Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telinga merupakan suatu organ kompleks dengan fungsi ganda. Selain berperan
dalam proses pendengaran, telinga juga berfungsi dalam mengatur keseimbangan.
Fungsi ini dimungkinkan dengan adanya rangkaian anatomi kompleks yang
menyusun organ telinga. Fungsi pendengaran dan keseimbangan sangat penting
bagi seseorang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa fungsi
telinga yang baik seseorang akan memiliki kesulitan dalam perkembangan
normal, pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang
lain.1,2
Otitis media akut (OMA) merupakan peradangan pada telinga tengah yang
bersifat akut atau tiba-tiba. Telinga tengah adalah organ yang memiliki
penghalang yang biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada
nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran
bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang
dimiliki oleh tuba eustachius. OMA terjadi akibat tidak berfungsinya sistem
pelindung tersebut. Sumbatan dan peradangan pada tuba eustachius merupakan
faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak, semakin seringnya terserang
infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan terjadinya otitis media akut juga
semakin besar. Pada anak terjadinya OMA dipengaruhi karena tuba eustachiusnya
pendek, lebar dan letaknya lebih horizontal.2,4
Estimasi angka insiden OMA secara global diperkirakan 709 juta kasus
pertahun. Insiden OMA pada negara-negara Asia Tenggara ditemukan cukup
tinggi yaitu sekitar 8,15%. Kejadian terbanyak ditemukan pada bayi usia 6 18
bulan dan 4 5 tahun. Semakin bertambahnya usia, terjadi penurunan tingkat
insiden penyakit OMA, akan tetapi dapat meningkat pada usia tua. Angka
kejadian pada laki-laki biasanya lebih sering dibandingkan perempuan.3,4
Kejadian ini mencerminkan otitis media sebagai masalah kesehatan yang
perlu diperhatikan, terutama pada negara berkembang. Sangat minimnya
sosialisasi mengenai penyakit ini mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat

1
akan proses pencegahan, sehingga timbul persepsi dari masyarakat tentang OMA
ini hanyalah penyakit yang biasa padahal penyakit ini adalah salah satu awal
untuk timbulnya penyakit komplikasi lain yang cukup fatal, seperti otitis media
supuratif kronis yang akan bisa menjadikan meningitis hingga ensefalitis, abses
subperiosteal dan abses otak.4
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merasa perlu dilakukan
pembahasan lebih mendalam mengenai OMA. Diharapkan tulisan ini dapat
meningkatkan pengetahuan mengenai OMA, sehingga dapat membantu dalam
menegakan diagnosis dan melakukan penatalaksanaan penyakit OMA secara tepat
dan akurat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain
itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adesif.4,5
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah.
Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terlihat pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore. 4,5

2.2. Etiologi
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi
bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong
sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus
pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella
catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain
seperti Streptococcus pyogenes (grup A -hemolitik), Staphylococcus aureus, dan
organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif
banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah
sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada balita. Jenis mikroorganisme
yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-
anak.4,5

3
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri
atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus,
atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap
fungsi tuba Eustachius, mengganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi
bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya.4,5

2.3. Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas
kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran
pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, tuba Eustachius yang imatur dan lain-
lain.4,5
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah. Insiden terjadinya otitis media pada
anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras
Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status
sosio-ekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,
fasilitas higien yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan
terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat
membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang
mendapatkan asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok
menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding
dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-
anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat.
Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA

4
karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu. Otitis media merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau
virus. 4,5

2.4. Gejala Klinis


Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh
tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka
sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang. 4,5

2.5. Fisiologi dan Patogenesis


2.5.1. Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis
media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah
nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. 4,5
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru
terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat
mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi
muskulus tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan
tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius
mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret.
Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu
sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari
tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke

5
telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga
tengah ke nasofaring.4,5

2.5.2. Patogenesis OMA


Pathogenesis OMA pada sebagian besar dimulai oleh infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran
napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi
sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus
atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses
ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat
obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi
cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga
tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga
tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi
yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori
juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adesi bakteri, sehingga mengganggu
pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah
banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas
terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek
membran timpani akibat tekanannya yang meninggi. 4,5

2.6. Stadium OMA


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba
Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi. 4,5

6
2.6.1 Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga
tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan
posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema
yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain
retraksi, membran timpani kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat
dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini. 4,5

2.6.2 Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya
sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba
yang berkepanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin
masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum
timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari. 4,5

2.6.3 Stadium Supurasi


Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa
telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien
akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat

7
disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani
dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya
nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena
kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang
telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan
apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.4,5

2.6.4 Stadium Perforasi


Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga
luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini
sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi
kuman. Setelah nanah keluar, penderita berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh
menurun dan dapat tertidur nyenyak.4,5
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah
tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu
setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media
supuratif kronik.4,5

2.6.5 Stadium Resolusi


Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya
dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur
normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen
akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini
berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya
tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal
terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan

8
stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. 4,5
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani
tanpa mengalami perforasi membran timpani. 4,5

2.7. Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu4,5

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.


2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di
belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau
eritema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal. 4,5

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori,
yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah
terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang
menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,
membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu,
juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti
demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan
pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut,
dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai
dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat. 4,5
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan

9
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi
intrakranial dan ekstrakranial yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran
timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik. 4,5
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk
anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis
untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi
harus diobati dengan pemberian antibiotik. 4,5
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-
100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis. 4,5
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga
gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur. 4,5
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2
3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari.4,5
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran
timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini
berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.4,5

10
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak
membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata
pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari
tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah
risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat.
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat
efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah.
Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam
24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau
demam 39C.4,5

2.8.2 Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi. 4,5
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus
tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri
berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi
third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi
antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang
memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur. 4,5
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada

11
bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti
otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan
dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial
yang telah dijalankan. 4,5
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak
memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika
terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren. 4,5
2.9 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari
abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis
komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik.
Komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,
petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis). 4,5
2.10 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan
terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain. 4,5

12
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : AR
Umur : 15 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan : SMP
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Banjarangkan, KLungkung
Tanggal Pemeriksaan : 12 Januari 2017

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada telinga kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada telinga kiri. Keluhan nyeri ini sudah
dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Pada awalnya telinga hanya terasa penuh, namun

13
lama-kelamaan telinga terasa nyeri. Pasien juga memiliki riwayat batuk pilek
sejak 2 hari yang lalu. Pilek tidak disertai bersin-bersin atau gatal-gatal pada
hidung. Pasien juga mengeluh demam sejak 1 hari yang lalu. Demam dikatakan
menetap dan tidak hilang timbul.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien mengatakan belum pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Tidak
ada riwayat penyakit seperti asma, sinusitis, alergi, atau penyakit sistemik lainnya.
Pasien tidak memiliki riwayat trauma atau riwayat operasi telinga sebelumnya.

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya tidak pergi ke dokter ataupun minum obat-obatan untuk
mengatasi keluhannya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Sepupu pasien pasien pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat pada
keluarga menderita alergi dan penyakit sistemik seperti kencing manis, tekanan
darah tinggi, kelainan metabolik disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien saat ini masih masih belum bersekolah dan tinggal bersama orangtuanya.
Pasien tidak merokok atau minum minuman beralkohol.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Vital Sign
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Denyut Nadi : 88 kali/menit
Respirasi : 18 kali/menit
Temperatur Axila : 37,8 oC

Status General
Kepala : Normocephali

14
Mata : Konjungtiva Anemi - / - , Sklera Ikterus - / -
THT : Sesuai status THT
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening - / -
Pembesaran Kelenjar Tiroid - / -
Thorak : Cor : S1S2 Tunggal, Reguler, Murmur -
Pulmo: Vesikuler + / +, Rhonchi - / -, Wheezing - / -
Abdomen : Distensi (-), Bising Usus (+) N, Hepar/Lien tidak teraba
Ekstremitas : Hangat + +

+ +

Status Lokalis THT


Telinga Kanan Kiri
Daun telinga Normal Normal
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Aurikuler Tidak ada Tidak ada
MAE Lapang Lapang
Serumen (-) Serumen (-)
Membran Timpani Intak Intak
Hiperemis
Tumor Tidak ada Tidak ada

Hidung Kanan Kiri


Hidung Luar Normal Normal
Kavum Nasi Lapang Sempit
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Sekret Tidak ada Ada, mukoid
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor Tidak ada Tidak ada
Konka Kongesti Kongesti
Sinus Normal Normal
Koana Normal Normal

Tenggorok
Dispneu Tidak ada
Sianosis Tidak ada
Mucosa Hiperemi
Dinding belakang faring Granulasi (-), post nasal drip (-)
Stridor Tidak ada
Suara Normal

15
Tonsil T1 / T1 Tenang

3.4 Resume
Pasien laki-laki usia 3,5 tahun, mengeluh nyeri di telinga kiri sejak 1 hari yang
lalu. Awalnya telinga kiri terasa penuh dan lama-kelamaan terasa nyeri. Terdapat
batuk dan pilek pada pasien yang muncul sehari sebelum keluhan pada telinga.
Pasien juga mengalami demam sejak 1 hari yang lalu. Riwayat keluhan yang
sama disangkal, riwayat alergi dan penyakit sistemik disangkal oleh pasien.
Pasien belum pernah berobat untuk keluhannya.
Pemeriksaan Fisik :
1. Status Present : Dalam batas normal
2. Status General : Dalam batas normal
3. Status Lokalis THT
- NTT : -/-
- NTA : -/-
- MAE : lapang/lapang
- Discharge : -/-
- Membran timpani : intak/hiperemi
4. Hidung
- Discharge : -/+ (mukoid)
- Konka nasi : kongesti/kongesti
- Mukosa : merah muda/ merah muda
5. Tenggorok
- Mukosa : hiperemi/hiperemi

3.5. Diagnosis Banding


1. Otitis Media Akut (OMA)
2. Otitis Media Serosa
3.6. Pemeriksaan Penunjang
Kultur mikroba

3.7. Diagnosis Kerja


Otitis Media Akut Sinistra Stadium Hiperemis (OMA Std II S)

3.8. Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- Antibiotika (Cefadroxyl syr 2 x cth I)

16
- Pseudoephedrine HCl (Tremenza syr 3 x cth )
- Ambroxol syr 3 x cth I
- Paracetamol syr 3 x I
KIE:
- Hindari faktor pencetus timbulnya penyakit
- Kontrol ke poli THT setelah obat habis

3.9. Prognosis
Prognosis baik jika diberikan terapi dini dan adekuat. Bila penanganan
diberikan terlambat dan tidak adekuat maka prognosis buruk.

BAB IV
PEMBAHASAN

17
Pada kasus didapatkan keluhan pasien yaitu berupa nyeri pada telinga kiri.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Pada mulanya pasien merasa
telinganya seperti penuh dan hingga kini telinga kiri terasa nyeri. Pasien juga
mengalami batuk pilek yang muncul 2 hari sebelum keluhan pada telinganya.
Pasien juga mengalami demam sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan tidak
ada cairan yang keluar dari telinga. Dari munculnya keluhan, pasien belum pernah
memeriksakan diri ke dokter. Riwayat penyakit yang sama dan riwayat penyakit
lain seperti alergi dan penyakit sistemik disangkal.
Berdasarkan Anamnesis, jenis gangguan yang dialami pasien sesuai
dengan gambaran otitis media akut stadium hiperemi (OMA std II). Pada stadium
ini pasien umumnya mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam.
Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari
cepatnya proses hiperemis. Selain itu riwayat nyeri pada telinga umumnya
didahului dengan adanya batuk pilek serta demam.4,5
Infeksi saluran napas telah dikaitkan dalam pathogenesis OMA. Dalam
kasus ini infeksi saluran atas menyebabkan kongesti atau edema pada saluran
napas atas, nasofaring dan tuba Eustachius. Kongesti pada tuba Eustachius akan
menyebabkan ventilasi udara terganggu sehingga tekanan telinga pada telinga
tengah akan negative. Tekanan negatif telinga tengah akan menyebabkan refluks
bakteri atau virus dari saluran nafas atas menuju telinga tengah. Selain itu
sumbatan pada tuba Eustachius akan mengganggu fungsi proteksi dan drainase
cairan dari telinga tengah ke nasofaring.4,5
Infeksi patogen dan akumulasi sekret akan memicu pelepasan mediator-
mediator inflamasi. Hal ini nantinya akan menimbulkan rasa penuh di telinga,
yang kemudian menjadi rasa nyeri (otalgia) dan hiperemi pada membran timpani
disebabkan karena kongesti pembuluh darah. Akumulasi cairan menyebabkan
terdesaknya membran timpani sehingga menjadi gembung atau bulging.
Akumulasi sekret menyebabkan terganggunya penghantaran suara karena
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas
sehingga menimbulkan gangguan pendengaran yaitu tuli konduktif.4,5

18
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini meliputi pemeriksaan
tanda vital, status general dan THT. Pada pemeriksaan fisik tanda vital dan general
pasien, tidak ditemukan hasil yang diluar normal. Pada status THT, dari
pemeriksaan telinga didapatkan membran timpani kiri terdapat hiperemi. Pada
pemeriksaan hidung didapatkan sekret pada kavum nasi kiri, terdapat kongesti
pada konka nasi. Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat hiperemi pada mukosa
faring.
Hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan OMA stadium 2 dimana terjadi
pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran
timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa
yang sulit terlihat. Pada stadium ini belum ditemukan adanya gambaran bulging
maupun perforasi pada membrane timpani. Gambaran pemeriksaan hidung
menunjukan kongesti pada konka nasi dan sekret pada kavum nasi kiri. Hal ini
menunjukan adanya proses peradangan sebelumnya pada daerah hidung. Proses
peradangan ini sesuai teori dapat menjadi pencetus terjadinya OMA.4,5
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan sudah dapat ditentukan
diagnosis ke arah otitis media akut. Diagnosis OMA sebenarnya memerlukan 3
kriteria yaitu kejadian yang mendadak atau akut, tanda-tanda efusi dan tanda
peradangan telinga tengah. Tanda-tanda efusi belum dapat ditemukan pada kasus
ini dengan pemeriksaan dengan otoskop, dan sebaiknya diperiksa dengan lebih
teliti mengenai tanda-tanda efusi. Diagnosis OMA mengarah pada stadium
hiperemi atau pre-supurasi, dimana pada gejala stadium ini ditemukan telinga
yang terasa penuh, otalgia, terdapat gangguan pendengaran ringan, dan pada
pemeriksaan didapatkan membran timpani yang hiperemi. Gejala dan tanda ini
sesuai dengan yang dialami oleh pasien.4,5
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan stadiumnya. Pada kasus ini,
diberikan antibiotik untuk mengatasi patogen yang menyebabkan infeksi,
pseudoephedrine HCl untuk mengurangi kongesti pada saluran napas dan tuba
Eustachius, dan paracetamol sebagai analgesik dan antipiretik, serta ambroxol
sebagai mukolitik. KIE yang diberikan adalah untuk menghindari faktor pencetus
sebagai tindakan pencegahan. Kasus ini kemungkinan disebabkan karena pilek
yang dialami pasien, maka faktor tersebut harus dihindari. Pasien sebaiknya

19
mengikuti pengobatan yang diberikan dengan baik, agar gejala tidak bertambah
parah hingga stadium yang lebih berat.4,5

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake Richard L, Vogl A. Wayne, Mitchell Adam W. M. 2010. Grays


Anatomy for students International Edition. Philadelphia PA: Churchill
Livingstone.
2. Moore Keith L, Agur Anne M. R. 2002. Anatomi Klinis Dasar.
Hipokrates.
3. Monasta L, Ronfani L, Marchetti F, Montico M, Vecchi L, et al. Burden of
disease caused by otitis media : systematic review and global estimates,
Plos ONE, 2012;7(4):1-12
4. Soepardi Eflaty A, Iskandar Nurbaiti, Bashiruddin Jenny, Restuti R. Dwi.
2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Adams George L, Boies Lawrence R, Hilger Peter A. 1989. Boies
Fundamental of Otolaryngology: A Textbook of Ear, Nose, and Throat
Diseases Sixth Edition. Philadelphia PA: W. B. Saunders Company.

21

Anda mungkin juga menyukai