Anda di halaman 1dari 2

Chapter 10

Satu tahun lalu, tepat itu hari minggu. Bergejolak hati ini tidak tau entah karena apa. Tiga tahun ini
saya lewati hari pertama ibadah ramadhan di kampung orang. Sejak saya memutuskan untuk
berhijrah ke kota orang saya rasa, rasa itu ikut tenggelam bersamanya. Tepat sekali kenangan ini
datang entah ketika saya masih berada duduk di bangku sekolah menengah pertama atau rasa yang
saya mulai hilangkan sejak masa sekolah menegah atas.

Tiba-tiba termenung di serambi masjid sambil memandangi suasana yang gelap dan dingin yang
mencoba menggoda dan menyeruak saya. Hati ini terasa tenang tetapi tidak hentinya berdegup.
Apakah ini rasa rindu saya pada sang Pencipta karena masih memberikan saya rasa dan kehidupan
sehingga saya masih bisa berjumpa?. Ataukah ini rasa rindu pada ciptaan-Nya yang entah saya
sendiri tidak bisa menerka siapakah dia. Yang heran bukan kepalang adalah kenapa rasa ini muncul?
Kenapa bulan ramadhan? Adakah memori yang lantas terlintas pada waktu ini? Ataukah saya hanya
terbuai pada cerita yang saya baca akhir-akhir ini yang berkisah tentang cerita, memori, dan
melupakan?. Gelap tapi saat ini saya mencoba menerawang pada cahaya illahi. Saya rasa ini
hanyalah gurauan hati saya untuk mencoba menerka menjadi pribadi yang santun.

Tepat yang saya rasa kemarin hanya candaan yang sirna beriringan kumandang takbir di senja itu.
Kini terasa asing saya merasa pada diri. Menyeruak marah entah atas dasar apa saya boleh
melakukannya. Saya tengok di sekeliling rumput, hanya ada ilalang yang menjadikan saya kuat dan
pemberani. Betul,,,berani karena ini paksaan yang saya sendiri entah tidak mengerti apa makna yang
ditulis illahi untuk hamba. Jika ada satu pertanyaan bisa saya sampaikan kepada illahi hanya satu
ucap lirih saya seru. Siapa hamba???

Kini perjalanan semakin memuncak dan semakin saya heran dibuatnya. Dahulu saya yang lugu bisa
menafsirkan arti semua ini hanyalah proses menuju kemakmuran. Tapi setelah semua itu hilang
sirna dibawa senja, yang saya temui hanyalah kehilangan. Kehilangan jiwa, kehilangan jejak, dan
kehilangan arah. Teringat akan satu cerita ketika saya memulai menapaki semua ini. Rasa ini dibuat
meninggi ketika terjadi penawaran dari entah siapa yang memulainya. Iya, jawaban itu entah keluar
dari mulut atau hati ini. Terasa amat bodoh ketika jawaban itu tidak selaras dengan tingkah dan laku.
Tingkah yang menolak dengan santun, dan laku yang tidak sesuai dengan nurani. Tapi apalah daya
resiko saya memulai semuanya hanyalah lembaran kosong yang mungkin orang lain
menertawakannya. Dekade kedua berlanjut dengan rasa ini yang ingin singgah setelah melihat
senyum manis terpancar di balik hutan itu. Saya mulai terpana melihat sosok kecil pembawa
kebahagiaan. Lantas apakah benar ini jawaban yang illlahi berikan setelah candaan yang hilang sirna
itu??? Iya benar, ternayata ini bukan jawabannya. Semakin kuat saya mendekati sosok itu, semakin
kuat pula penolakan yang entah dari mana asalnya penggonggong itu datang dari luar. Hari berputar
bulan, saya tetap bertahan pada penantian panjang yang menyakiti tangan ini, Dibalik senyuman
yang bisa diberikan, terlintas kemustahilan saya bisa bercengkrama dengan sosok kecil. Iya sosok
besar yang dahulu memancing hati ini sudah mulai melepas satu persatu dan beralih arah menuju
sosok kecil. Saat pertama bertemu candaan yang saya sendiri entah tau maksudnya terlontar begitu
mudahnya dari lidah ini. Serasa paksaan dan kesan yang memuakkan jika mendengarkan. Entah
karena sikap, prinsip, ataukah lelucon manis itu maksudnya. Memori itu jelas masih tergerak di
kepala untuk memutarnya. Jika itu masih terekam jelas dalam benak, berarti ini adalah pengalaman
misteri yang entah hingga kapan akan terungkap. Terungkap manis ataukah kepahitan yang
tersimpan. Hanya waktu yang nanti akan menunjukkan kemana arah panah akan melaju indah.
Tetapi saya tidak akan kecewa. Karena waktu adalah kejujuran utama yang perlu saya patuhi.

Anda mungkin juga menyukai