri lain, yang mempercepat
pengembangan strain beracun dan tahan dari MRSA. S. aureus kadang-kadang
disebut sebagai super karena kemampuannya untuk menjadi resisten terhadap
beberapa antibiotik.
2.6 Patofisiologi MRSA
Berdasarkan tempat terjadi infeksi, MRSA dibagi menjadi dua, yaitu health
care-associated MRSA (HA-MRSA) dan community-associated MRSA (CA-
MRSA). HA-MRSA adalah infeksi MRSA yang terjadi di fasilitas layanan
kesehatan seperti rumah sakit; biasanya berkaitan dengan prosedur invasif
(operasi).
CA-MRSA adalah infeksi MRSA yang terjadi di luar fasilitas layanan
kesehatan, terjadi pada orang-orang yang sehat. MRSA menyebar secara langsung
lewat kontak kulit dengan luka yang terinfeksi MRSA (skin-to-skin contact) atau
secara tidak langsung lewat peralatan (handuk, alat cukur, dll) yang sudah
terkontaminasi MRSA lalu dipakai lebih dari satu orang. Risikopenyebaran
MRSA lebih tinggi pada tempat-tempat padat seperti asrama, barak tentara,
tempat penitipan anak, pengungsian, dan lain-lain.
bakteri Staphylococcus aureus dan MRSA dapat berada di kulit tanpa
menyebabkan infeksi atau penyakit. Orang yang menjadi pembawa MRSA ini
tetap dalam keadaan sehat (disebut carrier) tetapi dapat menyebarkan MRSA ke
orang lain lewat kontak kulit misalnya saat bersalaman.Ketika kulit menjadi tidak
intak (misalnya pada luka bakar dan bekas operasi), MRSA dapat menerobos
pertahanan kulit lalu menyebabkan infeksi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Diskusi
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.undip.ac.id/28863/1/Dudy_Disyadi_Nurkusuma_Tesis.pdf
Biantoro, I. 2008. Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
(Tesis).Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 20 pp

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.
Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa : Nugroho
& R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.211,213,215.

Nurkusuma, D. 2009. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Metichillin-Resistant


Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca Operasi di
Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. (Tesis).
Universitas Diponegoro. Semarang. 28 pp

Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,
and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lang

Wahjono H. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian MRSA pada penderita


dengan bakterimia di ruang perawatan intensif. Studi kasus di RSUP Dr.
Kariadi. Suatu kajian operasional terpadu. Disertasi Program Pasca Sarjana
Universitas Padjajaran Bandung 2001

Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.


Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.

Yuwono. 2010. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA. J. of Kulit


Kelamin. 42:1 2837-2850

Anda mungkin juga menyukai